facebooklogocolour

 

Bab 6. Ketidakpastian dan Idealisme

Particle Collision Simulations Possible on Quantum Computer 2Prinsip Ketidakpastian

Pukulan maut yang menjatuhkan mekanika Newtonian dari tahtanya sebagai sebuah teori universal dilancarkan oleh Einstein, Schrödinger, Heisenberg dan ilmuwan-ilmuwan lainnya yang membidani kelahiran mekanika kuantum di awal abad ke-20. Perilaku “partikel-partikel elementer” tidaklah dapat dijelaskan oleh mekanika klasik. Matematika jenis baru harus dikembangkan.

Dalam matematika baru ini terdapatlah konsep-konsep semacam “ruang-fase”, di mana sebuah sistem didefinisikan sebagai sebuah titik yang memiliki derajat kebebasan sebagai koordinat, dan “operator”, besaran yang tidak mirip sama sekali dengan besaran aljabar dalam makna mereka lebih mirip sebuah operasi ketimbang sebagai sebuah besaran itu sendiri (pada kenyataannya mereka menyatakan hubungan, bukannya sebuah nilai yang tetap), memainkan satu peran yang penting. Teori peluang juga memainkan peranan yang penting, tapi dalam makna “peluang intrinsik”: ini adalah salah satu dari ciri hakiki dalam mekanika kuantum. Pada kenyataannya, mekanika kuantum harus diartikan sebagai sebuah gabungan bertumpuk (superposisi) dari semua jalur gerak yang mungkin ditempuh oleh sebuah sistem.

Partikel-partikel kuantum hanya dapat didefinisikan sebagai sebuah himpunan kesalingterhubungan internal antara keadaan “aktual” dan “virtual” mereka. Dalam makna ini mereka murni dialektik. Pengukuran terhadap partikel-partikel itu dengan cara tertentu hanya akan mengungkap keadaan “aktual” mereka, yang merupakan satu aspek saja dari seluruh aspek keberadaan mereka (paradoks ini dijelaskan secara populer dalam kisah “kucing Schrödinger”). Prinsip ini disebut “runtuhnya fungsi gelombang” (“collapse of the wave function”), dan dinyatakan oleh Heisenberg sebagai prinsip ketidakpastian. Cara yang sama sekali baru untuk memandang realitas fisik ini, yang dinyatakan dalam persamaan mekanika kuantum ini, telah “dikarantina” untuk waktu yang lama oleh sebagian besar kaum akademisi. Ia dilihat sebagai semacam pengecualian terhadap mekanika yang selama itu ada, yang hanya berguna untuk menjelaskan perilaku partikel-partikel elementer, pengecualian terhadap hukum-hukum mekanika klasik, tanpa makna penting apapun selain itu.

Di tahta yang tadinya dikangkangi oleh kepastian, ketidakpastian kini meraja. Apa yang nampak sebagai pergerakan acak dari partikel-partikel sub-atomik, dengan kecepatan mereka yang tak terbayangkan, tidaklah dapat dinyatakan dalam persamaan-persamaan mekanika lama. Ketika sains mencapai satu jalan buntu, ketika ia tidak lagi dapat menjelaskan fakta-fakta yang ada, keadaan untuk sebuah revolusi dimatangkan, dan sains yang baru akan lahir. Walau demikian, sains yang baru itu, dalam bentuk awalnya, tidak akan muncul dalam keadaan sempurna. Hanya setelah melewati masa tertentu ia akan muncul dalam bentuknya yang lengkap dan pamungkas. Satu derajat improvisasi, ketidakpastian, interpretasi yang beragam dan sering kali bertentangan, niscaya terjadi pada masa-masa awal ini.

Pada beberapa dasawarsa terakhir, satu debat tentang apa yang disebut interpretasi “stochastic” (“acak”) tentang alam dan determinisme telah dibuka. Masalah yang mendasar adalah keniscayaan dan peluang yang di sini diperlakukan sebagai dua hal yang berdiri mutlak bertentangan, sebagai dua lawan yang saling meniadakan satu sama lain. Kita mendapatkan dua pandangan yang saling bertentangan, dan tidak ada satu pun dari mereka yang cukup untuk menjelaskan cara kerja alam semesta yang kompleks dan penuh kontradiksi.

Werner Heisenberg, seorang fisikawan Jerman, mengembangkan versinya sendiri tentang mekanika kuantum. Di tahun 1932 ia menerima Hadiah Nobel bidang fisika untuk sistem mekanika matriksnya, yang menggambarkan tingkatan energi dari orbit elektron murni dalam bentuk angka, tanpa mengandalkan gambar sama sekali. Dengan cara ini, ia berharap dapat mengatasi masalah yang disebabkan oleh adanya kontradiksi antara “partikel” dan “gelombang” dengan mengabaikan segala upaya menggambarkan gejala tersebut, dan memperlakukan gejala tersebut murni dalam bentuk abstraksi matematika. Mekanika gelombang Erwin Schrödinger menangani masalah yang persis sama dengan mekanika matriks Heisenberg tanpa perlu melarikan diri ke dalam dunia abstraksi matematika absolut. Kebanyakan fisikawan lebih menyukai pendekatan Schrödinger karena jauh kurang abstrak ketimbang pendekatan Heisenberg, dan mereka tidak salah. Di tahun 1944, John van Neumann, ahli matematika Amerika keturunan Hungaria itu menunjukkan bahwa mekanika gelombang dan mekanika matriks adalah setara secara matematika, dan dapat menghasilkan jawaban yang persis sama untuk tiap persoalan.

Heisenberg mencapai beberapa kemajuan penting dalam mekanika kuantum. Walau demikian, keteguhannya untuk memasukkan filsafat idealisme yang dianutnya ke dalam ilmu baru itu mewarnai dengan kuat seluruh pendekatan yang dipakainya. Dari sini muncullah apa yang dikenal sebagai “interpretasi Copenhagen” atas mekanika kuantum. Ini pada dasarnya adalah idealisme subjektif, yang dicadari dengan tipis sebagai sebuah aliran pemikiran ilmiah. “Werner Heisenberg,” tulis Isaac Asimov, “berupaya untuk mengangkat satu masalah mendasar yang menempatkan partikel-partikel, bahkan fisika itu sendiri, hampir ke dalam ranah hal-hal yang tak dapat diketahui [unknowable].”[1] Kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Di sini kita tidak berurusan dengan apa yang tidak diketahui [unknown]. Itu selalu ada di tengah ilmu pengetahuan. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan adalah kemajuan dari yang tidak diketahui menuju yang diketahui, dari ketidaktahuan menuju pengetahuan. Tapi satu kesulitan yang serius akan muncul ketika orang merancukan apa yang tidak diketahui [unknown] dengan apa yang tidak dapat diketahui [unknowable]. Ada perbedaan mendasar antara kata-kata “kita tidak tahu” dan “kita tidak mungkin tahu”. Ilmu pengetahuan berangkat dari pandangan dasar bahwa dunia objektif benar-benar ada dan dapat kita ketahui.

Walau demikian, sepanjang sejarah filsafat telah terjadi berulang kali upaya untuk menetapkan batas bagi pengetahuan manusia, untuk menegaskan bahwa terdapat beberapa hal yang “tidak mungkin kita ketahui”, dengan alasan ini atau alasan itu. Demikianlah Kant mengklaim bahwa kita hanya dapat memahami apa yang tampak, tapi bukan Benda-Dalam-Dirinya-Sendiri [Things-in-Themselves]. Dalam pernyataan ini ia mengikuti jejak skeptisisme Hume, idealisme subjektif George Berkeley dan para sofis Yunani: kita tidak mungkin dapat memahami dunia.

Di tahun 1927, Werner Heisenberg mengajukan “prinsip ketidakpastian”-nya yang terkenal itu, yang menyatakan bahwa mustahil bagi kita untuk menentukan posisi dan kecepatan sebuah partikel pada saat yang bersamaan. Semakin teliti kita menentukan posisi sebuah partikel, semakin tidak pasti momentumnya, dan sebaliknya. (Hal ini juga berlaku untuk sifat-sifat berpasangan yang lain.) Kesulitan untuk menetapkan secara pasti posisi dan kecepatan dari sebuah partikel yang bergerak dengan kecepatan 5.000 mil per detik ke berbagai arah yang berbeda pada saat yang bersamaan merupakan hal yang tidak perlu dijelaskan lagi. Walau demikian, deduksi dari sini bahwa kausalitas (sebab-akibat) secara umum tidak ada adalah sebuah proposisi yang sama sekali keliru.

Bagaimana kita menentukan posisi sebuah elektron? Ia bertanya. Dengan melihatnya. Tapi, jika kita menggunakan mikroskop yang kuat, itu artinya kita akan menumburkan elektron itu dengan sebuah partikel cahaya, sebuah foton. Karena cahaya berperilaku sebagai sebuah partikel, ia niscaya akan mengganggu momentum dari partikel yang sedang diamati. Dengan demikian, kita akan mengubah partikel itu persis ketika kita menjalankan pengamatan. Gangguan ini tidak akan dapat diramalkan hasilnya dan tidak akan dapat dikendalikan, karena (setidaknya dari teori kuantum yang ada) tidak ada cara untuk mengetahui dan mengontrol sudut yang akan diambil kuantum cahaya ketika dibiaskan melewati lensa. Karena pengukuran yang akurat akan posisi elektron membutuhkan penggunaan cahaya yang panjang gelombangnya kecil, momentum yang besar tapi tidak teramalkan dan tak terkontrol akan dipindahkan kepada elektron. Di pihak lain, pengukuran yang akurat akan momentum membutuhkan kuanta cahaya yang momentumnya sangat kecil (yaitu panjang gelombang yang besar), yang berarti terjadinya satu pembiasan dengan sudut besar, dan dengan demikian semakin tidak akurat posisinya. Semakin akurat posisi diukur, semakin kurang akurat momentumnya terukur, dan sebaliknya.

Jadi, apakah kita akan dapat mengatasi masalah ini jika kita mengembangkan sejenis mikroskop elektron yang baru? Mustahil, menurut teori Heisenberg. Karena semua energi datang dalam paket-paket (kuanta), dan semua materi memiliki sifat baik sebagai sebuah gelombang maupun sebagai sebuah partikel, jenis alat apapun yang kita pergunakan akan pula tunduk pada prinsip ketidakpastian ini. Sesungguhnya, penggunaan istilah prinsip ketidakpastian tidaklah tepat, karena apa yang ditegaskan di sini bukanlah bahwa kita tidak dapat mengukur secara akurat karena persoalan alat ukur. Teori itu mengimplikasikan bahwa semua bentuk materi tidak dapat diukur secara akurat justru karena hakikat materi itu sendiri. Seperti yang dikatakan David Bohm dalam bukunya Causality and Chance in Modern Physics:

“Maka penolakan terhadap kausalitas dalam interpretasi yang umum dari teori kuantum haruslah dianggap bukan sebagai sekedar hasil dari ketidakmampuan kita untuk mengukur nilai persis dari variabel-variabel yang akan dimasukkan dalam persamaan hukum kausalitas di tingkat atomik, melainkan, ia harus dianggap sebagai cerminan dari fakta bahwa hukum semacam itu tidak ada sama sekali.”

Bukannya melihat hal itu sebagai sebuah aspek khusus dari teori kuantum dalam tingkat perkembangannya yang sekarang, Heisenberg mempostulatkan ketidakpastian sebagai sebuah hukum alam yang mendasar dan universal, dan mengasumsikan bahwa semua hukum alam yang lain harus konsisten dengan hukum ini. Ini merupakan pendekatan yang sangat berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan di masa lalu ketika ia dihadapkan dengan masalah yang menyangkut fluktuasi tak beraturan dan pergerakan acak. Tidak seorang pun membayangkan bahwa mungkin bagi kita untuk menentukan pergerakan persis dari satu molekul tunggal dalam gas, atau memprediksi seluruh rincian dari sebuah kecelakaan mobil yang mungkin terjadi. Tapi belum pernah terjadi sebelumnya satu upaya yang demikian serius untuk menurunkan dari fakta semacam ini satu ketiadaan hukum kausalitas secara umum.

Tapi, kesimpulan inilah yang diajukan dari prinsip ketidakpastian. Para ilmuwan dan filsuf idealis telah maju terlalu jauh dengan mengajukan bahwa kausalitas secara umum tidak ada. Yakni, bahwa bahwa tidak ada itu yang namanya sebab atau akibat. Maka alam semesta akan nampak sebagai peristiwa yang seluruhnya tanpa sebab dan acak. Seluruh alam semesta ini tidak dapat diramalkan. “Kita tidak dapat memastikan” segala sesuatu. “Melainkan, diasumsikan bahwa dalam eksperimen macam apapun, hasil akurat yang akan dicapaiakan seluruhnya acak dalam makna bahwa ia tidak memiliki hubungan apapun dengan segala hal yang lain yang ada di dunia atau yang pernah ada.”[2]

Posisi ini adalah negasi sempurna, bukan hanya atas sains, tapi juga atas pemikiran rasional secara umum. Jika sebab dan akibat tidak ada, bukan hanya mustahil bagi kita untuk meramalkan apapun; tapi juga mustahil bagi kita untuk menjelaskan apapun. Kita hanya dapat membatasi diri kita untuk menggambarkan apa yang ada. Nyatanya, bukan hanya itu, karena kita bahkan tidak akan pernah bisa yakin bahwa ada sesuatu yang hadir di luar diri dan indera kita. Ini membawa kita kembali pada filsafat idealisme subjektif. Pemikiran ini mengingatkan kita pada argumen para filsuf sofis di jaman Yunani kuno: “Saya tidak akan dapat mengetahui sesuatu pun tentang dunia. Jika saya dapat mengetahui sesuatu, saya tidak akan dapat memahaminya. Jika saya dapat memahaminya, saya tidak akan dapat menyatakannya.”

Apa yang dinyatakan oleh “prinsip ketidakpastian” adalah karakter pergerakan partikel sub-atomik yang teramat misterius, yang tidak mungkin dapat diraba dengan persamaan dan pengukuran mekanika klasik yang sederhana itu. Tidak ada keraguan tentang sumbangan yang telah diberikan Heisenberg bagi dunia fisika. Apa yang kita permasalahkan adalah kesimpulan filsafati yang ia tarik dari mekanika kuantum. Fakta bahwa kita tidak dapat mengukur dengan tepat posisi dan momentum sebuah partikel pada saat bersamaan sama sekali tidak membuat kita harus menarik kesimpulan bahwa di sini tidak ada objektivitas. Cara berpikir subjektif merasuk ke dalam aliran mekanika kuantum dari Copenhagen. Niels Bohr melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa “keliru kalau kita berpikir bahwa tugas fisika adalah untuk menemukan bagaimana keadaan alam yang sebenarnya. Fisika menyangkut segala yang dapat kita katakan tentang alam.”

Fisikawan John Wheeler berpendapat bahwa “tidak ada fenomena yang merupakan fenomena nyata sampai ia menjadi fenomena yang diamati.” Dan Max Born mengungkapkan filsafat subjektivis yang sama dengan kejelasan mutlak: “Generasi yang mencakup Einstein, Bohr dan saya sendiri diajari bahwa ada satu dunia fisik objektif, yang mengungkapkan dirinya menurut hukum-hukum abadi yang tidak tergantung dari kemauan kita; kita mengamati proses ini sebagaimana para penonton melihat sebuah pertunjukan di teater. Einstein masih percaya bahwa seperti inilah seharusnya hubungan antara seorang pengamat ilmiah dengan subjek yang diamatinya.”[3]

Apa yang kita lihat di sini bukanlah sebuah evaluasi ilmiah, tapi pendapat filsafati yang mencerminkan satu cara pandang tertentu terhadap dunia – cara pandang idealisme subjektif, yang merasuki seluruh interpretasi Copenhagen atas teori kuantum. Untungnya, sejumlah ilmuwan terkemuka masih berdiri menentang subjektivisme ini, yang bertentangan dengan seluruh cara pandang dan metode ilmu pengetahuan itu sendiri. Di antara mereka terdapatlah Einstein, Max Planck, Louis de Broglie dan Erwin Schrödinger, yang kesemuanya memainkan peran dalam mengembangkan fisika baru itu dengan peran yang setidaknya sama pentingnya dengan peran Heisenberg sendiri.

Objektivitas versus Subjektivisme

Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa interpretasi Heisenberg terhadap fisika kuantum sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan filsafatnya. Bahkan ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia adalah seorang idealis yang bersemangat, yang mengakui bahwa ia sangat terkesan dengan Timaeus, karya Plato (di mana idealisme Plato tersaji dengan sangat rumit), dan pada tahun 1919 dia juga bergabung dalam jajaran Freikorps, pasukan paramiliter reaksioner di Jerman, yang menentang gerakan buruh. Kemudian ia menyatakan bahwa ia “jauh lebih tertarik terhadap ide-ide filsafat yang mendasar daripada hal-hal lainnya,” dan bahwa perlulah “untuk keluar dari ide tentang proses objektif dalam ruang dan waktu.” Dengan kata lain, interpretasi filsafati Heisenberg atas fisika kuantum sangat jauh dari sekedar hasil sebuah percobaan ilmiah. Jelas bahwa interpretasinya terkait erat dengan filsafat idealis, yang dengan sadar diterapkannya dalam fisika, dan yang menentukan cara pandangnya terhadap dunia.

Filsafat semacam itu bukan saja bertentangan dengan sains, tapi juga dengan seluruh pengalaman kesejarahan manusia. Bukan saja ia tidak mengandung hakikat yang ilmiah, tapi juga sama sekali tidak ada gunanya dalam praktek. Para ilmuwan yang, pada umumnya lebih suka tidak menyentuh spekulasi filsafat, mengangguk dengan sopan pada Heisenberg, dan terus saja meneliti hukum-hukum alam, menganggap sewajarnya bahwa alam bukan saja ada ada, tapi juga berjalan sesuai dengan hukum-hukum tertentu, termasuk hukum sebab-akibat, dan dengan usaha sedikit keras, dapat dipahami dengan sempurna, bahkan dapat diramalkan oleh manusia. Konsekuensi yang reaksioner dari idealisme subjektif ditunjukkan oleh perkembangan pribadi Heisenberg sendiri. Ia membenarkan keterlibatannya dengan Nazi dengan alasan bahwa “Tidak ada pedoman umum yang dapat kita pegang. Kita harus memutuskan bagi diri kita sendiri, dan tidak ada cara untuk meramalkan apakah yang kita buat ini adalah benar atau salah.”[4]

Erwin Schrödinger tidaklah menyangkal adanya gejala acak di alam secara umum atau dalam mekanika kuantum. Ia secara khusus menyebut contoh penggabungan acak molekul DNA pada saat pembuahan seorang anak, di mana fitur-fitur kuantum dari ikatan kimia memainkan peranan penting. Walau demikian, ia menolak interpretasi Copenhagen tentang implikasi dari “percobaan dua celah”; bahwa gelombang probabilitas (waves of probability) Max Born bermakna bahwa kita harus menyangkal semua keobjektifan dunia, yakni pandangan bahwa keberadaan dunia ini tidak tergantung dari pengamatan kita terhadapnya.

Schrödinger menertawakan penegasan Heisenberg dan Bohr bahwa, ketika elektron atau foton tidak sedang diamati, mereka “tidak memiliki posisi” dan hanya menjadi material pada titik tertentu sebagai akibat dari pengamatan. Untuk melawan pandangan ini, ia menciptakan satu “eksperimen pikiran” [thought experiment]. Ambillah seekor kucing dan letakkan dalam sebuah kotak dengan satu botol kecil sianida, katanya. Ketika alat pencacah Geiger mendeteksi peluruhan sebuah atom, botol sianida itu akan pecah. Menurut Heisenberg, atom tidak “tahu” bahwa dirinya telah meluruh sebelum ada orang yang mengukurnya. Maka, dalam kasus ini, sampai seseorang membuka kotak itu dan melongok ke dalam, menurut para idealis, kucing itu akan terus berada dalam keadaan tidak hidup dan juga tidak mati! Dengan anekdot ini, Schrödinger bermaksud menggarisbawahi kontradiksi absurd yang akan kita temuikalau kita menerima interpretasi idealis subjektif Heisenberg atas fisika kuantum. Proses alam berlangsung secara objektif, tidak tergantung apakah ada orang di sana untuk mengamatinya atau tidak.

Menurut interpretasi Copenhagen, realitas hanya muncul ketika kita mengamatinya. Bila tidak ada pengamatan, maka realitas hanya ada dalam sejenis limbo, dunia maya, atau “keadaan superposisi gelombang probabilitas”, seperti kucing kita yang berada dalam keadaan tidak-mati-tapi-juga-tidak-hidup. Interpretasi Copenhagen mengambil garis pembatas yangtajam antara yang diamati dengan yang mengamati. Mengikuti interpretasi Copenhagen, beberapa fisikawan berpandangan bahwa kesadaran itu pasti ada, tapi ide realitas material tanpa kesadaran adalah mustahil. Inilah sudut pandang idealisme subjektif yang dijawab oleh Lenin secara komprehensif dalam bukunya Materialisme and Empirio-kritisisme.

Materialisme dialektik berangkat dari adanya objektivitas material dari alam semesta, yang disampaikan pada kita melalui indera kita. “Saya menerjemahkan dunia melalui indera saya.” Hal ini tidak perlu dibuktikan lagi. Tapi dunia ini ada, tanpa tergantung dari indera saya. Hal ini juga tidak perlu dibuktikan lagi, seharusnya demikian, tapi tidak untuk para filsuf borjuis! Salah satu varian utama dari filsafat abad ke-20 adalah positivisme logis, yang menyangkal objektivitas dunia material. Lebih tepatnya, ia melihat bahwa pertanyaan apakah dunia ini ada atau tidak adalah sebuah pertanyaan yang tidak relevan dan “metafisikal”. Sudut pandang idealisme subjektif telah terbukti keliru oleh penemuan-penemuan di abad ke-20. Tindakan mengamati bermakna bahwa mata kita tengah menerima energi dari sumber eksternal dalam bentuk gelombang cahaya (foton). Hal ini dengan jelas diuraikan Lenin di tahun 1908-9:

“Jika warna adalah satu sensasi yang tergantung hanya dari retina (seperti yang telah terbukti oleh sains), maka sinar cahaya, yang jatuh ke atas retina, menghasilkan sensasi warna. Ini berarti bahwa di luar tubuh kita, tidak tergantung pada kita dan pikiran kita, ada pergerakan materi, katakanlah gelombang ether yang memiliki panjang gelombang dan kecepatan tertentu, yang, ketika beraksi pada retina, menghasilkan sensasi warna. Inilah pandangan ilmu pengetahuan alam tentangnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa sensasi akan berbagai warna tergantung dari berbagai panjang gelombang cahaya yang ada di luar retina manusia, di luar tubuh manusia, dan tidak tergantung kepada manusia itu. Inilah materialisme: yakni materi yang bertindak atas organ-indera kita akan menghasilkan sensasi. Sensasi tergantung pada otak, syaraf, retina, dsb., pada materi yang diorganisasikan dengan cara tertentu. Keberadaan materi tidak tergantung dari sensasi kita. Materi adalah primer. Sensasi, pikiran, kesadaran adalah produk pamungkas dari materi yang terorganisir dalam cara yang khusus. Demikianlah pandangan dari materialisme pada umumnya, dan pandangan dari Marx dan Engels pada khususnya.”[5]

Watak idealis-subjektif dari metode Heisenberg nampak dengan sangat eksplisit:

“Situasi kita yang sesungguhnya dalam kerja-kerja penelitian fisika atomik biasanya seperti ini: kita ingin memahami fenomena tertentu, kita ingin mengenali bagaimana fenomena ini mematuhi hukum-hukum umumalam. Dengan demikian, bagian materi atau radiasi yang mengambil bagian dalam fenomena itu adalah 'objek' alamiah dalam perlakuan teoritik dan harus dipisahkan dari alat-alat yang digunakan untuk menyelidiki gejala tersebut. Hal ini lagi-lagi menekankan satu unsur subjektif dalam menggambarkan kejadian-kejadian atomik, karena alat pengukur itu telah dibangun oleh sang pengamat, dan kita harus ingat bahwa apa yang kita amati bukanlah alam itu sendiri tapi alam yang ditempatkan di bawah metode penyelidikan kita. Kerja-kerja ilmiah kita dalam fisika terdiri dari mengedepankan pertanyaan-pertanyaan mengenai alam dalam bahasa yang kita miliki dan berusaha untuk mendapatkan jawaban dari eksperimen melalui alat-alat yang kita miliki.”[6]

Kant mendirikan satu tembok kokoh antara dunia yang tampak dan realitas “dalam dirinya sendiri”. Di sini Heisenberg melangkah lebih jauh. Ia tidak hanyaberbicara tentang “alam dalam dirinya sendiri”, tapi bahkan menegaskan bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami alam yang dapat kita amati, karena kita mengubahnya ketika kita mencoba mengamatinya. Dengan cara ini, Heisenberg berusaha menghilangkan sama sekali kriteria objektivitas ilmiah. Sayangnya, banyak ilmuwan, yang walaupun dengan tegas menolak tuduhan mistisisme, telah tanpa sadar menyerap ide-ide filsafat idealis Heisenberg, hanya karena mereka enggan menerima perlunya pendekatan filsafat materialis yang konsisten atas alam ini.

Poinnya adalah bahwa hukum-hukum logika formal runtuh di luar batas-batas tertentu. Terutama untuk fenomena-fenomena di tingkat dunia sub-atomik, di mana hukum-hukum identitas, kontradiksi dan tanpa-antara tidak dapat diterapkan. Heisenberg mempertahankan sudut pandang logika formal dan idealisme, dan dengan demikian, niscaya sampai pada kesimpulan bahwa fenomena kontradiktif pada tingkat sub-atomik tidak akan pernah dapat dipahami sama sekali oleh otak manusia. Kontradiksinya, dengan demikian, bukanlah terletak pada gejala teramati di tingkat sub-atomik, tapi dalam skema mental logika formal yang teramat kuno dan penuh kekurangan itu. Apa yang disebut “paradoks mekanika kuantum” adalah kontradiksi ini. Heisenberg tidak dapat menerima keberadaan kontradiksi yang dialektis, dan dengan demikian, memilih untuk kembali ke filsafat mistisisme - “kita tidak akan pernah tahu”, dan segala alasan lainnya.

Ini adalah semacam sulap filsafat yang menipu. Langkah pertama adalah dengan mengaburkan konsep sebab-akibat dengan determinisme mekanik kuno yang disajikan oleh orang-orang seperti Laplace. Keterbatasan dari determinisme ini sebenarnya telah diuraikan dan dikritik oleh Engels dalam Dialectics of Nature. Penemuan mekanika kuantum akhirnya menghancurkan sama sekali determinisme mekanik. Prediksi-prediksi yang dibuat oleh mekanika kuantum berbeda dalam beberapa hal dari ramalan mekanika klasik. Walau demikian, mekanika kuantum tetap saja terus sanggup membuat prediksi-prediksi, dan menghasilkan jawaban-jawaban yang tepat sesuai dengan apa yang diprediksinya.

Kausalitas (Hukum Sebab-Akibat) dan Peluang

Salah satu dari masalah yang dihadapi oleh para pelajar filsafat atau sains adalah ketika satu istilah tertentu digunakan, yang maknanya sering kali berbeda dengan maknanya sehari-hari. Salah satu masalah pokok dalam sejarah filsafat adalah hubungan antara kebebasan dan keharusan (keniscayaan), satu masalah kompleks, yang dibuat lebih rumit setelah ia muncul dalam berbagai rupa – kausalitas dan peluang, keharusan dan kebetulan, determinisme dan indeterminisme, dsb.

Kita semua tahu dari pengalaman sehari-hari apa yang kita maksud dengan “keharusan”. Ketika kita “harus” melakukan sesuatu, itu berarti kita tidak memiliki pilihan lain. Kita tidak dapat melakukan hal yang lain. Definisi keharusan dalam kamus adalah satu himpunan keadaan lingkungan yang mendesak sesuatu untuk diadakan atau dilakukan, khususnya menyangkut satu hukum alam semesta, yang tidak terpisah dari, dan mengatur, kehidupan dan tindakan manusia. Ide tentang keharusan fisik menyangkut pandangan tentang tekanan dan keterbatasan. Hal ini nampak jelas dalam kalimat-kalimat semacam “tunduk pada keharusan”. Hal ini terdapat pula dalam pepatah seperti “keharusan tidak mengenal aturan”.

Dalam makna filsafati, keharusan berkerabat erat dengan kausalitas, yakni hubungan antara sebab dan akibat – satu tindakan atau peristiwa tertentu yang mengharuskan timbulnya satu hasil yang tertentu pula. Contohnya, jika saya berhenti bernafas selama satu jam, saya akan mati, atau jika saya menggesek dua tongkat satu sama lain, saya akan menghasilkan panas. Hubungan antara sebab dan akibat, yang telah dibuktikan oleh sejumlah besar pengamatan dan eksperimen, memainkan peran sentral dalam sains. Sebaliknya, kebetulan dianggap sebagai sebuah peristiwa yang tidak diharapkan, yang terjadi tanpa sebab yang jelas, seperti ketika kita tersandung ubin yang pecah, atau menjatuhkan mangkuk di dapur. Walau demikian, dalam filsafat, kebetulan adalah sebuah ciri yang hanya merupakan atribut ikutan, yaitu, sesuatu yang bukan merupakan bagian dari cirinya yang hakiki. Sebuah kebetulan adalah sesuatu yang tidak harus ada, dan yang peluangnya untuk tidak terjadi sama besarnya dengan peluangnya untuk terjadi. Mari kita lihat satu contoh.

Jika saya menjatuhkan selembar kertas, biasanya ia akan jatuh begitu saja ke lantai, karena hukum-hukum gravitasi. Ini adalah contoh dari kausalitas, dari keniscayaan. Tapi jika mendadak ada angin bertiup, kertas itu akan melayang pergi begitu saja, hal yang akan dilihat sebagai kebetulan. Maka keharusan diatur oleh sebuah hukum, dan dapat dinyatakan dan diramalkan secara ilmiah. Hal-hal yang terjadi karena keharusan adalah hal-hal yang tidak bisa tidak harus terjadi. Di pihak lain, kejadian-kejadian acak, hal-hal yang tidak diharapkan, adalah kejadian-kejadian yang bisa atau tidak bisa terjadi; mereka tidak diatur satu hukum tertentu yang dapat dinyatakan dengan jelas dan karena sifat hakikinya, tidak dapat diramalkan.

Pengalaman hidup meyakinkan kita bahwa baik keharusan maupun kebetulan benar-benar ada dan memainkan suatu peran. Sejarah ilmu pengetahuan dan masyarakat menunjukkan hal yang persis sama. Seluruh hakikat dari sejarah ilmu pengetahuan adalah pencarian pola yang mendasari alam semesta. Kita telah belajar sejak masa kanak-kanak untuk membedakan apa yang hakiki dan apa yang tidak hakiki, apa yang menjadi keharusan dan apa yang kebetulan. Bahkan ketika kita menjumpai satu kondisi perkecualian yang terasa “aneh” bagi kita dalam tingkatan pengetahuan yang kita miliki, sering kali ternyata pengalaman berikutnya mengungkap keteraturan yang berbeda jenisnya, dan hubungan sebab-akibat yang lebih dalam, yang tidak segera nampak secara sepintas.

Pencarian akan satu pemahaman rasional akan dunia yang kita diami ini berhubungan sangat dekat dengan kebutuhan untuk menemukan kausalitas. Seorang anak kecil, dalam prosesnya belajar tentang dunia, akan selalu bertanya “mengapa?”– yang selalu dianggap gangguan oleh orang tuanya, yang sering kali kebingungan harus menjawab apa. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kita merumuskan satu hipotesis tentang apa yang menyebabkan terjadinya sebuah fenomena tertentu. Inilah dasar dari semua pemahaman rasional. Biasanya, hipotesis-hipotesis ini pada gilirannya melahirkan ramalan mengenai hal-hal yang belum kita alami. Ramalan-ramalan ini kemudian dapat diuji, baik melalui pengamatan ataupun praktek. Ini bukan hanya penggambaran tentang sejarah ilmu pengetahuan, tapi juga satu bagian penting dari perkembangan mental dari tiap manusia dari masa awal kanak-kanak sampai seterusnya. Dengan demikian ia mencakup perkembangan intelektual dalam maknanya yang terluas, dari mulai proses pembelajaran yang paling dasar dari seorang anak sampai telaah tentang alam semesta.

Keberadaan kausalitas ditunjukkan oleh sejumlah besar pengamatan. Semua ini memungkinkan kita membuat prediksi-prediksi penting, bukan hanya dalam sains tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Semua orang tahu bahwa jika air dididihkan sampai suhu 100 C ia akan berubah menjadi uap. Inilah dasar, bukan hanya untuk pembuatan secangkir teh, tapi juga untuk revolusi industri, yang telah menjadi dasar bagi seluruh kehidupan masyarakat kita kini. Namun masih juga ada para filsufdan ilmuwan yang menegaskan dengan serius bahwa uap tidak dapat dikatakan disebabkan oleh pemanasan air. Fakta bahwa kita dapat membuat ramalan mengenai sejumlah besar peristiwa itu sendiri adalah bukti bahwa kausalitas bukanlah sekedar satu cara yang nyaman untuk menggambarkan berbagai hal tapi, seperti yang ditunjukkan David Bohm, merupakan aspek yang inheren dan hakiki dari segala hal. Sesungguhnya, mustahillah bahkan untuk menentukan properti-properti dari segala hal tanpa mengandalkan kausalitas. Contohnya, ketika kita berkata bahwa sesuatu adalah merah, kita menyatakan bahwa ia akan bereaksi dengan cara tertentu ketika dikenai kondisi-kondisi tertentu – yaitu, satu objek berwarna merah didefinisikan sebagai sesuatu yang jika dikenai cahaya putih akan memantulkan cahaya merah. Begitu juta fakta bahwa air menjadi uap ketika dipanaskan, dan menjadi es ketika didinginkan, adalah pernyataan dari sebuah hubungan sebab-akibat kualitatif yang merupakan bagian dari properti-properti utama dari cairan ini, tanpanya ia bukan lagi air. Hukum matematika umum tentang pergerakan benda-benda bergerak juga merupakan sifat-sifat hakiki dari benda-benda itu, tanpanya mereka tidak akan menjadi seperti apa mereka yang kita kenal. Contoh itu dapat digandakan tanpa batas. Supaya dapat memahami mengapa dan bagaimana sebab-akibat berkait erat dengan sifat-sifat hakiki segala hal, tidaklah cukup untuk memandang hal-hal tersebut secara statis dan saling terpisah satu sama lain.Kita harus memandang segala hal sebagaimana adanya, sebagaimana mereka pernah ada, dan sebagaimana mereka akan harus ada – yaitu, menelaah segala hal sebagai proses.

Untuk memahami kejadian-kejadian tertentu, tidak perlu untuk merinci semua sebab. Sesungguhnya, merinci semua sebab adalah hal yang mustahil. Determinisme absolut yang diajukan oleh Laplace sebetulnya telah dijawab sebelum masalah itu diajukan oleh Spinoza dalam kutipan cerdas berikut ini:

“Contohnya, jika sebuah batu jatuh dari atap dan menimpa kepala seorang yang sedang lewat dan membunuhnya, mereka akan menunjukkan melalui cara berargumen mereka bahwa batu itu dikirim untuk jatuh dan membunuh orang itu; karena jika batu itu tidak jatuh untuk tujuan itu, dengan kehendak Tuhan, bagaimana mungkin begitu banyak kejadian (karena sering kali begitu banyak kejadian yang terjadi pada saat bersamaan) mengarah ke situ secara kebetulan? Anda akan menjawab, mungkin: 'Angin sedang bertiup dan orang itu harus melintas di situ, maka terjadilah hal itu.' Tapi mereka akan membalas: 'Mengapa angin bertiup pada saat itu? Dan mengapa orang itu berjalan ke arah itu pada saat itu?' Jika Anda menjawab lagi: 'Angin bertiup karena pasang naik di laut pada hari sebelumnya, cuaca sebelumnya tenang, dan orang itu berjalan ke situ karena sedang memenuhi undangan seorang kawan,' mereka akan bertanya lagi, karena pertanyaan mereka tidak ada akhirnya: 'Mengapa laut pasang, dan mengapa orang itu diundang pada saat itu?'

“Dan mereka akan terus mengejar Anda dari sebab ke sebab sampai Anda mengambil perlindungan ke dalam kehendak Tuhan, yaitu, penampungan terhadap segala ketidaktahuan. Demikian pula, ketika mereka melihat tubuh manusia mereka terkagum-kagum, dan karena mereka tidak memahami sebab dari seni yang demikian indah itu, mereka menyimpulkan bahwa itu bukanlah hasil sebuah seni mekanik, tapi seni yang bersifat ketuhanan atau supernatural, dan yang dibangun dengan cara tertentu sehingga satu bagian tidaklah mencederai bagian lainnya. Dari situlah munculnya kenyataan bahwa orang yang ingin mencari tahu sebab sejati dari segala mukjizat, dan memahami berbagai hal di alam sebagaimana halnya pemahaman seorang terpelajar, bukannya terbengong menatap seperti seorang dungu, akan dianggap sebagai orang murtad dan pendosa, dan dinyatakan demikian oleh mereka-mereka yang dianggap oleh massa sebagai penerjemah kejadian alam dan penyampai kehendak Tuhan. Karena mereka tahu bahwa bila ketidaktahuan disingkirkan, maka keajaiban, yang selama ini menjadi satu-satunya cara berargumen dan mempertahankankekuasaan mereka, akan pula disingkirkan.”[7]

Mekanisme

Upaya untuk menghilangkan segala kebetulan dari alam pastilah membawa kita pada sudut pandang mekanistik. Dalam filsafat mekanistik dari abad ke-18 – yang diwakili oleh Newton, ide tentang keniscayaan diangkat menjadi sebuah prinsip yang mutlak. Semua dilihat sebagai sesuatu yang mutlak sederhana, bebas dari segala kontradiksi, dan tanpa sedikitpun kekacauan atau saling tindih antar berbagai hal.

Ide tentang keteraturan universal di alam jelas benar secara mendasar, tapi suatu pernyataan keteraturan yang kering tidaklah cukup. Yang dibutuhkan adalah sebuah pemahaman konkret akan bagaimana hukum-hukum alam bekerja. Cara pandang mekanistik pastilah muncul dari sebuah pandangan yang sepihak atas gejala-gejala alam, yang mencerminkan tingkat perkembangan sains saat itu. Pencapaian tertinggi dari cara pandang ini adalah mekanika klasik, yang menjelaskan proses-proses yang relatif sederhana, sebab dan akibat, yang dipahami sebagai aksi eksternal sederhana dari satu benda terhadap yang lain, pengungkit, kesetimbangan, massa, inersia, mendorong, menekan, dan hal-hal lain semacam itu. Betapapun pentingnya penemuan-penemuan ini, semuanya jelas tidak mencukupi untuk memungkinkan kita sampai pada ide yang akurat tentang cara bekerjanya alam semesta yang kompleks ini. Kemudian, penemuan biologi, terutama setelah revolusi Darwinian, memungkinkan satu pendekatan yang berbeda terhadap gejala-gejala ilmiah, yang sejalan dengan proses yang lebih fleksibel dan tak kasat mata dari materi-materi organik.

Dalam mekanika klasik Newton, gerak diperlakukan sebagai sesuatu yang sederhana. Jika kita tahu pada saat tertentu apa saja gaya yang bekerja pada satu objek yang sedang bergerak, kita akan dapat memastikan bagaimana ia akan berperilaku di masa mendatang. Hal ini membawa kita pada determinisme mekanistik, yang salah satu pendukung utamanya adalah Pierre Simon de Laplace, ahli matematika Prancis abad ke-18, yang teorinya tentang alam semesta benar-benar mirip dengan gagasan takdir, yang terkandung dalam beberapa agama, terutama Calvinisme.

Dalam bukunya Philosophical Essays on Probabilities, Laplace menulis:

“Suatu intelektualitas yang pada saat tertentu mengetahui segala gaya yang menggerakkan Alam dan segala posisi dari makhluk-makhluk yang menghuninya, jika intelektualitas ini cukup besar sehingga sanggup menelaah seluruh data yang dimilikinya, dapat menyarikannya ke dalam satu rumus tunggal tentang gerak baik dari benda-benda terbesar di alam semesta maupun dari atom yang terkecil: bagi intelektualitas ini tidak ada sesuatu punyang akan menjadi tidak pasti; dan baik masa depan maupun masa lalu akan tersaji dengan jelas di depan mata kita.”[8]

Kesulitan muncul dari metode mekanistik yang diwarisi oleh para fisikawan abad ke-19 dari rekan-rekan mereka di abad ke-18. Di sini, keharusan dan kebetulan dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan, yang saling meniadakan satu sama lain. Sesuatu atau sebuah proses adalah keharusan (keniscayaan) atau kebetulan – tidak bisa keduanya sekaligus. Metode ini diperiksa dengan ketajaman pisau bedah oleh Engels dalam The Dialectics of Nature, di mana ia menjelaskan bahwa determinisme mekanistik Laplace niscaya akan membawa kita pada fatalisme [kepasrahan pada takdir] dan konsepsi mistis tentang alam semesta ini:

“Dan kemudian dinyatakanlah bahwa keniscayaan adalah satu-satunya hal yang harus diperhatikan secara ilmiah dan bahwa kebetulan adalah hal yang tidak ada gunanya bagi sains. Ini sama dengan menyatakan: apa yang dapat ditempatkan ke dalam hukum, yaitu yang kita ketahui, adalah bermanfaat; apa yang tidak dapat ditempatkan ke dalam hukum, yaitu yang tidak kita ketahui, tidaklah berguna dan dapat diabaikan. Kalau demikian halnya, berakhirlah sejarah ilmu sains, karena sains justru harus menyelidiki hal-hal yang tidak kita ketahui. Artinya: apa yang dapat ditempatkan pada satu hukum umum adalah keharusan, dan apa yang tidak dapat adalah kebetulan. Semua orang dapat melihat bahwa ini adalah jenis ilmu yang menyatakan bahwa apa yang dapat dijelaskannya adalah natural, dan menyerahkan segala yang tak dapat dijelaskannya pada sebab-sebab supernatural. Bila saya menyebut hal yang tak dapat dijelaskan ini sebagai kebetulan atau Tuhan, ini sama sekali tidak penting karena keduanya adalah sama. Keduanya adalah setara dengan: saya tidak tahu, dan dengan demikian hal itu bukanlah sains. Sains berhenti menjadi sains ketika hubungan kausalitas yang diperlukan tidak ditemukan.”

Engels menunjukkan bahwa determinisme mekanistik semacam ini secara efektif mereduksi keniscayaan ke tingkatan kebetulan. Jika tiap kejadian kecil berada dalam tingkat kepentingan dan keharusan yang sama dengan hukum umum gravitasi, maka seluruh hukum dasar alam berada dalam tingkat kedangkalan yang sama:

“Menurut pandangan ini, hanya keniscayaan yang sederhana dan langsung yang mengendalikan alam ini. Bahwa sebuah kacang tertentu mengandung lima butir biji kacang dan bukan empat atau enam, bahwa satu buntut anjing tertentu panjangnya lima inci dan tidak secuilpun lebih panjang atau lebih pendek, bahwa dalam tahun tertentu satu kuntum bunga tertentu dibuahi oleh seekor lebah tertentu dan bukan oleh yang lain, sesungguhnya persis oleh satu ekor lebah dan pada waktu tertentu, bahwa satu biji rumput yang tertentu diterbangkan angin dan berbuah, sementara yang lainnya tidak, bahwa kemarin malam saya digigit kutu pada pukul empat pagi, dan bukan pada pukul tiga atau pukul lima, dan di bahu kiri bukannya di bahu kanan – semua ini adalah fakta-fakta yang telah dihasilkan oleh rantai keniscayaan sebab-akibat, oleh satu keniscayaan yang tak tergoyahkan dengan sifat yang sedemikian rupa, sehingga sejak alam semesta ini masih berupa kumpulan gas panas, telah dirancang sedemikian rupa sehingga kejadian-kejadian itu berlangsung dengan cara yang seperti itu dan bukan dengan cara yang lain.

“Dengan keniscayaan yang semacam ini kita tidak akan pernah lepas dari pandangan teologi tentang alam semesta. Baik dengan Agustine maupun dengan Calvin kita menyebutnya sebagai takdir Tuhan, atau Kismet seperti sebutan orang-orang Turki, atau kita menyebutnya sebagai keniscayaan, semua itu sama maknanya bagi sains. Mustahil bagi kita untuk merunut rantai sebab-akibat dalam tiap kasus yang kita sajikan di atas; jadi kita tidak akan bertambah bijak karenanya, apa yang disebut keniscayaan akan tinggal sebagai kalimat-kalimat kosong, dan bersamanya – kebetulan juga tinggal seperti apa adanya.”[9]

Laplace berpikir bahwa jika ia dapat merunut sebab-akibat dari segala sesuatu di alam semesta ini ia akan dapat menghapuskan seluruh kebutuhan akan adanya kebetulan. Untuk waktu yang lama, nampaknya mekanisme kerja seluruh alam semesta dapat direduksi menjadi beberapa persamaan yang sederhana. Salah satu keterbatasan teori mekanistik klasik adalah bahwa ia mengandaikan bahwa tidak ada pengaruh luar terhadap pergerakan dari benda-benda tertentu. Pada kenyataannya, tiap benda dipengaruhi dan ditentukan oleh benda lain. Tidak ada sesuatu pun yang hadir dalam keadaan terisolasi.

Pada masa sekarang ini klaim Laplace tampak berlebihan dan tidak masuk nalar. Pemikiran yang berlebihan semacam inidapat dilihat di tiap tahapan sejarah sains, di mana tiap generasi percaya dengan teguh bahwa mereka telah menggenggam “kebenaran akhir”. Ini juga bukan hal yang sepenuhnya keliru. Ide dari tiap generasi memang adalah kebenaran yang akhir, untuk masa itu. Maksud dari pernyataan ini adalah: “Inilah tingkatan terjauh yang dapat kita capai dalam memahami Alam Raya, dengan kemampuan informasi dan teknologi yang kita miliki.” Dengan demikian, bukanlah satu hal yang keliru bahwa hal-hal tersebut mutlak bagi kita pada titik kesejarahan tertentu, karena kita hanya dapat menyandarkan diri pada titik tersebut, bukan titik kesejarahan yang lain.

Abad Ke-19

Pada masanya, mekanika klasik Newton merupakan satu langkah maju yang besar bagi sains. Untuk pertama kalinya, hukum-hukum Newton tentang gerak memungkinkan prediksi-prediksi kuantitatif yang akurat, yang dapat diuji terhadap berbagai fenomena yang kita amati. Walau demikian, keakuratan inilah yang membawa masalah lain ketika Laplace dan yang lainnya mencoba menerapkan hukum-hukum ini terhadapalam semesta secara umum. Laplace meyakini bahwa hukum-hukum Newton adalah mutlak dan sahih secara universal. Ia melakukan kesalahan ganda. Pertama, hukum-hukum Newton tidak dilihat sebagai satu pendekatan yang berlaku di bawah kondisi lingkup tertentu. Kedua, Laplace tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa di bawah kondisi lingkup yang berbeda, di wilayah yang belum dijelajahi oleh fisika, hukum-hukum ini mungkin perlu diperbaiki atau diperluas. Determinisme mekanistik Laplace menganggap bahwa sekali posisi dan kecepatan diketahui untuk satu titik waktu tertentu, seluruh perilaku alam semesta di masa depan akan dapat ditentukan. Menurut teori ini, seluruh keragaman alam semesta ini dapat direduksi menjadi sejumlah hukum-hukum kuantitatif yang tergantung dari beberapa variabel saja.

Mekanika klasik seperti yang ternyatakan dalam hukum-hukum gerak Newton berurusan dengan sebab-akibat yang sederhana, contohnya satu aksi tunggal dari satu benda terhadap benda lainnya. Walau demikian, dalam prakteknya, hal ini mustahil, karena tidak ada sistem mekanik yang benar-benar terpisah dari sistem lainnya di dunia. Pengaruh-pengaruh luar niscaya akan menghancurkan karakter hubungan satu-dengan-satu yang terisolir dari sistem ini. Bahkan jika kita dapat mengisolasi satu sistem, masih akan ada pengaruh yang muncul dari gerak yang terjadi di tingkat molekular, dan pengaruh-pengaruh lain dari mekanika kuantum di tingkat yang lebih dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Bohm: “Maka dari itu, tidak ada situasi yang memiliki hubungan-hubungan kausalitas satu-dengan-satu yang sempurna, yang dapat secara prinsipil memungkinkan prediksi dengan ketepatan tak berhingga, tanpa perlu memperhitungkan satu himpunan faktor-faktor kausal yang secara kualitatif baru, yang hadir di luar sistem yang sedang diamati atau pada tingkatan lain dari sistem itu.”[10]

Apakah ini berarti bahwa prediksi adalah mustahil? Sama sekali tidak. Ketika kita membidikkan sepucuk senapan pada titik tertentu, sebutir peluru tunggal tidak akan pernah mendarat tepat pada titik yang diramalkan oleh hukum gerak Newton. Walau demikian, sejumlah besar tembakan akan menghasilkan satu kumpulan titik di sekitar titik yang diprediksikan. Maka, dengan memperhitungkan rentang kesalahan, yang pasti terjadi, prediksi dengan ketepatan tinggi masih dimungkinkan. Jika kita ingin mencapai satu ketepatan yang tak berhingga dalam contoh ini, kita akan menemukan semakin banyak faktor yang akan mempengaruhi hasilnya – ketidakteraturan dalam struktur senapan dan peluru, berbagai variasi kecil dari suhu, tekanan, kelembaban, aliran udara, dan bahkan gerakan molekular dari semua faktor ini.

Aproksimasi pada tingkat tertentu diperlukan, dengan tidak mempertimbangkansejumlah faktor-faktor yang menentukan ketepatan dari prediksi tertentu. Hal ini membutuhkan satu abstraksi dari realitas, seperti yang dilakukan oleh mekanika Newton. Walau demikian, ilmu pengetahuan terus melangkah maju, selangkah demi selangkah, untuk menemukan hukum-hukum yang semakin dalam dan tepat, yang akan memungkinkan kita untuk mendapat pemahaman yang semakin dalam tentang proses bekerjanya alam, dan dari situ memungkinkan kita untuk membuat prediksi yang semakin tepat. Ditinggalkannya determinisme mekanik Newton dan Laplace yang kuno itu tidaklah berarti penghapusan sebab-akibat, tapi satu pemahaman yang lebih dalam tentang cara bekerja yang sejati dari sebab-akibat itu sendiri.

Retakan pertama dari benteng mazhab Newton muncul pada paruh kedua abad ke-19, khususnya dengan teori evolusi Darwin dan karya fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann, tentang interpretasi statistik atas proses termodinamika. Para fisikawan berusaha menjelaskan sistem multi-partikel semacam gas atau cairan dengan memakai metode statistik. Walau demikian, statistik itu dilihat sebagai sebuah pembantu dalam situasi di mana mustahil, untuk alasan-alasan praktis, untuk mengumpulkan informasi yang rinci mengenai semua properti dari sebuah sistem (contohnya, seluruh posisi dan kecepatan dari partikel-partikel gas pada satu titik waktu tertentu).

Abad ke-19 menyaksikan perkembangan ilmu statistik, pertama dalam bidang ilmu sosial, lalu dalam fisika, contohnya dalam teori gas, di mana baik keacakan maupun kepastian dapat dilihat dalam pergerakan molekul-molekul. Di satu pihak, molekul-molekul secara individu nampak bergerak dalam cara yang seluruhnya acak. Di pihak lain, sejumlah besar molekul yang menyusun gas bergerak dalam satu cara yang mematuhi hukum-hukum dinamika yang berketepatan tinggi. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini? Jika pergerakan dari molekul-molekul penyusunnya acak dan, dengan demikian, tidak dapat diramalkan, seharusnya perilaku gas juga tidak dapat diramalkan?

Jawaban untuk persoalan ini disediakan oleh hukum perubahan kuantitas menjadi kualitas. Apa yang nampak sebagai pergerakan acak dari sejumlah besar molekul ternyata menghasilkan satu keteraturan dan pola yang dapat dinyatakan dalam hukum-hukum ilmiah. Dari kekacauan, lahirlah keteraturan. Hubungan dialektik antara kebebasan dan keharusan, antara kekacauan dan keteraturan, antara keacakan dan kepastian adalah hal yang tertutup bagi para ilmuwan abad ke-19, yang menganggap hukum-hukum yang mengatur gejala-gejala acak (statistik) sebagai hal yang sama sekali terpisah dari persamaan-persamaan mekanika klasik yang tepat.

“Cairan atau gas apapun,” tulis Gleick, “adalah satu kumpulan dari potongan-potongan individual, demikian banyak sehingga jumlahnya dapat dianggap tak berhingga. Jika tiap potongan digerakkan secara independen, maka cairan itu akan memiliki kemungkinan yang tak berhingga, 'derajat kebebasan' tak berhingga dalam istilahnya, dan persamaan yang menggambarkan pergerakan itu akan harus berisi variabel-variabel yang jumlahnya juga tak berhingga. Tapi tiap partikel tidaklah bergerak secara independen – pergerakannya sangat tergantung pada pergerakan partikel tetangganya – dan dalam aliran yang mulus, derajat kebebasannya menjadi sangat kecil.”[11]

Mekanika klasik bekerja sangat baik untuk waktu yang lama,di mana ia memungkinkan kemajuan-kemajuan teknologi yang penting. Bahkan sampai sekarang hukum-hukum itu masih terus memiliki penerapan yang beraneka ragam. Walau demikian, akhirnya ditemukan bahwa beberapa wilayah tertentu tidak dapat ditangani dengan baik oleh metode-metode ini. Mereka telah mencapai batasan mereka. Dunia mekanika klasik yang teratur dan logis menjelaskan sebagian alam ini, tapi hanya sebagian. Di alam semesta kita melihat keteraturan, tapi juga ketidakteraturan. Berdampingan dengan organisasi dan stabilitas terdapat pula kekuatan-kekuatan yang sama kuatnya berjalan ke arah yang berlawanan. Di sini kita terpaksa memakai dialektika, untuk menentukan hubungan antara keharusan dan kebetulan, untuk menentukan di titik mana akumulasi dari perubahan-perubahan kuantitas yang kecil, yang kelihatannya tidak penting, berubah menjadi lompatan kualitatif yang mendadak.

Bohm mengusulkan satu perumusan ulang yang radikal atas mekanika kuantum, dan satu cara baru untuk melihat hubungan antara yang keseluruhan dan yang sebagian.

“Dalam telaah-telaah ini ... menjadi jelas bagi kita bahwa bahkan sistem satu-benda memiliki ciri-ciri yang pada dasarnya non-mekanikal, dalam makna bahwa ia dan lingkungannya haruslah dipahami sebagai satu keseluruhan yang tak terpisahkan, di mana analisis klasik yang jamak dilakukan terhadap sistem dan lingkungan, di mana keduanya dianggap sebagai terpisah, tidak lagi dapat diterapkan.” Hubungan antara bagian-bagian “tergantung secara krusial pada keadaan yang keseluruhan, dalam cara yang sedemikian sehingga ia tidak akan dapat dinyatakan hanya dalam properti-properti dari bagian-bagian itu. Sesungguhnya, bagian-bagian itu diorganisasikan dalam cara yang mengalir dari yang seluruhnya.”[12]

Hukum dialektika tentang peralihan dari kuantitas ke kualitas menyatakan ide bahwa materi berperilaku berbeda dalam tingkatan yang berbeda-beda. Maka, kita melihat tingkatan molekular, tingkatan yang dipelajari terutama dalam kimia tapi hanya sedikitsaja di dalam fisika; kita melihat tingkatan materi hidup, yang dipelajari terutama dalam biologi; tingkatan sub-atomik, yang dipelajari dalam mekanika kuantum; dan juga tingkatan yang bahkan lebih dalam daripada itu yaitu tingkatan partikel-partikel elementer, yang kini sedang dijelajahi dalam fisika partikel. Tiap tingkatan ini masih pula memiliki sub-tingkatannya sendiri-sendiri.

Telah ditunjukkan bahwa hukum-hukum yang mengatur perilaku materi di tiap tingkatan tidaklah sama. Hal ini telah ditunjukkan di abad ke-19 oleh teori kinetika gas. Jika kita mengambil sekotak gas yang mengandung miliaran molekul, yang bergerak dengan jalur yang acak dan terus-menerus bertumbukan satu dengan lainnya, jelas mustahil untuk menentukan dengan tepat pergerakan dari tiap molekul. Pertama-tama, ini mustahil secara matematika. Bahkan jika dimungkinkan untuk memecahkan persoalan matematika yang ada di dalamnya, akan mustahil dalam praktek untuk mengukur posisi awal dan kecepatan dari tiap molekul yang dibutuhkan untukmembuat prediksi yang tepat. Bahkan secuil perubahan dalam sudut awal gerak satu molekul akan mengubah arah geraknya, yang pada gilirannya akan membawa perubahan lebih besar pada tumbukan berikutnya, dan seterusnya, yang akhirnya akan membawa tingkat kesalahan yang besar berkaitan dengan pergerakan satu molekul tertentu.

Jika kita mencoba menerapkan sistem berpikir yang sama pada perilaku gas dalam tingkatan makroskopik (“normal”), kita akan menganggap bahwa mustahil pula untuk meramalkan perilakunya. Tapi kenyataannya tidak demikian, perilaku gas pada skala besar dapat diramalkan dengan sempurna. Seperti yang ditunjukkan Bohm:

“Jelaslah bahwa kita dibenarkan untuk berbicara tentang satu tingkatan makroskopik yang memiliki himpunan kualitas yang relatif otonom dan memenuhi satu himpunan hubungan yang relatif otonom yang secara efektif menyusun satu himpunan hukum kausal makroskopik. Sebagai contoh, jika kita meneliti satu massa air, kita tahu melalui pengalaman skala-besar bahwa ia bertindak dalam ciri khasnya sendiri sebagai suatu cairan. Yang kita maksudkan adalah bahwa ia menunjukkan semua kualitas makroskopis yang kita kenali sebagai likuiditas. Contohnya, ia mengalir, ia 'membasahi' segala sesuatu, ia cenderung menjaga volumenya, dsb. Dalam pergerakannya ia memenuhi persamaan-persamaan hidrodinamika dasar yang dinyatakan dalam properti-properti skala besar saja, seperti tekanan, suhu, densitas lokal, kecepatan aliran lokal, dsb. Maka, jika kita ingin memahami sifat-sifat massa air, kita tidak perlu memperlakukannya sebagai sebuah agregat molekul-molekul, melainkan sebagai sebuah keberadaan yang hadir pada tingkat makroskopik, yang mengikuti hukum-hukum yang sesuai untuk tingkatan tersebut.”

Hal ini bukan berarti bahwa molekul-molekul penyusun itu tidak memiliki hubungan apapun dengan perilaku air. Sebaliknya. Hubungan antar molekul menentukan, contohnya, apakah ia mewujudkan diri sebagai suatu cairan, benda padat atau uap. Tapi, sebagaimana dinyatakan Bohm, terdapatsebuah otonomi relatif, yang berarti bahwa materi berperilaku berbeda pada tingkatan yang berbeda; di sana ada “satu stabilitas tertentu dari mode-mode karakteristik atas perilaku makroskopis, yang cenderung menjaga keberadaannya kurang lebih independen dari apa yang dilakukan oleh molekul-molekul secara individu, tapi juga dari berbagai gangguan yang dikenakan terhadap sistem tersebut dari luar dirinya.”[13]

Apakah Ramalan Dimungkinkan?

coinKetika kita melemparkan sekeping uang logam ke udara, probabilitas bahwa ia akan mendarat “kepala atau buntut”adalah 50:50. Itu adalah sebuah fenomena yang benar-benar acak, yang tidak dapat diramalkan. (Ketika ia sedang berputar di udara, koin itu bukanlah “kepala” maupun “buntut”; dialektika – dan fisika baru – akan menyatakan bahwa ia adalah keduanya, kepala dan buntut sekaligus.) Karena terdapat hanya dua kemungkinan, probabilitas akan mendominasi. Tapi persoalannya akan berbeda secara radikal ketika jumlah pengulangannya dibuat demikian besar. Para pemilik rumah judi, yang tampaknya mendasarkan diri pada permainan “probabilitas” tahu bahwa, dalam jangka panjang, nol atau dobel-nol akan muncul sesering angka-angka lain, dan dengan demikian mereka akan dapat membuat keuntungan yang berlimpah dan dapat diprediksi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan-perusahaan asuransi yang menghasilkan banyak uang dari probabilitas-probabilitas yang diperhitungkan secara presisi, yang, pada titik terakhirnya, akhirnya berubah menjadi keniscayaan praktis, bahkan jikalaupun nasib individu pemegang polis tidak akan pernah dapat diramalkan secara tepat.

Apa yang dikenal sebagai “kejadian acak massal”dapat diterapkan pada bidang yang sangat luas cakupannya dalam fisika, kimia, biologi dan fenomena sosial, dari jenis kelamin bayi sampai kekerapan terjadinya cacat dalam jalur produk sebuah pabrik. Hukum-hukum probabilitas memiliki sejarah yang panjang dan telah digunakan di masa lalu dalam berbagai bidang: teori kesalahan (Gauss), teori keakuratan tembakan (Poisson, Laplace), dan di atas segalanya, dalam statistik. Contohnya, “hukum bilangan besar” menegaskan prinsip umum bahwa gabungan efek dari sejumlah besar faktor kebetulan, untuk kelas faktor yang sangat besar jumlahnya, membawa hasil yang hampir sama sekali tidak tergantung pada probabilitas. Ide ini bahkan telah dikemukakan di tahun 1713 oleh Bernoulli, dan oleh Chebyshev di tahun 1867. Apa yang dilakukan Heisenberg hanyalah menerapkan matematika kejadian acak skala-massal yang sebelumnya telah diketahuike gerakan partikel sub-atomik, di mana, dapat diduga sebelumnya, unsur keacakan dengan cepat diselesaikan.

“Mekanika kuantum telah menemukan hukum-hukum yang presisi dan indah yang mengatur probabilitas, dan dengan angka-angka seperti inilah sains mengatasi kekurangan yang disebabkan oleh indeterminasi dasarnya. Melalui cara inilah sainsdengan gagahnya membuat prediksi. Sekalipun ia kini dengan rendah hati mengakui bahwa dirinya tidak berdaya untuk meramalkan perilaku persis dari elektron atau foton secara individual atau benda-benda dasar lainnya, ia masih tetap dapat menyatakan dengan penuh percaya diri bagaimana sejumlah besar partikel itu akan berperilaku.”[14]

Dari apa yang nampak sebagai keacakan, muncullah satu pola. Pencarian untuk pola semacam itulah, yakni hukum yang mendasarinya, yang menjadi basis bagi seluruh sejarah sains. Tentu saja, jika kita menerima bahwa segala sesuatunya sebetulnya acak, bahwa tidak ada sebab-akibat, dan bahwa, walau bagaimanapun, kita tidak akan pernah memahami apapun karena ada batasan-batasan objektif bagi pengetahuan kita, maka semuanya adalah sungguh sia-sia. Untungnya, seluruh sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa ketakutan semacam itu tidak memiliki basis secuilpun. Dalam mayoritas pengamatan ilmiah, tingkat indeterminasi demikian kecilnya sehingga, untuk keperluan praktis, ia dapat diabaikan. Pada tingkat objek sehari-hari, prinsip ketidakpastian terbukti mutlak tidak berguna. Maka, semua upaya untuk menarik kesimpulan filsafati umum dari sana, dan menerapkannya pada pengetahuan dan ilmu secara umum, benar-benar merupakan tipuan yang licik. Bahkan di tingkat sub-atomik, sama sekali itu bukan berarti bahwa kita tidak akan pernah dapat membuat prediksi yang tepat. Sebaliknya, mekanika kuantum masih membuat prediksi-prediksi semacam itu. Mustahil untuk mencapai tingkat kepastian yang tinggi tentang koordinat dari partikel-partikel secara individu, yang oleh karenanya dapat kita sebut sebagai acak. Namun, pada akhirnya, dari keacakan lahirlah keteraturan dan keseragaman.

Kebetulan, peluang, probabilitas, dsb., adalah fenomena yang tidak dapat didefinisikan hanya dalam lingkup properti-properti yang diketahui dari objek yang sedang diamati. Walau demikian, ini tidaklah berarti mereka tidak dapat dipahami. Mari kita lihat satu contoh jamak dari peristiwa yang kebetulan – tabrakan mobil. Satu kecelakaan tunggal ditentukan oleh peristiwa-peristiwa kebetulan yang tak berhingga banyaknya: jika sang pengemudi meninggalkan rumah semenit kemudian, jika ia tidak memalingkan mukanya sedetikpun dari jalan, jika ia mengemudi sepuluh mil per jam lebih lambat, jika wanita tua itu tidak menyeberang jalan, dsb., dsb. Kita telah mendengar hal seperti ini berulang kali. Jumlah penyebab kecelakaan di sini adalah tak berhingga. Karena itulah kejadian itu seluruhnya tidak dapat diramalkan. Ia adalah kejadian yang murni kebetulan, bukan keharusan, karena ia bisa terjadi dan juga bisa tidak terjadi. Kejadian semacam ini, yang bertentangan dengan teori Laplace, ditentukan oleh demikian banyaknya faktor yang independen sehingga ia tidak dapat ditentukan sama sekali.

Walau demikian, ketika kita meninjau sejumlah besar kecelakaan semacam itu, gambarannyaberubah secara radikal. Ada kecenderungan yang reguler, yang dapat dengan tepat diperhitungkan dan diramalkan melalui apa yang kita kenal sebagai hukum-hukum statistik. Kita tidak dapat meramalkan satu kecelakaan tertentu, tapi kita dapat meramalkan akurasi yang sangat tinggi jumlah kecelakaan yang akan terjadi di satu kota dalam jangka waktu tertentu. Bukan hanya itu, tapi kita dapat memperkenalkan hukum-hukum dan peraturan yang memiliki satu dampak yang pasti terhadap jumlah kecelakaan. Dengan demikian, ada hukum-hukum yang mengatur segala kebetulan, yang sama pastinya dengan hukum-hukum yang mengatur sebab-akibat itu sendiri.

Hubungan sejati antara sebab-akibat dan peluang telah dikemukakan oleh Hegel, yang menjelaskan bahwa keharusan atau keniscayaanmengekspresikan dirinya melalui sebuah kebetulan (necessity expresses itself through accident). Satu contoh yang baik tentang hal ini adalah asal mula kehidupan itu sendiri. Ilmuwan Rusia, Oparin, menjelaskan bagaimana dalam kondisi yang kompleks di masa-masa awal sejarah bumi, pergerakan acak dari molekul-molekul cenderung membentuk molekul yang semakin kompleks dengan segala macam peluang kombinasi. Pada titik tertentu, jumlah peluang kombinasi yang teramat besar ini menimbulkan satu lompatan kualitatif, munculnya materi hidup. Pada titik ini, proses itu bukan lagi sekedar persoalan peluang murni. Materi hidup mulai berkembang sesuai dengan hukum-hukum tertentu, mencerminkan keadaan yang berubah. Hubungan antara keharusan dan kebetulan ini dalam ilmu pengetahuan telah ditelusuri oleh David Bohm:

“Dengan demikian kita melihat peran penting dari peluang. Karena, jika kita memberinya cukup waktu, ia akan memungkinkan, bahkan secara tak-terelakkan, berbagai jenis kombinasi dari berbagai hal. Salah satu dari kombinasi itu, yang menggerakkan proses yang-tak-dapat-diputarbalik-lagi atau garis perkembangan yang membebaskan sistem tersebut dari pengaruh fluktuasi peluang, pada akhirnya pasti terjadi. Dengan demikian, salah satu dari efek peluang adalah membantu 'mengaduk berbagai hal' dengan cara yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan inisiasi dari satu garis perkembangan yang baru secara kualitatif.”

Berpolemik melawan interpretasi idealis-subjektif atas mekanika kuantum, Bohm menunjukkan secara memuaskan hubungan dialektik antara sebab-akibat dan peluang. Kehadiran sebab-akibat telah ditunjukkan oleh seluruh sejarah pemikiran manusia. Ini bukanlah masalah spekulasi filsafati, tapi dari praktek dan proses tanpa henti dari pemahaman manusia:

“Hukum-hukum sebab-akibat untuk satu problem tertentu tidaklah dapat ditentukan apriori; mereka harus ditemukan di alam. Walau demikian, sejalan dengan pengalaman ilmiah dari banyak generasi dan latar belakang umum dari pengalaman bersama umat manusia selama berabad-abad, telah dikembangkanmetode-metode yang terformulasicukup rapi untuk menemukan hukum-hukum sebab-akibat itu. Hal pertama yang membuktikan adanya hukum-hukum sebab-akibat itu adalah, tentu saja, kehadiran satu hubungan reguler yang berlaku di dalam sejumlah besar variasi kondisi. Ketika kita menemukan keteraturan semacam itu, kita tidak menganggap bahwa mereka lahir dengan cara yang acak, sembarang, atau kebetulan, tapi ... kita menganggap, setidaknya dengan hati-hati, bahwa mereka adalah hasil dari sebuah hubungan sebab-akibat yang pasti. Dan bahkan, dengan mempertimbangkan pula ketidakteraturan, yang selalu hadir bersamaan dengan keteraturan itu, kita dibimbing, berdasarkan pengalaman ilmiah secara umum, untuk mengharapkan bahwa gejala-gejala yang bagi kita masih kelihatan sepenuhnya tidak teratur, dalam konteks tahapan perkembangan pemahaman tertentu yang kita miliki, akan di kemudian hari kelihatan mengandung bentuk-bentuk keteraturan yang lebih halus, yang pada gilirannya akan membuktikan adanya keteraturan di tingkat yang lebih dalam.”[15]

Hegel tentang Keniscayaan dan Kebetulan

Dalam menelaah sifat-sifat keberadaan dalam segala perwujudannya, Hegel menangani hubungan antara yang potensial dan yang aktual, dan juga antara keniscayaan dan kebetulan. Dalam hubungannya dengan masalah ini, penting untuk memperjelas kutipan Hegel yang paling terkenal: “Apa yang rasional adalah aktual, dan yang aktual adalah rasional.”[16] Sekilas, pernyataan ini nampak mistis, dan juga reaksioner, karena kelihatannya ia menegaskan bahwa segala hal yang ada adalah rasional, dan dengan demikian dibenarkan untuk terus ada. Walau demikian, hal ini sama sekali bukan apa yang dimaksudkannya, seperti yang dijelaskan oleh Engels:

“Menurut Hegel, realitas adalah sama sekali bukan sebuah atribut yang dapat dilekatkan pada tiap keadaan-peristiwa, sosial atau politik, dalam segala kondisi dan pada segala waktu. Sebaliknya, Republik Romawi adalah hal yang riil, namun demikian juga Kekaisaran Romawi, yang menggantikannya. Di tahun 1789 monarki Prancis telah menjadi demikian artifisial, demikian terlucuti dari segala keharusan, demikian irasional, sehingga ia harus dihancurkan oleh Revolusi Besar itu, yang selalu Hegel bicarakan dengan antusiasme yang berkobar-kobar. Dalam hal ini, dengan demikian, monarki tidaklah riil dan revolusilah yang riil. Dan demikianlah, dalam perjalanan perkembangannya, semua yang tadinya riil menjadi tidak riil, kehilangan keharusannya, haknya untuk mengada, rasionalitasnya. Menggantikan realitas yang sudah usang itu muncullah satu realitas yang baru dan hidup – dengan damai jika realitas yang lama memiliki cukup otak untuk pergi ke peraduan terakhirnya tanpa perlawanan, dengan kekerasan jika realitas lama itu melawan keniscayaan ini. Dengan demikian, proposisi Hegelian berbalik menjadi lawannya melalui dialektika Hegelian itu sendiri: Segala yang riil dalam lingkup sejarah manusia menjadi irasional dalam proses waktu, menjadi irasional justru karena tujuannya itu sendiri, tercemari terlebih dahulu dengan irasionalitas; dan segala hal yang rasional dalam benak manusia ditakdirkan menjadi riil, bagaimanapun kontradiktifnya itu dengan realitas yang masih nampak hadir. Sejalan dengan segala aturan dari metode berpikir Hegelian, proposisi tentang rasionalitas dari segala yang riil meluruhkan dirinya menjadi proposisi lain: Segala yang ada ditakdirkan untuk musnah.”[17]

 Satu bentuk masyarakat tertentu adalah “rasional” sejauh ia mencapai tujuan-tujuannya, yaitu, bahwa ia mengembangkan kekuatan produktif, mengangkat tingkat budaya manusia, dan dengan demikian mendukung kemajuan umat manusia. Sekali ia gagal melalukan hal ini, ia menjadi tidak rasional dan tidak riil, dan tidak lagi memiliki hak untuk terus hidup. Dengan demikian, bahkan dalam pernyataannya yang nampaknya paling reaksioner, ada sebuah ide yang revolusioner yang tersembunyi.

Segala yang eksis hanya dapat eksis jika diharuskan hadir. Tapi tidak segala sesuatunya dapat eksis. Keberadaan yang potensial masihlah belum menjadi keberadaan yang aktual. Dalam The Science of Logic, Hegel dengan hati-hati menelusuri proses di mana sesuatu berjalan dari keadaan keberadaan yang hanya mungkin sampai titik di mana kemungkinan berubah menjadi probabilitas, dan di mana yang disebut terakhir itu berubah menjadi tak terelakkan (“keharusan”). Mengingat adanyakebingungan besar dalam sains modern seputar isu tentang “probabilitas”, satu telaah atas metode berpikir Hegel yang menyeluruh dan mendasar atas subjek ini adalah hal yang sangat dianjurkan.

Kemungkinan dan aktualitas menyatakan perkembangan dialektik dari dunia nyata dan berbagai tahapan dalam kemunculan dan perkembangan berbagai objek. Satu hal yang hadir secara potensial mengandung di dalam dirinya kecenderungan objektif untuk perkembangan, atau setidaknya ketiadaan kondisi yang akan memustahilkan dirinya benar-benar muncul ke permukaan. Walau demikian, terdapat satu perbedaan antara kemungkinan abstrak dan potensi riil, dan kedua hal itu sering dicampuradukkan satu sama lain. Kemungkinan abstrak atau formal hanya menyatakan ketiadaan kondisi yang akan memustahilkan satu gejala tertentu, tapi tidaklah lantas berarti adanya satu kondisi yang akan membuat kemunculannya menjadi suatu yang niscaya.

Ini menyebabkan kebingungan tanpa ujung, dan biasanya merupakan satu tipuan yang berguna untuk membenarkan segala macam ide yang absurd dan acak. Contohnya, telah dikemukakan bahwa jika seekor kera dibiarkan mengetuk-ngetuk tuts mesin tik cukup lama, akhirnya ia akan mampu menghasilkan salah satu soneta Shakespeare. Tujuan percobaan ini sangatlah bersahaja. Mengapa hanya satu soneta? Mengapa tidak sekalian seluruh kumpulan karya Shakespeare? Mengapa juga tidak sekalian seluruh literatur yang ada di dunia, dengan ditambah bonus teori relativitas dan simfoni-simfoni Beethoven? Penegasan serta-merta bahwa hal itu “secara statistik dimungkinkan” tidaklah membawa kita selangkahpun lebih maju. Proses alam, masyarakat dan pemikiran manusia yang kompleks itu tidaklah dapat dijelaskan begitu saja dengan statistik yang sederhana, bahkan juga karya-karya sastra yang besar tidak akan pernah muncul dari kebetulan belaka, betapapun lamanya kita menunggu kera kita menghasilkan hal itu.

Agar yang potensial dapat menjadi aktual, dibutuhkan rangkaian kondisi tertentu. Lebih jauh lagi, ini bukanlah satu proses yang sederhana atau linear, tapi dialektik, di mana akumulasi perubahan-perubahan kualitatif kecil akhirnya menghasilkan lompatan kualitatif. Kemungkinan riil, jika dibandingkan dengan yang abstrak, mengasumsikan adanya semua faktor wajib yang akan memungkinkan potensi itu meninggalkan keadaan menggantungnya, dan menjadi aktual. Dan, seperti yang diterangkan Hegel, ia akan tetap aktual hanya selama kondisi-kondisi ini hadir, tidak sedetikpun lebih lama. Hal ini dibenarkan ketika kita merujuk pada kehidupan satu individu, satu bentuk sosial-ekonomi tertentu, satu teori ilmiah, atau gejala-gejala alam lainnya. Titik di mana perubahan akan menjadi satu keniscayaan dapat ditentukan melalui metode yang diciptakan oleh Hegel, yang dikenal sebagai “garis pengukuran nodal”. Jika kita menganggap sebuah proses sebagai sebuah garis, akan nampak bahwa terdapat titik-titik tertentu (“titik nodal”) pada garis perkembangan, di mana proses tersebut mengalami percepatan mendadak, atau lompatan kualitatif.

Sangatlah mudah untuk mengenali sebab dan akibat dalam kasus yang terisolasi, seperti ketika kita memukul sebuah bola dengan tongkat. Tapi, dalam makna yang lebih luas, sebab-akibat menjadi jauh lebih rumit. Sebab dan akibat individual lenyap dalam lautan interaksi, di mana sebab diubah menjadi akibat dan sebaliknya. Cobalah menelusuri satu kejadian sederhana sampai ke “sebab paling utama”-nya dan Anda akan melihat bahwa keabadianpun tidak akan cukup panjang untuk memberi kita waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu. Akan selalu ada sebab yang baru, dan yang pada gilirannya harus pula dijelaskan, dan seterusnya ad infinitum, sampai tak berhingga. Paradoks ini telah masuk dalam kesadaran umum dalam ujar-ujar semacam ini:

Karena kurang sebatang paku, ladam pun lepas;

Karena ladam lepas, seekor kuda tidak dapat dikendalikan;

Karena seekor kuda tidak dapat dikendalikan, penunggangnya tewas;

Karena penunggangnya tewas, kita kalah dalam pertempuran;

Karena kita kalah dalam pertempuran, kerajaan kita direbut musuh;

... Semua gara-gara kurang sebatang paku.

Kemustahilan untuk menetapkan satu “sebab final” telah menyebabkan beberapa orang meninggalkan sama sekali ide tentang sebab-akibat. Segala hal dilihat sebagai acak dan kebetulan. Di abad ke-20 posisi ini telah diadopsi, setidaknya dalam teori, oleh sejumlah besar ilmuwan berdasarkan interpretasi yang tidak tepat atas hasil-hasil fisika kuantum, khususnya posisi filsafati Heisenberg. Hegel sebetulnya telah menjawab argumen-argumen ini, ketika ia menjelaskan hubungan dialektik antara keharusan dan kebetulan.

Hegel menjelaskan bahwa tidak ada yang namanya sebab-akibat dalam makna sebab-akibat yang terisolasi. Tiap akibat memiliki akibat-tandingan [counter-effect], dan tiap aksi memiliki aksi-tandingan. Ide tentang sebab-akibat yang terisolasi adalah satu abstraksi yang diambil dari fisika klasik Newton, yang sangat dikritik oleh Hegel, sekalipun waktu itu masih sangat diakui. Di sini pula, Hegel maju mendahului jamannya. Alih-alih aksi-reaksi yang mekanik, ia memajukan pandangan tentang ketimbalbalikan [Reciprocity], tentang interaksi universal. Segala hal mempengaruhi segala yang lain, dan pada gilirannya, dipengaruhi dan ditentukan oleh segala hal lain itu juga. Hegel, dengan demikian, mengajukan kembali konsep kebetulan yang telah dilarang dengan bersemangat dari ilmu pengetahuan oleh filsafat mekanik dari Newton dan Laplace.

Sepintas, kita kelihatannya tersesat dalam lautan kebetulan. Tapi kesesatan ini hanya penampakan belaka. Fenomena yang kebetulan, yang terus muncul dan lenyap, seperti gelombang di permukaan laut, menyatakan proses yang lebih dalam, yang bukannya kebetulan tapi keharusan. Pada satu titik yang menentukan, keharusan ini menyatakan dirinya melalui kebetulan. Ide tentang kesatuan dialektik antara keharusan dan kebetulan mungkin terasa aneh, tapi sungguh dibenarkan oleh serangkaian pengamatan dalam berbagai bidang yang luas dalam ilmu pengetahuan dan masyarakat. Mekanisme seleksi alam dalam teori evolusi adalah contoh yang paling terkenal. Tapi ada banyak lagi yang lain. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi banyak penemuan dalam bidang teori kompleksitas dan chaos yang persis merinci bagaimana “keteraturan lahir dari kekacauan”, persis seperti yang dikemukakan Hegel satu setengah abad yang lalu.

Kita harus ingat bahwa Hegel menulis pada awal abad ke-19, ketika ilmu pengetahuan masih didominasi oleh fisika mekanik klasik, dan setengah abad sebelum Darwin mengembangkan ide tentang seleksi alam melalui mutasi acak. Ia tidak memiliki bukti ilmiah untuk mendukung teorinya bahwa keharusan menyatakan dirinya melalui kebetulan. Tapi itulah ide sentral yang berada di balik pemikiran-pemikiran inovatif terbaru dalam sains

Hukum yang mendasar ini sama fundamentalnya bagi pemahaman terhadap sejarah. Seperti apa yang ditulis Marx pada Kugelmann di tahun 1871:

“Sejarah dunia akan benar-benar mudah dibuat jika perjuangan di dalamnya hanya dilakukan dalam kondisi-kondisi yang mengandung peluang-peluang yang pasti menguntungkan. Di pihak lain ia akan memiliki watak yang sangat mistis, jika 'kebetulan' tidak memainkan peran sama sekali. Kebetulan-kebetulan ini secara alamiah menjadi bagian dari arah umum perkembangan dan diimbangi oleh kebetulan-kebetulan lain. Tapi percepatan dan hambatan sangatlah tergantung pada 'kebetulan-kebetulan' semacam ini, termasuk'kebetulan' yang menyangkut watak dari orang-orang yang memimpin pergerakan tersebut.”[18]

Engels membuat pernyataan yang mirip beberapa tahun sesudah itu dalam hubungannya dengan “figur-figur besar” dalam sejarah:

“Manusia membuat sendiri sejarah mereka, tapi bukanlah dengan satu kehendak kolektif menurut satu rencana kolektif, atau bahkan dalam satu masyarakat yang memiliki batas-batas pasti. Aspirasi-aspirasi mereka saling berbenturan satu sama lain, dan justru karena alasan itu semua masyarakat tunduk pada keharusan, yang saling melengkapi dan mewujud dalam kebetulan-kebetulan. Keharusan, yang di sini menyatakan dirinya berlawanan dengan semua kebetulan, adalah lagi-lagi keharusan ekonomi. Di sinilah apa yang disebut figur-figur besar itu harus ditempatkan. Bahwa orang-orang seperti itu, dan persis orang itu, muncul pada satu waktu tertentu di satu negeri tertentu, adalah tentu saja hal yang murni kebetulan. Tapi, penggallah dia, dan akan muncul tuntutan untuk penggantinya, dan pengganti ini akan ditemukan, baik atau buruk, tapi dalam jangka panjang ia akan ditemukan.”[19]

Determinisme dan Chaos

Teori chaos menjelaskan proses-proses alam yang nampaknya kacau atau acak. Kamus mendefinisikan chaos sebagai ketidakberaturan, kekacauan, keacakan, atau kebetulan: gerakan acak tanpa tujuan, tanpa kegunaan atau tanpa prinsip tertentu. Tapi, campur tangan dari “kebetulan” murni dalam proses-proses material mengundang masuknya faktor-faktor yang non-fisik, yaitu, metafisik: kehendak, campur tangan ilahi. Karena ia berkaitan dengan kejadian-kejadian yang “kebetulan”, maka ilmu chaos yang baru lahir itu memiliki implikasi-implikasi filsafati yang mendasar.

Proses-proses alami yang pada awalnya dianggap sebagai acak dan kacau kini terbukti tunduk pada hukum-hukum ilmiah, yang menunjukkan satu basis kausal yang deterministik. Lebih jauh lagi, penemuan ini memiliki penerapan yang demikian luas, kalau tidak dapat disebut universal, sehingga ia telah mendorong satu cabang ilmu yang sama sekali baru – telaah tentang chaos. Ia telah menghasilkan satu cara pandang dan metodologi baru, beberapa orang akan menyebutnya satu revolusi, yang dapat diterapkan pada semua cabang ilmu yang ada sekarang. Ketika sekeping logam menjadi magnet, ia berubah ke dalam “keadaan teratur”, di mana semua partikelnya mengarah ke jurusan yang sama. Ia dapat diarahkan ke satu atau lain jurusan. Secara teoritik, ia “bebas” untuk mengatur dirinya ke jurusan apapun. Namun pada prakteknya tiap potongan kecil logam membuat “keputusan” yang serupa.

Seorang ilmuwan chaos telah menemukan aturan-aturanmatematika dasar yang menjelaskan“geometri fraktal” dari sehelai daun cemara spleenwort hitam. Ia memasukkan informasi itu ke dalam komputernya, yang juga memiliki program untuk menghasilkan bilangan-bilangan acak. Komputer itu diprogram untuk menghasilkan satu gambar dengan menggunakan titik-titik yang diletakkan secara acak di layar. Sejalan dengan semakin majunya percobaan itu, mustahillah untuk mengantisipasi di mana tiap titik akan muncul. Meskipun demikian, gambar helai daun cemara itu muncul. Kemiripan yang nampak di permukaan antara kedua percobaan ini sangatlah jelas. Tapi kemiripan itu menunjukkan satu kesejajaran yang lebih dalam. Seperti halnya komputer itu memilih titik-titik yang kelihatannya acak (dan bagi pengamat yang berada “di luar” komputer itu, pilihan itu benar-benar acak) berdasarkan aturan matematika yang jelas, demikian juga ia menunjukkan bahwa perilaku foton (dan juga semua kejadian di dunia kuantum) tunduk pada aturan matematika mendasar yangmasih berada di luar pemahaman manusia pada saat ini.

Pandangan Marxis beranggapan bahwa seluruh alam semesta didasarkan pada kekuatan-kekuatan dan proses-proses material. Kesadaran manusia, pada analisa terakhir, hanyalah satu cerminan dari dunia nyata yang hadir di luar tubuhnya, satu cerminan berdasarkan interaksi fisik antara tubuh manusia dengan dunia material. Di dunia material tidak ada keterputusan dalam kesalingterhubungan fisik antar berbagai kejadian dan proses. Tidak ada ruang, dengan kata lain, bagi campur tangan kekuatan-kekuatan metafisik atau spiritual. Dialektika material, seperti kata Engels, adalah “ilmu tentang kesalingterhubungan universal”. Lebih jauh lagi, kesalingterhubungan dunia fisik itu didasarkan pada prinsip sebab-akibat, dalam makna bahwa segala proses dan kejadian, ditentukan oleh kondisi-kondisi mereka dan ketaatan pada hukum dari kesalingterhubungan mereka:

“Hal pertama yang kita lihat dalam mempelajari pergerakan materi adalah kesalingterhubungan dari pergerakan-pergerakan individual dari benda-benda yang terpisah, bahwa mereka saling menentukan satu sama lain. Tapi bukan hanya kita temukan bahwa satu gerak tertentu akan diikuti oleh gerak yang lain, kita juga menemukan bahwa kita dapat meniru satu gerak tertentu dengan menciptakan kondisi-kondisi di mana gerak tersebut terjadi secara alami, bahwa kita bahkan dapat menciptakan gerak yang sama sekali tidak terjadi secara alami (dalam industri), setidaknya bukan dengan cara ini, dan bahwa kita dapat memberi pergerakan-pergerakan ini satu arah dan jangkauan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan cara ini, melalui aktivitas manusia, ide tentang sebab-akibat ditegakkan, ide bahwa satu gerak adalah sebab dari gerak lainnya.”[20]

Kompleksitas dunia dapat menyamarkan proses sebab-akibat dan membuat yang satu tidak dapat dibedakan dari yang lain, tapi hal itu tidaklah mengubah logika yang mendasarinya. Seperti yang dijelaskan Engels:

“Sebab dan akibat adalah konsepsi-konsepsi yang hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus individual; tapi segera setelah kita menempatkan kasus-kasus individual itu di dalam kesalingterhubungan umum mereka dengan alam semesta sebagai keseluruhan, mereka saling bertubrukan, dan mereka menjadi kacau ketika kita mempertimbangkan aksi-reaksi universal di mana sebab dan akibat terus saling bertukar tempat, sehingga apa yang di sini dan kini adalah akibat akan menjadi sebab di tempat lain pada saat mendatang, dan sebaliknya.'“[21]

Teori chaos tidak diragukan lagi merupakan satu kemajuan besar, tapi di sini juga ada beberapa perumusan yang dapat dipertanyakan. Efek kupu-kupu yang terkenal itu, yang menyatakan jika seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Tokyo dan menyebabkan badai bergolak seminggu kemudian di Chicago, memang satu contoh yang sangat sensasional, yang ditujukan untuk memicu satu kontroversi. Tapi, pernyataan ini tidak tepat dalam bentuknya. Perubahan kualitatif hanya dapat terjadi sebagai hasil dari sebuah akumulasi perubahan kuantitatif. Satu kejadian acak yang kebetulan (seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya) hanya dapat menghasilkan efek yang dramatis jika semua kondisi untuk timbulnya badai telah tersedia. Dalam kasus ini, keharusan dapat menyatakan dirinya melalui sebuah kebetulan. Tapi hanya dalam kasus ini.

Hubungan dialektik antara keharusan dan kebetulan dapat dilihat dalam proses seleksi alam. Jumlah mutasi acak di dalam satu organisme adalah besar tak berhingga. Akan tetapi, dalam lingkungan tertentu, salah satu mutasi ini ternyata bermanfaat bagi organisme tersebut dan dipertahankan, sementara mutasi yang lain lenyap. Keharusan sekali lagi mewujudkan dirinya melalui perantaraan kebetulan. Dalam makna tertentu, kemunculan hidup di bumi dapat pula dilihat sebagai sebuah “kebetulan”. Tidaklah ditakdirkan bahwa bumi harus berada pada jarak yang tepat dari matahari, dengan besar gravitasi dan jenis atmosfer yang tepat, bahwa semua ini harus terjadi. Tapi, karena serangkaian kondisi-kondisi ini, dari reaksi kimia yang jumlahnya tak berhingga, yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang, kehidupan niscaya akan muncul. Hal ini tidak hanya berlaku untuk planet kita saja, tapi juga pada sejumlah besar planet lain di mana kondisi yang sama juga ada, sekalipun tidak di dalam tata surya kita. Walau demikian, sekali kehidupan muncul, ia berhenti menjadi kebetulan, dan berkembang menurut hukum-hukum internalnya sendiri.

Kesadaran itu sendiri tidaklah muncul dari sebuah rencana ilahi, tapi, dalam makna tertentu, juga muncul dari sebuah “kebetulan”, yaitu dalam bentuk bipedalisme (posisi berjalan tegak), yang membebaskan tangan, dan dengan demikian memungkinkan makhluk-makhluk hominid awal untuk ber-evolusi sebagai hewan yang dapat membuat alat. Boleh jadi bahwa kecelakaan evolusioner ini adalah hasil dari perubahan iklim di Afrika Timur, yang menghancurkan sebagian hutan yang menjadi habitat kera-kera purba yang menjadi nenek moyang kita. Ini adalah satu kebetulan. Seperti yang dijelaskan Engels dalam The Part Played by Labour in the Transistion of Ape to Man, inilah basis bagi berkembangnya kesadaran manusia. Tapi, dalam makna yang lebih luas, kemunculan kesadaran – materi yang sadar akan dirinya sendiri – tidaklah dapat dianggap sebagai sebuah kecelakaan, tapi merupakan hasil yang niscaya dari evolusi materi, yang melaju dari bentuk-bentuk yang sederhana ke yang lebih rumit, dan yang, di mana kondisinya memungkinkan, niscaya akan melahirkan kehidupan yang memiliki intelektualitas, dan bentuk-bentuk kesadaran yang lebih tinggi, masyarakat yang kompleks, dan apa yang kita kenal sebagai peradaban.

Dalam bukunya Metaphysics, Aristoteles berbicara banyak tentang hakikat keharusan dan kebetulan. Ia memberi kita satu contoh, yakni kata-kata yang dengan tidak sengaja akan membawa kita pada pertengkaran. Dalam satu situasi yang tegang, contohnya ketika perkawinan sedang mengalami krisis, bahkan komentar yang sangat tidak bermaksud apa-apa dapat memicu pertengkaran yang panjang. Tapi jelas bahwa kata-kata yang diucapkan itu bukanlah penyebab pertengkaran itu sendiri. Pertengkaran itu adalah buah dari satu akumulasi stres dan ketegangan, yang cepat atau lambat akan mencapai titik ledaknya. Ketika titik ini tercapai, hal yang sekecil apapun akan dapat memprovokasi sebuah ledakan. Kita dapat melihat gejala yang serupa di pabrik-pabrik. Selama bertahun-tahun, kaum buruh yang nampaknya pasrah, yang takut akan pemecatan, siap menerima segala penindasan– pemotongan upah, pemecatan rekan kerja mereka, kondisi kerja yang semakin buruk, dsb. Di permukaan, tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Tapi, pada kenyataannya, ketidakpuasan mereka terus menumpuk, yang, pada titik tertentu, haruslah menemukan perwujudannya. Satu hari, para buruh memutuskan: “cukuplah sudah.” Persis pada titik ini, bahkan kejadian yang paling remeh-temeh sekalipun dapat memicu sebuah pemogokan. Seluruh situasi telah berubah menjadi kebalikannya.

Ada kesamaan yang luas antara perjuangan kelas dengan konflik antar bangsa. Di bulan Agustus 1914, Pangeran Mahkota Austro-Hungaria dibunuh di Sarajevo. Orang mengatakan bahwa inilah penyebab Perang Dunia I. Pada kenyataannya, kecelakaan sejarah ini boleh terjadi maupun tidak. Sebelum 1914, telah terjadi beberapa insiden lain (insiden Maroko[22], insiden Agadir[23]) yang juga dapat memicu perang. Sebab sebenarnya dari Perang Dunia I adalah akumulasi dari kontradiksi yang tak tertanggungkan antara kekuatan-kekuatan imperialis utama – Inggris, Prancis, Jerman, Austro-Hungaria dan Rusia. Hal ini mencapai tahapan yang kritis, di mana semua ramuan peledaknya dapat dipicu oleh percikan kecil yang terjadi di Balkan.

Akhirnya, kita melihat gejala yang sama di dunia ekonomi. Pada saat kami sedang menuliskan bab ini, Kota London sedang terguncang oleh bangkrutnya Barings Bank[24]. Kejadian ini segera dipersalahkan kepada penggelapan yang dilakukan oleh salah satu pegawainya di Singapura. Tapi bangkrutnya Barings hanyalah satu gejala dari krisis yang lebih dalam di sistem keuangan dunia. Tajuk utama koranThe Independentberjudul“satu kecelakaan pasti akan terjadi.” Pada skala dunia, kini ada USD 25 triliun yang ditanamkan dalam berbagai saham derivatif. Ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak lagi didasarkan pada produksi, tapi pada kegiatan-kegiatan spekulatif yang makin hari makin luas. Fakta bahwa Mr. Leeson kehilangan sejumlah besar uang di bursa saham Jepang boleh dikaitkan dengan kebetulan terjadinya gempa bumi di Kobe. Tapi para analis ekonomi yang serius akan paham bahwa ini hanyalah satu perwujudan dari ketidakstabilan dari sistem keuangan internasional. Dengan atau tanpa Mr. Leeson, keruntuhan adalah niscaya. Perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga keuangan besar internasional, semua yang terlibat dalam perjudian tanpa kenal hitungan ini, sedang bermain api. Keruntuhan finansial sangatlah implisit dalam situasi ini.

Boleh jadi ada banyak fenomena yang proses dan hubungan sebab-akibatnya tidak dipahami sepenuhnya sehingga mereka kelihatannya bersifat acak. Untuk keperluan praktis, fenomena-fenomena ini hanya dapat diperlakukan secara statistik, seperti roda rolet. Tapi, mendasari semua “kebetulan” ini masih ada kekuatan-kekuatan dan proses-proses yang menentukan hasil akhirnya. Kita hidup dalam sebuah alam semesta yang diatur oleh determinisme dialektik.

Marxisme dan Kebebasan

Persoalan hubungan antara “kebebasan dan keharusan” telah dikenal oleh Aristoteles dan didiskusikan tanpa henti oleh Orang-orang Terpelajar di abad pertengahan. Kant menggunakannya sebagai salah satu “antinomi”-nya yang terkenal, di mana hal itu disajikan sebagai satu kontradiksi yang tak terpecahkan. Di abad ke-17 dan ke-18 persoalan ini muncul dalam matematika sebagai teori peluang, yang berhubungan dengan perjudian.

Hubungan dialektik antara kebebasan dan keharusan telah muncul kembali dalam teori chaos. Doyne Farmer, seorang fisikawan Amerika yang menyelidiki dinamika-dinamika yang kompleks, berkomentar:

“Pada tingkat filsafati, terasa bagi saya sebagai satu cara yang operasional untuk mendefinisikan kehendak bebas, dengan cara yang mengizinkan Anda mendamaikan kehendak bebas dengan determinisme. Sistemnya adalah deterministik, tapi Anda tidak dapat mengatakan apa yang akan terjadi kemudian. Pada saat yang sama, saya selalu merasa bahwa persoalan-persoalan yang penting di seluruh dunia selalu berhubungan dengan penciptaan organisasi, baik dalam kehidupan maupun dalam intelektualitas. Tapi bagaimana Anda dapat mempelajari hal itu? Apa yang sedang dilakukan para ahli biologi saat ini kelihatannya sangat bersifat terapan dan spesifik; apa yang dilakukan para ahli kimia tidak bersifat demikian; yang dilakukan para ahli matematika sama sekali tidak demikian, dan para fisikawan sama sekali tidak melakukannya. Saya selalu merasa bahwa kemunculan spontan pengorganisiran-diri harus menjadi bagian dari fisika. Di sini kita menemui satu keping mata uang dengan dua sisi. Di sini ada keteraturan, dengan keacakan yang muncul di mana-mana, dan selangkah berikutnya justru keacakan itulah yang mendasari segala keteraturan.”[25]

Determinisme dialektik sama sekali tidak ada kesamaan dengan pendekatan deterministik yang mekanistik, apalagi dengan fatalisme. Seperti adanya hukum-hukum yang mengatur materi organik dan anorganik, demikian pula ada hukum yang mengatur evolusi masyarakat manusia. Pola yang dapat diamati di dalam sejarah sama sekali bukanlah satu kebetulan. Marx dan Engels menjelaskan bahwa peralihan dari satu sistem sosial ke sistem yang lain ditentukan oleh perkembangan dari kekuatan produktif, pada analisa terakhir. Ketika sistem sosial-ekonomi tertentu tidak lagi sanggup mengembangkan kekuatan produktif, ia akan masuk ke dalam krisis, menyiapkan lahan bagi sebuah penumbangan revolusioner.

Kita sama sekali tidak menyangkal peran individu dalam sejarah. Seperti yang telah kita jelaskan, manusia menulis sendiri sejarahnya. Walau demikian, sangatlah dungu jika kita membayangkan bahwa umat manusia adalah “agen-agen bebas” yang dapat menentukan masa depannya murni berdasarkan kehendak mereka sendiri. Manusia harus mendasarkan diri pada kondisi-kondisi yang telah diciptakan secara independen dari kehendak mereka – ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya. Dalam makna ini, ide tentang kehendak bebas adalah tidak masuk nalar. Sikap sejati Marx dan Engels terhadap peran individu dalam sejarah ditunjukkan oleh kutipan berikut dari Keluarga Suci:

“Sejarah tidak melakukan apa-apa, ia 'tidak memiliki kekayaan yang berlimpah', 'ia tidak melancarkan pertempuran apapun'. Manusia-lah, manusia yang hidup, yang nyata, yang melakukan semua itu, yang memiliki dan yang bertempur; 'sejarah' bukanlah sesuatu yang berdiri terpisah, yang menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri; sejarah tidak lain adalah aktivitas manusia dalam mencapai tujuan manusia itu sendiri.”[26]

Bohong besar jika dikatakan bahwa manusia hanyalah sekedar boneka-boneka mati di panggung nasib, yang tidak berdaya mengubah takdirnya sendiri. Walau demikian, manusia nyata ini hidup dalam dunia nyata, yang seperti ditulis oleh Marx dan Engels, tidak dapat dan tidak akan berdiri di luar masyarakat di mana mereka hidup. Hegel pernah menulis bahwa “kepentingan menggerakkan kehidupan manusia”. Secara sadar atau tidak, para aktor individual dalam panggung sejarah pada akhirnya akan mencerminkan kepentingan, pendapat, prasangka, moralitas dan aspirasi dari kelas atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Ini sungguh jelas terpampang dari pembacaan sejarah yang paling remeh-temeh sekalipun.

Walau demikian, khayalan tentang “kehendak bebas”bertahan terus. Filsuf Jerman, Leibniz, menyatakan bahwa sebuah jarum magnetik, jika ia dapat berpikir, tentu akan berpendapat bahwa ia menunjuk arah utara karena ia berkehendak demikian. Di abad ke-20, Sigmund Freud menghancurkan sama sekali prasangka bahwa manusia memegang kendali sepenuhnya atas pikiran mereka sendiri. Fenomenasalah-bicara Freudian (Freudian slip atau parapraxis) adalah satu contoh yang baik akan hubungan dialektik antara keharusan dan kebetulan. Freud memberi berbagai contoh tentang kesalahan dalam berbicara, “kelupaan”, dan “kecelakaan-kecelakaan” lain, yang dalam banyak kasus mencerminkan satu proses psikologis yang lebih dalam. Mengutip Freud:

“Sejumlah kekurangan tertentu dalam kapasitas kejiwaan kita ... dan sejumlah kinerja tertentu yang tidak disengaja terbukti memiliki motivasi yang kuat ketika dihadapkan pada penyelidikan psiko-analisa, dan ditentukan melalui kesadaran akan motif-motif yang tidak diketahui.”[27]

Prinsip sentral dalam pendekatan Freud adalah bahwa tidak satu pun perilaku manusia yang kebetulan. Kesalahan-kesalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari, mimpi, dan gejala yang tampaknya tak terjelaskan dari orang-orang yang sakit mental bukanlah sesuatu yang “kebetulan”. Secara definisi, pikiran manusia tidaklah menyadari proses-proses yang terjadi di bawah sadarnya. Semakin dalam motivasi bawah sadar itu, dari sudut pandang psiko-analisis, semakin jelas bahwa seseorang tidak akan menyadari motivasi itu. Sejak awal Freud telah menyadari prinsip-prinsip umum bahwa proses-proses bawah sadar ini menyatakan diri mereka (dan dengan demikian dapat dipelajari) melalui fragmen-fragmen perilaku yang oleh pemikiran sadar dianggap sebagai kesalahan atau kecelakaan.

Mungkinkah kita dapat mencapai kebebasan? Jika yang dimaksudkan dengan tindakan “bebas” adalah tindakan yang tidak ada sebabnya, atau tidak ada yang menentukannya, kita harus dengan terus terang menyatakan bahwa tindakan semacam itu tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada. “Kebebasan” khayal semacam itu adalah bagian dari filsafat metafisik. Hegel menjelaskan bahwa kebebasan sejati adalah pengakuan terhadap apa yang merupakan keharusan. Sampai tingkat di mana manusia memahami hukum-hukum yang mengatur alam dan masyarakat, mereka akan berada dalam posisi menguasai hukum-hukum ini dan dapat menggunakannya untuk keuntungan mereka sendiri. Basis material sejati di mana umat manusia dapat menjadi bebas telah ditegakkan oleh perkembangan industri, sains dan teknik. Dalam sistem masyarakat yang rasional – sistem di mana alat-alat produksi direncanakan secara harmonis dan dikendalikan dengan sadar – kita akan benar-benar dapat berbicara tentang perkembangan umat manusia yang bebas. Mengutip Engels, inilah “lompatan umat manusia dari dunia keharusan menuju dunia kebebasan.”

________________

Catatan Kaki 

[1] I. Asimov, New Guide to Science, hal. 375.

[2] D. Bohm, Causality dan Chance in Modern Physics, hal. 86 dan 87.

[3] T. Ferris, The World Treasury of Physics, Astronomy, dan Mathematics, hal. 103 dan106.

[4] E. J. Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 362-3.

[5] LCW, Vol. 14, hal. 55.

[6] T. Ferris, The World Treasury of Physics, Astronomy, dan Mathematics, hal. 95-6.

[7] Spinoza, Ethics, hal. 8.

[8] Quoted in I. Stewart, Does God Play Dice? hal. 10.

[9] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 289-90.

[10] D. Bohm, Causality dan Chance in Modern Physics, hal. 20.

[11] J. Gleick, Chaos, Making a New Science, hal. 124.

[12] D. Bohm, Causality dan Chance in Modern Physics, hal. x dan xi.

[13] D. Bohm, Causality dan Chance in Modern Physics, hal. 50-1

[14] B. Hoffmann, The Strange Story of the Quantum, hal. 152.

[15] D. Bohm, Causality dan Chance in Modern Physics, hal. 25 dan 4.

[16] Hegel, Philosophy of Right, hal. 10.

[17] MESW, Vol. 3, hal. 338-9.

[18] MESC, Marx to Kigelmann, 17 April 1871, hal. 264.

[19] MESC, Engels to Borgius, 25 Januari 1894, hal. 467.

[20] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 17 dan 304.

[21] Engels, Anti-Dühring, hal. 32.

[22] Krisis Maroko Pertama adalah krisis internasional (Maret 1905 – Mei 1906) mengenai status Maroko. Jerman ingin meluaskan dominasi komersialnya ke Maroko, yang saat itu adalah koloni Prancis. Pada 5 Maret 1905, Kaiser Wilhem II Jerman tiba di kota Tangier, Maroko, dan melakukan diplomasi dengan perwakilan Sultan Abdelaziz dari Maroko, dan menyatakan bahwa dia mendukung kedaulatan Sultan. Ini adalah tantangan provokatif terhadap kekuasaan Prancis atas Maroko. Kedua negeri ini, Prancis dan Maroko, lalu saling mengancam meluncurkan peperangan.

[23] Krisis Agadir adalah ketegangan internasional yang dipicu oleh pengerahan pasukan Prancis ke Maroko pada April 1911. Dengan demikian Prancis melanggar Act of Algeciras dan Kesepakatan Franco-German 1909. Jerman bereaksi dengan mengirim kapal perang Panther ke pelabuhan Agadir pada 1 Juli 1911.

[24] Barings Bank mengalami kebangkrutan pada 1995. Barings Bank adalah bank investasi tertua di Inggris yang didirikan pada 1762, yang salah satu kliennya adalah Ratu Inggris sendiri. Kebangkrutan Barings Bank ini disalahkan pada salah satu karyawannya, Nick Leeson yang saat itu berumur 28 tahun, yang dituduh melakukan spekulasi liar dalam bursa saham dan akhirnya menyebabkan kerugian besar yang mencapai US$ 1,4 miliar. Pada kenyataannya, kebijakan Barings Bank dan institusi-institusi finansial lainnya adalah membuat profit lewat spekulasi bursa saham, yang niscaya akan berakhir ke kebangkrutan. Leeson hanyalah kebetulan yang mengekspresikan keniscayaan.

[25] Dikutip di Gleick, Chaos, Making a New Science, hal. 251-2.

[26] Marx dan Engels, Collected Works (MECW), Vol. 4, hal. 93,

[27] Freud, The Psychopathology of Everyday Life, hal. 193.