facebooklogocolour

Bab 12. Kelahiran Manusia

Epos Dinosaurus - Jaman Mesozoic (850-65 juta tahun lalu)

Massa benua Pangaea, yang tercipta melalui tumbukan benua-benua di jaman Palaeozoic, bertahan utuh selama sekitar 100 juta tahun. Ini melahirkan satu himpunan kondisi tektonik, iklim dan biologis yang baru. Lalu, pada jaman Mesozoic proses ini berbalik. Benua-super ini mulai terpecah. Gletser-gletser besar menutupi bagian selatan dari Afrika-Amerika-Australia dan Antartika. Selama jaman Triassic (250-205 juta tahun lalu) dinosaurus berevolusi di daratan dan pleisiosaurus dan ichthyosaurus di lautan, sementara reptil bersayap pterosaurus merajai angkasa. Mamalia berevolusi dari reptil-reptil yang berkaki cepat, tapi perkembangan mereka sangat lambat. Ledakan pertumbuhan yang besar dari dinosaurus, yang mendominasi bentuk-bentuk kehidupan vertebrata di darat, tidak memungkinkan perkembangan yang pesat bagi mamalia. Mereka tetap dalam ukuran dan jumlah yang kecil selama jutaan tahun, di bawah bayang-bayang rekan-rekan mereka yang berukuran raksasa, hanya berani keluar mencari makan di waktu malam.

Jaman Jurassic (205-145 juta tahun lalu) menyaksikan sebuah perubahan iklim yang besar, yang ditandai oleh mundurnya atau melelehnya gletser, yang menyebabkan peningkatan suhu global sampai akhir jaman itu. Tingkat permukaan laut naik setidaknya 270 meter selama jaman Mesozoic, hampir dua kali lipat dari tingkat pemukaan laut sekarang.

Perlu waktu yang sangat lama untuk memecah sebuah benua-super. Pecahnya Pangaea merupakan awal jaman Jurassic (180 juta tahun lalu), dan benua terakhir baru terpisah pada jaman Cenozoic (40 juta tahun lalu). Pemisahan pertama terjadi pada sumbu timur-barat, di mana terciptanya Samudera Thetys memecah Pangaea menjadi Laurasia di utara dan Gondwanaland di selatan. Pada gilirannya Gondwanaland pecah menjadi tiga bagian di timur – India, Australia dan Antartika. Pada akhir jaman Mesozoic terjadilah pembelahan dari utara ke selatan, yang menghasilkan Samudera Atlantik yang memisahkan Amerika Utara dari Laurasia dan Amerika Selatan dari Afrika. India bergerak ke utara dan bertumbukan dengan Asia, sementara Afrika juga bergerak ke utara dan bertumbukan dengan sebagian Eropa setelah kehancuran Samudera Tethys. Dari samudra yang perkasa ini, hanya sebagian kecil saja yang tinggal, yang kita kenal sekarang sebagai Laut Tengah. Di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia, masa-masa perluasan permukaan dasar laut yang berlangsung cepat membantu pergerakan pecahan-pecahan benua itu.

Selama Mesozoic, dinosaurus adalah kelompok vertebrata yang dominan. Sekalipun benua terpecah-pecah, mereka telah mengukuhkan posisi mereka di seluruh dunia. Tapi, pada akhir masa ini – 65 juta tahun lalu –terjadi sebuah periode kepunahan massal yang baru, di mana dinosaurus lenyap dari muka bumi. Kebanyakan reptil darat, air dan terbang (dinosaurus, ichthyosaurus dan pterosaurus) disapu bersih. Dari seluruh reptil, hanya buaya, ular, kura-kura dan kadal yang selamat. Penyapuan spesies yang spektakuler ini tidak hanya terjadi pada dinosaurus. Kenyataannya, sepertiga dari semua spesies yang hidup masa itu punah, termasuk ammonite, bellemnite, beberapa tumbuhan, bryozoa, moluska berkatup ganda, echinoida dan lain-lain.

Kesuksesan yang luar biasa dari dinosaurus adalah hasil dari adaptasi sempurna mereka terhadap kondisi yang ada. Populasi totalnya diperkirakan tidak kurang dari populasi mamalia saat ini. Pada saat ini, di manapun di dunia, ada mamalia, kecil atau besar, yang menempati tiap ruang ekologis. Kita boleh yakin bahwa 70 juta tahun lalu, ruang itu ditempati oleh beragam jenis dinosaurus. Berlawanan dengan kesan umum tentang dinosaurus yang dibayangkan sebagai makhluk-makhluk raksasa yang lamban, sebetulnya mereka hadir dalam berbagai ukuran. Kebanyakan berukuran kecil saja, banyak yang berjalan tegak dengan kaki belakangnya, dan dapat berlari sangat cepat. Banyak ilmuwan sekarang percaya bahwa setidaknya beberapa dinosaurus hidup dalam kelompok-kelompok, merawat anak-anaknya bahkan, mungkin juga, berburu secara berkelompok. Batasan Mesozoic-Cenozoic (65 juta tahun lalu) merupakan satu lagi titik balik dalam evolusi kehidupan. Sebuah periode kepunahan massal menyiapkan jalan bagi lompatan evolusioner besar, membuka jalan bagi bangkitnya mamalia. Tapi, sebelum kita membahas proses ini, sangat berguna jika kita membahas terlebih dahulu mengapa dinosaurus punah.

Mengapa Dinosaurus Punah?

Pertanyaan ini telah diperdebatkan dengan hangat di tahun-tahun belakangan ini, dan, sekalipun terdapat klaim-klaim yang meyakinkan, khususnya dari teori bencana-meteorit, persoalan ini masih belum tuntas sepenuhnya. Sesungguhnya terdapat banyak teori yang telah mencoba menjelaskan sebuah fenomena yang, baik karena tampilannya yang spektakuler maupun karena implikasinya terhadap kemunculan spesies kita sendiri, telah menarik perhatian umum dengan cara yang unik. Walau demikian, kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa ini bukanlah sebuah peristiwa yang unik dalam rantai evolusi. Ia bukanlah satu-satunya kepunahan massal, juga bukan yang terbesar, atau yang memiliki konsekuensi-konsekuensi evolusioner yang paling luas.

Teori yang kini mendapat dukungan paling luas dan yang pastinya telah mendapat publisitas yang paling sensasional adalah teori bencana-meteorit, yang menyatakan bahwa dampak dari meteorit raksasa yang jatuh di satu tempat di permukaan bumi telah mengakibatkan sebuah efek yang mirip dengan “musim dingin nuklir” yang akan menyusul perang nuklir. Jika benturan itu terjadi cukup besar, ia akan melemparkan sejumlah besar debu dan pecahan batuan ke atmosfer. Awan padat yang kemudian terbentuk akan menghalangi sinar matahari sehingga tidak dapat mencapai permukaan bumi, yang mengakibatkan masa kegelapan dan dingin yang berkepanjangan.

Ada bukti-bukti empirik yang menunjukkan bahwa sejenis ledakan telah terjadi, yang mungkin saja disebabkan oleh sebuah meteorit. Teori ini telah mengukuhkan diri belakangan ini dengan penemuan sebuah lapisan tipis tanah liat di antara fosil, yang konsisten dengan efek debu yang dihasilkan oleh benturan yang demikian besar. Ide itu, misalnya, telah pula diterima oleh Stephen J. Gould. Namun, ada beberapa pertanyaan yang masih harus tetap dijawab. Yang pertama, dinosaurus tidaklah menghilang begitu saja dalam semalam, atau bahkan dalam beberapa tahun. Kenyataannya, kepunahan itu berlangsung dalam tempo beberapa juta tahun –waktu yang sangat singkat bila dilihat dari skala geologis, tapi cukup lama untuk membuat kita bertanya-tanya dan meragukan ide tentang bencana meteorit.

Walaupun kita tidak dapat menyangkal begitu saja hipotesis meteorit, ia memiliki satu kelemahan utama. Seperti yang telah kami tunjukkan, terdapat banyak kepunahan massa lain sepanjang jalan evolusi. Bagaimana menjelaskan ini? Apakah kita benar-benar harus menyandarkan diri pada gejala-gejala eksternal seperti jatuhnya meteor? Atau apakah kebangkitan dan kejatuhan spesies berhubungan dengan kecenderungan yang inheren dalam proses evolusi itu sendiri? Bahkan hari ini kita dapat mengamati fenomena naik-turunnya populasi hewan. Hanya baru-baru ini saja kita mulai mendekati pemahaman akan hukum-hukum yang mengatur proses yang kompleks ini. Kalau kita mencari penjelasan dari luar fenomena itu sendiri, ada risiko kalau kita justru akan semakin jauh dari pemahaman yang sebenarnya. Lebih jauh lagi, solusi yang tampaknya menarik karena ia membuang segala kesulitan dengan sekali libat, dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih besar daripada kesulitan yang dia klaim akan selesaikan.

Beberapa usulan lain telah diajukan pula. Periode kepunahan massa ini dicirikan oleh aktivitas vulkanik yang luas. Ini, dan bukan benturan meteorit, yang dapat menyebabkan perubahan iklim yang tidak dapat diatasi oleh dinosaurus. Telah juga diajukan bahwa menghilangnya dinosaurus dapat dihubungkan dengan kompetisi yang terjadi antara mereka dengan mamalia. Ada paralel di sini dengan menghilangnya kebanyakan populasi marsupial yang tadinya menghuni Amerika Selatan karena tekanan dari mamalia yang datang dari utara. Sungguh, sangat mungkin bahwa kepunahan makhluk-makhluk raksasa ini sebenarnya merupakan hasil dari kombinasidari situasi-situasi di atas – aktivitas vulkanik, penghancuran lingkungan yang ada waktu itu, spesialisasi yang berlebihan, dan kompetisi untuk memperebutkan sumber makanan yang makin berkurang dengan spesies lain yang lebih teradaptasi untuk menangani lingkungan yang berubah. Kelihatannya mustahil kontroversi ini akan terpecahkan dalam waktu dekat. Apa yang tidak dapat diperdebatkan sebenarnya adalah bahwa, pada akhir jaman Mesozoic beberapa perubahan fundamental telah mengakhiri dominasi dinosaurus. Kita tidak perlu mencari faktor-faktor eksternal untuk menjelaskan fenomena ini:

“'Anda tidak perlu mencari bintik-matahari, gejolak iklim atau penjelasan-penjelasan aneh lainnya untuk menjelaskan lenyapnya dinosaurus,” ujar Lovejoy. “Mereka baik-baik saja selama mereka masih menguasai dunia ini, selama tidak ada strategi reproduktif yang lebih baik di sekitar mereka. Mereka telah bertahan selama lebih dari seratus juta tahun; begitu juga seharusnya umat manusia. Tapi sekali satu terobosan dalam strategi adaptasi diciptakan, sekali dinosaurus ditantang oleh hewan yang dapat bereproduksi tiga atau empat kali lebih cepat daripada yang dapat mereka lakukan, nasib mereka telah berakhir.'“[1]

Teroris Kosmik

Masalahnya menjadi jelas ketika kita mengajukan pertanyaan dengan cara ini: baik, mari kita terima bahwa kepunahan dinosaurus disebabkan oleh sebuah kecelakaan dalam bentuk benturan meteorit yang mendadak. Bagaimana kita menjelaskan kepunahan-kepunahan massal yang lain? Apakah semua disebabkan oleh meteorit? Pertanyaan ini tidaklah sembarangan seperti kelihatannya. Telah dilakukan upaya-upaya untuk menunjukkan bahwa semua kepunahan skala besar adalah hasil dari badai meteorit periodik dari sabuk asteroid. Inilah inti dari apa yang disebut “teori Nemesis” yang diajukan oleh Richard Muller dari University of California.

Beberapa paleontologis tertentu (Raup dan Sepkoski) telah mengklaim bahwa kepunahan massal terjadi pada jarak waktu yang teratur, sekitar kira-kira 26 juta tahun. Namun, orang-orang lain yang mendasarkan dirinya pada bukti-bukti yang sama tidaklah menemukan keteraturan semacam itu. Ada ketidaksepakatan yang sama di kalangan para ahli geologi, beberapa di antara mereka mengklaim adanya satu jarak waktu yang teratur dalam pembentukan kawah-kawah besar, sementara yang lainnya tidak setuju. Pendeknya, tidak ada bukti yang meyakinkan baik untuk keteraturan jarak waktu antar kepunahan massal, maupun jatuhnya komet atau meteorit yang teratur ke bumi.

Bidang-bidang semacam itu mudah sekali menjebak orang ke dalam spekulasi yang ngawur dan tidak masuk nalar. Terlebih lagi, “teori-teori” sensasional macam itulah yang cenderung mendapatkan publisitas terbesar, tidak peduli kesahihannya secara ilmiah. Teori “Nemesis” adalah kasus semacam itu. Jika kita menerima, seperti yang dilakukan Muller, bahwa kepunahan massal terjadi secara teratur tiap 26 juta tahun, dan jika kita lebih jauh lagi menerima, seperti yang diterimanya, bahwa kepunahan massal disebabkan oleh badai meteorit, maka bumi seharusnya dikunjungi secara teratur oleh para meteorit setiap 26 juta tahun, teratur seperti jadwal jam.

Kesulitan dalam pandangan ini sangat jelas – bahkan bagi Muller, yang menulis:

“Sangat luar biasa bahwa sebuah asteroid dapat menubruk bumi persis tiap 26 juta tahun sekali. Di dalam keluasan angkasa, bahkan bumi adalah satu target yang sangat kecil. Satu asteroid yang lewat dekat dengan matahari memiliki peluang yang sedikit lebih baik dari satu per semiliar untuk menghantam planet kita. Benturan yang benar terjadi seharusnya memiliki jarak waktu yang acak, bukan teratur rapi. Apa yang dapat membuat mereka menubruk bumi dengan jadwal yang demikian teratur? Mungkin sejenis teroris kosmik dengan sengaja telah mengarahkan mereka dengan semacam meriam asteroid. Hasil yang menggelikan membutuhkan teori yang menggelikan.”

Dan Muller melanjutkan dengan membuat teori yang menggelikan itu, untuk membenarkan gagasan apriori semua kepunahan massal sesungguhnya disebabkan oleh benturan meteorit, dan bahwa ini terjadi secara teratur setiap 26 juta tahun. Ia menceritakan sebuah argumen panas dengan Luis Alvarez, pencipta pertama teori bencana-meteorit, yang skeptis terhadap ide-ide Muller. Kutipan berikut dari dialog ini memberikan pada kita satu gambaran yang menarik tentang metodologi yang dipakai untuk melahirkan hipotesis itu:

“'Bayangkan satu hari kita menemukan cara untuk membuat sebuah asteroid menghantam bumi tiap 26 juta tahun sekali. Maka bukankah Anda harus mengakui bahwa Anda keliru dan bahwa semua data seharusnya digunakan?'

“'Apa model yang Anda gunakan?' tuntutnya [Alvarez]. Saya pikir ia sedang menghindari pertanyaan saya.

“'Itu tidak penting! Kemungkinan dari model seperti itulah yang membuat logika Anda keliru, bukan keberadaan dari model tertentu.'

“Ada sedikit getaran dalam suara Alvarez. Ia juga kelihatannya sudah mulai marah. 'Lihat, Rich,' desisnya, 'saya juga telah lama berada dalam bisnis pengolahan data ini dan kebanyakan orang menganggap saya seorang ahli. Anda tidak bisa begitu saja mengambil pendekatan tanpa berpikir semacam ini dan mengabaikan apa yang Anda ketahui.'

“Ia menganggap dirinya ahli! Para ilmuwan tidak boleh menganggap dirinya demikian. Jaga emosimu, Rich, kata saya pada diri sendiri. Jangan perlihatkan padanya bahwa kamu juga sudah mulai terganggu.

“'Beban pembuktian itu ada pada Anda,' lanjut saya dengan suara yang ditenang-tenangkan. 'Saya tidak harus mengajukan satu model. Kecuali kalau Anda dapat menunjukkan bahwa tidak ada model semacam itu yang mungkin, maka logika Andalah yang keliru.'

“'Bagaimana mungkin asteroid menghantam bumi secara periodik? Apa model yang Anda gunakan?' ia menuntut lagi. Frustrasi saya hampir sampai pada titik puncaknya. Bagaimana mungkin Alvarez gagal memahami apa yang saya katakan? Ia adalah pahlawan saya. Bagaimana mungkin dia begitu bodoh?

“Persetan! Saya pikir. Jika saya harus, saya akan memenangkan argumen ini memakai caranya. Saya akan menciptakan satu model. Saat itu adrenalin saya mengalir deras. Setelah berpikir sesaat, saya mengatakan: 'Andaikan ada satu bintang kembaran matahari yang mengorbit kepadanya. Setiap 26 juta tahun ia mengorbit dekat ke bumi dan melakukan sesuatu. Saya tidak yakin apa, tapi hal itu membuat asteroid menghantam bumi. Mungkin ia membawa asteroid bersamanya.'“

Jelas sekali metode yang digunakannya untuk mencapai sebuah hipotesa, yang sepenuhnya sembarangan tanpa basis fakta secuilpun. Dengan pendekatan semacam itu, kita benar-benar telah meninggalkan dunia ilmiah dan masuk ke dalam dunia fiksi ilmiah, di mana “apapun bolehlah.” Sesungguhnya, Muller sendiri cukup jujur untuk mengakui bahwa “Saya tidak bermaksud untuk membuat model saya dianggap serius, sekalipun saya pikir bahwa argumen saya akan sudah cukup kuat jika model itu dapat bertahan dari serangan selama lebih dari beberapa menit.”[2] Tapi kini kita hidup di jaman penuh keluguan. Teori “Nemesis”, yang jelas-jelas bukan sebuah model ilmiah, melainkan sebuah terkaan yang dibuat sembarangan, kini telah dianggap serius oleh banyak astronom yang menyapu angkasa, sibuk mencari tanda-tanda adanya “bintang-maut” yang tak kasat mata ini, teroris kosmik ini, yang setelah menyapu bersih dinosaurus, satu hari akan kembali lagi ke tempat kejadian perkara untuk menghabisi kita semua.

Masalahnya di sini adalah masalah metode. Ketika Napoleon bertanya pada Laplace di mana tempat Tuhan dalam skema alam semesta mekanik Newton, ia memberi jawaban yang terkenal ini: “Sire je n'ai pas besoin de cette hypothèse.” (“Tuan, saya tidak memerlukan hipotesis semacam itu.”) Materialisme dialektik berangkat untuk menemukan hukum-hukum inheren dari pergerakan alam. Walaupun kecelakaan/kebetulan memainkan peran dalam semua proses alam, dan secara prinsip tidaklah dapat diabaikan kalau, contohnya, kepunahan dinosaurus salah satunya disebabkan oleh sebuah asteroid yang menyasar, merupakan satu hal yang sangat menyesatkan dan kontraproduktif kalau kita mencoba mencari penyebab kepunahan massal secara umum dari gejala-gejala eksternal, yang sama sekali tidak berhubungan dengan proses yang sedang kita teliti. Hukum-hukum yang mengatur evolusi spesies haruslah dicari dan ditemukan dalam proses evolusi itu sendiri, yang mencakup baik masa-masa perubahan gradual yang panjang dan lambat, maupun masa-masa lainnya di mana perubahan dipercepat dengan luar biasa, yang melahirkan baik kepunahan massal dari beberapa spesies maupun kemunculan dan penguatan dari spesies-spesies baru.

Kekurangmampuan untuk menangkap proses evolusi secara keseluruhan, untuk memahami karakter-karakternya yang kontradiktif, kompleks, dan non-linear – yaitu, kekurangmampuan untuk melakukan pendekatan dialektik – inilah yang membuat orang mengadakan upaya-upaya sembarangan untuk memecahkan persoalan, dengan bersandarkan pada faktor-faktor eksternal, seperti deus ex machina[3], atau kelinci yang ditarik dari topi tukang sulap. Sepanjang jalan ini hanya terdapat jalan buntu yang paling buntu. Lebih jauh lagi, kecenderungan yang teramat menakjubkan untuk menerima skenario yang paling liar – hampir semuanya melibatkan kemungkinan datangnya bencana dari langit, yang menandakan, setidaknya, akhir jaman – adalah suatu hal yang mengungkapkan kepada kita kondisi psikologis umum dari masyarakat di dasawarsa terakhir abad ke-20 ini.

Kelahiran Manusia yang Revolusioner

Jaman yang dikenal sebagai Cenozoic ini dimulai dengan kepunahan massal 65 juta tahun lalu dan telah berlangsung terus sampai sekarang. Selama jaman ini, benua-benua terus bergeser, berpisah dan bertumbukan. Ini menciptakan kondisi-kondisi lingkungan yang baru. Dalam 20 juta tahun pertama suhu naik terus, dan sebuah zona tropispun muncul, di mana kondisi-kondisi di Inggris, misalnya, menyerupai kondisi hutan di Malaya. Perkembangan yang paling penting dalam evolusi dalam jaman ini adalah kebangkitan yang luar biasa cepat dari mamalia, yang mengambil alih lingkungan yang ditinggalkan oleh para reptil. 40 juta tahun lalu, primata, gajah, babi, hewan pengerat, kuda, duyung, penyu, ikan paus dan kelelawar, beserta kebanyakan ordo burung modern dan berbagai familia tumbuhan, telah muncul.

Kebangkitan mamalia dapat dilihat seperti arak-arakan kemenangan, di mana evolusi berjalan semakin jauh ke atas, dalam garis yang tak terputus, yang berpuncak pada kelahiran umat manusia, yakni mahkota evolusi. Tapi sebenarnya bukan seperti ini. Evolusi tidak pernah berjalan dalam garis yang lurus, seperti yang telah kita lihat. Masa-masa pertumbuhan yang intensif, juga dalam masa ini, diikuti oleh pembalikan yang dramatik, kematian dan kepunahan. Ada dua periode kepunahan akibat perubahan lingkungan yang tajam. Sampai 40-30 juta tahun lalu, dimulai proses pendinginan. Suhu terus jatuh sampai 25 juta tahun berikutnya, baru stabil pada tingkatannya yang sekarang sekitar 5 juta tahun lalu. Periode ini menyaksikan periode kepunahan terkini yang melanda mamalia.

Primata, nenek moyang kera dan manusia, tersebar di seluruh dunia. Masa-masa kepunahan dinosaurus memiliki dampak pada banyak familia dari jenis ini. Kondisi lingkungan menyebabkan perkembangan spesies baru yang lebih baik tingkat adaptasinya terhadap kondisi yang telah berubah. Kondisi lingkungan yang baru itu terutama mempengaruhi Afrika dan Eurasia, bukan Amerika. Pada waktu ini, Antartika mencapai Kutub Selatan dan mulai ditutupi dengan es. Selama 10-20 juta tahun berikutnya, terjadi lagi periode pertumbuhan mamalia yang eksplosif –yang terbesar yang pernah ada– di mana banyak spesies kera mulai bermunculan. Namun, desain dasar kera tidak berubah selama masa ini, sampai satu pergeseran iklim baru yang tajam membawa transformasi yang tajam pula. Ada ketidaksepakatan yang cukup tajam antar para paleontologis tentang masalah kapan dan bagaimana hominid berpisah dari kera. Ada indikasi-indikasi dari tulang-tulang bahwa sejak 14 juta tahun lalu telah terdapat sebuah spesies yang menyerupai kera modern. Para ilmuwan percaya bahwa tulang-tulang ini berasal dari sebuah spesies yang hidup di Afrika dan Eurasia sejak 14 sampai 7 juta tahun lalu. Kelihatannya ia adalah sebuah spesies yang sangat sukses dalam evolusinya, dan merupakan nenek moyang bersama dari manusia, kera dan gorila. Lalu, 10-7 juta tahun lalu, terjadi lagi sebuah perubahan lingkungan yang dramatik.

Antartika telah tertutupi oleh gletser. Lalu lapisan es itu menyebar, bukan hanya ke selatan, tapi juga ke utara, sampai ia menutupi Alaska, Amerika Utara, dan Eropa Utara. Karena semakin banyak air yang terjebak ke dalam es, tingkat permukaan air laut semakin turun. Telah diperkirakan bahwa kejatuhan tingkat permukaan air laut lebih dari 150 meter pada saat itu. Sebagai hasilnya, muncul banyak massa-daratan yang baru; jembatan darat terbentuk antara Eropa dan Afrika, Asia dan Amerika, Inggris dan Eropa daratan, yang memungkinkan migrasi lebih jauh dari berbagai spesies. Laut Tengah menguap sepenuhnya. Iklim di sekitar katulistiwa menjadi amat kering, menghasilkan padang pasir yang amat luas, beriringan dengan semakin mengecilnya hutan-hutan, dan kemunculan padang-padang rumput yang maha luas. Pada waktu ini, Asia dipisahkan dari Afrika oleh gurun-gurun, mengisolasi kera-kera Afrika dari kerabat mereka di Asia. Tidak terhindarkan lagi, ini adalah periode kepunahan massal yang baru. Tapi ia juga merupakan masa kelahiran bagi spesies-spesies baru. Pada titik tertentu, mungkin 7 juta tahun lalu, perkembangan mamalia menghasilkan spesies hominid (primata yang mirip manusia) yang pertama.

Kini telah diterima luas bahwa umat manusia datang dari Afrika. Pada 5,3 juta tahun lalu, Laut Tengah mendapatkan kembali bentuknya, dan sebuah spesies kera baru berkembang di Afrika, yang, dalam masa sejuta tahun berkembang ke tiga jurusan berbeda, yang akhirnya melahirkan simpanse, hominid dan gorila. Pemisahan tiga cabang ini terjadi kira-kira 4-5 juta tahun yang lalu akibat tekanan lingkungan di Afrika Timur. Penyebaran gletser di Afrika Selatan menghasilkan perubahan dramatik di Afrika Timur – penggundulan hutan yang dahsyat, karena curah hujan yang menipis dan iklim yang secara umum menjadi semakin kering. Ini mungkin adalah tenaga penggerak yang membawa pada pemisahan ketiga spesies proto-kera itu. Sampai saat itu, mereka masih tinggal di atas pepohonan. Kini mereka memiliki tiga pilihan:

1) Sebagian dari mereka tetap tinggal di hutan. Mereka ini pastilah yang paling bertalenta, paling kuat, dan paling berhasil dalam mengumpulkan makanan dari sumber-sumber yang sangat terbatas. Namun, menyempitnya luas habitat mereka pastilah telah membuat jumlah mereka menurun dengan cepat.

2) Kelompok lain, yang terpaksa pindah ke pinggiran hutan, dengan pepohonan yang lebih jarang dan sumber makanan yang lebih sedikit, akhirnya terpaksa meningkatkan cakupan pengumpulan makanan mereka dengan bergerak di atas tanah, sambil tetap tinggal di dekat pepohonan untuk mendapatkan perlindungan. Kelompok ini diwakili oleh simpanse modern.

3) Kelompok ketiga, yang mungkin terdiri dari kelompok spesies yang paling lemah dan kurang terampil, karena kompetisi intens untuk makanan yang langka dipaksa pindah keluar sepenuhnya dari hutan. Mereka kemudian dipaksa tidak hanya untuk pindah bergerak di atas tanah tapi juga untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk mendapatkan makanan yang mereka perlukan untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka terpaksa mengembangkan cara hidup yang sama sekali baru, yang berbeda secara radikal dari primata-primata lainnya.

Tekanan-tekanan lingkungan di Asia yang disebabkan oleh perubahan iklim ini juga mendorong beberapa kelompok kera untuk berpindah ke pinggir hutan. Merekakemudian berkembang menjadi babon modern, yang bergerak di tanah untuk mencari makanan, tapi kembali ke pohon untuk mendapatkan perlindungan. Primata menunjukkan berbagai jenis cara bergerak. Kera tarsier (atau kera hantu) melompat dan memeluk pepohonan; kera gibon berayun dari dahan ke dahan; orangutan bergerak dengan “keempat tangannya”; gorila berjalan dengan bantuan tangannya; monyet adalah quadruped sejati [bergerak dengan empat kaki]; hanya hominid yang menjadi bipedal murni [bergerak dengan dua kaki].

“Spesialisasi-spesialisasiyang lain juga muncul bersamaan dengan penggunaan tangan. Jika kita ingin melompat dan meraih sesuatu, kita harus memiliki kemampuan untuk menaksir jarak secara akurat. Jika tidak kita bisa-bisa tidak mendapatkan apa-apa; atau malah gagal meraih dahan pohon sama sekali dan jatuh. Cara untuk menaksir jarak secara akurat adalah melalui penglihatan binokular; memfokuskan kedua mata pada satu objek untuk menghasilkan persepsi kedalaman. Ini menuntut agar kedua mata terletak di bagian depan tengkorak dan menghadap ke depan, bukan di sisi kepala, seperti mata seekor tupai. Nenek moyang primata mengembangkan daya penglihatan semacam itu. Tengkorak mereka menjadi bundar untuk mengakomodasi posisi mata yang baru, dan bersamaan dengan perubahan bentuk itu datanglah pembesaran dalam kapasitas tengkorak dan kemungkinan untuk mengembangkan otak yang lebih besar. Pada saat yang sama, rahang mengecil. Dengan tangan, seekor hewan tidak perlu melakukan seluruh pengumpulan makanan dan perburuannya dengan giginya. Ia boleh punya rahang yang lebih kecil dan jumlah gigi yang lebih sedikit. Kera dan monyet modern – dan juga manusia – memiliki enam belas gigi pada tiap rahang. Nenek moyang mereka memiliki sebanyak dua puluh dua pada masing-masing rahang.”[4]

Psikolog Jerome Bruner dalam tulisan-tulisannya mengenai perkembangan mental anak-anak, telah menekankan bahwa keterampilan memiliki banyak persamaan dengan penciptaan bahasa di satu pihak dan kemampuan memecahkan masalah di pihak lain. Keterampilan yang paling sederhana melibatkan penggunaan satu atau kedua tangan dan panduan visual. Tentang perkembangan tangan manusia, Bruner menulis demikian:

“Tangan manusia adalah sebuah sistem yang tumbuh dengan lambat, dan butuh bertahun-tahun sebelum manusia dapat menunjukkan kecerdasan manual yang telah membedakan spesies kita dari yang lain – penggunaan dan penciptaan perkakas. Sesungguhnya, secara historis, tangan dianggap bahkan oleh mereka yang mempelajari evolusi primata sebagai hal yang tidak terlalu menarik perhatian. Wood Jones ingin agar kita percaya bahwa hanya ada perbedaan morfologi yang kecil saja antara tangan monyet dan tangan manusia, tapi perbedaan itu adalah pada fungsinya, yang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat. Namun, seperti yang telah ditunjukkan oleh Clark dan Napier, arah evolusioner dari perubahan morfologis pada tangan, dari spesies treeshrew (sejenis tupai)[5]ke kera Dunia Baru ke kera Dunia Lama ke Manusia, inilah yang seharusnya mengungkapkan bagaimana fungsi tangan berubah dan, bersamanya, berubah pula sifat implementasi dari kecerdasan manusia.

“Perubahan itu telah berlangsung dengan stabil ke arah de-spesialisasi yang bentuknya sangat khusus. Tangan dibebaskan dari fungsinya sebagai alat pergerakan, dari fungsi pengayun, dan dari berbagai fungsi-fungsi spesial semacam yang membutuhkan cakar dan berbagai bentuk buku jari yang eksotik. Dengan menjadi lebih terdespesialisasi dalam fungsi, tangan menjadi memiliki lebih banyak variasi fungsi. Tanpa kehilangan kapasitasnya sebagai penyeimbang berat tubuh, sebagai konvergensi dalam mengambil makanan, sebagai alat memegang dan memanjat, atau ibu jari yang berlawanan posisinya dengan jari-jari lainnya (opposable thumb) –yang semuanya adalah warisan nenek moyang keranya – tangan dalam evolusi primata yang selanjutnya mencapai beberapa kemampuan fungsional baru sambil mengalami beberapa perubahan morfologi yang diperlukan. Kapasitas gabungan dari kekuatan dan kemampuan menggenggam secara presisi ditambahkan kepadanya.

“Fleksibilitas dari telapak dan ibu jari meningkat melalui perubahan tulang-tulang hamate dan trapezium dalam artikulasinya. Ibu jari memanjang dan sudut diamnya terhadap tangan meningkat. Buku-buku terminal melebar dan menguat, terutama ibu jari. Napier mungkin melebih-lebihkan ketika ia mengatakan, 'Bukti-bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa kualitas (baik atau buruk) perkakas batu dari manusia-manusia purba sebanding dengan tangan yang membuat perkakas tersebut.' Pastinya, tangan yang tadinya dungu itu menjadi semakin pandai ketika dipekerjakan dalam program-program cerdas yang disusun oleh kebudayaan kita.”[6]

Fosil-fosil hominid pertama ditemukan di Afrika Timur, dan termasuk dalam spesies yang dikenal sebagai Australopithecus Afarensis, yang hidup sekitar 3,5-3,3 juta tahun lalu. Makhluk-makhluk mirip kera ini mampu berjalan tegak, memiliki tangan dengan ibu jari yang berlawanan posisinya dengan jari-jari lainnya, dan dengan demikian mampu memanipulasi perkakas-perkakas. Kapasitas rongga otaknya lebih besar dari kera lainnya (450 cc). Namun, belum ditemukan perkakas-perkakas yang dapat dihubungkan dengan hominid-hominid awal ini.Tapi perkakas-perkakas itu terbukti ada ketika kita menjumpai spesies pertamayang serupa manusia, yang diberi nama dengan tepat sekali sebagai Homo habilis (“manusia pembuat perkakas”), yang berjalan tegak, memiliki tinggi 1,20 meter dan memiliki kapasitas otak sebesar 800 cc.

Pada titik mana terjadi perpecahan sejati antara manusia dan kera hominid? Paleontologis telah berdebat lama tentang hal ini. Jawaban ini telah dikemukakan oleh Engels dalam esai adikaryanya The Part Played by Labour in the Transition of Ape to Man. Tapi sesungguhnya hal ini telah diantisipasi oleh Marx dan Engels jauh sebelumnya dalam karya perdana mereka, The German Ideology, yang ditulis di tahun 1845:

“Manusia dapat dibedakan dari hewan melalui kesadarannya, melalui agama atau apapun yang Anda sukai. Mereka sendiri mulai membedakan diri mereka dari hewan segera setelah mereka mulai menghasilkan perkakas-perkakas pemenuhan kebutuhan hidup mereka, satu langkah yang dikondisikan oleh organisasi fisik mereka. Dengan menghasilkan perkakas-perkakas pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia secara tidak langsung menghasilkan kehidupan material mereka.”[7]

Peran dari Pembuatan Perkakas

Dalam sebuah upaya yang sangatlah dangkal untuk membantah pandangan materialis tentang asal-usul spesies manusia, sering kali dikemukakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya hewan yang dapat “menggunakan perkakas”. Argumen ini sepenuhnya kosong. Walaupun banyak hewan (bukan hanya monyet dan simpanse, tapi juga beberapa jenis burung dan serangga) dapat disebut menggunakan “perkakas” untuk beberapa aktivitas tertentu, semua ini terbatas pada material-material alam yang dapat mereka temukan – tongkat, batu, dsb. Lebih jauh lagi, penggunaan semacam itu hanya merupakan aktivitas yang kebetulan saja, seperti ketika seekor monyet melemparkan sebatang tongkat untuk merontokkan buah dari tangkainya, atau tindakan-tindakan terbatas yang sekalipun boleh jadi kompleks tapi sepenuhnya merupakan hasil dari naluri dan pengkondisian genetik. Tindakan-tindakannya selalu sama. Sama sekali tidak terdapat perencanaan yang cerdas, pemahaman akan apa yang akan terjadi atau kreativitas, kecuali pada tingkatan yang sangat terbatas pada beberapa spesies mamalia yang paling maju, tapi bahkan kera-kera yang paling maju sama sekali tidak memiliki aktivitas yang mirip dengan aktivitas produktif dari manusia yang paling primitif sekalipun.

Poin terutama di sini bukanlah bahwa manusia “menggunakan perkakas”. Yang terutama adalah bahwa manusia adalah satu-satunya hewan yang membuat perkakas, dan bukan sebagai aktivitas yang terisolasi atau kebetulan, melainkan sebagai kondisi esensial bagi keberadaan mereka, yang merupakan dasar bagi segala sesuatu yang lainnya. Maka, sekalipun secara genetik manusia dan simpanse hampir-hampir identik, dan perilaku dari hewan-hewan ini dalam beberapa hal mirip sekali dengan manusia, simpanse yang paling cerdaspun tidak sanggup membuat perkakas batu yang paling kasar seperti yang dihasilkan oleh Homo erectus[8],satu makhluk yang berada di ambang evolusioner menuju umat manusia.

Dalam bukunya yang paling mutakhir, The Origin of Humankind, Richard Leakey menyatakan hal ini:

“Simpanse adalah makhluk yang terampil dalam menggunakan perkakas, dan menggunakan tongkat untuk memanen rayap, dedaunan sebagai sepon, dan batu untuk memecahkan biji-bijian. Tapi – sejauh ini, setidaknya – tidak ada simpanse di alam liar yang terlihat memproduksi perkakas-perkakas batu. Manusia mulai memproduksi perkakas-perkakas tajam 2,5 juta tahun lalu dengan mengadu dua buah batu, dan dengan demikian memulai serangkaian aktivitas teknologis yang telah mewarnai prasejarah manusia.”[9]

Bandingkan itu dengan apa yang ditulis Engels di tahun 1876:

“Banyak monyet menggunakan tangan mereka untuk membangun sarang mereka di pepohonan atau bahkan, seperti simpanse, untuk membangun atap di antara cabang-cabang pohon untuk perlindungan terhadap cuaca. Dengan tangan mereka dapat menggenggam tongkat pemukul untuk mempertahankan diri dari musuh, atau membombardir lawannya dengan buah atau batu-batuan. Di dalam penangkaran, mereka mengerjakan dengan tangan mereka sejumlah pekerjaan sederhana yang ditiru dari manusia. Tapi justru di sinilah kita melihat betapa besarnya jurang antara tangan yang belum berkembang dari kera yang paling maju sekalipun, dan tangan manusia yang telah disempurnakan oleh kerja selama ratusan ribu tahun. Jumlah dan pengaturan umum dari tulang-tulang dan otot-otot di antara keduanya sama; tapi tangan dari orang yang paling barbar sekalipun dapat melakukan ratusan pekerjaan yang tidak akan pernah dapat ditiru oleh tangan monyet. Tidak ada tangan makhluk kera yang pernah membuat pisau batu yang paling kasar sekalipun.”[10]

Nicholas Toth telah menghabiskan banyak tahun dalam usahanya untuk merekonstruksi metode-metode yang digunakan oleh manusia-manusia purba untuk menghasilkan perkakas, dan telah sampai pada kesimpulan bahwa proses pembuatan perkakas batu yang paling dasar pun membutuhkan bukan saja ketelitian dan keterampilan tangan, tapi juga kemampuan merencanakan dan melihat apa yang akan terjadi ke depan.

“Untuk dapat bekerja secara efisien, para pembuat perkakas batu harus memilih batu dengan bentuk yang sesuai, menentukan sudut yang tepat untuk menghantam; dan gerakan menghantam itu sendiri membutuhkan latihan yang banyak untuk dapat menyalurkan jumlah tenaga yang tepat di tempat yang tepat. 'Kelihatannya jelas bahwa proto-manusia pembuat-perkakas awal memiliki naluri yang baik akan dasar-dasar pengerjaan batu,' Toth menulis dalam sebuah artikel di tahun 1985. 'Tidak ada keraguan bahwa para pembuat perkakas yang pertama memiliki kapasitas mental jauh di atas kera-kera,' ia memberi tahu saya baru-baru ini. 'Pembuatan perkakas membutuhkan sebuah koordinasi kemampuan motorik dan kognitif yang cukup tinggi.'“[11]

Ada sebuah korelasi yang erat antara tangan, otak, dan organ-organ tubuh lainnya. Bagian dari otak yang berhubungan dengan tangan jauh lebih besar dari yang berhubungan dengan bagian tubuh lainnya. Darwin telah memahami fakta bahwa perkembangan berbagai bagian dari organisme terhubung dengan perkembangan dari bagian lain yang kelihatannya tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Ia menyebut fenomena ini hukum korelasi pertumbuhan. Perkembangan keterampilan menggunakan tangan melalui kerja menyediakan rangsangan untuk perkembangan otak yang cepat.

Perkembangan umat manusia bukanlah sebuah kebetulan, tapi merupakan hasil dari keniscayaan. Posisi berdiri tegak dari hominid-hominid pertama diperlukan untuk memungkinkan mereka bergerak bebas di padang rumput dalam rangka mencari makanan. Kepala harus didudukkan di puncak tubuh untuk dapat mendeteksi keberadaan hewan pemangsa, seperti yang kita lihat pada satwa penghuni padang rumput lainnya, seperti binatang meerkat. Sumber makanan yang terbatas menghasilkan satu keharusan untuk mengumpulkan dan memindahkannya, dan ini mendorong perkembangan tangan.

Kera tidaklah memiliki tubuh yang sesuai untuk berjalan dengan dua kaki dan hanya dapat melakukan hal itu dengan kikuk. Anatomi dari hominid awal menunjukkan struktur tulang yang jelas teradaptasi untuk berjalan tegak. Postur tegak ini memiliki kelemahan-kelemahan yang besar. Mustahil bagi makhluk bipedal untuk dapat berlari secepat mereka yang berjalan dengan empat kaki. Bipedalisme adalah satu postur yang tidak alamiah, yang menjelaskan keberadaan penyakit punggung yang telah menghantui manusia sejak masih tinggal di gua-gua sampai sekarang. Keuntungan besar dari bipedalisme adalah bahwa posisi itu membebaskan tangan untuk dapat bekerja. Inilah lompatan besar umat manusia. Kerja, bersama dengan alam, adalah sumber segala kekayaan. Tapi, seperti yang ditunjukkan oleh Engels, tentu tidaklah terbatas pada ini saja:

“Kerja adalah kondisi dasar bagi seluruh keberadaan manusia, dan cakupannya adalah sedemikian rupa sehingga, dalam makna tertentu, kita harus mengatakan: kerja menciptakan manusia itu sendiri.”

Perkembangan tangan melalui kerja terkait erat dengan perkembangan tubuh secara keseluruhan.

“Maka tangan bukan saja organ untuk bekerja, ia juga merupakan hasil dari kerja itu sendiri. Hanya melalui kerja, melalui adaptasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang semakin baru, melalui pewarisan perkembangan otot, ligamen dan, selama rentang waktu yang panjang, juga tulang, dan melalui penggunaan perkembangan-perkembangan baru ini untuk melakukan kerja-kerja baru yang semakin rumit, hanya melalui semua inilah tangan manusia mencapai tingkat kesempurnaan yang tinggi, yang telah memungkinkannya menghasilkan lukisan-lukisan seperti karya Raphael, patung-patung seperti karya Thorwaldsen, dan musik seperti karya Paganini.

“Tapi tangan tidaklah hadir sendirian. Ia hanyalah salah satu anggota dari keseluruhan organisme yang kompleks itu. Dan apa yang menguntungkan bagi tangan, menguntungkan pula bagi seluruh tubuh yang ia layani.”[12]

Hal yang sama berlaku pula untuk bahasa. Sekalipun kera sanggup menghasilkan serangkaian bunyi-bunyian dan gerak tubuh yang boleh dilihat sebagai sejenis “bahasa” embrionik, segala upaya yang pernah dicoba untuk mengajari mereka berbicara telah menemui kegagalan. Bahasa, seperti dijelaskan Engels, adalah hasil dari proses produksi kolektif, dan hanya dapat lahir dalam sebuah spesies yang aktivitas hidupnya bergantung secara eksklusif pada kerja sama dalam rangka membuat perkakas, satu proses yang kompleks yang harus dipelajari secara sadar dan diteruskan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Tentang hal ini, Noam Chomsky menulis:

“Setiap orang yang ingin mempelajari sifat manusia dan kapasitasnya haruslah dengan satu atau lain cara memahami fakta bahwa semua manusia normal mendapatkan kemampuan berbahasa, sementara kemampuan untuk memahami dasar-dasar bahasa yang paling kasarpun berada jauh di luar kemampuan dari kera yang paling cerdas sekalipun.”

Belakangan ini, telah menjadi jamak untuk mencoba menunjukkan bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang khas manusia. Walaupun tidak ada keraguan sedikit pun bahwa sistem komunikasi juga ada di antara hewan-hewan, sangatlah tidak tepat jika kita menggambarkan hal itu sebagai bahasa. Bahasa manusia muncul dari masyarakat manusia dan aktivitas produksi manusia yang kooperatif, dan berbeda secara kualitatif dengan sistem-sistem komunikasi lain di kalangan hewan, bahkan sistem yang paling kompleks sekalipun.

“Bahasa manusia kelihatannya adalah suatu fenomena yang unik, tanpa analogi yang signifikan dalam dunia hewan. Jika benar demikian, merupakan hal yang tidak masuk nalar untuk mengangkat persoalan bagaimana menjelaskan evolusi bahasa manusia dari sistem-sistem yang lebih primitif yang muncul di antara spesies-spesised dengan kapasitas kecerdasan yang lebih rendah tingkatannya.”

Dan lagi:

“Sejauh kami ketahui, kemampuan bahasa manusia berhubungan dengan sejenis organisasi mental yang spesifik, bukan sekedar tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Kelihatannya tidak ada alasan sama sekali untuk memandang bahasa manusia sebagai sekedar satu peristiwa yang lebih kompleks di dunia hewan. Hal ini merupakan sebuah masalah bagi para ahli biologi, karena, jika hal ini benar, ini adalah satu contoh dari 'kemunculan' (emergence) sejati – munculnya satu fenomena yang berbeda secara kualitatif pada tahap tertentu dari kompleksitas organisasi.”[13]

Perkembangan ukuran otak yang cepat merupakan satu masalah tambahan, khususnya dalam hubungannya dengan proses melahirkan bayi. Sementara seekor bayi kera memiliki ukuran otak sebesar 200 cc – sekitar setengah dari ukuran otak dewasanya – bayi manusia (385 cc) hanya memiliki seperempat dari ukuran otak manusia dewasa (sekitar 1350 cc). Bentuk tulang pinggul manusia, yang teradaptasi untuk berjalan tegak membatasi ukuran bukaan pinggul. Maka, semua bayi manusia dilahirkan “secara prematur”, karena otak manusia yang berukuran besar dan restriksi darianatomi bipedalisme.

Ketidakberdayaan seorang bayi manusia nampak jelas jika dibandingkan dengan spesies mamalia yang lain. Telah diajukan oleh Barry Bogin, seorang ahli biologi di University of Michigan, bahwa tingkat pertumbuhan tubuh bayi manusia yang lambat, jika dibandingkan dengan kera, berhubungan dengan waktu panjang yang dibutuhkan untuk menyerap aturan-aturan dan teknik-teknik yang kompleks dari masyarakat manusia. Bahkan perbedaan antara ukuran tubuh anak dan dewasa membantu menegakkan satu hubungan guru-murid, di mana yang muda belajar dari yang tua, sementara di kalangan kera pertumbuhan yang cepat segera menumbuhkan rivalitas fisik. Ketika proses pembelajaran yang panjang ini selesai, tubuh sang anak dengan cepat mengejar dengan satu lompatan mendadak dalam pertumbuhannya ketika masa remaja.

“Manusia menjadi manusia melalui pembelajaran yang intensif, bukan hanya pembelajaran kemampuan bertahan hidup tapi juga adat dan moral sosial, kekerabatan dan hukum-hukum sosial – yakni, kebudayaan. Lingkungan sosial di mana bayi yang tak berdaya dipelihara dan anak-anak yang lebih tua diberi pendidikan adalah sebuah ciri yang lebih menjadi milik manusia ketimbang kera.”[14]

Organisasi Sosial

Kehidupan di padang rumput terbuka dengan berbagai jenis hewan pemangsa adalah kehidupan yang berbahaya. Manusia bukanlah hewan yang perkasa; dan hominid-hominid awal jauh lebih kecil daripada manusia modern. Mereka tidak memiliki cakar yang kuat atau gigi yang tajam, mereka juga tidak dapat berlari lebih cepat dari singa maupun pemangsa berkaki empat lainnya. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan mengembangkan sebuah komunitas yang sangat terorganisir dan kooperatif, yang dapat memproduksi secara kolektif sumber makanan yang langka itu. Tapi langkah yang menentukan tidak diragukan lagi adalah pembuatan perkakas, dimulai dengan kapak-kapak batu, yang digunakan untuk berbagai macam keperluan. Sekalipun penampilan mereka amat sederhana, perkakas-perkakas ini sebetulnya sudah mencapai tingkat yang sangat canggih dan serba-guna, yang pembuatannya menunjukkan tingginya tingkatan organisasi, perencanaan, dan setidaknya elemen-elemen pembagian kerja. Di sinilah kita mendapati permulaan sejati dari masyarakat manusia. Mengutip Engels:

“Seperti yang telah dikatakan, nenek moyang kera kita adalah makhluk sosial; tentunya mustahil mencari garis keturunan manusia, hewan yang paling bersifat sosial, dari nenek moyang yang tidak sosial. Penguasaan atas alam, yang dimulai dengan perkembangan tangan, melalui kerja, meluaskan cakrawala manusia pada tiap langkah maju yang diambilnya. Ia terus-menerus menemukan sifat-sifat baru dari benda-benda alam, yang tadinya tidak dipahaminya. Di pihak lain, perkembangan kerja pastilah membantu membawa anggota-anggota masyarakat semakin dekat satu sama lain melalui semakin banyaknya kasus yang membutuhkan dukungan bersama, aktivitas gabungan, dan keuntungan aktivitas gabungan ini bagi tiap individu. Pendeknya, makhluk-makhluk yang sedang bergerak untuk menjadi manusia ini sampai pada titik di mana mereka perlu saling bercakap-cakap. Kebutuhan ini membawa pada penciptaan organ untuk bercakap-cakap; melalui modulasi, kerongkongan kera yang agak terbelakang itu berubah perlahan-lahan untuk dapat membuat modulasi yang semakin hari semakin maju, dan organ-organ mulut secara perlahan belajar untuk mengucapkan huruf-huruf satu demi satu.”[15]

Pembuatan perkakas, yang merupakan awal pembagian kerja, yang awalnya dibagi antara laki-laki dan perempuan, perkembangan bahasa, dan sebuah masyarakat yang berdasarkan kerja sama – inilah elemen-elemen yang menandai kemunculan umat manusia. Ini bukanlah proses yang lambat dan gradual, melainkan lompatan yangrevolusioner, salah satu titik balik yang paling menentukan dalam evolusi. Mengutip kata-kata paleontologis Lewin Binford, “Spesies kita telah tiba– bukan sebagai hasil dari proses progresif yang bertahap tapi secara eksplosif dalam jangka waktu yang relatif singkat.”[16]

Hubungan antara kerja dan faktor-faktor lain dijelaskan oleh Engels:

“Yang pertama adalah kerja, lalu setelah itu, dan kemudian dengannya,kemampuan berbicara yang fasih – inilah dua dorongan yang paling hakiki yang mempengaruhi otak kera untuk perlahan-lahan berubah menjadi otak manusia. Sekalipun keduanya banyak persamaan tetap saja otak manusia lebih besar dan lebih sempurna. Bersamaan dengan perkembangan otak berjalan juga perkembangan dari instrumen-instrumennya yang paling langsung –yakni organ-organ pengindera. Seperti halnya perkembangan kemampuan berbicara pasti disertai dengan perkembangan organ-organ pendengaran, demikian juga perkembangan otak secara keseluruhan disertai pula dengan pengasahan semua indera. Seekor elang dapat melihat dalam jarak yang lebih jauh daripada manusia, tapi mata manusia melihat lebih banyak benda daripada mata elang. Anjing memiliki penciuman yang lebih tajam daripada manusia, tapi ia tidak dapat membedakan seperseratus bagian dari satu bau tertentu yang dapat dibedakan oleh manusia. Dan indera perasa, yang dimiliki oleh kera hanya dalam bentuk awalnya yang paling kasar, telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan tangan manusia itu sendiri, melalui kerja.”

Hominid-hominid awal memiliki diet yang dominan vegetarian, sekalipun penggunaan perkakas yang paling primitif seperti tongkat penggali memberi mereka akses ke sumber makanan yang tidak tersedia untuk kera-kera lain. Diet ini disuplemen oleh sejumlah kecil daging, yang didapat terutama dari memungut bangkai. Terobosan sesungguhnya datang ketika pembuatan perkakas dan senjata memungkinkan manusia untuk beralih ke perburuan sebagai sumber makanan utama. Konsumsi daging tak diragukan lagi membawa manusia pada perkembangan otak yang semakin cepat. Engels menulis:

“Diet daging mengandung zat-zat utama – dalam bentuk yang hampir jadi – yang dibutuhkan organisme untuk metabolismenya. Ini memperpendek waktu yang dibutuhkan, bukan hanya untuk pencernaan, tapi juga untuk proses-proses tubuh vegetatif yang serupa dengan tumbuhan.Dengan demikian ini memberi waktu, material, dan keinginan yang lebih besaruntuk manifestasi aktif kehidupan hewani dalam makna yang setepat-tepatnya. Dan semakin jauh makhlukitu terpisah dari dunia tumbuhan, semakin tinggi pula ia bangkit melebihi hewan-hewan. Seperti halnya menjadi terbiasa dengan diet tumbuhan yang disertai daging mengubah kucing dan anjing liar menjadi pembantu manusia, begitu juga adaptasi pada diet daging yang disertaidiet tumbuhan memberikan kekuatan tubuh dan kemandirian kepada makhluk yang kelak menjadi manusia itu. Namun, efek yang paling esensial dari diet daging adalah pada otak, yang kini menerima pasokan material yang jauh lebih kaya yang diperlukan untuk pasokan gizi dan perkembangannya, sehingga ia dapat berkembang lebih cepat dan sempurna dari generasi ke generasi.”[17]

Poin yang persis sama diajukan oleh Richard Leakey, yang menghubungkan hal itu dengan perubahan fundamental dalam organisasi sosial. Di kebanyakan primata lain, terdapat kompetisi yang buas antar para jantan untuk dapat mengawini betinanya. Hal ini tercermin dalam perbedaan yang nampak nyata dalam ukuran tubuh antara, katakanlah, jantan dan betina dari babon padang rumput. Perbedaan semacam itu terlihat pula pada hominid-hominid awal, seperti Australopithecus afarensis. Ini menunjukkan sebuah struktur sosial yang lebih mirip kera ketimbang manusia. Dengan kata lain, adaptasi fisik seperti bipedalisme, sekalipun sangat vital sebagai prakondisi untuk evolusi manusia, tidak berarti bahwa hominid-hominid awal ini adalah manusia.

Di antara babon padang rumput, para jantan (yang ukuran tubuhnya dua kali ukuran tubuh betinanya) meninggalkan kelompok segera setelah mereka mencapai kedewasaan, dan bergabung dengan kelompok lain, di mana mereka segera memasuki persaingan dengan pejantan yang berkuasa untuk mendapatkan akses ke para betina. Maka, dalam istilah Darwin, para jantan ini tidak memiliki alasan (genetik) untuk bekerja sama satu dengan lainnya. Di antara simpanse, di pihak lain, untuk alasan-alasan yang sampai saat ini belum dipahami, para jantan tetap tinggal dalam kelompok di mana mereka dilahirkan, dan para betina yang bermigrasi. Simpanse jantan, yang secara genetik berkerabat, memiliki alasan Darwinian untuk bekerja sama, yang mereka lakukan, baik untuk mempertahankan kelompok itu dari serangan luar, maupun untuk kadang kala berburu monyet untuk menambah pasokan gizi mereka. Perbedaan dalam ukuran tubuh antara simpanse jantan dan betina hanyalah 15-20%, yang mencerminkan dominasi sifat kerja sama dari masyarakat ini.

Walaupun perbedaan ukuran antara anggota-anggota jantan dan betina dari Austalopithecus afarensis demikian besarnya sehingga pada awalnya fosil-fosil mereka dikira berasal dari dua spesies yang berbeda, situasinya amat berbeda dengan anggota-anggota spesies manusia yang paling awal, di mana jantan hanya berbeda tidak lebih dari 20% dari betinanya, seperti pada simpanse, kerabat genetik kita yang terdekat. Tentang hal ini, Leakey berkomentar:

“Seperti yang telah diajukan oleh antropolog Cambridge Robert Foley dan Phyllis Lee, perubahan dalam perbedaan ukuran tubuh pada saat awal terbentuknya genus Homo ini jelas mencerminkan satu perubahan dalam organisasi sosialnya. Sangat mungkin, para jantan Homo yang pertama tetap tinggal dengan kelompok mereka, bersama saudara-saudara kandung dan saudara-saudara angkat mereka. Sementara para betina berpindah ke kelompok lain. Kekerabatan, seperti yang telah saya tunjukkan, meningkatkan kerja sama antar para jantan.”

“Kita tidak tahu dengan pasti apa yang memicu pergeseran dalam organisasi sosial ini: kerja sama yang semakin baik di antara para jantan haruslah sangat menguntungkan karena satu atau lain alasan. Beberapa antropolog telah berargumen bahwa pertahanan terhadap kelompok Homo lain menjadi demikian pentingnya. Alasan lain yang sama atau bahkan lebih mungkin, adalah perubahan yang berpusat pada kepentingan-kepentingan ekonomis. Beberapa bukti menunjukkan pada pergeseran diet bagi Homo – di mana daging menjadi sumber energi dan protein yang penting. Perubahan dalam struktur gigi pada Homo awal menunjukkan bahwa mereka memakan daging, seperti juga penyempurnaan teknologi perkakas batu. Lebih jauh lagi, peningkatan dalam ukuran otak yang merupakan bagian dari perkembangan spesies Homo mungkin bahkan menuntut agar spesies itu menambah dietnya dengan sumber yang kaya energi.”[18]

Kita sudah lama mengetahui bahwa otak adalah organ yang metabolismenya sangat mahal, yang di kalangan manusia modern menyerap 20% dari energi yang dikonsumsi, sekalipun otak hanya merupakan 2% dari berat tubuh secara keseluruhan. Antropolog Australia Robert Martin telah menjelaskan bahwa peningkatan ukuran otak pada Homo awal hanya dapat terjadi di atas basis peningkatan pasokan energi, yang hanya dapat datang dari daging, dengan konsentrasi kalori, protein dan lemaknya. Awalnya, inidatang dari memakan bangkai, dan beberapa aktivitas berburu (yang, seperti kita ketahui, juga dilakukan bahkan di kalangan simpanse). Tapi kemudian, tidak diragukan lagi bahwa perburuan memainkan peran yang semakin penting dalam penyediaan diet yang semakin beragam dan kaya gizi, dengan konsekuensi-konsekuensi evolusioner yang jauh jangkauannya.

Hipotesis tentang Perkembangan Manusia

Di tahun-tahun terakhir, telah terdapat kontroversi tajam tentang peran aktivitasberburu dalam masyarakat manusia purba. Ada satu kecenderungan untuk meremehkan peran perburuan dan lebih menekankan pada peran pengumpulan makanan (meramu) dan pencarian bangkai. Walaupun persoalan ini belumlah diselesaikan secara pasti, sulitlah untuk tidak menyepakati pandangan Leakey bahwa argumen yang menentang model berburu-meramu telah dibawa terlalu jauh. Juga sangat menarik untuk mencatat bagaimana kontroversi-kontroversi ini mencerminkan prasangka-prasangka atau tekanan-tekanan sosial tertentu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan isu yang sedang dibahas.

Di tahun-tahun awal abad ke-20, sudut pandang idealis mendominasi. Umat manusia menjadi manusia karena otaknya, dengan tingkat pemikirannya yang tinggi, yang mendorong semua perkembangan yang lain. Belakangan, pandangan tentang “Manusia sang Pembuat Perkakas” muncul kembali, sekalipun dalam bentuk yang agak idealis, di mana perkakas-perkakas, tapi tidak termasuk senjata, dikatakan sebagai daya-penggerak evolusi. Kejadian-kejadian yang mengerikan sepanjang Perang Dunia II menghasilkan reaksi terhadapnya, dalam bentuk teori “Manusia sang Kera Pembunuh”, yang diajukan “mungkin karena teori itu terlihat dapat menjelaskan (atau bahkan membenarkan) kejadian-kejadian mengerikan pada saat perang,” Leakey berkomentar dengan cerdas.

Di tahun 1960-an, ada minat besar pada suku!Kung San–yang disebut juga“Bushmen” atau orang-orang semak (penamaan yang keliru) dari gurun Kalahari. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal dalam keserasian dengan lingkungan alaminya, dan mengeksploitasi lingkungan itu dengan cara yang amat kompleks. Ini sangat cocok dengan minat atas isu-isu lingkungan yang sedang berkembang saat itu di masyarakat Barat. Di tahun 1966, ide tentang “Manusia sang Pemburu” muncul kembali dengan kuat di sebuah konferensi antropologi besar di Chicago. Namun, gagasan ini berbenturan dengan para pendukunggerakan “Pembebasan Perempuan” di tahun 1970-an. Karena perburuan biasanya dilihat sebagai aktivitasnya laki-laki, diasumsikan – tanpa alasan yang jelas – bahwa penerimaan akan hal ini berarti merendahkan martabat perempuan dalam masyarakat-masyarakat awal. Lobi kaum feminis yang kuat mengajukan hipotesis “Perempuan sang Peramu”, di mana diajukan bahwa peramuan makanan, terutama tumbuh-tumbuhan, yang dapat dikerjakan bersama-sama, adalah basis evolusi masyarakat manusia yang kompleks ini.

Peran sentral perempuan dalam masyarakat awal tidak dapat dibantah lagi, dan dengan jelas telah dijelaskan oleh Engels dalam karya klasiknya The Origins of the Family, Private Property and State. Namun, merupakan satu kesalahan serius jika kita memaksakan pembacaan – atau lebih buruk lagi, prasangka – yang diambil dari masyarakat masa kini ke dalam catatan-catatan historis. Perjuangan untuk emansipasi perempuan tidak akan memperoleh manfaat sedikit pun dengan cara memanipulasi realitas historis agar cocok dengan selera masa kini, tapi dengan melucutinya dari hakikat sejatinya. Kita tidak dapat membuat masa depan umat manusia lebih baik dengan melukis masa lalu dengan warna-warna yang cerah. Kita juga tidak akan menganjurkan orang untuk menjadi vegetarian dengan menyangkal peran fundamental yang dimainkan oleh konsumsi daging, perburuan, dan, ya, bahkan kanibalisme, dalam proses perkembangan otak manusia. Engels menulis:

“Dengan segala penghormatan terhadap para vegetarian, haruslah kita akui bahwa manusia tidaklah menjadi seperti sekarang tanpa adanya diet daging, atau jika diet daging ini, di antara beberapa suku yang kita kenal, telah membawa kepada kanibalisme di satu atau saat yang lain (nenek moyang orang-orang Berlin, bangsa Weletabian atau Wilzian, masih memakan orang tua mereka sampai sekitar abad ke-10 Masehi), hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita saat ini.”[19]

Dengan cara yang sama, pembagian kerja pasti telah ada di antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat manusia yang paling awal. Kesalahannya adalah dengan mencampuradukkan pembagian kerja dalam masyarakat terdahulu, di mana tidak ada kepemilikan pribadi atau keluarga seperti yang kita kenal saat ini, dengan ketidaksetaraan dan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat kelas modern. Dalam mayoritas masyarakat berburu-meramu yang masih ada, yang diketahui oleh para antropolog, terdapat pula unsur-unsur pembagian kerja di mana para laki-laki berburu dan para perempuan mengumpulkan tumbuhan untuk makanan.

“Kemah adalah sebuah tempat interaksi sosial yang intensif, dan sebuah tempat di mana makanan dibagi rata di antara mereka”; komentar Leakey, “ketika daging tersedia, pembagian ini sering kali melibatkan upacara yang rumit, yang diatur oleh aturan-aturan sosial yang ketat.”

Ada alasan yang baik untuk menganggap bahwa situasi yang serupa hadir juga pada masyarakat manusia awal. Karikatur Darwinisme Sosialberusaha mengekstrapolasi hukum-hukum rimba kapitalisme untuk berlaku bagi seluruh sejarah dan prasejarah manusia. Namun semua bukti yang tersedia justru menunjukkan bahwa seluruh dasar masyarakat awal manusia adalah kerja sama, aktivitas kolektif dan saling berbagi. Glynn Isaac dari Harvard University membuat satu kemajuan yang penting dalam pemikiran antropologis lewat artikel yang dia terbitkan di majalahScientific American pada 1978. Hipotesis berbagi makanan dari Isaac menekankan dampak sosial dari pengumpulan dan pembagian makanan secara kolektif. Dalam pidato di tahun 1982 untuk memperingati seabad wafatnya Darwin, ia menyatakan: “Adopsi pembagian-makanan akan mendorong perkembangan bahasa, resiprositas (timbal-balik) sosial dan kecerdasan.” Dalam buku terakhirnya, The Making of Mankind, Richard Leaky menulis bahwa “hipotesis tentang pembagian makanan adalah kandidat terkuat untuk menjelaskan apa yang membuat manusia-manusia pertama mulai melangkah di jalan yang kemudian mengantarkan mereka menjadi manusia modern.”

Dua juta tahun terakhir telah dicirikan oleh siklus iklim yang unik. Masa-masa panjang pendinginan yang intensif dan pergerakan gletser telah disela oleh masa-masa pendek naiknya suhu dan mundurnya batas gletser. Jaman-jaman es memiliki rata-rata durasi sekitar 100.000 tahun, di mana masa-masa interglasial [di antara dua jaman es] berlangsung rata-rata 10.000 tahun. Di bawah kondisi yang ekstrem ini, mamalia dipaksa untuk mengembangkan bentuk-bentuk yang semakin maju, atau punah. Dari total 119 spesies mamalia yang hidup di Eropa dan Asia 2 juta tahun lalu, hanya sembilan yang masih terus hidup. Mayoritas besar sisanya telah berkembang menjadi spesies yang lebih maju, atau punah. Sekali lagi, kelahiran dan kematian tidak terpisahkan dalam proses evolusi yang dialektik, kontradiktif, dan penuh manis-getir.

Jaman es terakhir disusul oleh masa interglasial yang baru, yang telah berlangsung sampai saat ini, tapi masa inipun pada akhirnya akan berakhir. Homo erectus akhirnya menyerahkan tahtanya pada hominid yang lebih maju – Homo sapiens – sekitar 500.000 tahun lalu. Ras manusia (Homo sapiens sapiens) merepresentasikan satu cabang evolusi dari spesies Homo sapiens, yang bercabang sekitar seratus ribu tahun lalu. Cabang lainnya – Homo sapiens neanderthalensis – punah atau terserap ke dalam spesies kita sekitar 40.000 tahun lalu.[20] Maka, umat manusiapun berkembang melalui periode pendinginan yang intensif. Kondisi-kondisi ini mencerminkan perjuangan yang keras untuk bertahan hidup. Walau demikian, terdapat masa-masa lain di mana kondisi-kondisinya membaik, yang merangsang pertumbuhan yang cepat dan gelombang-gelombang migrasi manusia. Fajar bagi umat manusia telah menyingsing.

Engels dan Asal-usul Manusia

Bagaimana ide-ide Engels, The Part Played by Labour in the Transition of Ape to Man, bila dibandingkan dengan teori-teori evolusi yang paling mutakhir?

Salah seorang paleontologis modern yang paling terkemuka adalah Stephen J. Gould. Dalam bukunya Ever Since Darwin, ia memberikan pujian ini pada esai karya Engels itu:

“Sungguh, abad ke-19 menghasilkan sebuah ekspose yang gemilang dari sumber yang pastilah mengejutkan kebanyakan pembaca – Friedrich Engels. (Sedikit perenungan seharusnya mengurangi keterkejutan itu. Engels memiliki minat besar akan ilmu-ilmu alam dan berusaha mendasarkan filsafat umumnya tentang materialisme dialektik di atas satu landasan yang 'positif'. Ia tidak sempat menyelesaikan 'Dialectics of Nature' tapi ia telah berhasil memasukkan komentar-komentar panjang tentang sains dalam esai-esai semacam Anti-Dühring.) Di tahun 1876 Engels menulis sebuah esai berjudul The Part Played by Labour in the Transition of Ape to Man. Esai itu diterbitkan setelah ia meninggal di tahun 1896 dan, sayangnya, tidak memiliki dampak yang nyata pada ilmu pengetahuan Barat.

“Engels membahas tiga ciri hakiki dari evolusi manusia: kemampuan berbicara, ukuran otak yang besar, dan posisi berdiri tegak. Ia berpendapat bahwa langkah pertama haruslah berupa turunnya nenek moyang kita dari pepohonan, dan evolusi yang menyusul berupa berdiri tegak. 'Kera-kera ini ketika bergerak di daratan mulai meninggalkan kebiasaan menggunakan tangan mereka dan mengadopsi postur tubuh yang semakin lama semakin tegak. Inilah langkah yang menentukan dalam peralihan dari kera menuju manusia.' Posisi berdiri tegak membebaskan tangan untuk menggunakan perkakas (kerja, dalam istilah Engels); meningkatkan kecerdasan dan baru kemudian datang kemampuan berbicara.”[21]

Sekalipun bukti-bukti sudah bertumpuk, teori-teori idealis tentang evolusi manusia tetap melancarkan perlawanan yang keras kepala terhadap materialisme, seperti yang kita lihat dari kutipan berikut, yang diambil dari sebuah buku yang diterbitkan baru-baru ini di tahun 1995:

“Kekuatan yang paling mungkin telah mendorong evolusi kita adalah ... proses evolusi kebudayaan. Sejalan dengan semakin kompleksnya evolusi kebudayaan kita, demikian pula otak kita, yang kemudian mendorong tubuh kita ke arah kemampuan respons yang lebih besar dan kebudayaan kita ke arah kompleksitas yang lebih tinggi dalam sebuah lingkaran umpan-balik. Otak yang besar dan cerdas membawa kita pada kebudayaan yang semakin lama semakin kompleks dan tubuh kita menyesuaikan diri untuk mengambil keuntungan daripadanya, yang pada gilirannya mendorong perkembangan otak yang semakin lama semakin besar dan cerdas pula.”[22]

Para idealis telah berulang kali mencoba menyatakan bahwa manusia dibedakan dari hewan-hewan “yang lebih rendah” oleh kecerdasannya yang superior. Bagi mereka, manusia pertama, karena satu alasan yang tidak terjelaskan, “menjadi cerdas” terlebih dahulu, baru mulai bicara, menggunakan perkakas, melukis dan seterusnya. Jika hal ini memang benar, kita seharusnya mengharapkan hal itu tercermin dalam peningkatan besar atas ukuran otak pada tahap yang sangat awal dalam evolusi kita. Namun, catatan fosil menunjukkan bahwa bukan demikian halnya.

Dalam tiga dekade terakhir, telah terdapat serangkaian kemajuan besar dalam ilmu paleontologi, penemuan-penemuan fosil baru yang mencengangkan, dan cara-cara baru untuk mengartikan penemuan-penemuan itu. Menurut sebuah teori yang paling baru, kera-kera bipedal pertama ber-evolusi sekitar 7 juta tahun lalu. Berikutnya, dalam sebuah proses yang dikenal oleh para ahli biologi sebagai “radiasi adaptif”, spesies-spesies bipedal berkembang biak (yakni, spesies yang berjalan dengan dua kaki). Setiap spesies bipedal masing-masing berevolusi dan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Sekitar 2-3 juta tahun lalu, salah satu spesies bipedal ini mengembangkan otak yang jauh lebih besar daripada spesies lainnya – Homo erectus. Inilah hominid pertama yang menggunakan api; yang berburu sebagai sumber pasokan makanannya yang utama; yang berlari dengan cara yang sama seperti manusia modern dan yang membuat perkakas secara terencana. Maka, peningkatan ukuran otak terjadi berbarengan dengan kemunculan pertama dari aktivitas pembuatan perkakas, sekitar 2,5 juta tahun lalu. Dengan demikian, selama 5 juta tahun, tidak ada peningkatan yang tajam dari ukuran otak, dan kemudian terjadi satu lompatan besar yang jelas berkaitan dengan pembuatan perkakas.

Biologi molekuler menunjukkan bahwa spesies hominid yang paling awal muncul sekitar 5 juta tahun lalu, dalam bentuk kera bipedal dengan lengan yang panjang dan jari yang melengkung. Proto-manusia ini, Australopithecus, memiliki otak yang kecil – hanya 400 cc. Lompatan kualitatif terjadi pada Homo habilis, yang memiliki ukuran otak lebih dari 600 cc –yakni satu peningkatan yang drastis, 50%. Kemajuan besar berikutnya adalah Homo erectus, dengan ukuran otak antara 850 dan 1100 cc.

Sampai kemunculan Homo sapiens sekitar 250.000 tahun lalu, ukuran otak belum mencapai tingkat seperti yang sekarang – 1350 cc. Maka, hominid-hominid paling awal tidaklah memiliki ukuran otak yang besar. Evolusi manusia tidaklah didorong oleh otak. Sebaliknya, ukuran otak yang membesar adalah hasil dari evolusi manusia, khususnya pembuatan perkakas. Lompatan kualitatif dalam ukuran otak terjadi pada Homo habilis (“si tukang”) dan jelas-jelas terkait dengan pembuatan perkakas batu. Sesungguhnya sebuah lompatan kualitatif baru terjadi pada transisi dari Homo erectus menuju Homo sapiens. John McCrone menulis:

“Pikiran manusia muncul di bumi ini dengan kemendadakan yang mengejutkan. Hanya dalam waktu 70.000 tahun – tidak sampai sekejap mata dalam skala geologis – nenek moyang kita bergerak dari kera cerdas menjadi Homo sapiens yang memiliki kesadaran diri.

“Di sisi sebelah sana dari perbatasan evolusioner ini berdirilah Homo erectus, sebuahmakhluk cerdas dengan otak hampir sebesar otak manusia modern, yang memiliki kebudayaan perkakas sederhana dan penguasaan atas api – namun secara mental masih sangat lemah. Di sisi yang sebelah sini berdirilah Homo sapiens dengan ritual-ritual dan kesenian simboliknya – lukisan gua, manik-manik dan gelang-gelang, lampu-lampu hias dan kuburan – yang menandai kedatangan sebuah pikiran yang sadar-diri. Sesuatu yang mendadak dan dramatik pasti telah terjadi, dan kejadian inilah yang pasti telah menjadi titik awal bagi kesadaran manusia.”[23]

Dapatkah Kera Membuat Perkakas?

Belakangan ini telah menjadi mode untuk mengaburkan perbedaan antara manusia dengan anggota-anggota kerajaan hewan yang lain sampai pada titik di mana perbedaan itu hampir-hampir lenyap sama sekali. Dalam makna tertentu, cara ini lebih disukai daripada segala hal tidak masuk nalar yang dikemukakan para idealis di masa lalu. Manusia adalah hewan, dan berbagi sejumlah ciri dengan hewan lain, khususnya dengan kerabat terdekat kita, kera. Perbedaan genetik antara manusia dan simpanse hanyalah sekitar dua persen. Namun, di sini juga, kuantitas berubah menjadi kualitas. Dua persen inilah yang merupakan lompatan kualitatif yang telah secara menentukan memisahkan umat manusia dari segala macam spesies yang lain.

Ditemukannya satu spesies simpanse yang langka, bonobo, yang bahkan lebih dekat lagi pada manusia daripada jenis simpanse yang lain, telah membangkitkan banyak perhatian. Dalam buku mereka Kanzi, The Ape at the Brink of the Human Mind, Sue Savage-Rumbaugh dan Roger Lewin menyajikan telaah terperinci mereka atas kapasitas mental dari bonobo yang ditangkarkan, yang diberi nama Kanzi. Tidak ada keraguan lagi bahwa tingkat kecerdasan yang ditunjukkan oleh Kanzi jauh lebih tinggi dari apa yang sejauh ini terlihat dalam makhluk-makhluk non-manusia lain, dan dalam beberapa aspek sangat mirip dengan kecerdasan anak manusia. Terutama, ia menunjukkan satu potensi untuk, katakanlah, pembuatan perkakas. Ini adalah satu argumen yang sangat kuat memihak pada teori evolusi.

Walau demikian, hal yang penting dari eksperimen yang berupaya membuat bonobo itu membuat perkakas batu, adalah bahwa ia tidak pernah berhasil melakukannya. Di alam liar, simpanse menggunakan “perkakas-perkakas” seperti “tongkat pemancing” untuk membuat rayap keluar dari sarangnya, dan bahkan menggunakan batu sebagai “landasan” untuk memecahkan biji-bijian yang keras. Pekerjaan-pekerjaan itu menunjukkan satu tingkat kecerdasan yang tinggi, dan tak diragukan lagi membuktikan bahwa kerabat manusia yang terdekat itu memiliki beberapa prasyarat mental yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih maju. Tapi seperti yang pernah dikomentari oleh Hegel, ketika kita ingin melihat pohon ek, kita tentu tidak puas jika hanya diperlihatkan bijinya saja. Potensi untuk membuat perkakas tidaklah sama dengan benar-benar membuat perkakas itu, sama seperti kemungkinan memenangkanundian £10 juta sama sekali berbeda dengan benar-benar memenangkannya. Lebih jauh lagi, potensi ini, bila diteliti lebih dekat, ternyata sangatlah relatif sifatnya.

Simpanse modern kadang kala berburu monyet-monyet kecil. Tapi mereka tidak menggunakan senjata atau perkakas untuk keperluan ini; mereka menggunakan gigi mereka. Manusia-manusia pertama sanggup memotong potongan daging yang besar, untuk keperluan itu mereka menggunakan perkakas batu yang tajam. Tidak diragukan lagi bahwa hominid-hominid yang paling awal hanya menggunakan perkakas-perkakas yang sudah tersedia di alam seperti tongkat untuk menggali akar di tanah. Inilah apa yang kita lihat di kalangan simpanse modern. Jika manusia terus bersandar pada diet tumbuhan, tidak akan pernah ada kebutuhan untuk membuat perkakas batu. Tapi kemampuan untuk membuat perkakas batu memberi mereka akses ke pasokan makanan yang sama sekali baru. Ini tetap benar jikalaupun kita menerima bahwa manusia-manusia pertama bukanlah pemburu melainkan pemakan bangkai. Mereka tetap membutuhkan perkakas batu untuk memotong kulit hewan besar yang tebal-tebal itu.

Proto-manusia dari kebudayaan Oldowan di Afrika Timur telah memiliki teknik-teknik yang cukup maju untuk membuat perkakas-perkakas batu melalui proses yang dikenal sebagai flaking [manusia purba membuat perkakas batu dengan menghantamkan sebuah batu kepada batu lainnya sehingga batu yang dihantam itu pecah pinggirannya. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai batu yang dihantam itu memiliki sisi yang tajam.] Mereka memilih jenis batu yang tepat, dan membuang yang lain; mereka menggunakan sudut yang tepat untuk memukul, dan seterusnya. Semua ini menunjukkan tingkat kecanggihan dan keterampilan yang tinggi, yang tidak pernah terlihat dalam “karya” Kanzi, sekalipun ada campur-tangan aktif dari manusia yang ditujukan untuk mendorong bonobo itu agar menghasilkan perkakas. Setelah upaya berulang-ulang, para peneliti itu dipaksa untuk mengakui bahwa:

“Sejauh ini Kanzi telah memperlihatkan tingkatan yang relatif rendah dalam keterampilan teknik pada setiap [dari empat] kriteria dibandingkan dengan apa yang terlihat bahkan di Jaman Batu Awal.”

Dan mereka menyimpulkan:

“Maka, ada satu perbedaan yang jelas dalam keterampilan Kanzi dalam memecah batu dengan yang ditunjukkan oleh para pembuat perkakas batu di Oldowan, yang kelihatannya mengimplikasikan bahwa manusia-manusia pertama ini telah berhenti menjadi kera.”[24]

Salah satu perbedaan yang memisahkan bahkan hominid yang paling primitif sekalipun dari kera yang paling majuadalah perubahan dalam struktur tubuh yang terkait dengan posisi berjalan tegak. Struktur lengan dan pergelangan tangan bonobo, misalnya, berbeda dari manusia. Jari yang panjang dan melengkung dan ibu jari yang pendek membuatnya sulit menggenggam batu secara cukup efektif agar bisa memukul dengan kuat memakai gerakan menyamping. Fakta ini telah ditunjukkan oleh ilmuwan lain:

Tangan simpanse memiliki ibu jari yang telah berkembang baik, yang posisinya berlawanan dengan posisi jari-jari lainnya, “tapi jari itu sangat gemuk dan berhimpitan dengan telunjuk, dan tidak dapat kita mempertemukan ujung ibu jarinya dengan ujung telunjuknya. Pada tangan hominid, ibu jari jauh lebih besar dan terputar sehingga ia berhadapan dengan telunjuk. Ini adalah hal yang menyertai bipedalisme dan menghasilkan peningkatan besar dalam keterampilan menggunakan tangan. Semua hominid menunjukkan bahwa mereka memiliki jenis tangan semacam ini – bahkan afarensis, hominid tertua yang kini dikenal. Tangan mereka hampir tak dapat dibedakan dari tangan manusia modern.”[25]

Kendati banyak upaya untuk mengaburkan garis batas ini, perbedaan antara kera yang paling maju sekalipun dengan hominid yang paling primitif telah ditetapkan tanpa keraguan lagi. Ironisnya, eksperimen-eksperimen ini, yang ditujukan untuk membuktikan bahwa gagasan tentang manusia sebagai makhluk pembuat perkakas adalah keliru, justru telah membuktikan hal yang justru kebalikannya.

Manusia dan Bahasa

Seperti upaya yang telah dilakukan orang-orang untuk membuktikan bahwa pembuatan perkakas bukanlah fitur fundamental dari manusia, demikian pula beberapa orang telah melancarkan upaya seperti itu dalam hal bahasa. Bagian dari otak yang dikenal sebagai area Broca dikaitkan dengan bahasa, dan awalnya dikira hanya terdapat pada manusia. Kini telah diketahui bahwa area ini juga ada pada hewan-hewan lain. Fakta ini telah digunakan untuk membuktikan bahwa penguasaan bahasa bukanlah unik milik manusia. Tapi argumen ini sangat rapuh. Faktanya tetap bahwa tidak ada spesies selain manusia yang tergantung pada bahasa untuk keberlangsungannya sebagai sebuah spesies. Bahasa adalah sesuatu yang esensial bagi mode produksi sosial, yang merupakan basis dari masyarakat manusia.

Untuk membuktikan bahwa hewan lain juga dapat berkomunikasi sampai tahap tertentu, tidak perlu kita menelaah perilaku bonobo. Banyak spesies yang tingkatnya lebih rendah memiliki sistem komunikasi yang cukup canggih – bukan hanya mamalia, tapi juga burung dan serangga. Semut dan lebah adalah hewan sosial dan memiliki bentuk komunikasi yang berkembang dengan maju. Walau demikian, ini tidak dapat dianggap mencerminkan kemampuan berpikir secara intelektual, atau bahkan untuk berpikir sama sekali. Kemampuan ini diwariskan dan merupakan naluri. Kemampuan ini juga sangat terbatas dalam cakupannya. Tindakan-tindakan yang itu-itu lagi diulangi berkali-kali dan secara mekanik, dan sama sekali tidak mengurangi efektivitasnya. Tapi ada beberapa orang yang menganggap hal ini sebagai bahasa, seperti yang kita kenal sehari-hari.

Seekor beo dapat diajari mengulangi satu kalimat penuh. Apakah ini berarti bahwa ia dapat berbicara? Cukup jelas bahwa, walaupun ia dapat meniru berbagai bunyi-bunyian dengan cukup baik, ia tidak memiliki pemahaman akan makna dari tiap bunyi tersebut. Justru pemahaman akan makna itulah hakikat dari sebuah bahasa. Halnya agak berbeda dengan mamalia yang tingkatannya lebih tinggi. Engels, yang juga merupakan seorang pemburu yang baik, tidaklah terlalu yakin sampai mana anjing dan kuda memahami bahasa manusia dan seberapa frustrasinya mereka karena tidak dapat berbicara dalam bahasa manusia itu. Tentu, tingkat pemahaman yang ditunjukkan oleh Kanzi, si bonobo dalam tangkaran itu, cukup tinggi. Sekalipun demikian, ada satu alasan mengapa tidak ada hewan selain manusia yang memiliki bahasa. Hanya manusia yang memiliki pita suara yang memungkinkan dikeluarkannya bunyi konsonan. Tidak ada hewan lain yang dapat menghasilkan bunyi konsonan. Beberapa dapat membuat bunyi klik dan desis. Sesungguhnya, konsonan hanya dapat dibunyikan bersamaan dengan bunyi vokal, atau mereka akan tereduksi menjadi sekedar bunyi klik dan desis. Kemampuan untuk membunyikan konsonan adalah hasil dari postur berjalan dengan dua kaki, seperti yang ditunjukkan oleh studi terhadap Kanzi:

“Hanya manusia yang memiliki pita suara yang memungkinkannya untuk menghasilkan bunyi konsonan. Perbedaan antara pita suara kita dengan pita suara kera, walaupun relatif kecil, cukup signifikan dan dapat dikaitkan dengan penyempurnaan postur bipedal dan kebutuhan yang menyusulnya, yaitu untuk membawa kepala dalam posisi berdiri yang seimbang di atas pusat tulang belakang. Sebuah kepala yang besar dengan rahang yang berat akan menyebabkan pembawanya bungkuk ke depan dan akan menyulitkannya untuk berlari cepat. Untuk mendapatkan postur tegak yang seimbang, sangat penting untuk menyusutkan struktur rahang dan dengan demikian saluran vokal kera yang agak landai itu dibengkokkan menyiku. Bersamaan dengan penyusutan ukuran rahang dan muka yang semakin datar, lidah, bukannya terletak sepenuhnya di dalam mulut malah turun sedikit ke dalam kerongkongan untuk membentuk bagian belakang oropharynx. Keleluasaan gerak lidah memungkinkan modulasi rongga oropharynx dalam cara yang tidak dimungkinkan pada kera, yang lidahnya terletak sepenuhnya di dalam mulut. Mirip dengan itu, pembengkokan tajam pada jalur udara supralaryngeal berarti bahwa jarak antara bagian lidah yang lembut dengan bagian belakang kerongkongan menjadi sangat pendek. Dengan mengangkat bagian lembut lidah, kita dapat memblokir jalur udara ke hidung, memungkinkan kita membentuk turbulensi yang diperlukan untuk menghasilkan konsonan.”

Tanpa konsonan, kita tidak dapat dengan mudah membedakan antara satu kata dengan kata yang lain. Kita hanya akan dapat melolong dan mengeram. Keduanya dapat mengusung sejumlah informasi, tapi tentunya sangat terbatas:

“Bahasa memiliki variasi yang tak terhingga dan sampai saat ini hanya telinga manusia yang dapat dengan cepat menemukan unit-unit yang bermakna dalam pola yang variasinya tak terhingga ini. Konsonan memungkinkan kita mencapai tahapan yang semacam ini.”

Bayi manusia sanggup membedakan konsonan dengan cara yang mirip dengan orang dewasa sejak umur yang sangat muda, seperti yang diketahui oleh tiap orang yang pernah mendengar “omongan bayi”. Omongan bayi ini adalah percobaan-percobaan terus-menerus untuk mengkombinasikan konsonan dan vokal - “ba-ba, pa-pa, ta-ta, ma-ma,”dan seterusnya. Bahkan pada tahap yang sangat awal ini, seorang bayi manusia sanggup melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh hewan dewasa yang manapun.

Apakah kemudian kita harus menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan mengapa hewan lain tidak memiliki bahasa adalah sepenuhnya karena faktor fisiologis? Kesimpulan semacam itu adalah kesalahan yang serius. Bentuk pita suara, dan kemampuan fisik untuk mengkombinasikan vokal dan konsonan adalah prakondisi fisik untuk berkembangnya bahasa manusia, tapi tidak lebih daripada itu. Hanya perkembangan tangan, yang tidak terpisahkan dari kerja dan kebutuhan untuk mengembangkan sebuah masyarakat yang tinggi tingkat kerja samanya, yang memungkinkan diperbesarnya ukuran otak dan penciptaan bahasa. Kelihatannya area di dalam otak yang berkaitan dengan penggunaan perkakas dan bahasa memiliki asal-muasal yang sama pada taraf perkembangan awal sistem syaraf seorang anak kecil, dan baru terpisah pada usia dua tahun, ketika area Broca membangun sirkuit yang berbeda darianterior prefrontal cortex.Ini sendiri merupakan bukti jelas akan adanya hubungan dekat antara pembuatan perkakas dan bahasa. Bahasa dan kemampuan rekayasa berkembang secara bersamaan, dan proses evolusi ini terulang oleh perkembangan bayi manusia pada saat ini.

Bahkan hominid-hominid paling awal dari kebudayaan Oldowan memiliki kemampuan rekayasa yang jauh lebih maju daripada kera. Mereka bukan sekedar “kera yang berjalan tegak”. Pembuatan perkakas yang paling sederhana sekalipun jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan. Ia membutuhkan perencanaan dan kemampuan memahami apa yang akan datang. Homo habilis harus merencanakan beberapa langkah ke depan. Ia harus tahu bahwa di masa datang ia akan membutuhkan sebuah perkakas, sekalipun ia tidak membutuhkan perkakas tersebut ketika ia menemukan material-material yang sesuai. Pemilihan yang teliti atas jenis batu, dan penolakan terhadap jenis lainnya; pencarian sudut pukulan yang tepat; ini semua menunjukkan tingkat kemampuan berpikir yang berbeda secara kualitatif dari kera. Kemungkinan bahasa dalam bentuk awalnya yang kasar telah hadir pada tahap ini. Tapi ada bukti lebih jauh yang menunjuk ke arah ini. Manusia sungguh unik, di mana 90% manusia lebih mampu menggunakan tangan kanan. Initidak terlihat pada primata lain. Seekor kera boleh jadi lebih dapat menggunakan tangan kanan atau kiri, tapi untuk keseluruhan populasi kemungkinannya kira-kira adalah 50-50. Fenomena penggunaan-tangan (handedness) ini terkait erat dengan kemampuan rekayasa dan bahasa:

“Penggunaan-tangan terkait dengan lokalisasi fungsi belahan otak kiri dan kanan. Lokasi kemampuan rekayasa di belahan otak kiri dari (kebanyakan) para pengguna tangan kanandiiringi oleh lokasi kemampuan bahasa di tempat itu pula. Belahan otak kanan menjadi terspesialisasi untuk kemampuan-kemampuan spasial.”

Fenomena ini tidak terdapat pada Australophitecus, tapi telah ditemukan pada tengkorak Homo habilis yang paling tua, pembuat perkakas yang pertama. Sangatlah tidak mungkin bahwa hal ini adalah satu kebetulan. Pada saat kita sampai pada Homo erectus, bukti-buktinya segunung:

“Tiga bukti anatomis ini – otak, alat-alat vokal, dan kemampuan menggunakan perkakas– menyediakan dukungan utama untuk perubahan-perubahan yang bertahap dan lama ke terciptanya bahasa. Seiring dengan perubahan-perubahan dalam otak dan alat-alat vokal ini, terjadi juga perubahan bertahap pada tangan, perubahan yang membuatnya menjadi alat yang sangat cocok untuk penciptaan dan penggunaan perkakas.”[26]

Kemunculan umat manusia merupakan sebuah lompatan kualitatif dalam evolusi. Di sini, untuk pertama kalinya, materi menjadi sadar akan dirinya sendiri. Proses berjalannya sejarah kini menggantikan evolusi yang berjalan tanpa disadari. Mengutip Frederick Engels:

“Dengan manusia, kita memasuki sejarah. Hewan juga memiliki sejarah, yaitu sejarah garis keturunannya dan evolusi bertahap sampai tahapan mereka sekarang. Namun sejarah ini dituliskan bagi mereka, dan sejauh menyangkut apakah mereka sendiri mengambil bagian di dalamnya, sejarah terjadi tanpa sepengetahuan dan keinginan mereka. Di pihak lain, semakin umat manusia memisahkan diri dari hewan, semakin mereka menulis sejarahnya sendiri, secara sadar, semakin sedikit pengaruh efek-efek tak terlihat dan kekuatan-kekuatan tak terkontrol atas sejarah ini, dan semakin sesuai hasil historis dengan tujuan yang telah ditetapkan di muka.

“Namun, jika kita menerapkan ukuran ini atas sejarah manusia, bahkan pada bangsa-bangsa yang paling maju sekalipun pada saat ini, kita menemukan bahwa masih terus ada sebuah ketidaksesuaian yang kolosal antara tujuan-tujuan yang diajukan dan hasil-hasil yang dicapai, bahwa efek-efek yang tak terlihat masih dominan, dan bahwa kekuatan-kekuatan yang tak terkontrol masih jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang digerakkan sesuai dengan rencana. Dan ini tidak bisa tidak selama aktivitas historis manusia yang paling hakiki, aktivitas yang telah mengangkat mereka dari kerajaan hewan menuju kemanusiaan dan yang membentuk landasan material bagi semua aktivitas mereka yang lain, yaitu proses produksi kebutuhan hidup mereka – yakni yang pada masa sekarang ini adalah produksi sosial – terutama masih tunduk pada pengaruh efek-efek yang tidak diinginkan dari kekuatan-kekuatan yang tak terkontrol, dan yang mencapai tujuannya hanya lewat pengecualian, tetapi jauh lebih sering mencapai tujuan yang sebaliknya ...

“Hanya pengorganisiran proses produksi sosial secara sadar, di mana produksi dan distribusi dijalankan secara terencana, yang dapat mengangkat umat manusia di atas dunia hewan dalam kaitannya dengan aspek sosialnya, dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukan oleh proses produksi secara umum terhadap umat manusia dalam aspek biologis. Evolusi historis membuat pengorganisiran semacam itu semakin hari makin tidak dapat diabaikan, tapi juga semakin hari semakin dimungkinkan. Bila saat itu dicapai, akan dimulai sebuah epos sejarah yang baru, di mana umat manusia itu sendiri, dan bersamanya seluruh cabang aktivitasnya, dan khususnya ilmu-ilmu alam, akan mengalami satu kemajuan yang akan menempatkan segala sesuatu yang mendahuluinya ke dalam bayang-bayang yang paling gelap.”[27]

_______________

Catatan Kaki

 

[1] Dikutip di D. C. Johanson dan M. A. Edey, Lucy, The Beginning of Humankind, hal. 327.

[2] Dikutip di T. Ferris 262-3, 265 dan 266.

[3] Mukjizat atau campur tangan ilahi untuk menyelesaikan problem yang tampaknya tak terselesaikan.

[4] D. C. Johanson & M. A. Edey, op. cit., hal. 320.

[5] Treeshrew adalahmamalia sejenis tupai yang merupakan kerabat terdekat primata.

[6] J. S. Bruner, Beyond the information Given, hal. 246-7.

[7] MECW, Vol. 5, hal. 31.

[8] Homo erectus, yang berarti “manusia yang berdiri tegak”, adalah salah satu kerabat Homo sapiens (manusia). Catatan fosil tertua dari Homo erectus adalah 1,8 juta tahun yang lalu, dan mereka dipercaya hidup sampai 143 ribu tahun yang lalu.

[9] Richard Leakey, The Origin of Humankind, hal. 36.

[10] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 229-30.

[11] Leakey 38.

[12] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 228 dan 230-1.

[13] N. Chomsky, Language dan Mind, hal. 66-7 dan 70.

[14] Leakey 45.

[15] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 231-2.

[16]Dikutip di Leakey, op. cit., hal. 67.

[17] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 233-4 dan 237.

[18] Leakey 54.

[19] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 237.

[20] Dalam ilmu evolusi manusia, spesies Homo sapiens dibagi lagi ke dalam beberapa subspecies, yakni Homo sapiens idaltu, Homo sapiens neanderthalensis, dan Homo sapiens sapiens (manusia moderen).

[21] S. J. Gould, Ever Since Darwin, hal. 210-1.

[22] Christopher Wills, The Runaway Brain, The Evolution of Human Uniqueness, hal. xxii.

[23] New Scientist, 29th January 1994, hal. 28.

[24] S. Savage-Rumbaugh dan R. Lewin, Kanzi, The Ape at the Brink of the Human Mind, hal. 218.

[25] D. C. Johanson dan M. A. Edey, Lucy, The Beginnings of Humankind, hal. 325.

[26] S. Savage-Rumbaugh dan R. Lewin, op. cit., hal. 226-7, 228 dan 237-8.

[27] Engels, Dialectics of Nature, hal. 48-9.