Mengapa Hari Ini Demonstrasi Semakin Direpresi?
- Detail
- Moses Kabelen
Hari ini, kelas penguasa sangat ketakutan terhadap setiap demonstrasi. Pandemi dan krisis yang menyertainya telah mengekspose ketidakbecusan pemerintah.
Hari ini, kelas penguasa sangat ketakutan terhadap setiap demonstrasi. Pandemi dan krisis yang menyertainya telah mengekspose ketidakbecusan pemerintah.
Dokumen ini akan sedikit berbeda dengan dokumen-dokumen perspektif dunia yang telah kami terbitkan sebelumnya.
Di periode sebelumnya, ketika peristiwa bergulir dengan lebih santai, kita dapat memaparkan, setidaknya secara garis besar, apa yang terjadi di berbagai negeri. Akan tetapi sekarang, peristiwa telah bergerak dengan kecepatan yang begitu pesat sehingga untuk bisa mengupasnya kita harus menulis sebuah buku. Tujuan dokumen perspektif bukanlah sebagai katalog lengkap peristiwa-peristiwa revolusioner, tetapi untuk mengungkapkan proses-proses fundamental yang melatarbelakanginya.
Sebagai kaum Marxis dan internasionalis, kami tidaklah netral dalam konflik ini. Kami membela hak rakyat Palestina untuk memiliki tanah air mereka dan hak mereka untuk melawan penindasan dan membela kehidupan mereka dengan cara apapun yang diperlukan. Kekerasan kaum tertindas tidak pernah bisa disamakan dengan kekerasan kaum penindas.
Satu-satunya solidaritas sejati yang dapat diandalkan oleh rakyat Myanmar datang dari saudara-saudari kelas mereka di Indonesia dan negeri-negeri lainnya. Jangan percaya pada apa-yang-disebut “Komunitas Internasional”, seperti ASEAN, PBB, dll. Penangkapan yang sewenang-wenang yang dilakukan rejim Jokowi terhadap terhadap aktivis solidaritas Myanmar jelas mengekspos kemunafikan rejim ini, yang berceramah mengenai demokrasi sembari mencekiknya. Kaum revolusioner Myanmar, Indonesia, Thailand, Singapura, dan seluruh Asia Tenggara menghadapi musuh bersama yang sama: kediktatoran kapital.
Sejak keruntuhan ekonomi 2008 yang melahirkan gejolak perlawanan kaum pekerja di berbagai belahan dunia, gagasan sosialisme kembali dibicarakan. Kaum pekerja dan kaum muda mulai berbondong-bondong mempelajari ide yang digagas oleh Karl Marx dan Friedrich Engels ini. Mereka antusias untuk menggali segala hal yang berbau "sosialisme", salah satunya adalah sosialisme ala Tiongkok.
Tapi, satu hal perlu diajukan, apakah China/Tiongkok saat ini merupakan negeri sosialis sebagaimana yang diklaim oleh para petinggi Partai Komunis Cina (PKC)? Berikut ini analisa kami.
Bila ada satu hal yang bisa kita semua pelajari dari pandemi Covid-19, tidak ada bencana yang murni alam. Dimensi ekonomi dan sosial memainkan peran penting dalam menentukan lapisan mana yang paling terdampak. Kesiapan dan ketangguhan seseorang dalam menghadapi bencana, serta kemampuannya untuk lalu pulih darinya, ditentukan oleh faktor-faktor sosio-ekonomi. Tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19 misalnya berbanding terbalik dengan tingkat pemasukan seseorang. Bencana alam hanya mengungkapkan dengan lebih terbuka ketimpangan-ketimpangan sosial yang sudah mengakar. Begitu juga dengan banjir bandang di NTT, yang hanya mengungkapkan kemiskinan dan ketertinggalan parah yang telah dialami oleh rakyat NTT selama bergenerasi.
Kaum Komunard berusaha membangun sebuah negara yang baru, Negara Buruh, di atas puing-puing negara kapitalis. Namun, mereka tidak memiliki waktu untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Keterisolasian – di Prancis yang mayoritas masih agraris – adalah hal yang fatal bagi mereka.
Hari ini, mayoritas rakyat adalah pekerja upahan. Fondasi untuk revolusi sosialis jauh lebih matang dibandingkan di abad ke-19. Oleh karenanya, semuanya tergantung pada kita untuk mewujudkan masyarakat sosialis yang demokratik, yang diperjuangkan oleh kaum Komunard sampai titik darah penghabisan.
Segera setelah rakyat menyingkirkan junta militer dari panggung politik, mereka akan dihadapkan dengan realitas keras bahwa tuntutan-tuntutan yang mereka kedepankan – pemilu yang bebas dan jujur, parlemen yang demokratik, pekerjaan untuk semua orang, upah layak, tanah untuk tani, akses universal ke pelayanan sosial – tidak akan bisa dipenuhi dalam batas-batas kapitalisme. Bahkan pelucutan sepenuhnya seluruh kekuatan militer di Myanmar hanya bisa terpenuhi secara efektif dan konsekuen akan membutuhkan langkah-langkah revolusioner di luar batas-batas kapitalisme.