facebooklogocolour

bltSelama satu dekade terakhir, ada banyak diskusi di antara politikus, akademisi, dan aktivis mengenai Universal Basic Income (UBI) atau Jaminan Pendapatan Dasar, dari spektrum politik Kiri sampai Kanan. UBI disajikan sebagai solusi mujarab dan paling mutakhir untuk problem-problem ekonomi dan sosial yang kini merongrong masyarakat kapitalis. Tetapi, seperti semua hal yang menjanjikan solusi siap-saji yang berkilauan menawan mata, kita akan temui bagaimana kilau tersebut ternyata hanya untuk membutakan mata kita dan membuat nalar tumpul.

Problem yang ingin dijawab oleh UBI bukanlah sesuatu yang baru. Demikian juga dengan UBI itu sendiri, yang hanya merupakan solusi lama dikemas dengan bungkus baru. Problem ini dapat diringkas oleh percakapan fiksional ini:

“Henry Ford II memberi Walter Reuther, pemimpin veteran serikat buruh United Automobile Workers, tur keliling pabrik mobil otomatisnya yang baru.”

“‘Walter, bagaimana caranya kamu akan membuat robot-robot ini membayar iuran serikat,’ olok sang pemilik Ford Motor Company itu.”

“Dengan tangkas Reuther menjawab, ‘Henry, bagaimana caranya kamu akan membuat mereka membeli mobil-mobilmu?’” (The Economist, 4 November, 2011)

Dengan otomatisasi, yang hari ini dikenal dengan Revolusi Industri 4.0, buruh akan digantikan oleh robot, dan bukan hanya buruh kerah biru tetapi juga buruh kerah putih. Tetapi masalahnya, robot tidak bisa menggantikan konsumen. Siapa yang akan membeli barang-barang yang diproduksi oleh robot ini? Setiap revolusi industri, dan bahkan setiap langkah yang diambil oleh masyarakat kapitalis dalam meningkatkan produktivitas, selalu menghasilkan kontradiksi ini. Seorang kapitalis dianggap sukses bila ia bisa menghasilkan lebih banyak produk dengan membayar upah seminim mungkin, dengan memperkenalkan lebih banyak mesin yang menggantikan buruh dan menekan upah. Pada titik tertentu, pasar -- yang bagian terbesarnya adalah konsumen/buruh yang diberi upah seminim mungkin ini -- tidak bisa lagi menyerap produk-produk yang dihasilkan; seluruh roda perekonomian terhenti, kredit tersumbat, bursa saham rontok, cerobong pabrik berhenti mengepul, dan buruh-buruh dirumahkan. Ekonomi memasuki krisis atau slump, yang Marx sebut sebagai krisis overproduksi.

Berbagai kebijakan telah dirumuskan dan diuji untuk menyelesaikan problem ini, yang pada intinya adalah bagaimana menaruh uang di kantong buruh yang kering ini untuk bisa membeli produk yang mereka sendiri hasilkan, agar roda ekonomi terus berputar. Salah satunya yang paling kita kenal adalah kebijakan Keynesian, dimana pemerintah menggelontorkan uang untuk proyek-proyek infrastruktur raksasa, tunjangan pengangguran, program-program sosial, dsb., yang tujuan akhirnya adalah mendorong permintaan pasar. Tetapi kebijakan ini menemui rintangan besar. Pertama, siapa yang harus menalangi defisit besar hasil dari kebijakan Keynesian ini? Kedua, pemerintah tidak bisa terus mencetak uang untuk membiayai proyek-proyek Keynesian tanpa akhirnya berbenturan dengan inflasi. Inilah alasan kegagalan kebijakan Keynesian.

Kebijakan UBI tidaklah berbeda dalam esensinya. Upah rendah dan tingkat pengangguran yang semakin tinggi akibat otomatisasi di tempat-tempat kerja menekan permintaan konsumen/pekerja di pasar, dan solusi yang dibayangkan oleh para ahli kita adalah membagi-bagi uang kepada konsumen. Sungguh inovatif!

Tetapi mereka lupa, atau mungkin sengaja lupa, uang tidaklah tumbuh di pohon. Siapa yang akan membiayai UBI?

Banyak kapitalis yang mendukung program UBI. Mark Zuckerberg mengatakan: “Kita harus mengkaji gagasan seperti universal basic income untuk memberi setiap orang peluang untuk mencoba hal-hal baru.” Richard Branson, miliarder pendiri Virgin Group, mengatakan: “Dengan munculnya kecerdasan buatan dan teknologi baru, gagasan seperti universal basic income dapat menjadi bahkan lebih penting.” Tetapi ini bukan karena hati nurani mereka tersentuh. Para kapitalis ini setuju dengan UBI karena ini akan menciptakan konsumen bagi produk-produk mereka, dan mereka mendukungnya selama UBI ini tidak diongkosi oleh mereka. Kalau mereka yang membiayai UBI lewat pajak atas kekayaan mereka yang besar, maka ini hanya memutar uang kembali ke mereka. Bila kapitalis menolak memberi upah yang lebih tinggi bagi pekerja mereka, tidak ada alasan bagi mereka untuk lalu membiayai UBI, yang notabene berarti upah ekstra bagi pekerja mereka.

Budiman Sudjatmiko dalam artikel opininya di Kompas (“Berdana, Berdata, Berdaya,” 7 April 2020) mencoba memberi sumbangsih intelektualnya dalam diskusi UBI. Bermodal kalkulator dan Excel sheet, dia beritahu kita semua bahwa UBI di Indonesia akan membutuhkan dana Rp 326 triliun per 4 bulan. Solusi yang ditawarkan Budiman untuk menalangi biaya besar ini mengalir dengan mulus dari kolom Excel sheetnya: “... perlu dipertimbangkan juga sebuah terobosan berupa penggalangan dana gotong royong rakyat Indonesia untuk menanggung pembiayaan [UBI] … mari kita asumsikan pemilik saldo lebih besar dari Rp 10 miliar, yang diperkirakan 56.500 rekening, akan menyumbang masing-masing Rp 100 juta. Selanjutnya, pemilik saldo antara Rp 1 miliar dan Rp 10 miliar, perkiraan berjumlah 508.500 rekening, akan menyumbang masing-masing Rp 10 juta. …” dst. dst. Dengan “terobosan”nya ini, sang Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia, berhasil menggalang dana gotong royong sebesar Rp 225 triliun dari orang-orang kaya. Bukan main!

Tidak disebutkan bagaimana dia akan dapat meyakinkan orang-orang kaya ini untuk berpisah dari uang mereka. Sejumlah ungkapan penyejuk-hati yang kabur dia lempar di sana sini: “semangat solidaritas,” “kebersamaan rakyat Indonesia,” “kerumunan yang saling mempercayai sesama.” Mungkin Budiman membayangkan dia akan bisa membuat kaum kapitalis bermurah hati dan membiayai UBI dengan ungkapan-ungkapan manis ini. Dia akan terkejut bahwa dunia yang nyata tidaklah sesederhana kolom Excel sheet. 56.500 pemilik rekening saldo lebih besar dari Rp 10 miliar bisa meraup kekayaan seperti ini dengan cara memeras keringat dan darah rakyat pekerja, dengan menghindari pajak, dengan menyerobot tanah petani, memberangus serikat buruh, menekan upah buruh serendah mungkin, dst. Kedermawanan sungguh bukanlah tabiat dasar kapitalis.

Tetapi Budiman bukanlah orang bodoh. Dia paham betul watak kaum kapitalis, yang tidak akan mungkin menerima kenaikan pajak dalam bentuk apapun untuk membiayai UBI. Gagasan UBI dirangkul oleh orang-orang seperti Budiman memang justru karena kemustahilannya, karena wataknya yang utopis. Gagasan UBI membuat para pendukungnya tampak progresif dan pro-rakyat, tanpa mereka harus melakukan apapun karena gagasan ini tidak akan pernah bisa terwujud. Mereka bisa menggelar banyak ceramah dan workshop, menulis makalah dan research paper, untuk mengkaji UBI sampai datangnya Kerajaan Allah. Inilah yang membuat gagasan ini begitu menarik bagi banyak kaum reformis dan Kiri liberal. UBI menjadi kedok guna menutupi impotensi mereka untuk mengubah dunia serta kepengecutan mereka untuk meluncurkan perjuangan kelas yang sengit dan mengakhiri kapitalisme.

Di sisi lain, banyak kaum libertarian Kanan yang juga mendukung UBI. Mereka melihat UBI sebagai kesempatan untuk memprivatisasi program-program sosial. Pemerintah tidak perlu lagi bertanggung jawab mengelola pelayanan kesehatan, pendidikan, dsb. Semua ini bisa dilakukan oleh sektor swasta, dimana warga diberi uang tunai langsung yang dapat mereka gunakan untuk membeli pelayanan sosial yang mereka butuhkan dari perusahaan-perusahaan swasta di pasar bebas. Pemerintah hanya jadi pemungut pajak, yang lalu membagi-bagikan pemasukan pajak ini ke setiap warga dalam bentuk UBI.

UBI mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari kontradiksi pokok kapitalisme yang seharusnya dipecahkan: kepemilikan alat-alat produksi di tangan segelintir orang yang tidak bekerja, sementara mayoritas rakyat yang bekerja dipisahkan dari kekayaan yang mereka hasilkan. Problemnya bukanlah distribusi kekayaan atau pendapatan, tetapi moda produksi kapitalis itu sendiri. UBI menitikberatkan masalah distribusi, dan bukan pada produksi itu sendiri, dan Marx sedari awal telah mengkritik pendekatan reformis ini. Dalam Kritik atas Program Gotha, Marx menulis:

“Terlepas dari analisis yang sudah diajukan sampai sini, umumnya keliru untuk meributkan masalah distribusi dan memberi penekanan berat untuknya.”

“Setiap distribusi barang-barang konsumsi hanyalah konsekuensi dari distribusi kondisi produksi itu sendiri. Distribusi yang belakangan ini, akan tetapi, adalah fitur dari moda produksi itu sendiri. Moda produksi kapitalis, misalnya, bersandar pada fakta bahwa kondisi-kondisi material produksi berada di tangan orang-orang yang bukan pekerja, dalam bentuk kepemilikan kapital dan tanah, sementara massa hanyalah memiliki kondisi produksi dalam diri mereka, yaitu kemampuan kerja mereka (labour-power). Bila elemen-elemen produksi terdistribusi sedemikian rupa, maka otomatis hasilnya adalah distribusi barang-barang konsumsi seperti hari ini. Bila kondisi material produksi adalah properti bersama buruh, maka distribusi barang-barang konsumsi akan berbeda pula dari yang ada hari ini.”

“Sosialisme vulgar (dan dari situ selapisan kaum demokrat) telah mengikuti langkah para ekonom borjuis, yang mempertimbangkan dan memperlakukan distribusi sebagai sesuatu yang terpisah dari moda produksi, dan dengan demikian mempresentasikan sosialisme sebagai sesuatu yang terutama mengurusi masalah distribusi. Setelah relasi yang sesungguhnya [antara produksi dan distribusi] telah lama menjadi jelas, mengapa melangkah mundur kembali?”

Bila kita konsekuen dalam mempelajari Marx dan Engels, mereka sesungguhnya telah memberi jawaban bagi semua masalah fundamental yang menyangkut ekonomi kapitalisme. Semua usaha untuk mencari terobosan baru, untuk memperbaharui Marxisme, biasanya hanya merupakan cerminan dari ketidaktahuan atau kegenitan intelektual. Ada kecenderungan di antara kaum intelektual Indonesia untuk membebek tren terbaru dari kolega-kolega mereka di Barat, dan UBI adalah tren terbaru, sebelum nanti digantikan oleh tren lainnya. Mereka mengidap low self-esteem dan inferiority complex, karakter yang merupakan konsekuensi dari keterbelakangan dan ketertinggalan masyarakat borjuis Indonesia, yang akan selalu menghamba pada tuan-nyonya imperialis mereka.

Penekanan kaum revolusioner adalah pada moda produksi itu sendiri, bukan pada distribusi kekayaan yang merupakan gejala darinya. Ini bukan berarti kaum Sosialis menolak berjuang untuk menuntut agar pemerintah menyediakan dana bantuan bagi rakyat pekerja yang kehilangan mata pencaharian selama pandemi, atau tuntutan serupa lainnya. Seperti yang kita ketahui, pemerintah di seluruh dunia justru mengucurkan miliaran dolar untuk membailout korporasi-korporasi besar selama pandemi, seperti halnya selama krisis finansial 2008. Para pendukung UBI membayangkan bahwa penerapan Pendapatan Dasar secara universal akan mampu menyelesaikan problem-problem pokok yang dihadapi kapitalisme, akan mampu menghapus krisis overproduksi dari sistem kapitalisme. Di sinilah perbedaannya. Dalam memperjuangkan reforma sehari-hari -- selama pandemi misalnya memperjuangkan dana bantuan pendapatan -- kaum Sosialis selalu menghubungkannya dengan perjuangan untuk menumbangkan moda produksi kapitalisme, bahwa selama kapitalisme masih tegak maka ketimpangan distribusi barang-barang konsumsi akan selalu ada.

Kaum Sosialis yang menemukan diri mereka mendukung UBI justru menjadi karikatur buruk yang biasa disematkan ke kaum Sosialis, bahwa keseluruhan program kita adalah bagi-bagi uang atau barang gratis. Kaum Sosialis memperjuangkan kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi di bawah kontrol demokratik buruh, dengan sistem ekonomi yang terencana untuk memenuhi kebutuhan manusia dan bukan demi profit. Tidak ada yang gratis di sini, karena apa yang akan diterima oleh buruh adalah sesuatu yang sedari awal adalah hasil keringat buruh sendiri, yang di bawah sistem kapitalisme direnggut oleh pemilik modal.

Sebuah sistem ekonomi sungguh sudah bangkrut dan uzur kalau ia justru merasa terancam oleh otomatisasi produksi. Otomatisasi produksi seharusnya bisa membebaskan umat manusia dari kerja, dan dengan demikian membebaskan potensinya, memberinya peluang sepenuh-penuhnya untuk merealisasikan dirinya sebagai manusia utuh. Sebaliknya, di bawah kapitalisme, otomatisasi justru jadi momok, yang menghancurkan pekerjaan dan dengan demikian permintaan pasar. Ini memaksa para ahli strategi kapital untuk memutar otak mereka guna mencari jalan keluar, dan UBI adalah yang terbaik yang bisa mereka pikirkan. Tetapi seperti yang telah kita paparkan di atas, UBI bukanlah solusi sama sekali, dan sesungguhnya tidak ada yang inovatif sama sekali dengan solusi “bagi-bagi uang”. Kaum Kiri, dan bahkan yang mengaku Sosialis atau Marxis, yang lalu latah dengan UBI hanya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki imajinasi revolusioner sama sekali.