gabunganBeberapa bulan terakhir orang-orang dikejutkan dengan banyaknya PHK yang menimpa perusahaan startup tech. Sektor ini tengah menghadapi guncangan besar. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di seluruh belahan dunia. Spekulasi gila-gilaan di sektor tech telah menemui akhirnya setelah kebijakan uang murah mulai dihentikan di seluruh dunia, dengan kenaikan suku bunga bank sentral di AS dan banyak negeri kapitalis utama lainnya. Ini mengekspos kehampaan dari banyak startup ini, yang valuasinya ternyata hanya bersandar pada kredit murah.

Indeks saham Nasdaq, yang berisi banyak perusahaan teknologi paling berharga di dunia, telah turun 33% tahun ini. Perusahaan-perusahaan yang dulu pernah melejit, seperti Netflix dan Peloton, masing-masing turun 70% dan 60%. Saham teknologi juga turun tajam di Eropa dan Asia. Deliveroo, yang terdaftar di London tahun lalu, anjlok 58% tahun ini. Spotify telah turun 61%. Coupang, platform e-commerce paling besar di Korea Selatan, telah anjlok 60% tahun ini. Saham Grab, yang beroperasi di Asia Tenggara, telah anjlok 67% tahun ini. Di Indonesia sendiri, indeks saham teknologi IDXTECHNO telah mengalami penyusutan sebesar 16% tahun ini. 

Banyak perusahaan startup melakukan PHK besar-besaran terhadap pekerja mereka. Menurut laporan layoff.fyi, selama tahun 2022 ada sekitar 31.707 pekerja perusahaan rintisan di dunia mengalami PHK. Pada bulan Mei 2022, ada 16.923 orang mengalami PHK. Kendati bulan Juni baru berjalan, ada sekitar 1000 lebih pekerja startup yang kehilangan pekerjaannya. Beberapa di antaranya perusahaan tersebut berbasis di Indonesia adalah Zenius, Link Aja, TaniHub dan JD.ID. 

Jatuhnya perusahaan ini mengagetkan banyak orang karena sebelumnya perusahaan ini digadang-gadang sebagai perusahaan alternatif di tengah lesunya manufaktur. Tapi siapa kira perusahaan ini justru jatuh dengan sangat mudah. 

Bagi kaum Marxis, kondisi ini tidak mengejutkan sama sekali. Selama bertahun-tahun spekulasi telah menjadi hal yang umum, terutama di sektor-sektor ekonomi yang relatif tidak banyak menciptakan keuntungan. Boom spekulasi ini mampu menggelembungkan nilai saham perusahaan tersebut jauh lebih besar daripada keuntungan yang diciptakan olehnya, sehingga dalam sekejap gelembung ini bisa dengan cepat meletus pula. 

Perusahaan-perusahaan rintisan ini bisa menjamur di mana-mana karena ditopang oleh uang murah. Untuk menanggulangi krisis kapitalisme, pemerintah di mana-mana menerapkan kebijakan uang murah (terutama quantitative easing serta suku bunga yang hampir mencapai nol). Kebijakan uang murah ini bukannya menghasilkan investasi yang produktif, seperti yang diharapkan oleh para pembuat kebijakan, tetapi digunakan untuk spekulasi dan untuk menopang perusahaan-perusahaan yang seharusnya bangkrut. Banyak perusahaan yang seperti zombie, yang hidup segan mati tak mau, seperti halnya sistem kapitalisme itu sendiri, tetapi masih bisa hidup sampai sekarang karena diinfus uang negara.  

Selama sepuluh tahun terakhir para ekonom dan pakar strategi kapitalis berusaha menyelesaikan krisis. Selama dekade itu pula triliunan dolar dipompa ke dalam ekonomi. Namun, uang murah ini tidak mengalir ke sektor ekonomi rill yang mampu meningkatkan produktivitas. Ini karena ekonomi dunia sudah jenuh karena kelebihan produksi. Sebaliknya uang-uang ini dituangkan ke dalam aktivitas saham dan spekulasi, terutama di startup tech dengan semua kehebohan Revolusi Industri 4.0.

Pernahkah Anda bertanya dari mana startup bisa memberikan diskon besar-besaran dan bahkan membiayai iklan sampai mengundang bintang Korea yang jelas-jelas sangat tinggi biayanya? 

Selama era uang murah, startup dengan mudah menggalang investasi dari para investor. Dengan suku bunga yang begitu rendah, investor tidak membutuhkan neraca keuangan yang sehat dari perusahaan-perusahaan ini. Investor hanya butuh dipastikan bahwa bisnis ini berjalan dan dapat memiliki valuasi tinggi dalam waktu pendek. Dengan melakukan bakar-bakar uang untuk iklan serta promosi, mereka mampu meyakinkan investor bahwa mereka memiliki potensi pasar yang besar. Meskipun bisnis ini tidak memberikan keuntungan balik tapi investor bisa menggunakan ini untuk spekulasi meningkatkan nilai di pasar saham. Setiap investor berlomba-lomba mencari unicorn (startup dengan valuasi tinggi) terbaru, tidak peduli apakah perusahaan ini sesungguhnya profitable atau tidak.

Keheranan yang sama diungkap oleh Jusuf Kalla saat masih menjabat sebagai wakil presiden kala itu, bahwa aktivitas bisnis sekarang tidak berbicara pada soal keuntungan tapi nilai atau valuasi perusahaan.  “Seperti Anda semua tahu bahwa orang enggak bicara lagi keuntungan tapi nilai. Rugi terus tetapi nilai naik terus. Terjadi perubahan teknologi luar biasa dan cara mengatur bisnis yang berbeda dengan mengatur perusahaan 30 tahun lalu,” ujarnya.

Uber adalah perusahaan rintisan yang paling bergengsi di dunia. Perusahaan ini telah mengumpulkan $51 milyar dari investor meskipun tidak pernah menciptakan keuntungan. Begitu pula dengan Goto Gojek Tokopedia. Pada bulan September 2021 meskipun mereka memiliki valuasi yang tinggi dengan total aset senilai Rp 158,17 triliun, tapi dalam laporannya mengantongi kerugian Rp 11,58 triliun. Sedangkan tahun sebelumnya juga mengantongi kerugian sebesar Rp 10,43 triliun. 

Selama pandemi ada perubahan cara konsumen membeli sesuatu. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu online. Selama periode ini, banyak perusahaan rintisan mengalami booming. Investor berbondong-bondong mendanai perusahaan rintisan ini dan memanfaatkan momen bullish dengan mendaftarkan perusahaan mereka di pasar saham. 

Bullish merupakan istilah ekonomi bagi investor yang bertindak seperti banteng untuk menghasilkan uang dengan menaikkan harga aset. Karena perusahaan manufaktur lesu, uang murah membanjiri startup. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan investasi dan pembiayaan modal ventura mencapai Rp 12,87 triliun hingga Agustus 2020. Nilai itu tumbuh 18,75% year on year (yoy) dibandingkan Agustus 2019 senilai Rp 10,83 triliun. Pada 2021, angka pembiayaan ini terus naik 24,37% yoy menjadi Rp 15,82 triliun hingga Juni 2021. 

Dengan dompet penuh, investor ingin bertaruh dengan perusahaan baru untuk menciptakan keuntungan. Tapi seperti halnya setiap aktivitas spekulasi, kondisi ini menemui batasnya. Seiring dengan kenaikan suku bunga dan dilonggarkannya pembatasan ekonomi, perusahaan yang tidak mampu bersaing banyak berguguran. Kondisi ini menghancurkan masa-masa indah perusahaan startup. Inilah akhir dari gelembung perusahaan startup.  

Dari sudut pandang kapitalis mungkin mereka berpikir bahwa modal yang tersalurkan secara luas di berbagai sektor, terutama di sektor perusahaan rintisan merupakan sesuatu hal positif yang mampu mendorong kreativitas dan persaingan. Tapi kapitalisme sekarang sudah sangat tua, dan tidak mampu mengembalikan lagi masa-masa indah persaingan bebas dan kreativitas. Tapi kreativitas dalam hal ini merupakan cangkang luarnya saja untuk menutupi aktivitas spekulasi mereka. Aktivitas ekonomi sekarang lebih berdasarkan perjudian di pasar bursa daripada meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sektor riil. 

Jelas aktivitas perjudian seperti ini sangat berbahaya. Uang murah yang didapat kelas kapitalis dari negara disokong oleh pembayar pajak. Dengan mereka menghambur-hamburkan uang untuk berjudi demi meningkatkan nilai saham, mereka sedang memainkan peran parasit dan korup. Awalnya banjir uang murah dan kenaikan nilai aset mereka memanjakan mereka. Namun dengan dorongan inflasi yang kuat dan upaya bank sentral menaikkan suku bunga, ini membuat kelas kapitalis berpikir dua kali untuk bakar-bakar uang demi perusahaan startup. Inilah mengapa banyak suara-suara investor mulai menuntut perampingan perusahaan dan melakukan PHK besar-besaran. 

Kapitalisme saat ini sudah tidak lagi mampu mengembangkan kekuatan produksi. Kapitalisme telah menghadapi penurunan. Seperti halnya seorang tua bangka, aktivitas fisik sepele bisa mengakibatkan cedera yang serius pada kondisi fisik secara keseluruhan. Mereka pikir mereka bisa menciptakan uang dengan berjudi. Setelah mereka mabuk dari keuntungan spekulasi sekarang setelah bangun mereka sakit kepala karena sadar apa yang mereka lakukan sebelumnya. Akhirnya aktivitas ekonomi bullish bisa menjadi bullshit!

Bencana perusahaan startup saat ini mungkin tidak akan mengganggu stabilitas sistem keuangan. Tapi dari bencana tersebut kita bisa mengenali gambaran dari sistem kapitalisme yang ada sekarang. Bagaimana sistem ini sudah tidak layak lagi bagi umat manusia. Alih-alih membawa masyarakat maju, mereka berusaha kaya dengan cepat melalui spekulasi liar. Mungkin kenaikan suku bunga akan membatasi spekulasi liar ini, tapi ini tidak mencegah kapitalisme mengalami keterpurukan lebih lanjut. Ini mengingatkan sekali lagi bahwa kita perlu membersihkan kapitalisme dari kehidupan kita.