facebooklogocolour

Perjuangan kita adalah perjuangan kelas, yang mana pada akhirnya kita akan dihadapkan dengan masalah kekuasaan. Di setiap persimpangan, kita selalu dihadapkan pertanyaan: siapa yang berkuasa? Semakin menentukan perjuangan kita, semakin lantang pertanyaan ini terserukan. Hanya mereka yang siap untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dapat meraih kemenangan dalam perjuangan yang sudah berlangsung selama lebih dari 100 tahun ini.

Ketika buruh mogok dan menghentikan roda gigi mesin, sebuah pertanyaan mencuat: siapa sebenarnya yang menjalankan pabrik ini? Ketika pemogokan umum meledak dan ekonomi negeri terhentikan, langit menjadi sunyi karena bandara udara tutup, Thamrin sepi karena bus-bus tak jalan, sebuah pertanyaan terdorong ke depan: siapa yang menjalankan negeri ini?  Setiap gebrakan yang dilakukan oleh buruh selalu mengedepankan masalah kekuasaan.

Kekuasaan sekarang ada di tangan para kapitalis, yang memiliki alat-alat produksi dan kapital, dengan antek-anteknya yang bermain dagelan politik. Dan satu-satunya kelas yang bisa merebut kekuasaan dari kelas kapitalis ini adalah buruh. Dari semua kelompok tertindas di negeri kita: petani gurem, nelayan miskin, pengangguran, kaum miskin kota, hanya kelas buruh yang mempunyai posisi politik dan ekonomi untuk bisa memimpin perjuangan pembebasan. Hanya buruh satu-satunya kelas yang mampu konsisten dengan program sosialis, yang mampu menyatukan semua kelas dan kelompok sosial lainnya di bawah panjinya.

Sejarah telah menjadi saksinya. Kendati kelas dan kelompok sosial lain mampu menjadi sebuah kekuatan yang revolusioner, tetapi mereka tidak konsisten dengan perjuangan mereka. Ini bukan karena ketimpangan pribadi mereka, tetapi karena posisi sosial dan ekonomi mereka. Di dalam dunia kapitalisme ini, hanya ada dua kelas yang dominan: kelas borjuis dan kelas buruh. Yang pertama adalah pemilik alat produksi dan kapital, yang membeli kemampuan-kerja (labour power) buruh, dan yang belakangan adalah mereka yang tidak punya apa-apa selain keringatnya untuk dijual kepada kaum borjuasi. Dua kelas inilah yang semenjak kelahiran mereka selalu bertempur, kadang-kadang tertutup dan kadang-kadang terbuka.

Dalam pengejaran laba mereka, kaum kapitalis menyebabkan kemiskinan yang begitu parah sehingga jutaan, bahkan milyaran rakyat dunia terlempar keluar dari kelas buruh dan menjadi kaum miskin kota, anak-anak jalanan, pengemis, pengangguran, pedagang-pedagang asongan, dsb. Mereka ini terlempar ke dalam satu kondisi yang menggenaskan, hidup tak menentu, terseret ke dalam lembah keterbelakangan yang pekat.

Bagaimana dengan kelas tani yang adalah mayoritas di negeri kita ini? Kondisi hidup kaum tani yang teratomisasi membuatnya tidak cukup terorganisir untuk bisa menantang kapitalisme secara serius. Kepentingan utama mereka yang sempit juga membuatnya tidak konsisten.

Sejak akhir 1980an, kelas buruh Indonesia jumlahnya semakin meningkat, sedangkan jumlah petani semakin menurun. Buruh di sektor manufaktur meningkat dari 8,2% pada tahun 1986 sampai ke 12,4% pada tahun 2007. Pada waktu yang sama, jumlah pekerja di sektor pertanian menurun dari 55,1% hinggal 41,2%. Namun yang cukup penting juga adalah kontribusinya pada Produk Domestik Bruto. Pada tahun 2007, walaupun hanya mencakup 12,4% lapangan kerja, buruh manufaktur berkontribusi ke PBD sebesar 26,9%, sedangkan sektor pertanian dengan 41,2% lapangan kerja hanya berkontribusi 14,9% PBD. Selain itu, secara umum kita juga melihat peningkatan jumlah pekerja upahan, dari 26,4% pada tahun 1986 ke 38,5% pada tahun 2007. Sedangkan jumlah pekerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga/tidak dibayar (sektor informal, nelayan, dan tani) menurun dari 73% ke 58.6% pada jangka waktu yang sama. Jadi kita bisa melihat bahwa kaum buruh Indonesia sedang meningkat jumlahnya dan juga posisi ekonominya.

Dengan demikian, adalah tugas kelas buruh untuk memimpin kelas-kelas yang lain dalam melawan kapitalisme. Tetapi kepemimpinan ini tidak bisa hanya diserukan saja, ia harus diraih. Buruh, dengan serikat-serikat buruhnya, harus memperhatikan tuntutan-tuntutan dari kelas tertindas lainnya, dan menunjukkan kepada sekutunya bahwa ia tulus ingin memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Hanya dengan memperhatikan secara seksama masalah-masalah yang dihadapi oleh kelas-kelas lainnya maka kaum buruh bisa meraih kepemimpinan di dalam gerakan.

Terhadap masalah agraria yang dihadapi jutaan petani di Indonesia, kaum buruh menjawab: hanya nasionalisasi tanah-tanah milik perkebunan besar dan tuan tanah besar dan pembagiannya oleh serikat-serikat tani yang akan dapat menyelesaikan masalah agraria di Indonesia. Namun tidak cukup hanya dengan memberikan lahan kepada petani-petani gurem, mereka harus bisa berproduksi. Nasionalisasi perbankan untuk memberikan kredit murah kepada para petani. Nasionalisasi industri-industri traktor, petrokimia (pupuk), dll untuk menyediakan peralatan dan persedian pertanian yang murah kepada petani.

Kemudian kolektivisasi pertanian harus dilakukan dengan sukarela. Dengan menasionalisasi agribisnis-agribisnis besar dan menjalankannya dengan ekonomi terencana, yang tentu akan memberikan tingkat produksi lebih tinggi dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian perseorangan, niscaya dalam jangka panjang para petani perseorangan akan ingin bergabung dengan kolektif. Ini hanya bisa dipastikan bila industri-industri nasional mampu digalang untuk menyediakan traktor, pupuk, teknologi, dsb. yang merupakan persyaratan untuk tingkat produksi pertanian yang tinggi. Bila para petani perseorangan sudah merasa yakin kalau kemakmurannya akan terjamin di dalam kolektif, setelah menyaksikan betapa produktifnya kolektif tersebut, mereka akan bergabung dengan sukarela. Maka dari itu, ketegasan kelas buruh dalam menasionalisasi industri-industri besar adalah satu-satunya jalan untuk bisa memenangkan kelas tani ke dalam barisannya.

Terhadap masalah penggangguran, yakni 20 juta pengangguran terbuka dan 60 juta lainnya yang terpaksa bekerja di sektor informal karena tidak adanya pekerjaan yang layak, ini hanya bisa diselesaikan dengan menggalang seluruh perekonomian nasional ke dalam satu ekonomi terencana. Sistem ekonomi kapitalis pada esensinya adalah sistem yang anarkis, yang tidak ada rencana selain mendapatkan laba. Kapitalisme tidak peduli bila mayoritas penduduk Indonesia menganggur atau mengais sampah untuk hidup. Sistem ini harus diubah dengan menasionalisasi ekonomi-ekonomi penting (perbankan, besi-baja, migas, petrokimia, batu-bara, listrik, air, dsb) dan menjalankannya di bawah kontrol demokratis buruh. Dengan ini, seluruh perekonomian bisa diatur sedemikian rupa sehingga potensi produksi dari 80 juta rakyat ini dapat digunakan untuk membangun bangsa ini. Tidak ada satupun orang yang harus menganggur. Kita membutuhkan begitu banyak guru, dokter, suster, insinyur, peneliti; sungguh tidak ada kekurangan pekerjaan untuk semua rakyat Indonesia.

Jutaan nelayan tradisional menghadapi kesulitan bersaing dengan kapal-kapal troll besar. Mereka kalah modal, kalah teknologi, terikat oleh tengkulak-tengkulak, tertekan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak padanya. Dengan menasionalisasi perbankan, pemerintahan buruh yang baru akan bisa memberikan kredit murah untuk para nelayan miskin. Industri pengelolahan produk laut yang dinasionalisasi akan berpihak pada nelayan tradisional, dimana  hasil nelayan akan dibeli dengan harga yang pantas sehingga mereka tidak diperas oleh tengkulak-tengkulak. Undang-undang kelautan dan perikanan yang berpihak pada nelayan-nelayan kecil juga harus menjadi perhatian gerakan buruh.

Buruh harus mengambil kepemimpinan politik untuk memajukan program-program di atas, hanya dengan ini maka buruh bisa menjadi pemimpin pergerakan dan menyatukan semua kelas tertindas ke dalam barisannya. Inilah makna dari slogan “Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera”. Slogan ini harus direalisasikan dengan program-program yang merangkul masalah-masalah yang dihadapi oleh semua kelas lainnya. Tidak cukup seraya membina hubungan dengan organisasi-organisasi tani dan nelayan. Tidak cukup seraya membentuk front-front. Buruh harus meyakinkan sekutu-sekutunya bahwa ialah satu-satunya kekuatan yang tulus dan mampu membawa program ini sampai akhir, bahwa sosialisme adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan semua permasalahan masyarakat Indonesia.

Selain itu, untuk berkuasa, buruh tidak dapat mengandalkan serikat buruh saja. Serikat buruh cenderung bersifat ekonomis dan hanya mengedepankan tuntutan-tuntutan sempit untuk anggotanya saja. Bahkan dalam skenario terbaik yakni di Italia dimana kira-kira 50% buruh terorganisir di dalam serikat buruh, sebagian besar kaum buruh masih ada di luar serikat buruh. Jadi serikat buruh tidak bisa mewakilkan semua buruh. Dibutuhkan sebuah partai politik yang berdasarkan kelas buruh dan merangkul kelas-kelas tertindas lainnya. Hanya partai politik yang memungkinkan buruh untuk membentuk program politik yang jelas.

Dalam merangkul kelas-kelas tertindas lainnya, buruh harus selalu menjaga kemandirian kelasnya sendiri, karena hanya kemandiriannya yang bisa menjamin terlaksanakannya program-program di atas. Sering kali banyak tekanan untuk menumpulkan program demi persatuan. Namun tidak ada jalan pintas untuk memenangkan kepercayaan dari kelompok tertindas lainnya. Justru bila buruh tegas dan teguh, maka kaum tani, nelayan tradisional, KMK, akan melihat bahwa hanya buruhlah yang bisa memberikan kepemimpinan. Buruh harus percaya pada kekuatannya sendiri di tengah masyarakat kapitalisme yang merampok semua rasa percaya diri rakyat pekerja dan membuatnya lemah. Buruh harus percaya bahwa hanya dengan mengambil kekuasaan politik dan ekonomi ke tangannya maka rakyat Indonesia akan meraih kesejahteraan yang sesungguhnya.