facebooklogocolour

Sering kita mendengar perdebatan di antara aktivis buruh mengenai tuntutan politik di dalam gerakan buruh. Di satu pihak, ada mereka yang mengatakan bahwa gerakan buruh tidak boleh dimasuki tuntutan politik karena buruh tidak paham ini. Sementara, di lain pihak, ada mereka yang mendorong agar gerakan buruh mengadopsi tuntutan politik di dalam perjuangannya. Tuntutan ekonomi atau tuntutan politik? Begitu kiranya pertanyaan yang diajukan.

Bukan jawaban yang tepat yang sebenarnya harus kita cari, tetapi pertanyaan yang tepat. Kalau pertanyaannya saja sudah salah, maka jawaban apapun tidak akan menolong kita. Dalam hal ini, maka pertanyaan yang tepat adalah: bagaimana kita menjembatani tuntutan ekonomi ke tuntutan politik?

Bentuk paling dasar dari perjuangan buruh adalah menuntut kenaikan upah. Ini bisa datang dalam berbagai bentuk dan tidak hanya dalam bentuk gaji saja. Tiap-tiap buruh dihadapi kenyataan keras dimana mereka harus membiayai kehidupan keluarga mereka, dan upah yang lebih tinggi adalah jawaban langsung bagi mereka. Kita harus mulai dari tuntutan dasar ini. Tentu sebagai kaum sosialis, kita paham bahwa akar masalah kaum buruh adalah kapitalisme dan perjuangan politik dibutuhkan. Namun jangan kita membingungkan tingkat kesadaran kita dengan tingkat kesadaran kaum buruh secara keseluruhan.

Mereka-mereka yang kerap mendesak tuntutan politik di dalam gerakan buruh sering mengeluh mengenai kesadaran buruh yang rendah. Buruh tidak paham politik, hanya paham tuntutan normatif saja, begitu pikir mereka. Semakin keras mereka memaksa buruh untuk menerima program politik mereka, semakin mereka terkucilkan dari gerakan buruh. Tidak sedikit dari mereka – akibat kekecewaan yang mereka alami – akhirnya menyangkal buruh sebagai kekuatan revolusioner dan mencari kelas atau sektor lain yang bisa menjadi pijakan untuk idealisme mereka. Dalam pencarian mereka yang sia-sia ini, banyak yang akhirnya menyerah dan menjadi mantan aktivis militan.

Lalu di sisi lain adalah mereka yang puas dengan tuntutan normatif di dalam gerakan buruh. Bagi mereka kesadaran buruh adalah sesuatu yang statis. Mereka kerap menjadi fungsionaris serikat buruh yang handal. Ketika momen revolusi datang, ketika kaum buruh melangkah lebih jauh dari tuntutan normatif dan bergerak ke tuntutan politik, mereka tertinggal di belakang. Yang lebih parah, justru kadang mereka secara aktif mencoba menghentikan kesadaran buruh yang sedang melompat ini.

Namun bila kita memahami kesadaran buruh sebagai sesuatu yang hidup dan bergerak, maka keluhan mengenai rendahnya kesadaran buruh tidak akan menjadi buah pikiran kita sama sekali. Kita akan lebih terpaku pada masalah memahami gerak kesadaran buruh, dan bagaimana kita sebagai agen-agen aktif perubahan, sebagai elemen yang lebih sadar, dapat memainkan peran di dalamnya. Yang terpenting lalu adalah bagaimana menjembatani tiap-tiap tahapan di dalam gerak kesadaran ini dan melakukan ini sesuai dengan kemampuan organisasi kita. Yang belakangan ini cukup penting, karena bila kita mencoba berteriak melampaui kemampuan kita, suara kita bisa jadi serak dan malah bisa hilang sama sekali.

Dalam bentuk pertanyaan yang lain, Rosa Luxemburg, sosialis terkemuka dari Jerman, menulis sebuah pamflet berjudul: Reformasi atau Revolusi? Dia mengatakan bahwa pertanyaan bukanlah memilih antara reformasi atau revolusi, tapi bagaimana menggunakan perjuangan untuk memenangkan reforma-reforma sehari-hari sebagai batu pijakan menuju revolusi, bahwa reforma hanyalah alat untuk mencapai revolusi. Dalam kasus ini, maka perjuangan untuk tuntutan-tuntutan ekonomis – yakni reforma sehari-hari – adalah batu pijakan untuk ke tuntutan politik yang lebih tinggi sifatnya.

Melihat situasi objektif yang dihadapi oleh buruh, dan juga sifat dasar pertentangan kelas di dalam kapitalisme – yakni perjuangan memperebutkan nilai surplus antara buruh dan majikan -, maka tidak heran kalau insting awal dari kaum buruh adalah menuntut perbaikan upah. Tetapi sejarah telah menunjukkan kalau buruh tidak berkutat saja pada tuntutan dasar tersebut. Buruh adalah manusia, yang belajar dari pengalamannya. Setiap kemenangan memberikan mereka kepercayaan diri. Buruh pun mulai menuntut lebih, dalam berbagai macam bentuk: jaminan kesehatan, tunjangan, cuti hamil, jam kerja lebih pendek, liburan. Ketika kaum kapitalis menggunakan pemerintah untuk melawan buruh, maka buruhpun belajar berpolitik. Setiap aksi membawa reaksi.

Kita juga saksikan bagaimana negara sosialis pertama terbentuk di Rusia dengan sebuah slogan tuntutan yang sederhana: Peace, land, and bread (perdamaian, tanah, dan roti). Tentunya di belakang slogan sederhana tersebut adalah sebuah partai politik – Partai Bolshevik – yang mampu menjembatani tuntutan tersebut dengan tugas perebutan kekuasaan politik dan ekonomi. Ini menunjukkan kekuatan dari sebuah tuntutan yang di permukaan tampak sederhana. Vitalitas sebuah tuntutan ditentukan oleh kondisi objektif (situasi ekonomi politik bangsa) dan juga kondisi subjektif (kesiapan organisasi perjuangan buruh).

Dari tuntutan kenaikan upah ke penumbangan kapitalisme dan penegakan negara sosialis. Inilah jembatan yang harus dibangun oleh setiap buruh yang sadar kelas. Tidak ada jalan pintas menuju ke tugas historis ini. Jembatan ini harus dibangun dengan kokoh, dengan bahan-bahan terbaik dan orang-orang terbaik juga, supaya perjuangan kita tidak ambruk di tengah jalan.