facebooklogocolour

Ketika buruh menunjukkan taringnya, kapitalis pun melepas kedok demokrasi mereka dan menunjukkan wajah beringas mereka yang sesungguhnya. Anjing-anjing penjaga dilepas, menggonggong buas dan mencabik-cabik apapun yang hidup dan progresif.

Mogok Nasional 3 Oktober lalu adalah seperti sebuah batu besar yang jatuh ke permukaan kolam yang tenang. Gelombang yang disebabkannya terus menyeruak luas, bahkan menjadi berlipat-lipat dan terus mengganggu keheningan kolam yang damai. Hati sang kapitalis terusik, melihat kolam di halaman rumahnya tak lagi tenang. Kekuatan-kekuatan reaksioner pun mereka bangkitkan untuk menciptakan kestabilan.

Di dalam “Program Transisional” Trotsky menerangkan bahwa “menajamnya perjuangan proletar berarti menajamnya metode yang digunakan oleh kapitalis untuk memukul balik … Suatu kemalangan bagi organisasi revolusioner, suatu kemalangan bagi kaum proletar bila mereka sekali lagi tidak siap menghadapi pukulan balik ini!

Trotsky menjelaskan lebih lanjut bahwa kaum borjuis tidak pernah puas hanya dengan menggunakan polisi dan tentara yang ada. Mereka selalu memiliki batalion reaksioner: para buruh pengkhianat (“mangkir”), massa reaksioner yang bisa dimobilisasi, dan preman-preman bersenjata. Ketika polisi dan tentara tidak bisa digunakan secara efektif – karena kadang institusi negara ini terlalu terekspos media sehingga tidak selalu bisa bebas bergerak, apalagi setelah Reformasi 1998 – para kapitalis akan menggunakan kekuatan-kekuatan massa reaksioner. Semakin luas dan dalam perjuangan buruh, semakin luas pula penggunaan massa reaksioner oleh kaum borjuasi. Kita hanya perlu diingatkan oleh tragedi pembantaian 1965-66 – sebagai babak penutup periode revolusioner saat itu – dimana kekuatan buruh dihancurkan sampai ke akar-akarnya oleh massa reaksioner yang dimobilisasi oleh kaum kapitalis dan tentara.

Selama satu tahun terakhir, kaum buruh Indonesia telah melakukan eskalasi perjuangan. Eskalasi ini berkulminasi pada Mogok Nasional 3 Oktober yang telah mengejutkan para kapitalis. Seperti halnya buruh yang pertama kali melakukan mogok nasional, ini juga adalah pengalaman pertama bagi para borjuasi Indonesia hari ini. Lutut mereka pun gemetar, apalagi gelombang perjuangan buruh terus berlanjut dan semakin berani setelah Getok Monas. Mereka khawatir bila gelombang perjuangan buruh yang terus berlanjut ini tidak dihentikan maka ia akan dapat menjelma kembali menjadi mogok nasional, yang akan lebih luas dan lebih militan. Ketika semua propaganda mereka sudah menjadi tumpul – bahwa mogok akan memaksa pengusaha pindah pabrik, bahwa buruh-buruh akan digantikan dengan mesin, dan ancaman-ancaman lainnya – mereka pun menggunakan apa yang memang menjadi dasar dari kekuasaan mereka: kekerasan.

Diawali dengan kunjungan para pengusaha ke markas tentara beberapa minggu yang lalu, ratusan massa yang katanya datang dari 8 desa di sekitar Bekasi lalu tiba-tiba muncul dan  melakukan teror terhadap buruh. Walau sebenarnya jumlah massa reaksioner ini kecil dibandingkan dengan massa buruh di Bekasi, tetapi mereka dengan cepat dan sigap berhasil meluncurkan sejumlah serangan dengan mengeksploitasi ketidaksiapan organisasi-organisasi buruh. Posko-posko buruh diobrak-abrik dan puluhan buruh dipukuli. Pabrik-pabrik dimana buruh sedang melakukan aksi diserang ratusan massa preman. Melihat teror ini, ribuan buruh segera datang ke Rumah Buruh untuk melindungi tempat yang lama telah menjadi simbol perjuangan mereka. Massa buruh, yang membludak sampai 10 ribu, berjaga-jaga di Rumah Buruh dan tidak heran kalau tidak ada satupun preman terlihat di sana. Hanya unjuk kekuatan bahasa yang dimengerti oleh preman-preman bayaran ini.

Hanya kelengahan serikat-serikat buruh yang memberikan peluang bagi massa reaksioner ini. Ketika buruh langsung mengorganisir perlawanan, para preman inipun mundur. Beberapa ratus, atau bahkan beberapa ribu, preman bayaran bukanlah lawan dari ratusan ribu buruh Bekasi yang beberapa minggu yang lalu telah menunjukkan taringnya dengan mogok nasional. Semangat perlawanan orang-orang yang dibayar juga bukan lawan dari semangat buruh-buruh yang berjuang untuk kesejahteraan diri dan keluargannya dan untuk dunia yang lebih baik.

Dengan semakin tajamnya perjuangan kelas, kaum buruh juga harus bersiap-siap menghadapi serangan-serangan kaum borjuis yang akan menjadi semakin ganas. Setelah mesin propaganda dan birokrat-birokrat negara mereka – dan juga birokrat-birokrat serikat buruh yang telah mereka beli – tak lagi ampuh, mereka akan menggunakan jalan “ekstra-parlementer”, yakni unjuk kekuatan di jalan-jalan dengan kekuatan massa reaksioner. Buruh harus siap menghadapi ini. Buruh selalu ada di dalam peperangan melawan kapital, dan tidak boleh lengah sedikitpun. Seorang prajurit yang lengah akan cepat kehilangan nyawa mereka. Setiap langkah maju yang dibuat seorang prajurit, ia akan semakin dekat dengan garis pertahanan musuh dan semakin banyak pula bahaya yang menantinya.

Kebencian kaum buruh terhadap preman-preman bayaran dan elemen-elemen fasis reaksioner harus diberikan sebuah ekspresi yang terorganisir. Untuk mempertahankan keutuhan organisasi buruh dan keamanan pertemuan-pertemuan buruh, maka milisi pertahanan buruh haruslah mulai diorganisir. Ronda-ronda yang sekarang diorganisir untuk mempertahankan posko-posko buruh dan menjaga dari serangan para preman dapat dijadikan awal atau embrio milisi pertahanan buruh. Ronda-ronda tersebut dapat diberi sebuah bentuk organisasi yang ada di bawah kendali demokratis buruh lewat serikat-serikat buruh mereka.

Kehadiran milisi pertahanan buruh akan membuat para preman berpikir dua kali sebelum menyerang. Kehadiran detasemen buruh ini juga akan meningkatkan kepercayaan diri buruh. Ia akan menghancurkan tradisi penurut dan pasif dari kesadaran mereka. Ketika polisi sudah tidak bisa lagi menjaga keamanan mereka, mereka akan selalu tahu bahwa keamanan diri mereka hanya bisa dijaga oleh mereka sendiri. Secara politik, milisi pertahanan buruh  juga adalah sebuah alat propaganda mengenai keseriusan gerakan buruh dalam merealisasikan slogan “Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera”. Seperti yang dikatakan Trotsky, milisi pertahanan buruh akan “bisa melatih detasemen-detasemenm pejuang yang heroik yang mampu menjadi teladan bagi semua pekerja; bisa mengalahkan preman-preman konter revolusioner; bisa meningkatkan kepercayaan diri kaum yang terhisap dan tertindas … [dan bisa] membuka jalan bagi penaklukan kekuasaan oleh kelas proletar.”

Mungkin sejumlah orang akan keberatan dengan gagasan pembentukan milisi pertahanan ini karena akan memprovokasi reaksi. Namun dengan mogok dan aksi buruh, kaum kapitalis sudah terprovokasi. Bila di setiap lingkungan tempat tinggal dapat melakukan ronda jaga, maka serikat-serikat buruh yang punya posko-posko dan sekre-sekre juga punya hak untuk membentuk ronda jaga yang terorganisir dan terkonsolidasi untuk menjaga keamanan dan keutuhan organisasi mereka. Ronda jaga ini harus siap setiap saat, dengan detasemen buruh-buruh yang terlatih. Setiap bentuk keraguan untuk mempertahankan diri akan dieksploitasi oleh para preman bayaran dan para bos-bos mereka. Mental preman adalah hanya berani menggertak mereka-mereka yang pasif dan penurut. Ketika berhadapan dengan orang yang berani melawan tanpa keraguan sedikitpun, para preman akan gentar.

Selain itu, kalau serikat buruh tidak bisa menjaga keamanan anggota-anggota mereka, maka ini akan membuat elemen-elemen buruh yang lebih terbelakang untuk semakin menundukkan kepala mereka. “Buat apa melawan kalau nanti kena golok? Sementara, serikat buruh tidak bisa menjaga keamanan kita,” begitu pikir para buruh yang kesadarannya belum maju.

Sepuluh ribu massa buruh yang dimobilisasi untuk menjaga Rumah Buruh dan juga posko-posko buruh lainnya telah membuat massa reaksioner ini kembali ke tempat darimana mereka datang. Hanya unjuk kekuatan yang dapat dipahami oleh massa reaksioner ini. Bila massa buruh membubarkan diri mereka dan lengah kembali, maka pasti massa reaksioner ini akan kembali dimobilisasi untuk menyerang buruh. Masalah pertahanan buruh – dan pembentukan organ untuk melakukan pertahanan buruh ini – harus segera didiskusikan secara luas di antara kaum buruh. Seperti yang dikatakan Trotsky, “Suatu kemalangan bagi organisasi revolusioner, suatu kemalangan bagi kaum proletar bila mereka sekali lagi tidak siap menghadapi pukulan balik ini!