facebooklogocolour

mogokDalam momentum May Day kali ini jutaan kaum buruh seluruh dunia tumpah ruah di jalanan dan mengepalkan tangan mereka dengan kokoh, sebagai tanda perlawanan mereka terhadap sistem kapitalisme yang menindas. Tidak bisa dipungkiri kalau May Day mustahil bisa terlaksana dengan begitu gegap gempita kalau buruh tidak terhimpun dan terorganisir dalam sebuah wadah. May Day oleh karenanya adalah salah satu alat ukur kesiapan dan kematangan organisasional dari kelas buruh.

Marx mengatakan bahwa tanpa organisasi kaum buruh adalah bahan mentah untuk dieksploitasi. Lewat pengalamannya buruh perlahan-lahan menjadi sadar akan kepentingan dan keberadaan kelas mereka. Ia paham kalau ia punya kekuatan lewat satu-satunya hal yang dia miliki, tenaga kerja, dan kekuatan ini menjadi lebih besar kalau dia bersatu dengan kolega-koleganya dalam sebuah organisasi. Dari pemahaman ini lahirlah serikat buruh, organisasi juang kelas buruh yang paling dasar.

Awalnya persatuan yang dia bayangkan sangatlah sempit, hanya dengan segelintir buruh yang bekerja dengannya di pabrik yang sama dan pekerjaan yang sama. Semangat partikularisme dan kedaerahan, warisan dari kelas masa lalunya, yakni kelas tani, masih lekat pada dirinya. Namun seiring dengan matangnya kapitalisme dan bersamaan dengan itu matangnya kelas buruh itu sendiri, kaum buruh belajar dengan cepat bahwa mereka harus terus meluaskan cakupan organisasinya: lintas pabrik, lintas daerah, nasional, dan akhirnya lintas negara atau internasional.

Tetapi dalam sejarahnya buruh tidak hanya berhenti di perjuangan serikat buruh saja. Situasi niscaya mendorongnya untuk mulai berpolitik dan membentuk partai. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah serikat buruh telah menyatakan niat mereka untuk membangun partai buruh. Walaupun belum ada langkah-langkah konkret yang signifikan menuju ke sana sampai hari ini karena kebimbangan dan ketidakseriusan dari banyak pemimpin buruh, tidak diragukan lagi kalau mayoritas buruh akar rumput setuju bahwa mereka membutuhkan kendaraan politik mereka sendiri yang independen.

Untuk bisa memahami mengapa buruh membutuhkan partai politiknya sendiri, kita terlebih dahulu harus memafhumi keterbatasan dari serikat buruh itu sendiri. Ini yang akan coba kita lakukan di bawah.

Apa itu Serikat Buruh?

Dalam 200 tahun perjalanannya karakter serikat buruh telah berubah banyak. Akan tetapi secara umum serikat buruh masih memiliki fungsi yang sama. Serikat buruh adalah alat yang digunakan oleh buruh untuk memastikan agar ia menerima upah yang sesuai dengan hukum upah kapitalis dan sesuai dengan kondisi pasar tenaga kerja. Dalam sistem ekonomi kapitalis dimana buruh adalah penjual tenaga kerja (labour power) dan kapitalis adalah pembeli, maka serikat buruh adalah alat tawar yang digunakan buruh agar hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja dipatuhi.

Pengecualian dapat ditemukan di satu dua lapangan pekerjaan yang memiliki kondisi-kondisi unik tersendiri. Tetapi umumnya buruh tidak bisa menjual tenaga kerjanya, yakni komoditas yang ia miliki, lebih dari apa yang menjadi nilai dari tenaga kerja itu sendiri, atau yang disebut upah. Di sini upah dalam hukum ekonomi kapitalis adalah bagian seminim-minimnya dari total nilai lebih yang diproduksi buruh yang cukup untuk mempertahankan eksistensi atau keberadaan sosial kelas buruh. Kasarnya, untuk memberinya makan, menaruh atap di atas kepalanya, memberinya pakaian yang cukup, dan memungkinkannya bereproduksi bila diperlukan. Maka dari itu, sebaik-baiknya serikat buruh ia hanya bisa menjadi alat tawar dalam batasan hukum penawaran dan permintaan kapitalis agar buruh mendapatkan upah yang selayaknya.

Di sana atau di sini, tergantung pada konteks sosio-historis dan juga sejarah perjuangan buruh yang ada, nilai upah riil akan berbeda-beda. Ada upah yang cukup untuk memberi makan nasi dengan garam saja, ada upah yang cukup untuk memberi makan nasi dengan daging. Apa yang dianggap layak di satu tempat tidaklah selalu layak di tempat lainnya. Tetapi secara hakikat tidak peduli di Amerika Serikat atau di Indonesia, atau di Etiopia, upah adalah bagian dari nilai-lebih yang cukup untuk mempertahankan keberadaan sosial dari kelas buruh.

Sebagai konsekuensinya, selama 200 tahun keberadaannya, kelas buruh tidak pernah bisa menimbun nilai lebih karena apa yang diperolehnya dari upah segera dikonsumsinya untuk bisa hidup. Ia hidup hanya dari hari ke hari, dari tangan ke mulut. Ia lahir tanpa memiliki sesuatu pun, dan masuk liang kubur juga tanpa memiliki sesuatu pun. Sementara kelas kapitalis dari hari ke hari terus menimbun nilai lebih atau kapital yang semakin hari semakin besar, hingga hari ini 1% terkaya memiliki kekayaan setara dengan 99% penduduk dunia, dan 62 kapitalis terkaya di dunia memiliki jumlah kekayaan yang setara dengan separuh populasi dunia, atau 3,5 miliar buruh. Dua ratus tahun perjuangan serikat buruh tidak mampu mengubah secara fundamental ketimpangan yang ada dan menghentikan laju polarisasi kekayaan antara buruh dan pemilik modal.

Akan tetapi ini tidak berarti semuanya adalah sia-sia. Lewat pengalamannya dalam perjuangan serikat buruh, kaum buruh menyadari keterbatasan dari serikat buruh dan reforma-reforma ekonomi. Mereka melihat bagaimana semua perjuangan normatif mereka tampak seperti perjuangan yang tiada akhir, seperti mengejar pelangi, dari satu PKB ke PKB yang lain, dari satu UMK ke UMK yang lain, yang senantiasa tidak lebih dari pertahanan dari serangan profit. Kenyataan ini mendorongnya untuk mulai memikirkan masalah kekuasaan, yakni masalah politik.

Partai Buruh

Pengalaman perjuangan yang diperoleh oleh buruh lewat serikat-serikatnya niscaya mengarahkannya ke pembentukan partai politik. Bagaimana mungkin tidak? Setiap aspek kehidupannya dikendalikan oleh pemerintah. Upah – dan kondisi-kondisi kerja lainnya – bukan lagi masalah yang terbatas antara buruh dengan pemilik modal saja, tetapi juga diatur oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Akses ke pendidikan dan kesehatan, subsidi BBM, masalah lingkungan hidup, masalah tanah bagi kaum tani, dsb. yakni semua hal yang mempengaruhi hajat hidup tidak hanya buruh tetapi seluruh rakyat pekerja ada di bawah kuasa negara. Karena negara yang ada adalah negara borjuis, yakni komite yang mengurus kepentingan umum dari para pemilik modal, maka tidak bisa tidak negara yang ada akan meloloskan kebijakan-kebijakan yang pro-kapital, seperti PP78 tahun lalu, reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa.

Menyadari ini buruh terdorong untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah kapitalis ini dengan perjuangan politik. Dalam sejarah kita melihat bagaimana serikat-serikat buruh – dan terkadang juga dengan elemen-elemen rakyat pekerja lainnya – bersatu membentuk partai politik. Lewat partai politiknya sendiri, yang dibangun dengan keringatnya sendiri, buruh mengedepankan kandidat-kandidat mereka dalam pemilu, dari tingkat kota sampai nasional. Tujuannya agar buruh punya perwakilan parlemen yang bisa menyuarakan kepentingan buruh dalam melawan kebijakan-kebijakan pro-kapital dan meloloskan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat.

Reformasi atau Revolusi

Kalau serikat buruh adalah sekolah dasar bagi perkembangan kesadaran kelas buruh, maka partai buruh adalah sekolah lanjutannya. Di sini kita lalu dihadapkan dengan pertanyaan: apa yang ingin kita capai lewat sekolah-sekolah ini? Apa tujuan akhir dari gerakan buruh? Serikat buruh dan partai buruh hanyalah alat untuk sebuah tujuan tertentu. Mereka bukan akhir dalam dirinya sendiri. Keberhasilan dari alat-alat ini akan tergantung pada pemahaman yang tepat akan tujuan dari gerakan buruh.

Telah kita paparkan di atas bahwa sebaik-baiknya perjuangan serikat buruh tidak akan mampu menghilangkan eksploitasi buruh dan ketimpangan ekonomi yang inheren antara buruh dan pemilik modal. Dalam kasus yang paling baik, perjuangan serikat buruh hanya akan memberikan kondisi semi-beradab bagi buruh, ini pun hanya sementara dan hanya untuk selapisan kecil kaum buruh. Misalnya taraf hidup yang relatif tinggi yang dimenangkan oleh kaum buruh di Barat pasca Perang Dunia Kedua, dari 1950-1970. Pencapaian-pencapaian ini pun sudah mulai ditarik kembali oleh kaum kapitalis dengan program-program penghematan yang semakin intensif sejak krisis finansial 2008. Negara kesejahteraan yang menjadi kebanggaan gerakan buruh di Barat sudah mulai dipreteli sedikit demi sedikit, dan dengan kecepatan yang semakin cepat. Selama satu dua dekade terakhir, upah riil buruh Barat telah mengalami stagnasi. Anggaran sosial semakin dipotong. Kepastian kerja semakin tidak menentu. Jumlah anggota serikat buruh semakin menurun, seperti misalnya di Kanada yang turun dari 34% ke 26% selama 1980-2014; AS dari 22% ke 11%; Belanda 35% ke 18%; Jerman 31% ke 18%; Prancis 18% ke 7%, dan seterusnya dan seterusnya.

Melihat nasib yang dialami oleh gerakan buruh di Barat, dimana kapitalisme bahkan sudah tidak bisa lagi menjamin taraf hidup yang baik bagi buruh di sana, maka masa depan kaum buruh dan rakyat pekerja luas di  Indonesia tampak suram. Satu-satunya kesimpulan yang bisa kita tarik – kalau kita ingin jujur pada diri sendiri – adalah tidak akan bisa tercapai kesejahteraan yang sejati bagi buruh selama kita masih beroperasi di bawah kapitalisme. Tujuan akhir dari gerakan buruh oleh karenanya adalah menyudahi sistem kapitalisme ini, dan mendirikan sistem yang alternatif, yakni sosialisme.

Sumber dari eksploitasi buruh adalah kenyataan bahwa ada segelintir pemilik modal yang memiliki alat-alat produksi (bank, pabrik, kantor, perkebunan, pertambangan, dsb.) dan mayoritas pekerja yang tidak memiliki apapun selain komoditas tenaga kerjanya, yang dijualnya ke kapitalis untuk upah dan digunakan oleh kapitalis untuk meraup nilai-lebih. Relasi produksi inilah yang akan selalu meletakkan buruh sebagai budaknya kapitalis. Penyelesaiannya adalah menghancurkan relasi produksi kapitalis ini, dengan menyita alat-alat produksi ini dari tangan kapitalis, meletakkannya di tangan kaum buruh, yang akan dijalankan secara kolektif dan demokratis untuk pemenuhan kebutuhan seluruh umat manusia. Inilah sosialisme.

Masuknya buruh ke dalam gelanggang politik memberi mereka kemungkinan atau potensi untuk menghapus eksploitasi buruh untuk selama-lamanya. Namun apa yang merupakan potensi tidak otomatis akan menjadi kenyataan, dan untuk mengubah apa yang potensial menjadi kenyataan dibutuhkan kepemimpinan dan program revolusioner. Membentuk partai politik saja tidak akan menyelesaikan masalah buruh kalau tidak disertai dengan program serta stratak yang bertujuan menumbangkan kapitalisme dan mendirikan sosialisme.

Partai buruh masih akan memperjuangkan reforma-reforma bagi buruh di bawah kapitalisme, tetapi ini dilakukannya sebagai persiapan menuju revolusi sosialis. Lewat perjuangan sehari-hari, Partai buruh akan mempersiapkan kesadaran buruh untuk revolusi sosialis.

Dari serikat buruh ke partai buruh, dan akhirnya ke perebutan kekuasaan secara revolusioner oleh kaum buruh. Inilah satu-satunya jalan bagi buruh.