facebooklogocolour

partai buruhSetelah dideklarasikannya Partai Buruh pada Oktober lalu, masalah sikap kaum revolusioner terhadap partai buruh menjadi semakin konkret hari ini dibanding hari-hari sebelumnya. Ada kebingungan yang besar di antara banyak aktivis Kiri dalam merespons peristiwa ini dan bagaimana mengorientasikan diri mereka. Pada momen seperti inilah dibutuhkan perspektif Marxis yang dapat memandu kita agar tidak terombang-ambing di hadapan peristiwa-peristiwa besar.

Secara umum kita dapat temui dua sikap dalam gerakan. Di satu sisi kita melihat ada tekanan dari sebagian aktivis Kiri untuk masuk ke partai buruh, dengan tujuan utama memastikan partai ini lolos electoral threshold agar bisa berlaga di pemilu 2024. Dalam melakukan ini, aktivis-aktivis Kiri ini memilih menunda terlebih dahulu klarifikasi gagasan dan ideologi, sehingga secara efektif mereka membuntuti sayap Reformis Kanan yang mendominasi partai ini. Di sisi lain kita menyaksikan mood ultra-kiri yang melihat dengan sinis serta menolak secara prinsipil terbentuknya partai buruh ini karena keterlibatan dari pemimpin-pemimpin Reformis Kanan, atau yang sering mereka beri label “elite-elite serikat buruh”. Bagi mereka, partai buruh ini tidak ubahnya partai borjuis.

Bila kaum revolusioner tidak berhati-hati mendekati masalah ini dengan jeli, kita bisa terjebak entah dalam rawa likuidasionisme atau rawa ultra-kiri. Likuidasionisme adalah kecenderungan mengabaikan kerja-kerja penting pembangunan kekuatan partai revolusioner yang memiliki perspektif menumbangkan kapitalisme, dan sebagai gantinya berkutat di dalam aktivitas-aktivitas serikat – dan hari ini partai buruh – yang terbatas pada tuntutan-tuntutan parsial dan minimum. Kekuatan serta perspektif revolusioner dilikuidasi ke dalam gerakan yang lebih tak berbentuk. Sebagai akibatnya, likuidasionisme hampir selalu mengarah pada oportunisme, yang menanggalkan prinsip revolusi demi pencapaian-pencapaian reformis jangka pendek dan sesaat. Kecenderungan ini muncul dari empirisme vulgar dan penilaian yang salah mengenai kondisi obyektif, dan hal ini akan kita kupas di bawah.

Sedangkan ultra-kiri-isme, yang secara prinsipil menolak mendukung ataupun melakukan kerja di organisasi massa reformis, sesungguhnya tidaklah terlalu berbeda dengan saudara tiri mereka. Ia berakar dari hal yang sama: empirisme vulgar dan penilaian yang keliru mengenai kondisi obyektif. Sangat mudah untuk mencaci setiap perkembangan partai buruh dari segala sudut karena partai buruh ini tidak sesuai dengan skema baku yang sudah terpahat dalam benak seorang revolusioner, karena partai buruh ini dianggap tidak memiliki program Sosialis yang lengkap dan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang telah berulang kali mengecewakan gerakan buruh. Partai buruh di bawah kepemimpinan kaum reformis, entah Kanan maupun Kiri, niscaya akan mengkhianati tujuan proletariat seperti halnya birokrasi reformis serikat buruh telah mengkhianati gerakan buruh lagi dan lagi. Ini adalah satu aksioma historis yang jelas, bahwasanya implisit dalam reformisme adalah pengkhianatan. Tapi kaum revolusioner mendekati masalah politik bukan berdasarkan pertimbangan sentimental, dan bukan berdasarkan aksioma umum semata, tetapi berdasarkan perspektif perjuangan kelas yang konkret.

Politik seperti halnya hutan belantara. Tanpa peta dan kompas kita akan mudah tersesat. Kaum revolusioner perlu memberikan arah untuk perkembangan terbaru ini. Teori adalah panduan bagi kita yang memberikan jalan keluar dari labirin peristiwa. Tanpa teori Marxisme, gerakan bisa terombang-ambing di tengah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan akan mudah terjerumus ke dalam rawa kebingungan. Oleh karenanya, sebelum kita menjawab apa yang seharusnya menjadi sikap kaum revolusioner terhadap partai buruh, kita harus terlebih dahulu memeriksa periode yang tengah kita masuki hari ini.

Reformisme di periode hari ini

Kapitalisme telah terjungkal dari satu krisis ke krisis yang lain. Semenjak krisis 2008 tidak ada pemulihan ekonomi yang berarti. Krisis ini membuka era gejolak sosial dan politik di mana-mana. Cerminan dari ketidakstabilan dapat kita saksikan dalam polarisasi kesadaran yang terungkap melalui fenomena politik di banyak negeri. Ini ditandai dengan munculnya partai dan figur-figur reformis kiri seperti: Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Bernie Sanders di Amerika, Jeremy Corbyn di partai buruh Inggris, Melenchon di Prancis, dst.

Namun krisis ini dengan cepat mengekspose ketidakmampuan Reformisme Kiri dalam memberikan jalan keluar dan lalu mendorong pendulum ke arah sebaliknya, yakni dengan munculnya figur-figur sayap kanan seperti Donald Trump di AS, Boris Johnson di Inggris, serta Bolsonaro di Brazil. Munculnya sayap kanan bukan sebuah kebetulan, tapi merupakan hasil dari polarisasi yang terjadi di masyarakat. Selama tidak ada arus revolusioner yang dapat menyediakan ekspresi politik bagi ketidakpuasan massa ini, polarisasi ini akan terus terjadi sepanjang krisis kapitalisme.

Kapitalisme tidak bisa lagi memberikan reforma seperti di masa lalu, dan tanpa reforma maka reformisme pun kehilangan pijakannya. Itu artinya sepanjang jalan yang dihadapi kelas pekerja adalah penghematan dan serangan-serangan terhadap hak-hak pekerja yang telah dimenangkan di periode sebelumnya. Dengan sangat menyedihkan situasi saat ini tidak memberikan celah bagi reformisme – bahkan reformisme kiri – untuk mempraktikkan gagasannya. Ilusi reformis dengan cepat pudar dihantam realitas. Inilah mengapa banyak kekecewaan dan protes massa di dunia tidak tersalurkan lewat organisasi-organisasi massa tradisional: Gerakan Rompi Kuning di Prancis; gerakan Black Lives Matter; gelombang aksi protes perubahan iklim di seluruh dunia yang didominasi kaum muda; demonstrasi Anti-Omnibus Law yang diprakarsai oleh pelajar dan mahasiswa.

Massa telah melewati pengalaman dari reformisme kiri dan lalu ke kanan. Massa telah melihat bahwa kaum reformis kiri kendati terlihat kritis terhadap kapitalisme tapi mereka tidak ada bedanya dengan kaum liberal. Mereka sekuat tenaga mempertahankan kapitalisme di tengah keruntuhannya dan mencoba menyelamatkannya. Pada akhirnya, periode ke depan sedang mempersiapkan ayunan massa yang jauh lebih radikal ke kiri.

Kapitalisme tidak mungkin bisa diperbaiki dan sudah tidak mampu memberikan remah-remah kesejahteraan. Bahkan bila gerakan buruh dapat memenangkan sejumlah konsesi di sana dan di sini, kemenangan-kemenangan ini akan dengan cepat direnggut kembali. Apa yang telah dimenangkan oleh buruh lewat Getok Monas 2012 dengan cepat sudah diputar balik dengan lolosnya PP78 dan Omnibus Law. Bila partai buruh berkuasa, apa yang akan dihadapinya adalah bagaimana partai bisa mewujudkan janji-janji program negara kesejahteraan, bagaimana membiayai pengeluaran publik seperti kesehatan, pendidikan dll., ketika tuas-tuas ekonomi masih dimiliki kelas majikan. Partai buruh akan menghadapi tekanan besar dari kelas kapitalis selama mereka bersandar pada kapitalisme. Selama partai buruh tidak memiliki perspektif Sosialisme, maka kebijakannya niscaya akan didikte oleh logika pasar kapitalis. Inilah yang terjadi pada berbagai partai buruh di dunia hari ini, yang setelah berkuasa justru menjadi pelayan kapital.

Pengalaman Bolivia dan Venezuela menunjukkan bahwa membiayai pengeluaran publik tidak bisa dilaksanakan secara setengah-setengah. Tidak cukup dengan reformasi saja, tetapi harus mengarah pada penaklukan total revolusi, yakni menasionalisasi tuas-tuas ekonomi di bawah kontrol dan pemerintahan dari dan oleh kelas buruh. Bila partai buruh benar-benar ingin membela kepentingan kelas buruh, maka itu hanya bisa dengan mengedepankan program sosialisme revolusioner. Program inilah yang seharusnya diperjuangkan oleh partai buruh Indonesia, dan memperjuangkan program sosialisme revolusioner di dalam partai buruh menjadi tugas dan tanggung jawab dari kaum sosialis. Ini bukan sesuatu yang bisa ditunda-tunda dengan alasan: “Yang penting sekarang Partai Buruhnya jadi dulu.” Bila fondasi rumah ini sejak awal sudah keropos, maka partai ini akan roboh begitu diterpa angin kecil, dan yang malang adalah rakyat pekerja yang ada di dalamnya.

Situasi krisis dan periode penuh gejolak hari ini akan membuka banyak kemungkinan. Bisa saja partai buruh yang masih dalam tahap embrionya ini meraih momentum dan menarik jutaan massa, tapi mungkin juga partai ini kehilangan momentum dan pupus di tengah jalan. Diskusi mengenai apakah kaum revolusioner perlu memasuki partai buruh atau tidak bukanlah pertanyaan sederhana antara iya dan tidak. Kita harus mengkajinya sebagai bagian dari keseluruhan strategi dan taktik kita untuk memimpin kelas proletariat ke kemenangan akhir: terwujudnya masyarakat Sosialis.  

Meskipun kaum revolusioner berorientasi ke partai massa buruh dan serikat-serikat buruh, tapi kaum revolusioner bukanlah pemandu sorak dari partai buruh. Kebijakan Marxis dalam mendukung masalah partai buruh adalah untuk memudahkan gagasan sosialisme ilmiah mendapatkan dominasi di dalam partai buruh dan menuntut kemerdekaan penuh partai buruh dari pengaruh partai-partai borjuis.

Partai buruh yang baru dideklarasikan ini masih dalam tahap awal. Mengubah partai buruh ini menjadi partai massa buruh membutuhkan peristiwa besar. Bisa saja di kemudian hari massa memasuki partai buruh dan mengubah serta menyingkirkan pemimpin reformis mereka, tapi ini hanya terjamin bila ada kecenderungan revolusioner di dalamnya.

Lenin dan Komunisme Sayap Kiri

Ada beberapa orang-orang konyol menggunakan argumen Lenin dalam Komunisme Sayap Kiri demi menganjurkan para aktivis masuk ke partai buruh. Mereka mengatakan bahwa kita harus bekerja di mana massa dapat kita temukan. Setan pun bisa mengutip Alkitab bila mereka mau. Kita perlu menempatkan tulisan Lenin ini sesuai konteks. Lenin mengatakan bahwa akan menjadi teori yang “konyol” bila kaum revolusioner tidak boleh bekerja di dalam organisasi buruh reformis. Tetapi, akan menjadi lebih “konyol” bekerja di dalam organisasi buruh reformis tersebut bila tidak memahami kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk bekerja di dalamnya.

Pertama, ketika Lenin menulis Komunisme Sayap Kiri, saat itu ada radikalisasi massa buruh yang memasuki organisasi-organisasi buruh sosial demokrasi lama. Selama periode itu, seperti yang dijelaskan Lenin, “Jutaan buruh di Inggris Raya, Prancis dan Jerman, yang sebelumnya tidak berorganisasi, untuk pertama kalinya memasuki bentuk organisasi yang paling dasar, paling rendah, paling sederhana, dan (memasuki organisasi-organisasi yang masih sepenuhnya dirasuki oleh prasangka-prasangka borjuis demokratik), yang paling mudah mereka pahami, yakni serikat buruh.” Lenin juga menunjukkan hal ini dengan mengutip statistik, bahwa jumlah keanggotaan serikat buruh Inggris mengalami peningkatan dari 5.500.000 pada akhir 1917 menjadi 6.600.000 pada akhir tahun 1918, dan diperkirakan menjadi 7.500.000 pada 1919. Revolusi Oktober serta kesengsaraan akibat perang imperialis 1914-1918 memicu gelombang revolusi di seluruh Eropa. Puluhan juta buruh sedang bergerak ke arah Sosialisme, dan dalam jumlah masif memasuki organisasi-organisasi dasar kelas buruh.

Kondisi hari ini jelas berbeda. Periode yang sedang kita lewati hari ini ditandai dengan pesimisme dan ketidakpercayaan terhadap organisasi-organisasi dasar buruh. Bila kita melihat situasi Indonesia dengan mengutip dari Hanif Dhakiri yang memaparkan data Kemenaker, dalam satu dekade dari 2007-17 ada penurunan jumlah serikat buruh dari 14 ribu menjadi 7 ribu. Sementara pada periode yang sama angka keanggotaan menurun dari 3,4 juta menjadi 2,7 juta. Dengan adanya pandemi tren penurunan jumlah anggota serikat ini mungkin akan terus terjadi.

Gerakan buruh tidak bisa disulut begitu saja ketika kita menginginkannya. Buruh akan mempertimbangkan dengan cermat apakah dengan masuk organisasi buruh mereka bisa mengubah nasib mereka. Ketika yang mereka lihat hanya kekalahan demi kekalahan mereka akan berpikir apakah mungkin meraih kemenangan dengan kepemimpinan yang selama ini melembapkan perjuangan mereka. Kekecewaan ini bukan semata karena situasi objektif. Hari ini sangat mungkin bagi pekerja melakukan perlawanan karena krisis dan pandemi. Tapi apa yang tidak dimiliki oleh mereka adalah kepemimpinan yang revolusioner. Ada kekecewaan di bawah permukaan yang selama ini diabaikan oleh kepemimpinan reformis buruh. Elan kelas buruh belum padam, hanya saja dihambat oleh kepemimpinan mereka. Bila saja Partai Buruh ini dideklarasikan pada periode Getok Monas 2011-12, tentu hasilnya akan sangat berbeda. Partai Buruh ini akan dapat menarik jutaan pekerja ke sisi mereka. Hari ini, Partai Buruh dideklarasikan justru setelah serentetan kekalahan. Ini tidak menafikan prospek Partai Buruh, yang nasibnya masih akan ditentukan oleh pergulatan kelas di masa yang akan datang.

Kedua, dan ini sesuatu yang begitu penting dan sering kali dilupakan oleh banyak pembaca Lenin, bahwa partai-partai komunis saat itu adalah kekuatan yang cukup besar di seluruh dunia karena klaim mereka terhadap kemenangan Revolusi Oktober. Dalam karya Komunisme Sayap Kiri (1920), Lenin tengah berbicara kepada partai-partai komunis (terutama Jerman dan Inggris) yang sudah terbentuk, rapat, dan disiplin, dengan anggota puluhan ribu. Misalnya, pada 1920, di kota Bremen saja, Partai Komunis Jerman (KPD) memiliki 8000 anggota dan beberapa koran harian di kota tersebut. Jumlah total anggota KPD pada 1920 adalah 106.000, dengan akar yang dalam di dalam gerakan buruh. Sementara Partai Komunis Inggris (CPGB) yang baru terbentuk pada Agustus 1920 saja memiliki 5000 anggota.

Lenin mengusulkan kepada kader-kader partai komunis untuk mengintervensi organisasi-organisasi buruh reformis untuk memenangkan panji-panji sosialisme di antara kaum buruh akar rumput yang masih terilusi oleh reformisme. Lebih spesifiknya, dia menganjurkan KPD untuk bekerja di dalam serikat-serikat buruh reformis dan CPGB untuk membentuk blok parlementer dengan Partai Buruh, dan bahkan tidak menutup kemungkinan berafiliasi dengan Partai Buruh. Berbeda dengan kondisi hari ini, kita bahkan tidak memiliki partai kader revolusioner yang besar seperti saat itu. Bahkan seperseratusnya saja tidak ada, dalam hal kuantitas maupun kualitas. Yang telah lama menjadi problem dalam gerakan adalah bagaimana mayoritas aktivis Kiri – bahkan yang mengaku Marxis – telah mencampakkan tugas membangun partai revolusioner dan jatuh ke dalam likuidasionisme yang bahkan telah diperangi Lenin dalam kehidupannya. Yang pintar mengutip Lenin lupa, atau sengaja lupa, bahwa Lenin tidak hanya menulis Komunisme Sayap Kiri saja, tetapi sedari 1903 sampai 1917 mendedikasikan energinya untuk membangun sebuah partai kader Marxis yang rapat, disiplin, tersentralisir, dan teguh dalam prinsip. Inilah yang menjadi prasyarat keberhasilan Lenin dan kaum Bolshevik.

Ketiadaan partai revolusioner ini menentukan taktik dari kaum revolusioner dalam menyikapi masalah partai buruh. Alangkah tidak bijaksana orang-orang yang berteriak “massa”, “massa” dan “massa!” tapi tidak tahu kondisi-kondisi apa yang dibutuhkan untuk memenangkan massa.

Memasuki partai buruh sebagai kecenderungan revolusioner bukanlah pekerjaan mudah. Jumlah dan kualitas kader akan menentukan suara kita di dalam partai. Bila kita memiliki ribuan kader yang tertempa, yang tersatukan rapat dalam sebuah organisasi Bolshevik, ini tentu hasilnya akan sangat berbeda. Berteriak melebihi pita suara hanya akan merusak tenggorokan kita. Kita perlu memiliki organisasi revolusioner yang memiliki kader yang tertempa dalam jumlah ribuan, yang memiliki akar di antara massa pekerja. Tugas kaum revolusioner adalah secepat mungkin membangun kekuatannya hari ini sebagai bagian mempersiapkan badai perjuangan kelas di hari depan.

Di sini kita harus memahami relasi antara strategi dan taktik, dalam kaitannya dengan tujuan akhir kita. Tujuan akhir kita adalah menumbangkan kapitalisme dan mewujudkan sosialisme. Dan salah satu strategi untuk mencapai tujuan tersebut adalah memenangkan massa buruh dari cengkeraman ilusi reformisme dengan mengintervensi organisasi-organisasi massa buruh dimana mereka berada. Namun taktik kita, yakni langkah-langkah yang kita ambil hari ini, tidaklah ditentukan secara langsung oleh strategi. Hanya karena strategi kita adalah mengintervensi organisasi buruh, bukan berarti taktik kita langsung mencurahkan sumber daya untuk melakukan ini. Bila kekuatan organisasi kita belum memadai, maka taktik yang perlu dilakukan adalah membangun kekuatan tersebut sesuai dengan kondisi yang ada di hadapan kita. Ini seperti operasi militer. Kita tidak mengirim begitu saja pasukan kita untuk menyerbu markas musuh tanpa terlebih dahulu melakukan persiapan-persiapan taktis: merekrut prajurit; melatih mereka; persiapan suplai senjata dan makanan; penempatan pasukan di titik-titik penting; kerja rekonaisans; dsb. Strategi dan taktik ada dalam dua tingkatan yang berbeda, dengan skala waktu yang berbeda pula. Taktik haruslah fleksibel dan dapat disesuaikan dengan medan yang ada.

Taktik mendesak sekarang adalah bagaimana memusatkan kekuatan ketika musuh jauh lebih kuat. Ketika kekuatan revolusioner hari ini masih kecil, tugas kaum revolusioner adalah membangun kekuatannya dan bukan justru melikuidasinya ke dalam gerakan yang lebih cair. Kaum revolusioner tidak memiliki kewajiban setiap saat untuk mengikatkan dirinya dengan partai buruh. Kaum revolusioner harus melihat bagaimana massa hari ini bergerak dan perlu fleksibel menggunakan setiap peluang yang terbaik untuk membangun kekuatannya, bahkan bila itu harus dilakukan terlebih dahulu di luar partai buruh. Intinya, tanpa adanya partai kader revolusioner yang memiliki perspektif Marxis, semua pembicaraan mengenai memenangkan massa dengan mengintervensi organisasi massa buruh tidak akan berbuah apapun, dan justru berakhir dengan kegagalan yang tragis.

Membangun organisasi kader revolusioner

Selama satu masa yang panjang, kekuatan Marxisme revolusioner telah terlempar ke belakang. Kaum Kiri telah meninggalkan cita-cita revolusi sosialis. Bahkan ketika ada yang berbicara mengenai Marxisme, ini hanyalah dalam bentuk yang tidak mengancam status quo: Marxisme malu-malu kucing. Ini berarti tugas membangun organisasi revolusioner dan mempersenjatai kader dengan ide-ide fundamental Marxisme masih menjadi prioritas utama.

Sekarang proses radikalisasi ada di luar partai buruh dan kecenderungan revolusioner harus membangun kekuatannya saat ini bukan di dalam partai buruh tapi di antara kaum muda revolusioner yang kini berdiri di luar partai buruh. Pemuda-pemudi pembangkang ini berjuang di berbagai medan: pembebasan nasional; pendidikan; gerakan perempuan; gerakan lingkungan hidup; demokrasi. Mereka kritis dan menjauhi politik “pragmatis” yang dipraktikkan oleh para pemimpin reformis. Inilah lapisan yang harus dihimpun ke dalam organisasi revolusioner.

Mari kita ingat periode ketika Marx dan Engels mendirikan Internasional Pertama. Tujuan mereka adalah membimbing gerakan buruh di seluruh dunia untuk mencapai pembebasannya. Lewat Internasional Pertama (1864-1876) Marx dan Engels menetapkan fondasi sosialisme ilmiah dalam Manifesto Komunis, yang selanjutnya mendapatkan pengaruh yang besar dalam pendirian Internasional Kedua (1889-1916).

Tugas membangun Internasional ini tidak datang dengan menunggu sampai serikat-serikat buruh atau partai-partai buruh di seluruh dunia sepakat membangunnya. Tapi ini mengalir langsung dari tugas kelas pekerja sedunia untuk mengakhiri kapitalisme. Marx memahami bahwa kelas proletariat harus dipandu dengan ide-ide revolusioner. Demi alasan itu pulalah Marx menganggap bahwa ide-ide ini perlu dibawa oleh kelas buruh melalui lapisan termajunya yang terhimpun dalam organisasi kader revolusioner. Marx dan Engels tidak melikuidasi Internasional Pertama ke dalam organisasi-organisasi buruh yang lebih cair. Mereka justru dengan tegas memperjuangkan prinsip Marxisme yang kokoh, untuk memberi ekspresi politik yang kokoh pada gerakan buruh yang lebih cair.

Sejarah Bolshevisme adalah sejarah perlawanan terhadap mereka-mereka yang mencoba mereduksi organisasi revolusioner menjadi aktivisme sempit serikat-serikat buruh atau partai buruh. Pada tahun 1890an mereka melawan tendensi Ekonomisme yang bermaksud membatasi perjuangan buruh pada perjuangan ekonomi sehari-hari dan menafikan perlunya partai revolusioner. Selama periode reaksi (1908-13), mereka melawan kaum Likuidator yang secara efektif bermaksud membubarkan partai revolusioner, dan mengubahnya menjadi partai parlementer belaka. Perjuangan melawan likuidasionisme inilah yang menjadi salah satu fondasi keberhasilan Partai Bolshevik dalam memimpin Revolusi Oktober.

Bila kita mampu secara telaten membangun organisasi kader revolusioner kita sendiri, maka di hari depan kita bisa memainkan peran krusial di dalam gerakan buruh, memberinya kepemimpinan revolusioner yang sangat dibutuhkan. Ada tidaknya partai buruh hari ini tidak mendikte apa yang harus kita lakukan sekarang: mempersiapkan organisasi kader revolusioner. Organisasi kader revolusioner perlu memiliki ribuan bahkan puluhan ribu kader. Dari mana kader revolusioner di masa mendatang ini akan kita peroleh? Sebagian besar ini akan datang di antara lapisan muda yang hari ini teradikalisasi oleh peristiwa. Selama organisasi kader revolusioner tidak dibangun terlebih dulu, maka histeria memenangkan massa dalam partai buruh akan menjadi omong kosong. Tugas mendesak lapisan termaju hari ini adalah membangun organisasi kader revolusioner dan inilah yang sedang kita bangun sekarang. Bergabunglah bersama kami!