facebooklogocolour

Bayang bayang Ganjar

Partai Buruh tengah mengalami krisis. Ini dipicu ketika Said Iqbal memberikan sinyal dukungannya terhadap Ganjar Pranowo. Dalam pertemuan di Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Tengah Jakarta kemarin, Said Iqbal, Andi Gani dan para pemimpin serikat buruh lainnya menyatakan bahwa buruh akan all out mendukung Ganjar Pranowo. Meskipun Partai Buruh belum memutuskan secara resmi pilihannya, tapi dalam Rakernas yang digelar pada April yang lalu menyebut nama Ganjar Pranowo sebagai capres urutan pertama yang akan diusung Partai Buruh pada Pemilu 2024 mendatang. Ini hanyalah masalah waktu bagi Partai Buruh untuk memperjelas dukungannya pada konvensi di bulan Juni-Juli mendatang. Tapi satu hal yang jelas, langkah kolaborasi kelas yang semakin terang-terangan ini telah memperdalam kekecewaan di jajaran pendukung partai dan serikat-serikat buruh.

Salah satu pemimpin cabang Partai Buruh yang kami wawancarai mengatakan, krisis dan kekecewaan ini tidak hanya terjadi di serikat-serikat buruh saja, melainkan juga di internal Partai Buruh. Dia mengatakan: “Saya dicecar pertanyaan oleh anggota saya, mengapa Partai Buruh mendukung Ganjar padahal katanya menolak mengusung capres yang mendukung Omnibus Law. Saya tidak bisa menjawab. Saya bingung. Saya bukan aktivis. Sekarang saya mencoba menjadi “politisi” untuk mencerna apa yang dilakukan pemimpin saya Said Iqbal.”

Di dalam diskusi-diskusi di media sosial juga banyak pendukung Partai Buruh mulai kecewa. Mereka mengatakan, “Percuma saya membangun Partai buruh di kota saya kalau hanya untuk mendukung PDI-P. Lebih baik saya cabut kembali kantor-kantor dan bendera-bendera di kota saya”.

Juga beberapa buruh pabrik yang kami wawancarai sangat kritis terhadap langkah Partai Buruh. Mereka menyadari, hambatan utama partai ini tidak berkembang adalah pemimpin reformis mereka. “Bagaimana ya, sebenarnya kami berharap Partai Buruh benar-benar menjadi miliknya buruh dan mewakili kepentingan buruh. Kami gak setuju kalau partai ini hanya digunakan demi kepentingan sempit dukung mendukung capres. Tapi bagaimana ya, pemimpin Partai Buruh sudah di dikendalikan orang-orang yang tidak mewakili buruh, meskipun kami memiliki pemimpin di pabrik kami yang sangat mewakili kami, tapi orang-orang seperti ini tidak memimpin partai.”

Untuk menenangkan kekecewaan dan banyaknya komentar sinis ini, Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin mengatakan: “Yang kita dukung adalah pasangan Capres-Cawapres. Tidak ada urusan dengan parpol yang mengusung atau mengusulkan pasangan yang kami dukung. Dengan kata lain, Partai Buruh hanya akan bekerja sama dengan Capres-Cawapres, bukan bekerja sama atau membangun koalisi dengan parpol lain khususnya parpol yang mendukung Omnibus Law Cipta Kerja.” Tentu saja kaum buruh tidak bodoh untuk mencerna perkataan ini. Ganjar telah diusulkan oleh PDI-P dan akan menerima dukungan dari partai-partai borjuasi lainnya, dan mau tidak mau dia harus tunduk pada kepentingan partainya, yakni kepentingan borjuasi.

Omnibus Law merupakan undang-undang untuk mengatasi krisis kapitalis. Mereka yang duduk di kekuasaan saat ini setuju bahwa satu-satunya jalan demi menyelamatkan krisis adalah dengan mengurangi kesejahteraan kelas pekerja supaya kelas kapitalis mau berinvestasi. Serangan terhadap kesejahteraan kelas pekerja akan terus berlanjut selama krisis ini. Di atas basis kapitalisme mereka yang berkuasa nantinya akan didikte oleh kepentingan pemodal. Bahkan bila presiden itu nantinya datang dari figur buruh itu sendiri, ini tidak memberikan jaminan presiden yang terpilih akan berpihak pada kepentingan kelas pekerja, selama presiden tersebut masih memilih beroperasi di bawah logika pasar kapitalisme.

Seperti dicontohkan dengan baik oleh Pemerintahan Partai Buruhnya Lula di Brasil. Lula sendiri latar belakangnya buruh, tetapi dia pun akhirnya menjadi pelayan kapitalis. Dia memilih Geraldo Alckmin sebagai wakil presiden yang datang dari pemodal untuk menenangkan kapitalis. Lula dan Partai Buruh sekarang tidak memiliki otoritas atau kontrol terhadap kelas pekerja seperti di masa lalu, karena Partai Buruh telah melakukan kebijakan kolaborasi kelas selama periode sebelumnya.

Pada periode pertama kepresidenan Lula (2003-2010), pemerintahan Partai Buruhnya Lula memerintah di tengah kondisi ekonomi dunia yang tengah melejit. Harga komoditas melangit, yang memberi pemasukan besar bagi perekonomian Brasil dan memberi Lula ruang besar untuk memberi reforma berarti bagi kelas buruh. Ini membuatnya sangat populer. Tetapi pada periode selanjutnya, yakni di bawah pengganti Lula, yaitu Dilma Rousseff (2011-2016), perekonomian dunia ada dalam krisis. Karena Partai Buruh Brasil memiliki perspektif reformisme, yaitu perspektif “Negara Kesejahteraan” di bawah kapitalisme, maka ketika kapitalisme mengalami krisis pemerintahan ini mengikuti dikte kapitalisme: penghematan dan pemangkasan. Partai Buruh jadi partai yang melayani kepentingan pemodal. Pemerintahan Buruh menjadi dibenci rakyat dan ini membuka jalan bagi demagog kanan Bolsonaro.

Lula sekarang memerintah di bawah kondisi yang sangat berbeda dari pada saat dia pertama kalinya menang. Brasil sekarang menghadapi inflasi dan digempur dengan kebijakan suku bunga internasional yang tinggi. Perekonomian dunia ada di ambang resesi. Tidak ada lagi basis ekonomi untuk reforma berarti. Yang ada hanya kontra-reforma. Selain itu Partai Buruh Brasil telah kehilangan dukungannya karena skandal-skandal korupsi. Rakyat melihat bahwa Partai Buruh Brasil sama halnya dengan partai-partai kapitalis lainnya. Lula tidak ingin pecah dengan kapitalisme. Dan Lula sekarang sudah menjadi lebih “bijak” bagi kapitalis dan inilah yang membuat tingkat popularitasnya tergerus.

Bahkan menurut jajak pendapat sepertiga rakyat Brasil tidak menyetujui Lula. Datafolha menyebutkan 38% rakyat Brasil setuju dengan Pemerintahan Lula dan 29% tidak setuju. Persentase ini sama seperti Bolsonaro saat terpilih 2019 yang lalu. Dan selama 100 hari pemerintahan Lula saat ini terbukti tidak mampu memenuhi tuntutan massa. Inilah polarisasi yang terjadi di bawah pemerintahan kapitalis Lula. Inilah nasib dari Partai Buruh yang memilih reformisme dan kolaborasi kelas, entah di Brasil, atau Inggris, atau Jerman.

Yang menjadi keberatan sesungguhnya kaum buruh di akar rumput adalah mengapa partai ini lebih memilih mengekor borjuasi daripada percaya pada kapasitas mandiri dari kelas buruh. Menjawab masalah ini, salah satu pemimpin cabang Partai Buruh yang kami wawancarai mengatakan kalau mereka terhalang oleh presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden di mana harus memiliki 20 persen suara di kursi DPR. “Kita tidak mungkin bisa mencalonkan capres kita sendiri karena aturan tersebut. Makanya itu kita berusaha menggugat aturan pencalonan ini di MK. Saya memahami mungkin bila kita tidak bisa mencalonkan capres kita sendiri, setidaknya kita bisa meraih jabatan menteri bila kita mendekat ke capres yang paling mungkin menang,” ujarnya.

Kalimat terakhir jauh lebih masuk akal dalam menjelaskan sudut pandang pemimpin buruh reformis saat ini. Pemimpin reformis ini tidak memiliki kepercayaan pada kapasitas kelas buruh. Alih-alih berjuang sebagai partai bermartabat yang menjaga kemandirian kelas, para pemimpin ini mengekor pada penguasa demi mendapatkan kursi jabatan. Manuver politik dan kolaborasi kelas seperti ini adalah konsekuensi dari program “Negara Sejahtera” dan ini tidak akan memenangkan kelas buruh. (Baca tulisan kami, Kebuntuan Asas “Negara Kesejahteraan” Partai Buruh.)

Partai Buruh masihlah partai gurem dan jauh dari merangkul massa kelas buruh. Meskipun ada cabang-cabang di berbagai kota, tapi ini masih sangat kosong. Meskipun banyak kaum buruh menyambut secara positif pendirian partai ini, tapi secara umum mereka masih sangat skeptis. Mereka masih wait and see, menunggu apakah pemimpin reformis yang sama ini serius memperjuangkan mereka atau hanya digunakan untuk kepentingan sempit mereka. Dengan semakin merapatnya Partai Buruh ke pemodal, pemimpin reformis ini hanya akan mengosongkan basis konstituennya itu sendiri.

Dalam pernyataannya resmi Partai Buruh mengatakan: “Ada yang bilang Partai Buruh memanfaatkan kaum buruh. Tentu saja anggapan itu salah. Sebab kaum buruh adalah pemilik sah dari Partai Buruh. Di sini “rumah kami sendiri”, “rumah besar gerakan kelas pekerja”. Kami tidak menumpang pada partai borjuasi.”

Perkataan harus sesuai dengan tindakan, bila tidak ini hanya akan permainan kata-kata. Tentu saja buruh tidak lagi menumpang pada partai borjuasi. Kini ada kendaraan politik buruh sendiri, tetapi pengemudinya sekarang ingin membawa kendaraan ini untuk mengekor borjuasi. Bila partai buruh ingin menyatukan kelas pekerja dan berjuang melawan kapitalis, maka kesimpulannya bukan malah menggantungkan harapannya pada capres borjuasi ini dan itu, tapi justru harus mengekspos dan menjadi oposisi konsisten terhadap pemerintahan kapitalis serta partai-partainya. Bila memang Partai Buruh belum bisa mencalonkan capres mereka sendiri, itu bukan sesuatu yang buruk. Masalah parliamentary threshold akan mudah diatasi ketika PB mampu memenangkan dukungan kelas buruh, dan ini membutuhkan kepercayaan pada kapasitas kelas buruh, sesuatu yang tidak dimiliki oleh para pemimpin ini.

Konvensi yang akan diselenggarakan pada Juni-Juli mendatang akan menjadi langkah tegas kepemimpinan reformis untuk mengarahkan PB pada kolaborasi kelas. Meskipun suara ketidakpuasan mulai ramai terdengar, tapi suara ini belum memiliki salurannya sendiri untuk bisa mengubah kebijakan partai. Meskipun ada “Kiri” (Kompol salah satunya) di dalam Partai Buruh, tapi suara ini bungkam dan mengekor ke reformis kanan demi persatuan partai.

Menanggapi kontroversi baru-baru ini, Sekjen Kompolnas Rivaldi mengatakan: "Selama ini, kami dari Komite Politik Nasional-Partai Buruh banyak menahan diri dalam menyampaikan aspirasi kami terkait capres-cawapres ke publik karena kami menghormati mekanisme internal Partai Buruh, yakni Konvensi Partai Buruh yang akan diselenggarakan pada bulan Juni atau Juli 2023.”

Pendekatan ini keliru. Dalam pertarungan antara sayap kiri dan kanan Partai Buruh, jelas sayap kanan tidak pernah menahan diri dalam memperjuangkan posisi mereka. Kiri tidak boleh membiarkan dirinya disandera oleh "mekanisme internal partai". Kiri sedari awal harus terbuka – tidak menahan diri – mengkampanyekan bahwa PB harus mengadopsi prinsip kemandirian kelas buruh; mengumumkan dengan selantang-lantangnya bahwa kebijakan reformisme dan kolaborasi kelas dari para pemimpin kanan akan menjerumuskan PB.

Said Iqbal harus dikutuk atas dukungannya terhadap Ganjar. Begitu pula pemimpin reformis PB lain yang mendekat kepada borjuasi. Mengedepankan program menolak capres pendukung Omnibus Law tidaklah cukup, karena borjuasi pun bisa mencari kandidat yang secara formal tidak mendukung Omnibus Law. Ingat bagaimana borjuasi berhasil menemukan Jokowi sebagai kandidat yang citranya bersih untuk menipu rakyat pekerja. Kolaborasi kelas harus dipertentangkan dengan prinsip kemandirian kelas buruh dan program sosialis.

Sayap kiri jelas masih minoritas, dan kita yang di Kiri tidak boleh takut berada di minoritas, dan akan menghormati demokrasi partai bila kita kalah voting. Tetapi ini bukan berarti tidak menyuarakan perbedaan ini, tidak menjelaskan kepada akar rumput adanya perbedaan fundamental ini. Banyak Kiri yang sebenarnya menahan diri bukan karena menghormati mekanisme internal partai, tetapi karena mereka mengekor secara oportunis ke sayap kanan. Setelah menderita banyak kekalahan selama dekade terakhir dan mengalami demoralisasi, banyak aktivis Kiri yang lantas melihat Partai Buruh sebagai solusi parlementer terhadap demoralisasi mereka sendiri. Ada sentimen kuat: “Yang penting loloskan dan menangkan Partai Buruh dulu, kita bisa bicara sosialisme nanti saja. Jangan ganggu proses ini dengan mengkritik sayap kanan. Nanti bubar.” Sayap kiri ragu untuk menyuarakan perbedaan ini secara terbuka, karena alasannya tidak ingin menggagalkan proses pembentukan PB ini. Tetapi proses pembentukan PB ini akan gagal justru ketika Kiri (Kompol salah satunya) tidak meluncurkan perjuangan ideologi ini secara terbuka sedari awal. Ini jadinya persatuan semu dan menutupi semua perbedaan yang ada. Sementara Sayap Kanan jelas tahu apa yang mereka lakukan, dan secara terbuka mengkampanyekan posisi mereka tanpa mengindahkan "mekanisme internal partai".

Para pendukung PB dan serikat-serikat buruh tidak akan menemukan saluran radikalisasi bila pelopornya sendiri ragu menyuarakan perbedaan. Melihat konvensi ini diadakan dengan cara mengundang 10 guru besar serta membagikan kuesioner kepada konstituen Partai Buruh sudah dapat ditebak arahnya ke mana.

Pemimpin reformis sayap kanan akan memilih guru besar dalam konvensi ini untuk mendukung dan membentuk opini mereka sendiri. Membagikan kuesioner ke konstituen PB juga tidak menjamin ini merepresentasikan suara akar rumput yang sesungguhnya. Metode ini hanya menguntungkan reformis sayap Kanan PB. Mereka memilih kedua metode ini untuk menghindari suara yang menentang mereka. Untuk alasan ini, birokrasi reformis kanan dalam PB jauh lebih sadar dalam menggunakan setiap metode untuk menutup kran demokrasi partai. Mereka membenci demokrasi partai karena mereka mafhum ini akan digunakan oleh anggota untuk menentang keputusan mereka.

Sangat naif bila Kiri “menahan diri” dan menunggu konvensi partai untuk menyuarakan perbedaan ini. Alasan Kiri “menahan diri”, “menghormati mekanisme internal partai” dan akan berjuang di konvensi hanyalah menutupi kepengecutan mereka melawan sayap kanan dalam PB.

Sayap kanan jelas akan mempersempit ruang demokrasi ini. Tapi bukan karena ruang demokrasi yang sempit, kemudian demokrasi menjadi tujuan utama kita. Berjuang demi demokrasi dalam PB itu terikat dengan perjuangan politik. Demokrasi adalah sarana untuk memperjuangkan tujuan material yang nyata. Mereka yang selalu mengeluh mengenai kurangnya demokrasi internal PB, sebenarnya menutupi kurangnya kepercayaan diri mereka sendiri dan kepercayaan pada buruh bahwa garis politik PB bisa diubah di sepanjang garis program sosialis.

Said Iqbal jelas ingin mengarahkan PB sebagai partai yang aman bagi borjuasi. Kiri harus dengan tegas meninggalkan kompromi dengan sayap kanan atas alasan persatuan partai. Sayap kanan jauh sangat sadar dan berani dalam mencapai tujuannya. Kiri juga harus memiliki tekad dan keberanian yang sama. Bukan karena Kiri masih kecil, lalu menyensor diri sendiri.

Krisis dan perjuangan kelas di hari depan akan jauh lebih meledak-ledak. Ini harus membuat kita semakin berani memperjuangkan sosialisme di dalam gerakan buruh dan kaum muda. Sebuah nukleus revolusioner yang dibekali dengan ide-ide yang tepat akan tumbuh subur dalam periode ini.

Kebijakan kolaborasi kelas PB saat ini hanya akan melucuti otoritas mereka sendiri di mata buruh dan kaum muda. Kita perlu menggunakan waktu kita untuk mengorganisir dan mendidik kader revolusioner demi pertarungan di hari depan. Kiri dalam PB harus memimpin dan mempersenjatai gerakan dengan gagasan sosialis yang berani. Tidak ada yang salah bila hari ini Kiri masih minoritas. Selama perkembangannya ide-ide revolusioner selalu minoritas. Berjuang dengan gagasan yang sosialis yang berani merupakan cara terbaik memenangkan pertarungan ini di hari depan. Kapitalisme sudah gagal. Sekarang bukan waktunya menambal kapitalisme. Sekarang waktunya menggulingkan kapitalisme dengan sosialisme. Oleh karenanya kita harus jauh lebih berani memperjuangkan sosialisme revolusioner di gerakan buruh dan kaum muda.