facebooklogocolour

demo mahasiswa unriDekan Fisip Universitas Riau, Syafri Hartodi divonis bebas dalam kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Dalih dari pembebasan ini adalah tidak adanya bukti fisik serta saksi mata yang melihat secara langsung pelecehan tersebut. Hakim menyebutkan bahwa para saksi hanya mendengar cerita dari korban dan bukan melihat dengan mata kepala sendiri.

Tetapi tentu saja, tidak adanya saksi mata atau bukti fisik bukan berarti pelecehan seksual tidak terjadi. Pelecehan seksual seringkali memang tidak menimbulkan bekas fisik. Seperti dalam kasus mahasiswi UNRI ini, pelecehan dilakukan dengan persentuhan tanpa kekerasan fisik yang menyebabkan pembuktian sulit dilakukan. Di samping itu, pelaku kekerasan seksual tentu akan menunggu situasi sepi sehingga tidak ada saksi mata yang bisa melihat aksi mereka.

Mengandalkan pembuktian hanya dari bukti fisik dan saksi mata jelas merupakan bias terhadap perempuan ketika metode pembuktian lain bisa dilakukan.

Ya, sebetulnya sejak 2017, Mahkamah Agung telah menerbitkan sebuah peraturan, yakni Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 yang didesain sedemikian rupa sehingga diharapkan bisa mencegah bias gender dalam memutuskan kasus-kasus kekerasan seksual. Beberapa di antaranya adalah dengan menerima keterangan psikolog mengenai kondisi psikis korban sebagai alat bukti. Peraturan ini juga mengatur bagaimana perilaku hakim dalam persidangan serta mengatur apa saja hal-hal yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam proses pemeriksaan dan pengadilan kasus kekerasan seksual, seperti ketidaksetaraan status sosial, ketidakberdayaan fisik, relasi kuasa, maupun adanya riwayat kekerasan.

Jika diamati, peraturan ini sejalan dengan RUU TPKS yang bertujuan untuk memastikan proses peradilan kekerasan seksual lebih adil bagi perempuan.

Namun demikian, majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut nyatanya mengabaikan peraturan ini. Dan ironisnya, ini dilakukan di tengah gencar-gencarnya aktivis perempuan memperjuangkan disahkannya RUU TPKS sebagai undang-undang.

Ini menunjukkan bahwa bias gender yang terjadi pada peradilan tidak cukup diselesaikan dengan menciptakan undang-undang atau peraturan seperti Perma. Karena, justru aparatus hukum itu sendirilah, yang melaksanakan undang-undang atau peraturan, yang justru memiliki bias gender. Dan, tidak ada yang mengawasi pelaksanaan undang-undang atau peraturan tersebut.

Jika ditelusuri, negara yang ada hari ini memanglah memiliki kepentingan untuk menindas perempuan. Negara bangsa yang ada hari ini, termasuk Indonesia, tidak lain adalah alat kepentingan kelas kapitalis. Penindasan terhadap perempuan memiliki peran yang sangat vital dalam sistem kapitalisme, yakni untuk menciptakan pasukan buruh cadangan yang berguna untuk menekan upah kaum pekerja.

Pasukan buruh cadangan adalah para pengangguran yang bisa digunakan oleh kelas borjuasi untuk mengancam kaum pekerja ketika mereka menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Dengan adanya para pengangguran yang sengaja diciptakan ini, kelas kapitalis dengan mudah mengancam buruh yang menuntut kenaikan upah akan digantikan dengan para pengangguran tersebut, yang bersedia dibayar berapapun demi sesuap nasi.

Untuk menciptakan pasukan buruh cadangan, kaum perempuan diatur kehidupannya. Peran mereka direduksi hanya untuk mereproduksi anak dan melakukan kerja-kerja domestik. Ini dilakukan dengan mempertahankan mitos bahwa kodrat perempuan adalah melahirkan dan mengurus anak. Kalaupun perempuan terserap ke pabrik-pabrik dan perkantoran, mereka diberikan upah yang jauh lebih rendah dibanding upah laki-laki (Menurut Survei BPS 2020, perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah dari laki-laki). Ini dilakukan juga untuk menekan upah buruh laki-laki agar tetap rendah, dengan memperbandingkannya dengan upah buruh perempuan yang lebih rendah. Dan, untuk melancarkan diskriminasi upah ini, kapitalis mempertahankan mitos bahwa perempuan lebih bodoh (sehingga layak diberi upah yang lebih rendah).

Pelanggengan mitos-mitos inilah yang menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi. Ketika perempuan diatur bahwa tugasnya hanyalah memiliki anak dan melakukan tugas-tugas domestik, maka ketika perempuan mengalami pelecehan seksual, hal itu dianggap kesalahan perempuan itu sendiri karena melanggar kodratnya. Demikian juga ketika perempuan menyatakan dirinya telah dilecehkan, kesaksiannya cenderung tidak dipercaya karena dianggap makhluk yang bodoh dan lebih mengandalkan emosi dibanding logika. Misalnya, belum lama ini, Oki Setianadewi (seorang publik figure yang diikuti banyak orang) menyatakan bahwa sangat mungkin perempuan yang melaporkan tindakan KDRT terhadap dirinya sebetulnya tidak mengalami KDRT dan hanya melebih-lebihkan pengalaman yang dialaminya. Ini merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap kesaksian perempuan, yang lahir dari mitos bahwa perempuan itu bodoh.

Jika mitos-mitos ini masih melekat erat dalam benak masyarakat, maka mitos-mitos ini jauh lebih mengakar dalam benak para aparatus negara yang memiliki kepentingan langsung untuk menindas perempuan. Inilah kenapa, majelis hakim mengabaikan begitu saja Perma No.3 tahun 2017 dan justru membatasi jumlah orang yang mengikuti sidang vonis dekan UNRI. Sidang ini pun dilakukan sangat tertutup. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk mengikuti jalannya persidangan dan mengawasinya. Menurut LBH Riau, tidak seperti persidangan umumnya yang digelar di ruang berkapasitas besar, akses terhadap pendamping korban tidak dibuka. Massa aksi yang datang untuk mengawal sidang juga tidak diperbolehkan masuk sehingga hanya bisa mendengar putusan hakim dari luar gedung pengadilan negeri Riau.

Di samping di pengadilan, bias gender juga terjadi di dalam kampus UNRI itu sendiri. Sampai 7 Januari 2022, pelaku masih aktif mengajar di universitas tersebut, padahal sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka pada November 2021. Sedangkan mahasiswa yang menjadi korban pelecehan seksual justru ditekan oleh pihak kampus ketika melaporkan tindakan tersebut kepada pihak jurusan.

Seperti kasus kekerasan di kampus lainnya, para petinggi kampus selalu berusaha untuk menjaga reputasi kampusnya. Bukan itu saja, asas praduga tak bersalah dalam kasus pelecehan seksual nyatanya malah menjadi dalih untuk menyalahkan pihak korban (pelapor). Ini seperti yang terlihat dalam sikap pihak kampus yang justru menyuruh korban diam dan tak melapor ke polisi karena khawatir pelaku diceraikan istrinya. Ini mengindikasikan bahwa apa yang dialami korban tidaklah dianggap penting, atau bahkan dianggap omong kosong. Ini juga mengindikasikan bahwa pihak kampus justru menyalahkan korban seolah-olah korbanlah yang menjadi biang kerok pelecehan tersebut.

Kita tidak bisa lagi percaya pada peradilan negara ini yang sebenarnya adalah peradilan borjuasi yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Kita hanya patut percaya pada kekuatan aksi massa yang terorganisir. Karena hanya dalam aksi massa, kita secara langsung akan menekan dan membuat para pelaku – serta semua hirarki yang ada, entah jajaran kampus maupun kepolisian serta peradilan -- untuk berpikir dua kali jika mereka ingin melakukan kekerasan seksual dan melindungi pelaku. Untuk itu, mahasiswa perlu membangun organisasi kampus anti-kekerasan-seksual yang bersifat demokratik, yang menggunakan metode aksi massa demi mengawali dan melindungi korban, mengawasi proses peradilan, mendidik komunitas mengenai kekerasan seksual, dan memberdayakan perempuan dan mahasiswa dalam melawan berbagai diskriminasi dan kekerasan seksual.

Negara dan pengadilan borjuasi yang ada bukanlah institusi yang netral, tetapi institusi yang didirikan untuk melindungi kepentingan kelas penguasa dengan segala jajaran aparatusnya, yang termasuk di sana adalah para petinggi kampus. Tugas utama mereka adalah melanggengkan sistem penindasan yang ada, termasuk di dalamnya prasangka sexisme, patriarki dan misogonis yang menindas perempuan. Maka dari itu kita tidak bisa mempercayakan proses pencarian keadilan untuk korban kekerasan seksual semata di tangan administrasi kampus dan pengadilan, tetapi mempercayakan pada aksi massa rakyat tertindas yang terorganisir.