facebooklogocolour

 

Tulisan ini adalah kritik atas artikel Mochtar Naim, seorang sosiolog, yang dimuat di media Kompas belum lama ini (1/10/12), Artikel Naim yang berjudul “Menghapus Korupsi” mengetengahkan sebuah logika penyelesaian yang pada dasarnya moralistik—dan oleh karenanya absurd—mengenai persoalan korupsi. Terdapat tiga pendekatan yang sedang diajukan oleh Naim: yakni pendekatan psiko-teologi, multilevel dan multifaset, dan pendekatan kultural. Kita akan mengupas satu per satu pendekatan ini dan menunjukkan kebuntuan dari tiap-tiap solusi tersebut.

Korupsi, menurut banyak analis, merupakan “penyakit” yang bersifat endemik; “penyakit” yang, saat ini, mewabah di negara-negara berkembang. Korupsi tidak tumbuh-kembang di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika karena di negara-negara maju tersebut sudah terbentuk mekanisme kontrol yang kuat melalui ‘modal sosial’ (social capital). Social Capital di sini bisa diartikan sebagai “kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah publik dalam negara ‘liberal-demokratis”. Pada sekitar akhir 1990-an, Bank Dunia mempopulerkan konsep social capital serta mendukung seluruh penelitian-penelitian tentang konsep ini.

Nampaknya analisis Naim dan tarikan solusinya berpijak pada diskursus pembangunan masyarakat (community development) ala kapitalis dan menggabungkannya dengan situasi sosio-kultur Indonesia. Naim berangkat dari pengertian bahwa “korupsi merupakan penyakit yang endemik di negara-negara berkembang” dan ia, kemudian, mengajukan suatu solusi dengan “membuat pertahanan secara individual dan kolektif” di atas basis psiko-teologi, social capital dan nilai-nilai kultural.

Solusi Naim dalam pendekatan pertama, psiko-teologi, secara eksplisit memberikan pengertian tentang perlunya pendekatan psikis yang bernuansa reliji untuk menghapus sifat-sifat korupsi.  Munculnya sifat-sifat korupsi, dalam perspektif psiko-teologi Naim, karena terputusnya tali komunikasi antara sang manusia dan Sang Pencipta. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk membuang sifat-sifat korupsi, adalah dengan menghubungkannya kembali tali komunikasi tersebut.

“... Penyakit masyarakat bernama ”korupsi” itu telah ada sejak manusia ada. Secara potensial inheren ada pada tiap manusia. Namun, manusia itu disebut manusia karena dia berusaha melawan dan memerangi sifat-sifat buruk (sayyiah), jelek (lawwamah), dan kesetanan (syaithaniyyah)-nya dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. [...] Penyembuhan penyakit korupsi dan antek-anteknya—betapapun luas dan meruyaknya—harus dimulai dari diri. Pendekatan bersifat kejiwaan yang dimulai dari diri, bagaimanapun, harus dilakukan karena yang sakit itu sesungguhnya adalah jiwa. [...] Dalam psiko-terapi yang bernuansa keagamaan, manusia yang telah terputus talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali sehingga dia merasakan ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia, yaitu Sang Pencipta.” —Mochtar Naim

Sebab pertama munculnya sifat-sifat korupsi, menurut Naim, dan solusi yang diajukan olehnya di atas, tidak bersesuaian dengan sejumlah fakta. Sejumlah fakta mengungkapkan bahwa para koruptor, di mata masyarakat, adalah orang-orang yang tidak ada masalah dengan keberagamaannya, misalnya Kasus korupsi yang menimpa Zulkarnaen Djabar, anggota Komisi Agama DPR dari Partai Golkar, beberapa waktu lalu. Fakta lain, hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2011, menunjukkan bahwa Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Sejumlah fakta ini membuktikan bahwa tidak ada keterkaitan erat antara keberagamaan seseorang dengan tindakan korupsi.

Analisis Naim dan ajuan solusinya di atas bermakna ahistoris, yakni berlawanan dengan fakta sejarah. Pasalnya, meskipun agama menjadi salah satu variabel pendukung dalam pembentukan moral anti-korupsi, namun kekuatan moral agama—dan moral apapun—berulangkali terbukti tidak mampu menciptakan praksis anti-korupsi. Moralitas hanyalah semangat (spirit) dan belum membentuk konstruksi apapun. Bahkan, jika diibaratkan sebuah bangunan, moralitas masih bermakna sebagai “keinginan” untuk menciptakan bangunan dan belum meletakkan dasar riil apapun dalam sebuah bangunan tersebut. Dengan demikian, pada analisis terakhir, moralitas belumlah menjadi instrumen untuk menghapus aksi korupsi.

Dalam analisis yang kedua mengenai sebab-sebab korupsi dan solusinya Naim mendeskripsikan bahwa korupsi pada awalnya bersifat individual, tetapi kemudian menyebar dan bersifat sosial, bahkan kultural. Persoalan korupsi tidak lagi menjadi persoalan orang per orang, tetapi sudah menjadi tanggugjawab sosial. Sehingga Naim mengetengahkan solusi yang bersifat sosial pula.

“... Dengan tekad dan iktikad yang bulat dan menyatakan perang [terhadap korupsi] sampai ke akar- akarnya. [...] Pendekatannya pun harus bersifat multifaset, multilevel, dan terpadu secara berkesinambungan. Sedikitnya ada empat pendekatan multilevel yang secara serempak dan terpadu harus dilakukan: pendekatan struktural- sistemik, pendekatan kultural, pendekatan keagamaan, dan pendekatan suri teladan dari para pemimpin. Dengan pendekatan struktural-sistemik berarti semua perangkat hukum dan pelembagaan dalam rangka pemberantasan korupsi harus disiapkan. Undang-undang yang dikeluarkan harus bersanksi berat. Adapun yang dikejar dengan cara capital punishment ini: pelajaran bagi khalayak ramai agar tidak mencoba-coba melakukannya. [...] Hukum harus ditempatkan di atas semua orang, golongan, dan kepentingan tanpa pilih kasih. Jika ini berjalan, korupsi dan tindak kejahatan lain apa pun akan berkurang.”—Mochtar Naim.

Lagi-lagi, ajuan solusi Naim bersifat moral, abstrak, dan normatif. Pendekatan multilevel dan multifaset yang digagasnya tidak jelas. Kalimatnya, “Hukum harus ditempatkan di atas semua orang, golongan, dan kepentingan tanpa pilih kasih....”, tidak jelas dialamatkan kepada siapa. Jika hal itu dialamatkan kepada masyarakat, jelas, masyarakat tidak punya akses ke area tersebut. Jika dialamatkan kepada pemerintah, jelas, ini sebuah ide yg absurd. Karena, logikanya, hukum berposisi subordinat dengan politik, dan politik subordinat dengan ekonomi. Artinya, instrumen-instrumen praktis yang digunakan untuk mengatur tata sosial berada di dalam struktur kepentingan ‘kelas’ tertentu, yakni kelas yang berkuasa.

Di sini lah ketidaktepatan dan ketidakjelasan analisis Naim. Ia tidak berusaha masuk dalam dimensi politik dan ekonomi, tetapi malah terjebak dalam dimensi moral. Logika korupsi tidak bisa dianalisis dan diselesaikan dalam batasan moral. Seruan moral Naim, agar menempatkan hukum di atas semua orang dan golongan (yang tidak jelas dialamatkan kepada siapa) tidak akan mengubah struktur hukum yang sejak lahirnya, berkarakter kriminal. Karakter hukum yang kriminal ini harus dianalisis dengan menggunakan perspektif ekonomi-politik: kelas, kekuasaan, dan kepentingan. Logika korupsi adalah logika dari sebuah ‘kelas’ yang berorientasi pada akumulasi, eksploitasi, dan ekspansi modalnya. Ya, kritik atas logika korupsi yang dipaparkan oleh Naim ini dilandaskan pada analisis Marxis. Marxisme, sebagai teori sosial yang ilmiah dan materialis, akan membongkar pola pikir Naim yang absurd dan abstrak.

Analisis Marxis selalu bertitik-pusat pada ‘karakter kelas’ ketika menganalisis watak suatu “aksi kriminal”. Korupsi, sebagai aksi kriminal yang didukung oleh kekuatan politik, merupakan karakter turunan dari karakter besar (grand character) sebuah kelas. Sebuah kelas yang mampu menurunkan karakter kriminal -- yang bernama “korupsi” -- tak lain adalah kelas kapitalis. Dalam perspektif Marxis, ekonomi-politik kapitalisme memiliki watak yang bersifat akumulatif, eksploitatif, dan ekspansif. Korupsi, secara materialis, adalah watak turunan dari ketiga watak dasar kapitalisme tersebut.

Tetapi, pertanyaannya, merujuk pada apresiasi Naim terhadap negara-negara maju, kenapa di negara-negara maju korupsi berada dalam ambang toleransi?

Naim menulis: “... Negara-negara maju yang demokratis, terbuka, dan menempatkan hukum di atas semua orang dan semua kepentingan umumnya KKN- nya—kalau ada—terkendali dan rata-rata di bawah ambang toleransi.”

Korupsi saya definisikan di sini sebagai tindakan yang mengambil hak orang lain melalui kekuatan politik. Korupsi tidak bisa dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuatan politik. Apresiasi Naim di atas sangat dangkal. Ia hanya mampu melihat ‘kulit luar’ dari tata sosial yang “tertib” dalam relasi sosial, secara horisontal ataupun vertikal, di negara-negara maju. Naim tidak mampu melihat bahwa aksi korupsi yang dilakukan di negara-negara maju sudah berada pada level yang tinggi, tidak seperti di negara-negara berkembang yang levelnya masih rendah. Korupsi yang dilakukan di negara-negara maju tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektif-legal (collective-legal): mengambil hak ekonomi-politik negara lain. Invansi Amerika ke Irak beberapa tahun lalu dan intervensinya pada gejolak politik yang terjadi di negara-negara Arab akhir-akhir ini—demi sebuah ‘kepentingan’—adalah contoh dari praktek level tinggi sebuah korupsi.

Pendekatan ketiga, yang diajukan oleh Naim, adalah pendekatan kultural. Naim menulis:

“Pendekatan kultural tak kalah penting dalam upaya menghapus korupsi secara tuntas dan total. Seperti dimaklumi, penyebab utama maraknya KKN di bumi Indonesia—terutama selama Orde Baru dan Lama—adalah karena kita kembali ke dunia lama kita yang sesungguhnya sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan hidup sekarang. Penghalang utama adalah kultur bangsa kita sendiri yang selama berabad- abad hidup secara akrab dengan korupsi, kolusi dan nepotisme itu.”

Kembali lagi, Naim mengajukan solusi moral, yang kali ini melalui penyelesaian kultural. Menurut Naim, kita sedang kembali ke kultur lama yang pernah dipraktekkan oleh Orde Baru. Pandangan ini semakin tak bersambung dengan logika korupsi. Logika Naim tidak mampu membedah dalamnya ‘logika korupsi’. Naim terus-menerus menyalahkan dirinya, masyarakat dan kulturnya. Logika ini sangat tidak sosiologis, bahkan jika mengingat Naim dalah seorang sosiolog.

Korupsi lahir dari sebuah sistem ekonomi-politik yang kapitalistik, bukan lahir dari proses kultural. Logika korupsi adalah logika dari akumulasi, eksplotasi dan ekspansi. Ketiga watak dasar kapitalisme tersebut akan membentuk watak-watak turunan yang, juga, berkarakter kriminal: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pendekatan kultural Naim tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme—apalagi menyelesaikan ketiga watak dasar dari kapitalisme di atas. Karena kultur sendiri adalah seperangkat ide “yang dibentuk”, bukan aktivitas alamiah yang diselenggaran oleh masyarakat.

Marx, dalam The German Ideology, menulis: “The ideas of the ruling class are, in every epoch, the ruling ideas.” Dalam tiap-tiap jaman, ide-ide yang berkuasa adalah ide-idenya kelas yang berkuasa, demikan tulis Marx. Tulisan Marx di atas akan memberi gambaran tegas mengenai bagaimana caranya menghapus korupsi. Korupsi tidak akan pernah terselesaikan dengan dengan tiga pendekatan yang diajukan oleh Naim ataupun oleh para analis borjuis yang berperspektif kapitalistik. Penghapusan sifat-sifat korupsi berarti pula harus menghapus kekuasaan pembentuk mental korupsi tersebut: yakni penghapusan negara borjuis oleh proletariat. Pendekatan Marxis ini sangat sosiologis; pendekatan yang mampu menganalisis proses masyarakat dan watak-wataknya secara komprehensif. Materialisme historis berulangkali menjelaskan dengan gamblang proses pembentukan ide-ide di dalam masyarakat, entah yang merasuk dalam area reliji atau dalam area kultur: bahwa ide-ide yang dominan di dalam masyarakat adalah ide-ide dari kelas yang sedang berkuasa; bahwa “sejarah masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas” dan perjuangan ide-ide.