facebooklogocolour

KorupsiKPK kembali menjadi ajang tarik menarik antara berbagai kepentingan. Kali ini usahanya untuk menjerat kandidat utama posisi Kapolri Budi Gunawan dibalas dengan kriminalisasi para petinggi KPK: ditangkapnya Bambang Widjojanto dan dilaporkannya Annan Pandu Praja, yang mana keduanya adalah Wakil Ketua KPK. Suasana tampak begitu tegang dan bahkan mencekam. Sampai-sampai Abraham Samad memohon pada Panglima TNI Jendral Moeldoko untuk mengirim Kopassus guna melindungi gedung KPK.

Sementara Jokowi tampak terjepit di tengah-tengah, antara keinginan dia untuk mengangkat Budi Gunawan menjadi Kapolri yang lalu dijegal oleh KPK dan janjinya untuk memberantas korupsi. Dalam wawancara baru-baru ini dengan Kompas terkait dengan ketegangan antara Polri dan KPK, dia mengatakan: “Saya tak mau mengambil keputusan sebelum bertanya pada banyak pihak. Itu sudah tipe saya” dan menegaskan bahwa ia tetap pada sikapnya untuk tidak mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung. Ini mengingatkan kita pada ujar kosong Jokowi ketika dihadapkan pada Mogok Nasional 3 Oktober 2012 lalu: “Semuanya yang baik untuk masyarakat, saya setuju-setuju saja.” Tentunya yang sebenarnya membuat Jokowi tampak lumpuh adalah usahanya untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan di dalam kelas penguasa yang saling bergesekan. Ketidaktegasan Jokowi bukanlah cacat dari pribadi Jokowi tetapi lebih merupakan ekspresi dari kebuntuan politik yang semakin meradang kelas penguasa.

Ketegangan yang sekarang kita lihat di KPK bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan kontradiksi inheren dari KPK dan upaya memberantas korupsi itu sendiri oleh negara borjuasi. KPK dibentuk sebagai upaya untuk menghadapi ekses-ekses KKN yang begitu membahayakan legitimasi seluruh sistem politik kelas penguasa di Indonesia. Praktek-praktek KKN yang begitu vulgar dan kasar, yang begitu mencolok mata dan tak tahu malu ini, telah membuahkan kegeraman dan rasa jijik yang tak tertanggungkan di antara massa pekerja. Konsekuensi ini tidak bisa lagi ditolerir oleh sebagian lapisan kelas penguasa yang lebih sadar kelas karena ini dapat mengancam eksistensi dari keseluruhan sistem penindasan yang ada. Penguasa harus menunjukkan setidaknya keseriusan mereka untuk menjaga keabsahan hukum dan demokrasi di hadapan mata rakyat pekerja luas. Dari situasi inilah KPK lahir, sebagai upaya meregulasi ekses-ekses korupsi.

Akan tetapi KKN bukanlah sebuah tindakan yang dilakukan tiap-tiap individu secara terpisah, seperti halnya seorang maling ayam. Ia adalah sebuah jaring-jaring yang mengikat semua yang terlibat di dalamnya di dalam sebuah “solidaritas” terkutuk (an unholy solidarity). Dari atas hingga bawah, dan dari segala penjuru, mereka saling melindungi dan saling menggaruk punggung masing-masing. Namun solidaritas antar binatang buas adalah solidaritas yang kejam, yang mana persaingan untuk kue jarahan yang lebih besar – atau menjaga kue tersebut untuk kepentingan keseluruhan – kadang harus mengorbankan segelintir dari barisan mereka sendiri. Di sinilah kadang-kadang kita saksikan sejumlah koruptor yang terjerat oleh KPK dan hukum, entah mereka dijegal oleh saingan mereka atau mereka dikorbankan untuk keselamatan keseluruhan sistem korupsi ini. Tidak semua dari mereka ingin dijadikan kurban untuk disembelih di depan publik dan mereka gunakan semua tuas yang mereka miliki – entah uang, koneksi dan pengaruh politik, informasi mengenai pelaku KKN lain, dsb. – untuk menyelamatkan diri mereka. Permainan politik oleh karenanya menjadi begitu kental di dalam usaha menjerat koruptor.

Korupsi itu sendiri adalah sesuatu yang inheren di dalam kapitalisme, dan bahkan secara umum adalah sesuatu yang sudah terpatri di dalam masyarakat kelas. Seperti yang telah kami ulas sebelumnya di dalam artikel “Memberantas Korupsi dengan Perjuangan Kelas”:

“Korupsi hanya mungkin terjadi ketika ada segelintir orang yang memegang kekuasaan ekonomi dan politik di atas masyarakat luas yang tak berdaya. Kita saksikan dengan jelas bagaimana korupsi itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan koridor kekuasaan. Kejahatan para koruptor itu berbeda dengan kejahatan maling ayam, karena kejahatan para koruptor terlindungi oleh kekuasaan politik dan ekonomi yang dimilikinya. Kejahatan maling ayam hanya terlindungi oleh berapa cepatnya ia bisa lari. Maka dari itu para koruptor bisa melakukan pencurian maha besar tanpa kekhawatiran yang besar.”

Dari kenyataan ini, jelas KPK – atau badan hukum apapun yang dibentuk oleh negara borjuasi – tidak akan bisa memberantas korupsi. Bahkan negeri yang paling demokratik sekali pun seperti Amerika Serikat tidak bisa menghapus korupsi, tetapi hanya mengubah bentuknya menjadi “lebih halus” dan bahkan “lebih mahakuasa”. Ahli-ahli hukum mereka, yang telah terlatih ratusan tahun dalam seni memelintir hukum dan menciptakan 1001 celah, telah menyempurnakan sistem korupsi yang begitu “halus”nya sehingga tidak terlihat sebagai praktek korupsi sama sekali. Para penggiat KKN di negeri-negeri kapitalis maju punya kelas, tidak seperti para koruptor Indonesia yang vulgar dan tidak tahu malu. Selain itu praktek korupsi di negeri-negeri maju juga berskala lebih besar. Misalnya, skandal LIBOR yang terkuak pada 2012 kemarin, dimana para bankir melakukan kolusi dalam mempermainkan nilai suku bunga yang mempengaruhi pasar kredit, hutang korporasi, dan derivative yang bernilai ratusan triliun dolar AS. Praktek manipulasi suku bunga ini ternyata sudah berlangsung setidaknya sejak 1991 menurut satu sumber, yang berarti ia telah menjadi praktek yang secara de fakto diterima oleh semua bankir. Praktek ini hanya tiba-tiba menjadi pelanggaran hukum setelah krisis 2008 dimana kepercayaan rakyat pekerja terhadap sistem perbankan telah runtuh, dimana ada persepsi luas bahwa semua bankir adalah pencoleng. Dalam situasi seperti ini maka harus ada kurban yang harus disembelih. Sejumlah bankir harus dikorbankan untuk keberlangsungan keseluruhan sistem penindasan kapitalisme. Sejumlah denda harus dibayar. Ini tidak berarti korupsi di dalam sektor perbankan telah diberantas. Jauh dari itu, para bankir dengan pasukan pengacara mereka telah menemukan celah hukum lainnya.

KPK tidak bisa diselamatkan karena memang sejak awalnya tidak ada yang dapat diselamatkan darinya. Oleh karenanya slogan “Save KPK” sangatlah salah alamat, karena mendasari slogan ini adalah gagasan liberal bahwa bisa ada kapitalisme bebas korupsi, dan KPK (atau badan hukum pemberantas korupsi bentukan pemerintahan borjuasi apapun) dapat melakukan ini. Tentunya di mata rakyat pekerja slogan ini mengekspresikan dukungan mereka terhadap usaha menghukum koruptor dan ilusi mereka bahwa kapitalisme bisa diperbaiki untuk menjadi humanis, demokratis, adil, setara, bebas KKN, dsb. Tugas kaum Marxis oleh karenanya adalah menjelaskan keterbatasan yang inheren dari KPK dan segala usaha memberantas korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan borjuasi, serta menjelaskan watak Negara borjuasi dan praktek korupsi yang tidak bisa dipisahkan dari kapitalisme. Kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam mengkriminalisasi para petinggi KPK guna melindungi praktek korupsi mereka harus dikecam dan dilawan. Tetapi kaum Marxis dan kaum buruh yang sadar-kelas tidak boleh jatuh ke dalam slogan yang abstrak dan bahkan keliru seperti “Save KPK”. Tuntutan-tuntutan kita harus lebih konkret, dan dalam kasus ini: “Bebaskan Bambang Widjojanto”, “Tolak semua usaha mengintervensi dan menjegal penyelidikan terhadap pelaku KKN”, “Hukum Semua Koruptor”.

Dengan tuntutan-tuntutan yang konkret dan jelas seperti ini kita bisa memukul bersama dengan kaum liberal demokrat yang menggunakan slogan “Save KPK” – dengan segala ilusi yang terkandung di dalam slogan ini – tetapi pada saat yang sama menarik garis demarkasi yang jelas antara gagasan kita dan gagasan mereka. Kita bisa memukul bersama tetapi juga berbaris terpisah tanpa mencampur adukkan panji kita. Setiap ketegangan dalam KPK dan usaha menjerat koruptor harus digunakan oleh kaum Marxis sebagai kesempatan untuk mengekspos kemunafikan pemerintahan borjuasi dan dusta-dusta mereka. Bahkan pada tingkatan propaganda tertentu kita harus mengekspos impotensi dari kaum liberal demokrat – terutama metode-metode liberal mereka – dalam memberantas korupsi (baca “Memberantas Korupsi dengan Perjuangan Kelas”).