setya novantoDrama penangkapan Setya Novanto seakan-akan tak pernah selesai. Setiap upaya yang dilakukan oleh penegak hukum untuk membawa tokoh penting kasus korupsi KTP Elektronik ini selalu membuat publik terkejut. Seperti seekor kelinci yang masuk dalam topi seorang pesulap, penonton selalu menebak-nebak apa yang akan keluar dari topi sang pesulap tersebut. Kenyataannya, ini bukan drama pertunjukan sulap biasa, dimana sang pesulap hanya bermodal kecepatan tangan, topi dan kelinci. Drama Setya Novanto adalah pertujukan politik borjuasi yang mengeluarkan banyak sumber daya dan uang. Untuk membuat pertunjukan seperti ini, butuh menyuap sana-sini untuk menggiring opini publik.

Kasus korupsi KTP Elektronik merupakan kasus korupsi terbesar yang melibatkan para pejabat negara. Dari total anggaran proyek Rp 5,9 triliun yang telah disetujui oleh DPR, 49 persen anggaran atau sejumlah Rp 2,5 triliun dibagikan ke para pejabat serta rekanan proyek yang turut memuluskan skenario korupsi ini. Berdasarkan bukti yang telah dikantongi oleh KPK, aliran dana korupsi KTP Elektronik ini turut dinikmati oleh kalangan pejabat di lingkungan Kemendagri sebesar 7 persen, anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen, kemudian diikuti oleh Setya Novanto dan Andi Narogong yang  mendapat jatah 11 persen atau senilai Rp 574,2 miliar. Selain itu, aliran dana ini mengalir ke Anas dan Nazaruddin sebesar 11 persen, atau jumlah yang sama dengan Novanto. Kemudian, sisa 15 persen akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan

Setya Novanto berulang kali lolos dari proses hukum yang menjeratnya. Ini kali kedua setelah praperadilan berhasil memenangkan Setya Novanto dalam kasus KTP Elektronik. Setelah berulang kali dipanggil oleh KPK dan dengan seribu macam alasan berhasil mangkir dari panggilan tersebut, puncaknya pada Kamis malam (16/17), Setya Novanto dikabarkan menghilang. Tidak lama setelah itu, terdengar kabar Setya Novanto mengalami kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit.

Kecelakaan yang dialami oleh Setya Novanto ini pun mengundang reaksi dan komentar dari masyarakat. Menurut cuitan salah satu netizen di akun Twitternya, diungkap bahwa sehari sebelum Setya Novanto mengalami peristiwa kecelakaan, satu lantai Rumah Sakit Medika Permata Hijau  dikabarkan telah dibooking. Pemandangan ini tidaklah aneh. Ada banyak hal ganjil dari setiap kasus dan kejadian yang melibatkan para elit politik, khususnya dalam kasus yang menimpa Setyo Novanto ini. Tidak perlu menjadi seorang detektif untuk bisa menebak arah kasus ini.

Meskipun kasus ini sangat jelas, sulit untuk menangkap Setya Novanto. Ini bukan karena bukti yang kurang kuat, tapi akar masalahnya lebih pada sistem hukum itu sendiri. Hukum dalam sistem kapitalis adalah hukum yang tunduk pada segelintir orang. Meskipun terlihat tidak memihak, tapi justru karena ketidak-berpihakkan-nya, hukum itu sendiri berpihak, yakni berpihak pada kelas pemilik. Untuk memenangkan kasus dalam pengadilan borjuasi tidak mudah bila tidak memiliki kekuasaan dan uang. Lain soal bila pengadilan yang mengusut orang miskin. Mereka bisa saja dijemput paksa tanpa ada surat perintah, bahkan seringkali ditembak dengan dalih berupaya meloloskan diri. Ungkapan “tidak berpihak” adalah umbaran kosong dalam masyarakat kelas. Mayoritas rakyat yang miskin tidak dapat mengontrol hukum ini, dan oleh karenanya hukum borjuasi sarat dengan suap menyuap untuk kepentingan segelintir orang. Kuasa dan uang inilah cara kelas penguasa mengontrol hukum itu sendiri.

Korupsi di Indonesia seperti penyakit kronik. Menurut pemaparan Mahkamah Agung jumlah perkara korupsi di lembaga peradilan sepanjang 2016 mencapai 453 perkara, menempati urutan kedua setelah kasus narkotika yang mencapai 800 perkara. Dan menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah tersangka korupsi meningkat dari 677 menjadi 669 tersangka. Selanjutnya, data statistik KPK menyebutkan, sejak 2004 hingga Juni 2017, ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Di antaranya, 18 orang gubernur dan 60 orang walikota atau bupati dan wakilnya. Kasus-kasus korupsi seperti ini menunjukkan watak kelas penguasa yang sama sekali tidak ingin memajukan sebuah bangsa. Alih-alih menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran yang semakin menjamur, mereka lebih mementingkan keinginan sempit mereka, tanpa memperhatikan bahwa bangunan sistem politik yang mereka dirikan telah mereka gerogoti sendiri. Meskipun jelas bahwa publik sangat muak terhadap drama kasus Setya Novanto, DPR dan partai-partai borjuasi enggan menuntut Setya Novanto untuk turun dari jabatannya. Mereka prihatin atas penangkapan Setya Novanto, yang mereka anggap sebagai musibah.

"Saya menaruh keprihatinan, sedih. Novanto teman saya, sudah cukup lama. Saat ini posisinya Ketua DPR, sebuah lembaga tinggi negara," ujar Paloh (16/11/2017)

Alih-alih dengan tegas membersihkan hukum dan demokrasi borjuasi dari kotoran-kotoran korupsi dan sebagainya, mereka menujukkan solidaritasnya sebagai sesama partai borjuasi. Ini hanya menunjukkan bahwa partai-partai borjuasi di Indonesia sangat impoten. Hukum dan demokrasi borjuasi tidak akan pernah bersih, karena mereka dikontrol dan dimiliki oleh borjuasi. Lewat satu lain cara, mereka bisa membeli hukum dan perangkatnya. Untuk membersihkan hukum dan demokrasi, maka perlu  untuk mengubahnya, dari tunduk terhadap kelas minoritas menjadi tunduk pada mayoritas kelas pekerja. Ini hanya bisa dilakukan dengan partai kelas buruh yang merebut kekuasaan politik, dan membongkar tatanan politik yang ada, digantikan dengan tatanan kekuasaan buruh yang sama sekali berbeda. Dengan demikian, mereka-mereka yang tersangkut masalah hukum tidak mempunyai kebebasan untuk menyuap hukum itu sendiri. Hanya dengan cara inilah maka dapat tercipta hukum yang bersih dan berpihak terhadap mayoritas rakyat pekerja.