9baf5df0 6e4a 11ed 9de7 edc8b278db19Setelah tertunda cukup lama, akhirnya KUHP yang baru disahkan. Rakyat diberitahu oleh tuan nyonya wakil rakyat bahwa ini dilakukan demi memperbarui KUHP peninggalan Belanda dalam “semangat dekolonisasi”, dan bahwa dunia yang modern membutuhkan juga undang-undang yang modern. Demikian narasi yang dikedepankan oleh pemerintah. Kita bisa abaikan dalih dekolonisasi mereka yang bodoh. Tetapi ada kebenaran yang terkandung dalam dalih kedua, sebuah kebenaran yang tidak disengaja, bahwa ada dunia baru yang memerlukan UU yang baru pula. Kenyataannya, dunia hari ini tengah memasuki periode penuh gejolak, yang oleh karenanya pemerintah membutuhkan perangkat-perangkat hukum baru – atau “modern” – untuk meredam gejolak di hari depan. 

Bukanlah sebuah kebetulan kalau KUHP baru ini, dengan berbagai pasal yang menggerus hak-hak demokrasi rakyat, didorong oleh rejim selama beberapa tahun terakhir. Bila kita jeli melihat dunia hari ini, kita saksikan satu pemandangan yang dipenuhi dengan krisis, dalam ranah ekonomi, politik dan sosial. Ketidakstabilan yang lama telah terjungkir balik, dan yang ada di hadapan kita hanyalah ketidakpastian. Ledakan-ledakan massa terjadi silih berganti dari satu negeri ke negeri lainnya, mengguncang tatanan yang ada dan membuat kelas penguasa resah. Inilah dunia baru yang tengah kita masuki.

Sistem kapitalisme tengah dilanda krisis berkepanjangan. Sejak krisis finansial 2008, yang merupakan satu titik balik penting, kapitalisme telah melompat dari satu krisis ke krisis lainnya, tanpa jeda pemulihan yang signifikan sama sekali. Bila sebelumnya, siklus boom-and-bust kapitalisme menyaksikan resesi yang disusul pemulihan yang signifikan dan penuh gairah, hari ini yang menyusul hanyalah pemulihan yang pucat pasi dan pendek. Secara keseluruhan, kurva ekonomi kapitalisme tengah memasuki periode panjang penurunan karena kapitalisme sudah tidak bisa lagi mengembangkan kekuatan produksi manusia.

Momok resesi kembali menghantui perekonomian seluruh dunia. Untuk mengendalikan inflasi, bank-bank sentral telah menaikkan suku bunga dengan kecepatan dan skala tanpa preseden. AS dalam kurun waktu 1 tahun saja telah menaikkan suku bunga 7 kali. Indonesia mungkin tidak terpukul langsung oleh inflasi dan oleh karenanya tidak perlu menaikkan suku bunga seperti AS dan negeri-negeri Eropa lainnya. Tetapi kenaikan suku bunga AS dan Eropa telah mengeringkan investasi kapital yang sebelumnya mengalir ke negeri-negeri berkembang seperti Indonesia. 

Hampir semua ekonom telah meraih satu konsensus, bahwa inflasi ini hanya bisa dikendalikan dengan memicu resesi, dengan menekan permintaan. Apa yang dimaksud dengan ‘menekan permintaan’? Bagi buruh ini berarti memangkas dengan drastis kemampuan membeli mereka, dengan naiknya tingkat pengangguran. Taraf hidup kelas buruh di seluruh dunia akan terus digerus untuk membayar krisis ini.

Fakta ekonomi ini telah memiliki konsekuensi sosial dan politik. Kelas buruh Inggris minggu lalu sudah meluncurkan gelombang pemogokan. 40 ribu buruh rel kereta api, 100 ribu perawat, 115 ribu pekerja pos, semua mogok menuntut kenaikan upah yang sesuai dengan inflasi. Bahkan, selama dekade terakhir, kita telah saksikan menajamnya perjuangan kelas, dengan ledakan-ledakan gerakan massa yang telah membuat kelas penguasa gemetar ketakutan. Dalam ketakutan inilah kelas penguasa mulai memperkuat alat-alat represi mereka. Mereka melihat hantu revolusi berkeliaran di mana-mana.

Hanya dengan memahami kenyataan ini kita bisa memahami KUHP yang baru ini. Kelas penguasa tidak melakukan sesuatu tanpa alasan. Bila mereka mengebiri hak demokrasi, ini bukan karena mereka tidak paham atau gagal paham demokrasi. Untuk bisa memastikan mengalirnya profit kapitalis di tengah kondisi ekonomi yang carut marut, kapitalis dan pemerintahan mereka harus meningkatkan eksploitasi terhadap buruh dan tani. Upah buruh harus terus ditekan. Tanah petani semakin mudah diserobot. Lingkungan hidup semakin mudah dieksploitasi. Omnibus Law yang tempo hari disahkan adalah salah satu cara untuk memaksa rakyat pekerja menanggung beban krisis kapitalisme, sementara KUHP yang baru disahkan adalah alat untuk membungkam hak demokrasi rakyat yang melawan.

Pasal-pasal yang jelas dirumuskan untuk meredam perlawanan rakyat adalah yang terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan; penghinaan terhadap pemerintah, presiden dan wapres; dan penyebaran gagasan Marxisme atau gagasan apapun yang dinilai pemerintah bertentangan dengan Pancasila. Pada dasarnya, semua pasal ini ditujukan untuk mempertahankan kepentingan kelas borjuasi dan keberlangsungan eksploitasi kapitalis.

Larangan mengenai penyebaran gagasan Marxisme dalam KUHP baru ini merupakan turunan dari TAP MPRS 25/1966, sebuah ketetapan yang disahkan di atas tulang belulang 3 juta pejuang buruh dan tani. Walaupun rezim Orde Baru yang mensahkan TAP MPRS ini sudah ditumbangkan pada 1998, tetapi esensi utama rezim ini masihlah utuh. Soeharto boleh saja dilengserkan, tetapi tidak demikian dengan pelarangan Marxisme, tidak demikian dengan kelas kapitalis yang menjadi basis sosial dari rezim Orde Baru. Reformasi 1998 tidak mengubah watak negara yang ada serta kepentingan kelas mana yang dibela oleh negara ini.

KUHP ini sekali lagi hanya menunjukkan ketakutan historis kelas penguasa terhadap gagasan Marxisme, yang walaupun sudah dikubur berulang kali, bahkan setelah runtuhnya Uni Soviet, masihlah menjadi hantu baginya. Alasannya sederhana: kapitalisme dengan semua horornya akan selalu mendorong rakyat pekerja ke arah perjuangan revolusioner, dan dalam perjalanannya tidak bisa tidak mereka akan menemukan Marxisme. KUHP yang baru ini mengkriminalisasi siapapun yang “mengajak orang lain menganut paham komunisme atau marxisme/leninisme”, tetapi sesungguhnya kapitalisme-lah yang membuat orang menganut Marxisme. Untuk itu, mungkin akan menjadi saran yang baik bagi pemerintah untuk memenjarakan kapitalisme. 

KUHP ini pada analisa terakhir merupakan satu dari banyak gejala bahwa kita tengah memasuki periode baru dalam perjuangan kelas. Untuk itu, bagi kaum revolusioner, tidak ada alasan untuk menjadi pesimis. Gerakan hari ini mungkin saja tidak berhasil menghentikan sahnya KUHP, tetapi tidak ada satupun undang-undang yang bisa menghentikan laju sejarah. Sistem kapitalisme telah bangkrut dan tidak ada masa depannya. Revolusi yang memang sudah waktunya akan tiba tidak akan bisa dihentikan oleh undang-undang apapun, oleh aparatus kekerasan negara yang paling canggih dan represif sekalipun. Kelas penguasa mungkin membayangkan, bahwa dengan pengawasan elektronik yang hari ini begitu luas dan intrusif, dengan teknologi pengenalan wajah dan berbagai teknologi pengawasan maju lainnya, mereka bisa mengamankan posisi mereka. Mereka mungkin tidur dengan lebih lelap setelah meloloskan KUHP ini. Tetapi mereka sebaiknya belajar dari sejarah, bila massa rakyat sudah bergerak, semua ini akan runtuh seperti rumah kartu. 

Kaum revolusioner tidak memiliki pesimisme sama sekali. Hanya optimisme yang mengisi sanubarinya, karena ia memiliki pemahaman mengenai gerak sejarah dan kesadaran kelas buruh. Ia tahu bahwa sejarah ada di pihaknya. Di atas permukaan, segala sesuatu mungkin tampak tenang. KUHP tampaknya lolos tanpa perlawanan berarti dari massa luas. Namun kaum revolusioner tidak boleh terlena oleh apa yang tampak di permukaan. Di bawah permukaan yang tenang, ada gemuruh yang tengah mengumpul. Ini bukan masalah apakah akan terjadi revolusi atau tidak, tetapi kapan. KUHP ini adalah antisipasinya. Revolusi tidak akan menunggu kaum revolusioner, maka untuk itu ada urgensi bagi kaum revolusioner untuk melipatgandakan kerjanya dalam membangun organisasi yang diperlukan bagi perjuangan revolusioner.