facebooklogocolour

 

Menjelang May Day, gerakan buruh dihadapkan lagi untuk merefleksi dirinya sendiri. Sudah sampai mana pencapaian yang telah diraih sejak May Day tahun lalu? Kemana kita akan melangkah? Artikel-artikel pun bermunculan untuk memeriahkan May Day tahun ini: ada yang hanya bersifat seremonial, yakni sebatas mengutuk kapitalisme dan mengobarkan rasa juang, dan ada juga yang bersifat reflektif, menganalisa situasi ekonomi dan politik sekarang dan mencoba memberikan perspektif ke depan.

Salah satu artikel reflektif ini adalah editorial PAPERNAS “Kaum Buruh Menghadapi Imperialisme” yang menyimpulkan bahwa gerakan buruh harus mengutamakan perjuangan nasional (kebangsaan) melawan imperialisme namun tanpa berarti mentolerir eksploitasi kapitalisme bangsa sendiri.

Sebelum kita menelaah benar atau tidaknya kesimpulan tersebut, ada baiknya kita kembali lagi ke dasar-dasar Marxisme mengenai apa itu imperialisme. Dalam pengertian sehari-hari yang dangkal, imperialisme didefinisikan sebagai penjajahan terhadap negara-negara terbelakang, dari jaman kolonial dan terus berlanjut hingga jaman sekarang dalam bentuk penjajahan ekonomi ataupun intervensi-intervensi militer yang masih kita saksikan di Afghanistan, Irak, Libya, dst.

Namun ketika prioritas perjuangan melawan imperialisme ini dipertentangkan dengan perjuangan melawan kapitalisme lokal – dalam kesimpulan PAPERNAS perjuangan melawan imperialisme diutamakan tanpa berarti mentolerir eksploitasi kapitalisme lokal – maka pengertian dangkal tersebut tidak lagi memadai dan kita harus kembali ke Lenin dan karya besarnya “Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme”.

Imperialisme timbul sebagai sebuah tahapan dari perkembangan kapitalisme dimana monopoli kapitalis menjadi karaktersitik dominan dibandingkan kompetisi bebas. Monopoli, yang lahir dari kompetisi bebas, tidak menghilangkan dengan sepenuhnya kompetisi bebas, tetapi eksis di atasnya dan oleh karenanya menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang akut di dalam kapitalisme. Lenin menjabarkan lima karakter utama dari imperialisme:

  1. Konsentrasi produksi dan kapital yang telah berkembang sedemikian rupa sehingga menciptakan monopoli-monopoli,

  2. Merger antara kapital perbankan dengan kapital industri, yang menjadi kapital finansial.

  3. Ekspor kapital menjadi lebih penting daripada ekspor komoditi

  4. Pembentukan perusahaan-perusahaan kapitalis internasional yang membagi dunia di antara mereka sendiri

  5. Pembagian teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar telah selesai, dan yang terjadi sekarang hanyalah pembagian ulang (redivision)

Dari sini kita bisa melihat kalau definisi dangkal imperialisme tidaklah keliru; ia hanya tidak lengkap. Di dalam buku tersebut, Lenin juga menyerang Karl Kautsky yang juga mendefinisikan imperialisme dengan sempit: “Di dalam imperialisme, setiap negara kapitalis industrialis berusaha menaklukkan atau menjajah semua daerah agraria [baca bangsa-bangsa terbelakang].” Lenin membantah definisi sempit Kautsky ini. “Imperialisme adalah dorongan untuk menjajah – ini adalah aspek politik dari definisi Kautsky. Ini benar, tetapi sangat tidak lengkap.” Selain itu, Lenin mengatakan bahwa imperialisme “berusaha bukan hanya untuk menjajah daerah-daerah agraria, tetapi bahkan daerah-daerah yang sangat industrialis.” Jadi imperialisme bukan hanya mengenai penjajahan yang dilakukan negara-negara ‘besar’ terhadap negara-negara ‘kecil’. Perang Dunia Pertama dan Kedua dimana Jerman, sebagai negara kapitalis yang baru muncul di Eropa, mengobarkan perang untuk menjajah negara-negara Eropa lainnya adalah satu contoh jelas mengenai watak imperialisme yang sesungguhnya.

Ketika kita hanya mendefinisikan imperialisme sebagai sebuah penjajahan – sebuah definisi yang tidak lengkap – maka kita akan mencapai pada kesimpulan yang tidak lengkap. PAPERNAS gagal mempertimbangkan dengan serius karakter-karakter utama lain dari kapitalisme dalam mencapai kesimpulannya, yakni: monopoli, kapital finansial, ekspor kapital, dan perusahaan-perusahaan kapitalis internasional.

PAPERNAS berargumen bahwa karena kapital asing berhasil menguasai mayoritas sumber kehidupan di negeri ini dan menghisap kekayaan negeri kita, maka perjuangan yang harus diutamakan adalah untuk melawan kapital asing tersebut (imperialisme) supaya “akumulasi nilai tambah dapat terbendung di dalam negeri”. Tetapi, PAPERNAS berkata, ini bukan berarti kita mentolerir penindasan kapitalisme bangsa sendiri, seperti kata Bung Karno: “... dimana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus melawan kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional.”

Namun, dalam arti konkritnya, apa itu “mengutamakan perjuangan melawan imperialisme, tanpa mentolerir penindasan kapitalisme bangsa sendiri” yang dimaksud oleh PAPERNAS? Jawabannya bisa kita temukan di dalam Editorial PAPERNAS sehari sebelumnya “BRICS dan Dorongan Kepada Dunia Multipolar”, dimana pada dasarnya PAPERNAS karena garis politiknya itu maka harus mendukung satu borjuasi (borjuasi dari negara yang relatif lebih terbelakang) melawan borjuasi lainnya (borjuasi dari negara maju). Pertemuan lima negara kapitalis BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) disambut dengan baik oleh PAPERNAS sebagai kekuatan yang “menantang imperialisme” dan “akan menjadi ‘lokomotif’ penting menuju tata-dunia baru”. Padahal kelima negara itu adalah sendirinya ‘imperialis’, dalam arti mereka juga melakukan penjajahan ekonomi terhadap negara-negara yang lebih miskin daripadanya. Benua Afrika sudah menjadi lahan penghisapan Cina, Rusia, dan Afrika Selatan. Brazil pun sudah menjadi negara imperialis dalam kapasitasnya sendiri. Kita bisa juta tanyakan kepada rakyat Nepal apakah India negara imperialis atau bukan.

PAPERNAS mengharapkan Indonesia bisa menjadi bagian dari BRICS, yakni Indonesia lepas dari cengkraman imperialis negara-negara Barat dan menjadi kekuatan imperialis yang independen. Inilah mimpi basah kaum borjuasi nasional dari negara-negara dunia ketiga, yang mendambakan sebuah tata-dunia baru dimana mereka akan mendapatkan kue jarahan yang lebih besar. Tidak diragukan kalau Cina tampaknya akan menjadi kekuatan baru di dalam perekonomian global kapitalis, seperti halnya AS menggantikan Inggris pada abad ke-20, dan Inggris menggantikan Belanda pada abad ke-18. Dunia berganti rupa, namun naiknya Cina menggantikan negara-negara imperialis lama seperti AS bukan berarti bahwa imperialisme telah tertantang. Yang terjadi adalah pembagian-ulang (redivision) dunia oleh kekuatan-kekuatan kapitalis besar.

Monopoli, kapital finansial, ekspor kapital, perusahaan-perusahaan kapitalis internasional, dan pembagian dunia akan terus menjadi karakter utama dari kapitalisme jaman-sekarang. Kita tidak bisa menghilangkan imperialisme dari kapitalisme, karena imperialisme adalah tahapan dari kapitalisme.

Tentu kita berjuang melawan intervensi kapitalis asing dalam bentuk apapun, dan pada tahapan tertentu ini bisa menjadi tuntutan mendesak yang harus kita utamakan; misalkan ketika terjadi intervensi militer di negeri kita sendiri. Namun pengutamaan perjuangan melawan intervensi asing bukan berarti mengesampingkan perjuangan kelas. Di dalam sejarah, kasus Perang Dunia Kedua mungkin adalah kasus terbaik dimana masalah pengutamaan perjuangan nasional menjadi pertanyaan yang begitu akut dan mendesak. Pertanyaannya pada saat itu adalah: mendukung borjuasi nasional untuk melawan penjajahan Nazi Jerman, atau tidak mendukung borjuasi nasional yang berarti membiarkan penjajahan Nazi Jerman? Perjuangan nasional terlebih dahulu, atau perjuangan kelas? Di satu pihak, partai-partai Komunis di bawah kepemimpinan Kominternnya Stalin mengambil kebijakan mengutamakan perjuangan nasional dan oleh karenanya mendukung kaum borjuasi nasional, mengesampingkan perjuangan kelas untuk perjuangan nasional. Leon Trotsky, di lain pihak, menganjurkan kebijakan kelas yang disebutnya “Kebijakan Militer Proletar”, dimana diserukan bahwa pemerintahan borjuasi tidak akan bisa secara efektif melawan Nazi, dan hanya pemerintahan buruh yang bisa melawannya dengan efektif dan konsisten. Oleh karenanya diserukan slogan: persenjatai rakyat, bentuk dewan tentara, pemilihan perwira-perwira, pelatihan tentara di bawah kontrol serikat-serikat buruh; jadi pada dasarnya garis yang didorong oleh Leon Trotsky adalah perjuangan nasional dengan garis kelas, melawan fasisme dengan garis kelas, melawan usaha penjajahan oleh Jerman dengan bersandar pada kelas buruh. Sementara Komiternnya Stalin menyerukan perjuangan nasional di atas perjuangan kelas. Perbedaan tipis ini menentukan segalanya.

Pengutamaan perjuangan imperialisme versi PAPERNAS, seperti yang terungkap di dalam artikelnya mengenai BRICS, setelah ditelanjangi dari pernak-pernik kerevolusionerannya, pada dasarnya berarti ingin mendukung kemandirian borjuasi nasional dalam menindas rakyatnya sendiri dan rakyat negeri lain. Terlepas dari penyangkalan pemimpin-pemimpin PAPERNAS bahwa mereka tidak mendukung borjuasi nasional progresif – tentunya mengakui ini secara blak-blakan akan merusak kredibilitas mereka di dalam gerakan dan di antara buruh dan tani – garis politik mereka menuju ke sana, dan ini bahkan lebih berbahaya karena diselubungi dengan retorika-retorika kiri.

Perjuangan melawan imperialisme dalam arti yang sepenuh-penuhnya hanya bisa dilakukan dengan garis perjuangan kelas yang konsisten. Tugas kita adalah mengekspos watak sesungguhnya dari kapitalisme, tanpa mengambil jalan pintas. Menjelaskan dengan sabar, begitu kata Lenin. Perjuangan kaum buruh adalah melawan kapitalisme yang sudah memasuki satu tahapan yang dinamai imperialisme.