facebooklogocolour

Sorak-sorak bergembira

Bergembira semua

Sudah bebas negeri kita

Untuk s’lama-lamanya

Indonesia merdeka! (Merdeka!)

Menuju bahagia! (Bahagia!)

Itulah tujuan kita

Untuk s’lama-lamanya

Barangkali kita tidak merasa asing dengan lagu “Sorak-sorai Bergembira”, yang biasa kita dengar atau nyanyikan dalam suasana perayaan HUT kemerdekaan Indonesia. Lagu ini singkat, namun penuh gelora. Ya, gelora kegembiraan, harapan, dan tekad. Kegembiraan karena merasa telah merdeka. Harapan akan apa yang terjanji di seberang jembatan emas yang bernama kemerdekaan. Tekad untuk merealisasikan janji kemerdekaan.

Tapi, setelah sekian lama “merdeka” bukan tidak mungkin lagu ini telah kehilangan geloranya. Atau lebih tepat, banyak orang tidak merasakan lagi gelora “Sorak-sorak Bergembira.” Tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi rakyat Indonesia sudah sedemikian terbiasa dengan kata “merdeka”, meski kata tersebut tidak berarti apa-apa kecuali tidak adanya lagi pemerintahan kolonial yang bercokol di negeri ini.

Atau, bisa juga kebanyakan rakyat Indonesia sudah merasa apatis dengan istilah “merdeka”, “kemerdekaan”, atau yang sejenisnya. Biasanya orang-orang yang bergelut dengan realitas kemiskinan yang berpangkal pada kesewenang-wenangan, penindasan, dan penghisapan mengerti betul apa artinya kemerdekaan.  Bagi mereka, istilah “merdeka”, “kemerdekaan”, atau yang sejenisnya yang memenuhi udara setiap Agustusan tak lebih dari ungkapan-ungkapan ironis yang tidak memiliki makna kecuali menutupi kenyataan yang sesungguhnya: rakyat Indonesia masih terjajah, rakyat Indonesia belum merdeka.

Kemerdekaan: Kaum Moralis Burjuis

Para moralis burjuis sering berkata bahwa selama kemiskinan masih ada, selama itu pula rakyat Indonesia belum sungguh-sungguh merdeka. Sepintas, pernyataan mereka kedengaran benar. Tapi ketika mereka berbicara tentang sebab-musabab kemiskinan dan solusi untuk mengatasinya, terungkaplah bias klas yang disadari atau tidak menelanjangi kemunafikan mereka.

Bagi para moralis konservatif, akar kemiskinan adalah kemalasan. Memerdekakan orang miskin berarti mengubah mentalitasnya, dari malas menjadi rajin dan suka bekerja keras. Dengan itu orang terbebas dari kemiskinan. Bagi para moralis liberal, akar kemiskinan adalah kebodohan. Memerdekakan orang miskin berarti memberinya pendidikan, supaya pandai, inovatif, dan kreatif. Dengan itu, orang terbebas dari kemiskinan.

Dalam kenyataannya, para moralis konservatif dan liberal harus membuka mata terhadap kenyataan yang justru berkebalikan dengan pandangan mereka tentang akar kemiskinan dan solusinya. Meski ada beberapa orang kerja keras dan/atau kepandaiannya berhasil meloloskan mereka dari kemiskinan dan menjadi kaya-raya, toh jauh lebih banyak orang yang meski pandai dan bekerja mati-matian dari pagi hingga petang yang tetap hidup dalam kemiskinan! Bukankah seharusnya semua orang yang suka bekerja keras dan/atau pandai menjadi kaya? Atau haruskah kita membawa-bawa “takdir”, konsep relijius yang teramat sering digunakan untuk menjelaskan bahkan membenarkan suatu ketimpangan – dan dengan demikian bercorak reaksioner?

Bagi kaum Marxis, struktur masyarakat, yang bertumpu pada hubungan-hubungan produksi, di situlah letaknya akar dan solusi terhadap kemiskinan. Segelintir orang yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi sudah barang tentu memiliki peluang yang sangat besar untuk menumpuk kekayaan. Segelintir orang yang tidak memiliki alat-alat produksi mungkin beruntung untuk luput dari kemiskinan. Tapi sebagian terbesar justru “harus” merelakan dirinya dieksploitasi untuk memperkaya segelintir pemilik dan “menikmati” kemiskinan abadi.

Justru struktur masyarakat kelas itulah yang diabaikan oleh para moralis burjuis baik yang konservatif maupun yang liberal! Mengapa? Ini: bila struktur masyarakat, yang terpilah ke dalam klas-klas berdasarkan hubungan-hubungan produksi, dilihat sebagai akar sekaligus solusi terhadap kemiskinan, maka kesimpulan tidak bisa tidak selain mentransformasi hubungan-hubungan produksi itu sendiri. Itu berarti, mengakhiri masyarakat klas dan membangun masyarakat baru tanpa klas. Dalam konteks Indonesia dan negeri-negeri lainnya sekarang ini, memerdekakan rakyat berarti mengakhiri kapitalisme dan mendirikan sosialisme! Tepat pada titik inilah para moralis konservatif dan liberal, betapapun santun pembawaan mereka, akan berkata tegas: Tidak! Mereka yang terbiasa hidup dari jatah yang disisihkan burjuasi dari nilai lebih (surplus value) yang diperoleh dari cucuran keringat proletariat tentulah tidak akan suka bila hubungan-hubungan produksi yang menjamin kenyamanan mereka harus diakhiri dan digantikan dengan hubungan-hubungan produksi yang justru akan membuat moralisme idealistik mereka tidak laku di telinga rakyat pekerja!

Kemerdekaan: Burjuasi Nasional

Bagi kaum burjuis nasional, kemerdekaan berarti kekuasaan atas “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Kekuasaan itu,  yang tertubuh dalam “wujud negara yang berdaulat” mutlak penting bagi burjuasi nasional. Dengan itu kaum burjuis nasional bisa mengejar kepentingan ekonomi-politinya atas “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Dengan kekuasaan itu, “sejengkal tanah berikut penduduknya” dimasukkan ke dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis. “Sejengkal tanah” berfungsi sebagai lahan, yang dari dalamnya ia bisa berinvestasi, menggali tambang, atau beroleh bahan mentah untuk produksi. Sedangkan “penduduknya” berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja (kaum buruh) sekaligus pasar yang menyerap komoditi.

Di atas bangunan dasar hubungan-hubungan produksi kapitalis ini, melalui para cendikiawannya burjuasi nasional memproduksi sejumlah konsep ideologis. Di antaranya: nasionalisme, yang menuntut kedaulatan suatu bangsa atas tanah airnya sendiri. Betapapun kedengaran benar, konsep ini bersayap. Rakyat pekerja akan memandang diri mereka sebagai “bangsa”, dan demikian mereka turut berdaulat atas tanah air mereka. Tapi bagi burjuasi, “bangsa” adalah istilah hegemonik. Sejatinya, burjuasilah yang berdaulat atas “sejengkal tanah”. Namun dengan mencakupkan rakyat pekerja ke dalam konsep “bangsa”, burjuasi beroleh keuntungan berlipatganda. Dengan itu, burjuasi bisa menggalang solidaritas (“persatuan nasional”) dan menggerakkan rakyat pekerja untuk memerdekakan dan mempertahankan tanah air mereka (misalnya dalam perang-perang kemerdekaan), padahal sesungguhnya membela kepentingan ekonomi-politik burjuasi.

Dalam kasus burjuasi Barat, nasionalisme merupakan salah satu senjata ideologis yang ampuh untuk menumbangkan feodalisme. Nasionalisme juga yang menjadi pretext (dalih) perebutan koloni-koloni sebagai lahan investasi, sumber bahan-bahan mentah dan tenaga kerja, dan pasar produk para kapitalis. Dengan kata lain, perang-perang imperialis. Nasionalisme juga bertransformasi menjadi fasisme ketika burjuasi nasional berusaha menyelamatkan kapitalisme mereka dari keruntuhan. Satu bangsa, satu negara, satu pemimpin.

Dalam kasus burjuasi negeri-negeri dunia ketiga, nasionalisme pernah menjadi daya pikat ideologis yang ampuh untuk menarik dukungan rakyat pekerja. Di Indonesia, nasionalisme mendorong rakyat pekerja mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), mendukung pemerintah membatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar, menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (1957, yang kemudian dikuasai oleh petinggi-petinggi militer), merebut Irian Barat dari Belanda, dan berkonfrontasi dengan negara boneka Inggris -- Malaysia.

Akan tetapi burjuasi nasional negeri-negeri dunia ketiga, termasuk Indonesia, dalam keterlambatannya muncul di panggung sejarah, terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme. Secara khusus di Indonesia, burjuasi nasional lahir dari perkawinan dua sistem yang eksploitatif: birokrasi kolonial dengan hirarki feodal. “Hasil”-nya adalah burjuasi nasional yang cacat, yang berwatak komprador (menghamba kepada imperialisme; istilah Mao Tse-tung: “anjing-anjing imperialis”), kapitalis-birokrat yang korup dan manipulatif, dan kapitalis-kroni yang nepotistik dan kolusif. Sementara Indonesia telah menjadi negeri kapitalis dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi (rata-rata 6% pertahun) karena membuka diri lebar-lebar untuk dijarah-rayah oleh imperialisme, Indonesia juga tergolong di antara negeri yang paling korup dengan tingkat manipulasi hukum yang tinggi dan kesenjangan kaya-miskin yang semakin melebar.

Tapi dalam batasan cakrawala pemikiran dan mentalitas burjuasi nasional Indonesia, yang memahami kemerdekaan sebagai “kekuasaan atas sejengkal tanah berikut rakyatnya”, kenyataan itu tidaklah menjadi soal. Kendati mereka harus “berbagi” dengan imperialis di negeri mereka “sendiri”, toh watak cacat mereka terakomodir. Klas penguasa nasional ini hidup mewah di tengah penderitaan rakyat pekerja yang semakin tak tertanggungkan.

Merdeka Seratus Persen

Tanpa bermaksud menafikan Revolusi Agustus 1945, dari perspektif Sosialis kiranya jelas bahwa kemerdekaan Indonesia tak kurang tak lebih dari berdirinya kekuasaan burjuasi nasional di atas “sejengkal tanah” berupa arkipelago Nusantara alias eks Hindia Belanda “berikut penduduknya.” Di atas sejengkal tanah itu berlakulah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Di sanalah para komprador, kapitalis birokrat, dan kapitalis kroni menjarah raya negeri ini, menghisap dan menindas rakyat pekerja, seraya menghamba pada imperialisme.

Almarhum Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, mencetuskan Indonesia yang merdeka seratus persen. Maksud Tan Malaka jelas, “kemerdekaan seratus persen” tidak terpisahkan dari kekuasaan proletariat dan transformasi hubungan-hubungan produksi dari yang bercorak kapitalistik menjadi sosialistik. Sebagaimana dikemukakan Lenin dalam Negara dan Revolusi, transformasi hubungan-hubungan produksi mengisyaratkan penggantian “mesin” negara sebagai pelembagaan kekuasaan, dari negara kapitalis-kolonial birokrasinya menjadi negara klas pekerja. Hanya dengan jalan itulah rakyat pekerja benar-benar merdeka.

Dalam risalah yang ditulisnya pada tahun 1930-an, Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno berkata-kata tentang kekuasaan Marhaen alias wong cilik Indonesia. Menggambarkan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masa depan Marhaen yang adil dan makmur, Bung Karno menandaskan bahwa di seberang jembatan emas itu hanya ada dua kemungkinan bagi Marhaen: masa depan yang bahagia karena terwujudnya keadilan dan kemakmuran, atau masa depan yang celaka karena tidak terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Menurut Bung Karno, keadilan dan kemakmuran tidak akan terwujud bagi Marhaen bila di seberang jembatan emas, bukannya Marhaen melainkan kaum burjuis yang berkuasa. Sebaliknya, keadilan dan kemakmuran akan terwujud bagi Marhaen bila kekuasaan negara ada di tangan Marhaen.

Kedengarannya visi Bung Karno sangat mirip dengan visi Tan Malaka. Meski demikian, perbedaannya sangat besar. Bung Karno tidak mengemukakan bagaimana Marhaen bisa berkuasa. Dalam kenyataannya, negara yang lahir melalui Revolusi Agustus 1945 sekadar mengambilalih mesin negara kapitalis kolonial dengan birokrasinya – dengan pegawai dan aparat yang berbeda, semula berkulit putih sekarang berkulit sawo matang. Sebaliknya, sejalan dengan Lenin, Tan Malaka menggagaskan Indonesia Merdeka dalam wujud Republik yang mesin negaranya bertulangpunggungkan soviet-soviet atau dewan-dewan pekerja. Jadi bukan sekadar “buruh berkuasa,” tapi juga mesin negara yang dikemudikannya haruslah merupakan mesin negara yang baru, negara buruh, lengkap dengan demokrasinya, demokrasi pekerja, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang sejati. Dengan jalan itulah, kemerdekaan seratus persen akan menjadi milik rakyat Indonesia: masyarakat yang adil dan makmur.

Lalu Bagaimana?

Kita mengerti bahwa Revolusi Agustus tidak bertransformasi menjadi revolusi sosialis. Revolusi tersebut bermuara pada negara burjuis. Dalam negara ini, “kemerdekaan” tinggal menjadi wacana para moralis, atau sarana burjuasi nasional mengeksploitasi “sejengkal tanah berikut penduduknya.” Karena itu, bila kita ingin memberi makna yang sejati pada “kemerdekaan,” kita perlu melihat prospek revolusi sosial yang tidak sekadar bermuara pada penyelesaian tugas-tugas demokratik (yang toh gagal diselesaikan oleh burjuasi nasional karena terikat beribu benang dengan imperialisme dan feodalisme). Revolusi sosial itu harus bermuara pada konsekuensi yang paling jauh dan taat asas dari tugas-tugas demokratik, yakni tugas-tugas sosialis. Dengan kata lain, revolusi sosial bertransformasi menjadi revolusi sosialis.

Dengan semakin mengglobalnya kapitalisme, krisis parah yang sedang melanda kapitalisme Barat akan menjalar ke seluruh dunia. Indonesia bukan pengecualian, mengingat Eropa sebagai pasar bagi ekspor bahan mentah Indonesia di satu sisi, sementara Indonesia merupakan salah satu lahan besar bagi investasi kapitalis Barat di sisi lain. Krisis yang kelak akan menghantam Indonesia akan menjadi kondisi obyektif meletusnya revolusi sosial. Kondisi obyektif itu akan meledakkan faktor subyektif yang semakin mendidih karena kemiskinan yang parah, kesenjangan sosial yang semakin melebar, dan korupsi yang merajalela.

Revolusi sosial tidak dengan sendirinya menjadi revolusi sosialis. Ada kekuatan-kekuatan yang, seturut dengan kepentingan faksi kelasnya, akan membajak revolusi sosial. Burjuasi nasional yang sudah kehilangan pamor di mata rakyat akan berusaha mati-matian untuk mengarahkan revolusi sosial pada reformasi – seperti yang terjadi sejak Mei 1998 – dengan mengorbankan orang-orang tertentu di pihaknya sembari melakukan tambal sulam terhadap sistem yang telah memberikan banyak privilese kepada mereka. Di pihak lain burjuasi Islamis yang akhir-akhir ini semakin berani unjuk gigi dengan perda-perda shariah, intoleransi, bahkan kekerasan atas nama agama, tentu akan berupaya sekuat tenaga untuk menggelar konter-revolusi – dengan menyingkirkan faksi burjuis nasional dari kekuasaan tanpa mengubah hubungan-hubungan produksi kapitalis. Dalam kedua kemungkinan itu, revolusi sosial akan gagal menjadi jalan pemerdekaan rakyat pekerja.

Revolusi sosial akan menemukan muara sejatinya bila klas buruh atau proletariat tampil dengan garis kepemimpinan revolusioner – dengan dukungan unsur-unsur rakyat pekerja lainnya: kaum tani, kaum miskin kota, dan para pemuda. Untuk itu, proletariat harus didampingi oleh sebuah partai pelopor revolusioner dengan idea, tradisi, program, dan metode perjuangan yang tepat. Suatu partai klas buruh, suatu partai yang sungguh-sungguh bertipe Bolshevik, suatu partai para kader yang mempunyai interaksi yang intens dengan massa rakyat pekerja, akan sanggup memperlengkapi proletariat secara ideologis, strategis, dan taktis untuk menunaikan tugas sejarahnya: memerdekakan rakyat pekerja.

Sekarang, bila Saudara tergugah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sejati, bergeraklah bersama kami! Mari kita mendidik diri kita dengan teori dan praksis revolusioner proletariat, yang tak lain dari idea, tradisi, program, dan metode Marxisme revolusioner. Mari kita perkenalkan teori dan praksis ini kepada teman-teman kita sesama rakyat pekerja. Mari kita bangun organisasi perjuangan yang berusaha mengejewantahkan teori dan praksis revolusioner itu: Militan.

Dengan mengepalkan tinju ke udara, mari kita bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati!

 

Jadikan gelora lagu Sorak-sorak Gembira hidup kembali dan menggetarkan hati sanubari segenap rakyat pekerja Indonesia dengan kegembiraan, harapan, dan tekad memenangkan kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan seratus persen!

 

Di bawah kibaran panji proletariat revolusioner, rakyat pekerja Indonesia bersatulah!

 

Merdeka! ***

Batam, Juni 2012