suster ellaTewasnya seorang nakes di Pegunungan Bintang menyusul baku tembak antara TNI dan TPNPB kembali menaruh Papua di bawah sorotan nasional. Rejim dengan cepat membingkai insiden ini sebagai contoh kebuasan “KKB”, yang mereka gunakan untuk membenarkan operasi militer mereka di Papua. Banyak pihak menuntut investigasi untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa yang bertanggung jawab atas tewasnya sang nakes. Namun, apapun hasil investigasi ini – dan dari pengalaman sampai hari ini, investigasi ini tidak akan pernah terjadi – sesungguhnya kolonialisme Indonesia di bumi Papua-lah yang menciptakan kondisi tak terelakkannya korban sipil.

Kejadian ini menambah deretan panjang konflik dan kekerasan yang telah menelan korban warga sipil di Papua, entah pendatang maupun orang asli Papua.

Di tengah keterbatasan pers di Papua, muntahan berita hanya bisa didapatkan dari pihak kepolisian dan tentara. Semakin banyak fakta yang dimuntahkan dari pihak kepolisian dan tentara, semakin meragukan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ini sama sekali tidak menghentikan media-media Indonesia untuk memberitakan insiden ini berdasarkan laporan TNI dan “kesaksian” yang tidak dapat dikonfirmasi. Tanpa memeriksa fakta-fakta yang ada, misalnya diberitakan bahwa Suster Ella telah diperkosa, mulutnya dibelah, lalu dalam keadaan pingsan didorong ke tepi jurang dan mati.

“Mendengar cerita korban sangat miris. Mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi, disiksa, bahkan sampai ditelanjangi,” ujar Brigjen TNI Bambang Trisnohadi misalnya. Statemen seperti ini mengingatkan kita pada film G30S yang diputar setiap akhir bulan September, yang secara fitnah menayangkan kekejaman brutal PKI terhadap para jenderal. Nilai kebenarannya: nol besar.

Dalam beberapa tahun terakhir, konflik di Papua semakin sering terjadi. Semenjak terbunuhnya kepala badan intelijen wilayah Papua, Jenderal I Gusti Putu Danny Karya Nugraha pada April 2021, represi dan penangkapan semakin intens. Bahkan penangkapan ini menyasar aktivis kemerdekaan Papua Viktor Yeimo yang dituduh sebagai provokator kerusuhan dalam gerakan demonstrasi pada 2019 kemarin.

Tentu saja dalam setiap konflik bersenjata hampir selalu ada warga sipil yang menjadi korban, seperti halnya di setiap peperangan. Di bumi Papua, ada peperangan, antara bangsa Papua yang dijajah dan bangsa Indonesia yang menjajah. Inilah yang harus jadi titik pangkal bagaimana kita menyikapi setiap perkara jatuhnya korban warga sipil. Pertanyaan yang harus diajukan adalah: apa kepentingan yang mendasari praktik kolonialisme Indonesia ini?

Selama hampir setengah abad emas dan tembaga Papua dijarah. Cadangan mineral ini diberitakan tidak akan habis meskipun sampai tahun 2070. Menurut laporan terakhir jumlah sumber daya yang tersimpan ada sekitar 4 milyar ton. Tambang emas ini diperkirakan bernilai US$100 miliar. Belum lagi ladang gas dan energi yang dikendalikan oleh kapitalis energi BP yang bernilai US$10 miliar.

Ada kekayaan sumber daya alam yang besar di Papua yang dikendalikan dari Jakarta. Bisnis ini memberikan keuntungan yang besar. Tapi semua kekayaan ini tidak mengubah kondisi rakyat Papua. Sebagai contoh pada tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, PDB Papua mengalami kontraksi sebesar 7,4% sedangkan PDB nasional tumbuh lebih dari 5%. Meskipun pemerintahan Indonesia memberikan dana otonomi khusus, tapi semuanya itu tidak sebanding dengan semua kekayaan yang diboyong ke Jakarta.

Sementara rakyat Papua masih berkubang dengan kemiskinan dan gizi buruk, elite-elite kapitalis di Jakarta terus memperkaya dirinya. Demi menjaga eksploitasi ini tetap berjalan, pemerintahan Indonesia mengerahkan begitu banyak tentara. Menurut Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dalam 3 tahun terakhir Indonesia telah mengirim lebih dari 21 ribu personil militer.

Selain membentuk milisi untuk merepresi perlawanan-perlawanan yang ada, militer juga dikerahkan guna mengamankan setiap proyek infrastruktur yang ditujukan untuk menunjang semua agenda eksploitasi dari Jakarta dan perusahaan multinasional. Posko-posko temporer pengamanan militer Indonesia sering menggunakan banyak gedung-gedung serta fasilitas publik. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat rentan jatuh korbannya warga sipil dalam pusaran konflik di Papua.

Setiap kali ada gejolak politik atau konflik bersenjata di Papua, akses untuk mendapatkan informasi yang akurat sulit didapatkan. Semua akses informasi tertutup rapat. Pemberitaan tentang situasi Papua, terutama yang menyangkut konflik masalah kebangsaan, masih dikendalikan oleh pemerintah Indonesia. Dimatikannya internet selama demonstrasi anti-rasisme pada 2019, pelarangan terhadap jurnalis asing yang bermaksud meliput dan melakukan investigasi, dan berbagai bentuk halangan akses informasi lainnya, semua ini dilakukan agar pihak luar tidak mengetahui secara komprehensif mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Papua, mulai dari kasus-kasus kemanusiaan hingga permasalahan lingkungan yang ada.

Ini adalah kolonialisme dalam bentuknya yang paling kasar. Ada aspirasi kemerdekaan yang selama ini ditindas dan dirampas oleh pemerintahan Indonesia. Situasi ini menciptakan ekspresi ketidakpuasan dari rakyat Papua. Tidak heran banyak perlawanan dilancarkan dalam berbagai bentuk, mulai demonstrasi damai hingga perjuangan bersenjata, termasuk aksi “terorisme individual” (dalam artian membunuhi pemimpin-pemimpin militer atau polisi). Dari sudut pandang inilah kita harus mengkaji perkara korban warga sipil.

Tajamnya masalah kebangsaan di Papua akan terus membawa korban, entah dari rakyat Papua yang jadi korban kebrutalan TNI ataupun korban warga sipil tak berdosa yang terjebak dalam baku tembak seperti Suster Ella bulan lalu. Tewasnya Suster Ella hanyalah satu dari banyak korban rakyat sipil yang akan ada selama eksploitasi dan penindasan nasional di Papua terus berjalan. Konflik di Papua merupakan hasil langsung kebijakan politik pemerintah Indonesia yang memberi karpet merah kepada para kapitalis untuk merampas kekayaan alam Papua. Horor tersebut akan terus diciptakan dan dirawat oleh pemerintahan Indonesia atas nama akumulasi modal. Selama puluhan ribu personil militer dari Jakarta terus menduduki Papua untuk menjaga keberlangsungan profit kapitalis, maka selama itulah akan berjatuhan korban warga sipil dan pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah pemerintahan kolonial Indonesia.