facebooklogocolour

berita valid1616063852 61adacb406310e6f4f749992Lenin pernah mengatakan bahwa ‘kapitalisme adalah sebuah kengerian tanpa akhir’. Ungkapan ini bahkan lebih relevan saat ini di mana kapitalisme sebagai sebuah sistem tua sedang membusuk. Namun di tengah proses pembusukannya, ia terus menghisap sebanyak mungkin korban ke dalam lembah kematian. Faktanya kengerian ini sifatnya tidak hanya penderitaan fisik namun juga siksaan mental yang tak tertahankan. Ketiadaan harapan akan masa depan, jaminan sosial, pekerjaan, hunian yang layak, kebutuhan untuk sekedar bertahan hidup, dan isolasi dari lingkungan sosial yang sehat menjadi mimpi buruk tanpa akhir bagi kesehatan mental kelas pekerja dan kaum miskin lainnya.

Pada saat pandemi Covid-19 melanda, WHO melaporkan prevalensi global kecemasan dan depresi meningkat sebesar 25%. Laporan WHO menjelaskan akumulasi dari berbagai faktor selama dalam kondisi isolasi sosial seperti merasa sendiri, ketakutan, kehilangan mereka yang dicintai dan kekhawatiran finansial membawa pada depresi, kecemasan dan pikiran untuk mengakhiri hidup. Kondisi ini mencekik semua golongan termasuk kaum muda, perempuan, dan pekerja kesehatan. 

Menurut laporan yang sama, sekitar 1 dari 8 orang penduduk dunia mengalami gangguan kejiwaan. Ini setara dengan 1 milyar penduduk dunia hidup dengan gangguan mental. Selain itu setiap harinya tercatat 1 orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri. Kengerian ini menjadi persekusi mental tanpa henti khususnya di negara- negara miskin dikarenakan buruknya sistem kesehatan, minimnya tindakan preventif dan pencampakan sistematis oleh institusi terkait isu kesehatan mental. Pada akhirnya dunia tidak hanya sedang dihadapkan oleh barbarisme fisik namun juga barbarisme mental yang akan terus memburuk selama sistem tua ini tidak ditendang keluar dari panggung sejarah.

Kondisi Kesehatan Mental di Indonesia

Pada 2018, data dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang memiliki gejala depresi atau kecemasan mencapai 6,1% atau setara dengan 11 juta orang. Kasus bunuh diri di Indonesia bisa mencapai 10.000 setiap tahunnya, atau setara dengan satu bunuh diri setiap satu jam. Sekitar 4,2% pelajar di Indonesia pernah berpikir untuk bunuh diri. Sementara di kalangan mahasiswa 6,9% mempunyai niatan untuk bunuh diri, dan 3% lainnya pernah melakukan percobaan bunuh diri. 

Data di atas kemungkinan hanya menangkap sebagian kecil kasus gangguan mental karena stigma yang sangat buruk terhadap masalah kesehatan mental. Mayoritas orang masih menganggap kesehatan mental erat kaitannya dengan berbagai hal mistis, sekumpulan takhayul ataupun prasangka kuno. Masyarakat pada umumnya masih terikat dalam logika mistik, yakni cara berpikir yang menganggap bahwa segala sesuatu disebabkan oleh pengaruh roh atau hal-hal gaib. Banyak orang yang mengidap gangguan mental menderita pemasungan. Data menunjukkan sebesar 14% pasien dipasung seumur hidup dan 31,5% setidaknya dipasung dalam tiga bulan terakhir. Selain itu 91% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan kejiwaan tidak tertangani dengan baik. 

Alienasi Kerja

Kita tentu tidak asing mendengar suatu anggapan umum di masyarakat bahwa seseorang yang menduduki jabatan tinggi seperti CEO atau manajer, atau pemilik perusahaan, adalah mereka yang mengalami tekanan mental paling berat sehingga seharusnya lebih berpotensi mengalami depresi maupun kondisi kesehatan lain seperti serangan jantung. Namun sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Cambridge dan Bristol dengan mengikutsertakan 12.000 peserta menunjukkan sebaliknya. Manajer dan eksekutif perusahaan berpotensi empat kali lebih kecil mengalami serangan jantung beserta gangguan mental lainnya dibanding buruh yang berhadapan langsung dengan aktivitas produksi. Ini karena mereka selalu berada di bawah tekanan dan pengawasan dari atasan untuk bekerja secepat mungkin dengan upah yang semakin rendah. Kerja mereka tidak lagi memiliki daya tarik. Mereka layaknya gir-gir kecil dalam mesin raksasa. Mereka tidak dianggap sebagai manusia dalam kerja mereka. 

Di masa krisis ekonomi yang diperparah oleh pandemi, jam istirahat terus dipotong dan pada saat yang sama intensitas kerja semakin tinggi demi menjaga profit kapitalis. Belum lagi iklim serba kompetitif sesama pekerja yang turut memperparah persekusi mental. Mereka harus bersaing satu sama lain kalau tidak ingin kehilangan pekerjaan mereka dan menjadi gelandangan. Kerja menjadi rantai yang mengekang. Ini mengkonfirmasi kebenaran tesis keterasingan Marx. Kerja menjadi sesuatu yang asing bagi manusia di bawah sistem kapitalisme. Kerja menjadi aktivitas yang mengulang-ulang tanpa akhir. Waktu mereka bekerja bukanlah bagian dari hidup mereka, dan kerja tidak ada hubungannya sama sekali dengan menjadi manusia. 

Marx menjelaskan dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844: “Lalu apa itu alienasi kerja? Pertama, fakta bahwa kerja adalah sesuatu yang ada di luar buruh yakni, kerja tidak menjadi watak intrinsiknya; oleh karenanya, dalam kerja dia tidak mengafirmasi dirinya tetapi justru menyangkal dirinya, tidak merasa bahagia tetapi muram, tidak secara bebas mengembangkan tenaga fisik dan mentalnya tetapi mematikan raga dan meremukkan jiwanya. Buruh oleh karenanya hanya merasa seperti dirinya di luar kerjanya, dan di dalam kerjanya dia merasa berada di luar dirinya. Dia merasa bahagia saat dia tidak bekerja, dan saat dia bekerja dia tidak bahagia. Kerjanya oleh karenanya tidaklah sukarela, tetapi dipaksakan; kerjanya adalah kerja paksa. Kerja menjadi semata sarana untuk memenuhi kebutuhan yang eksternal darinya. Karakter kerja yang teralienasi ini terkonfirmasi oleh fakta bahwa tanpa adanya paksaan fisik atau yang lainnya kerja dijauhi seperti wabah.”

“Kerja eksternal, yaitu kerja yang mana manusia mengalienasi dirinya sendiri, adalah kerja yang membuat manusia mengorbankan dirinya, membuat manusia menundukkan kehendak bebasnya. Terakhir, karakter eksternal kerja bagi buruh tampil dalam kenyataan bahwa kerjanya bukanlah miliknya sendiri, tetapi milik orang lain.”

Maka dari itu, bagi mayoritas, hidup mereka dihabiskan untuk aktivitas yang tidak bermakna baginya. Dia kehilangan makna dalam hidupnya. Benarlah apa yang dikatakan Engels, ‘kerja menciptakan manusia itu sendiri’. Dengan begitu dapat dikatakan di bawah sistem kapitalisme kerja menciptakan manusia yang teralienasi, yang membuatnya rentan terhadap kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya.

Pendekatan psikologi maupun psikoanalisis beserta variannya dalam disiplin psikologi sampai ke praktik pengobatan dalam dunia psikiatri masih mewarisi postulat subjektivisme individu. Hal ini secara sederhana dapat diamati di kebanyakan artikel yang beredar di internet menyangkut depresi. Di satu sisi ditemukan berbagai kebingungan dalam mengidentifikasi penyebab. Di sisi lain ketika tiba pada solusi selalu menunjuk pada tindakan individual penderita. Dengan kata lain jika Anda sedang mengalami gangguan mental, maka hanya Anda sendiri yang bisa menyelesaikannya. Kita perlu menolak logika sesat semacam ini. 

Sesungguhnya, kondisi mental individu ditentukan oleh kondisi-kondisi objektif yang mendasari relasi sosialnya dengan sesamanya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, manusia di bawah kapitalisme teralienasi dari kerjanya, dan dari kerjalah manusia memasuki relasi sosial. Di dalam kerja dia terasingkan, di luar kerja dia berhubungan dengan sesamanya lewat komoditas dan uang. Seperti yang dikatakan Marx, semua hubungan di bawah kapitalisme direduksi menjadi pembayaran tunai yang dingin. Lebih dari itu, krisis kapitalisme telah menciptakan degenerasi dalam seluruh sendi masyarakat, dan sebagai konsekuensinya menciptakan sebuah masyarakat tanpa masa depan, tanpa harapan, dan muram. Oleh karenanya, pengobatan kesehatan mental yang bersifat individual, yang mengabaikan kondisi sosial, hanya akan menyentuh permukaan saja dan bersifat sementara. Ini hanya mengatasi gejala saja.

Sebagaimana yang telah lama dikatakan oleh psikolog Soviet Lev Vigotsky dalam tulisannya The Socialist Alteration of Man: “sebagaimana seorang individu hadir sebagai makhluk sosial, sebagai anggota dari beberapa kelompok sosial yang konteksnya ia mengikuti jalan perkembangan sejarahnya, komposisi kepribadian dan struktur perilakunya nyatanya menjadi kuantitas yang berkembang pada suatu evolusi sosial.” Ini menegaskan ulang bahwa kondisi material objektif di lingkungan memainkan peran yang amat menentukan pada perkembangan kepribadian seorang individu. Dalam hal ini lingkungan yang didominasi oleh logika kapitalis akan mengondisikan pribadi-pribadi yang teralienasi dari dirinya dan tersiksa dalam kondisi persekusi mental, entah itu depresi, kegelisahan, keinginan bunuh diri dan keinginan menyakiti diri.

Solusi Sosialis

Kita sering mendengar kalimat ‘uang tidak bisa membeli kebahagiaan’. Lebih daripada itu uang memang bukan indikator absolut penentu kebahagiaan. Namun di bawah kediktatoran moneter, sayangnya hanya melalui uang ketersediaan berbagai prasyarat untuk mengatasi kondisi-kondisi yang menyebabkan gangguan mental dapat secara sementara ditangani. Kondisi yang membuat orang tidak perlu cemas maupun depresi adalah ketersediaan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti jaminan keamanan, hunian layak, kesehatan, pendidikan , dan ketersediaan berbagai layanan publik lainnya. Sementara di bawah sistem kapitalisme tidak ada basis material untuk menyediakan kehidupan layak terutama bagi mayoritas rakyat pekerja. Kebahagiaan di bawah kapitalisme dapat disimpulkan hanya dimiliki oleh segelintir orang kaya karena mereka tidak berhalangan mengakses kebutuhan mendasar sebagai penopang kebahagiaan seperti kesehatan, hunian yang layak, makanan bergizi, menikmati waktu luang lebih, meningkatkan kreativitas pribadi, menikmati waktu dengan keluarga maupun berinteraksi secara spiritual dengan alam. 

Sesungguhnya dunia kita memiliki lebih dari cukup kekayaan untuk memastikan ketersediaan kebutuhan hidup yang layak dan manusiawi bagi seluruh rakyat. Tetapi sumber daya ekonomi yang berlimpah ini berada di tangan segelintir kapitalis, sementara rakyat pekerja yang bekerja tidak dapat mengaksesnya. Dengan sistem sosialisme, kekayaan ini akan menjadi milik kolektif untuk dinikmati bersama. Ini akan memastikan kelimpahan jasmani yang jelas akan berdampak pada kesehatan mental. Tidak perlu lagi kita merasa cemas esok hari akan ada makanan atau tidak, cemas kalau anak kita sakit, cemas kehilangan pekerjaan. Kekayaan dunia hari ini cukup untuk menghilangkan kecemasan tersebut. 

Lebih dari itu, sistem produksi sosialisme akan mengakhiri alienasi kerja di bawah kapitalisme. Sosialisme akan mengubah bagaimana manusia berhubungan dengan kerja. Kerja tidak lagi menjadi sesuatu yang dipaksakan padanya, sesuatu yang ada di luar manusia, yang asing baginya. Ketika tuas-tuas produksi kini ada di tangan buruh dan dikendalikan secara bersama dan demokratis, maka kerja akan menjadi sukarela, bermakna, dan sungguh menjadi milik manusia. Lewat kerja manusia sungguh akan mengaktualisasi dan memanifestasikan jati dirinya. Ini akan menciptakan perubahan fundamental bagi kesehatan mental manusia, karena untuk pertama kalinya kerja – yang merupakan bagian integral dari kehidupannya – akan membebaskan.