facebooklogocolour

 

Kemenangan Jokowi baru-baru ini telah memunculkan berbagai teori-teori baru di dalam pemikiran politik Indonesia, atau lebih tepatnya apa-yang-dikira-sebagai teori-teori baru. “Partai sudah tidak relevan lagi”; “figur kandidat merakyat lebih penting”; “metode kampanye turba lebih efektif”; “majukan calon alternatif, bukan tokoh partai”; dan lain sebagainya. Terhentak oleh fenomena Jokowi-Ahok, para pengamat politik segera mencari-cari penjelasan yang bisa membuat dunia mereka “bulat” dan “rasional”. Mereka mencari pertanda-pertanda yang dapat membuat tidur mereka nyenyak, setidaknya untuk malam ini sebelum fenomena politik lainnya mengusik ketenangan mereka.

“Mengapa Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama bisa mengungguli Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang didukung mayoritas partai politik?” tanya Profesor Dwipayana, seorang dosen politik UGM (Pertanda dari Pilkada DKI, Kompas, 22 September 2012). Tidak puas dengan pertanyaan ini, dia teruskan dengan serangkaian pertanyaan susulan: “Mengapa pilihan yang telah dibuat elite partai tak selalu diikuti oleh pendukungnya di akar rumput? … mengapa muncul euforia untuk memilih, terutama di kalangan kelas menengah dan anak-anak muda? Apa yang mereka sedang inginkan? Apakah ini sebuah harapan di tengah menguatnya sentimen antipartai?”

Ada pepatah yang mengatakan: A fool can ask more questions than a hundred wise men can answer (Seorang dungu dapat bertanya lebih banyak daripada yang dapat dijawab oleh seratus orang bijak). Tetapi mari kita biarkan sang profesor menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri.

Pertanda pertama yang ia temui dari Pilkada DKI ini adalah “bahwa terjadi problem serius pada pengakaran parpol … sehingga keputusan partai tak selalu diikuti pemilihnya.” Sungguh mencerahkan! Seperti kebanyakan para pemikir hari ini, sang profesor membingungkan antara gejala dan penyebab. Penyebab kekalahan Foke-Nara bukan karena pengakaran parpol yang bermasalah. Ini adalah gejala dari sebuah penyebab yang lebih fundamental. Profesor kita tidak bisa menjawab pertanyaan yang ada di depan matanya. Dia tidak bisa melihat gajah di pelupuk matanya, yakni: mengapa ada problem serius dalam pengakaran parpol?

Sedari awal tidak ada hubungan organik antara rakyat pekerja (buruh, tani, dan miskin kota) dan parpol-parpol yang ada. Bukan karena mesin-mesin partai tidak berfungsi baik, tetapi karena memang basis kelas parpol-parpol yang ada hari ini bukanlah rakyat pekerja. Basis kelas mereka adalah kelas-kelas yang berpunya. Pergeseran pemilih yang signifikan di setiap pemilu, dari tingkatan nasional hingga daerah, adalah bukti nyata dari fakta ini. Satu-satunya hal yang konsisten dari parpol-parpol yang ada kepentingan kelas mana yang mereka wakili. Walau antar partai terus berseteru dan saling menjegal untuk kepentingan sempit mereka, bahkan di dalam internal partai sendiri, kebijakan mereka melayani kepentingan modal. Kalaupun ada perbedaan antar partai, hanya perbedaan bagaimana cara terbaik melayani kepentingan modal: dari kebijakan yang lebih memihak pemodal asing sampai yang lebih pro-pemodal domestik, sampai ke model syariah yang lebih pro kaum borjuis muslim.

Rakyat hanya jadi pemilih untuk formalitas demokrasi borjuis, terus dilempar ke sana-kemari dengan berbagai cara: politik uang, politik pencitraan, isu SARA, ilusi-ilusi, janji-janji pemilu, dan berbagai metode kampanye politik. Di satu saat mungkin politik uang tidak mempan lagi dan pencitraan lebih efektif, sementara di satu saat lain mungkin isu SARA menjadi dominan. Secara fundamental tidak ada perubahan. Tidak ada yang baru di sini, kecuali keinginan dari para pengamat politik untuk mencari-cari penjelasan-penjelasan pintar untuk menutupi kebenaran yang ada. Kebenaran ini adalah bahwa rakyat pekerja tidak punya kemandirian politik mereka sendiri – yakni partai politik mereka sendiri – sehingga menjadi bulan-bulanan permainan demokrasi dengan berbagai warnanya. Dorongan untuk memperbaiki kehidupan mereka menjadi pendorong utama dari munculnya apa-yang-disebut “politik-politik baru”, termasuk fenomena Jokowi baru-baru ini.

Pergeseran yang begitu cepat di dalam arena elektoral Indonesia juga menunjukkan satu hal penting lagi: kebangkrutan parah dari politisi-politisi Indonesia. Dengan cepat parpol-parpol dan para pemimpinnya terdiskreditkan, dan dengan kecepatan yang sama pula parpol-parpol baru dan tokoh-tokoh baru menggantikan mereka.  Munculnya PKS, Demokrat, dan hari ini NasDem dan Gerindra, dan juga Jokowi dan Ahok, hanyalah bagian dari proses ini. Semakin cepat dan dalam pergeseran ini, berarti semakin akut masalah-masalah di dalam masyarakat. Inilah yang menjadi dasar dari “perbedaan pilihan antara pada momen Pemilu 2009 dan pilkada hari ini” yang dikeluhkan oleh profesor kita. Sekali lagi, sang profesor hanya bisa mengemukakan fakta dan gejala tanpa bisa menjelaskan penyebabnya, karena kebenaran ini tentu mengusik banyak pihak.

Penjelasan selanjutnya dari profesor Dwipayana mengenai fenomena Jokowi ini sama buruknya, membingungkan gejala dan penyebab. Dia sebut dua faktor yang mempengaruhi Pilkada Jakarta: faktor kandidat dan faktor isu. Tetapi kedua faktor ini sebenarnya hanya gejala saja, bukan penyebab. Mengatakan bahwa faktor kandidat adalah yang menyebabkan kandidat A menang dari kandidat B sama sekali tidak menjawab pertanyaan sama sekali. Jokowi memenangkan pilkada ini – tidak hanya memenangkan saja tetapi juga menciptakan sebuah eforia yang bahkan terasa di luar Jakarta – karena rakyat sudah geram dan muak dengan kebangkrutan politik hari ini. Mereka mencari seorang yang bersih dan mereka melihat apa yang mereka inginkan di dalam Jokowi dan Ahok.

Sentilan Cak Nun boleh dibilang bahkan lebih dekat dengan kebenaran dibandingkan kata-kata pintar profesor kita ini, bahwa “manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi. Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari.” Rakyat Indonesia sedang mencari jalan keluar dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang mereka hadapi. Mereka mungkin tidak sadar betul apa yang mereka inginkan, tetapi mereka tahu betul siapa yang mereka tidak inginkan: Foke-Nara dan politik busuk yang diwakili oleh mereka. Akan tetapi tanpa partai politik mereka sendiri aspirasi tak-sadar rakyat tersalurkan lewat Jokowi.

Isu perubahan menjadi wacana utama karena memang harapan untuk perubahan dari masyarakat yang sudah meluap ini senada dengan retorika yang ditawarkan oleh Jokowi. Ini seperti lima tahun yang lalu ketika Obama menawarkan “Change we can believe in” kepada rakyat Amerika – dan bahkan dunia – yang sudah resah, geram, dan muak dengan politik yang ada. Ditambah lagi Jokowi punya pencitraan sebagai orang luar yang bersih dan bukan tokoh politik. Begitu juga Obama, yang datang dari keluarga kelas menengah dan bukan dari keluarga borjuis kaya atau dinasti politik seperti Bush. Dia membangun karir politiknya dari bawah dengan cara yang sangat bersahaja, seperti juga Jokowi.

Bila ada satu kesimpulan yang benar dari profesor Dwipayana, ini adalah bahwa “harapan [perubahan] yang besar itu sekaligus pertanda beban berat sedang diletakkan di pundak Jokowi-Basuki.” Tetapi profesor kita berhenti di sini saja, tidak berani menempuh pertanyaan selanjutnya: apakah Jokowi-Basuki mampu memanggul beban tersebut? Menjawab pertanyaan ini membutuhkan setidaknya kemampuan membedakan mana yang gejala dan mana yang penyebab, sesuatu yang jelas tak dimilikinya. Selama Jokowi-Ahok masih bekerja di dalam kerangka kapitalisme, maka tidak akan ada perubahan fundamental bagi kehidupan masyarakat Jakarta. Ini karena penyebab dari keresahan masyarakat dan lantas harapan akan perubahan ini datang dari kegagalan sistem kapitalisme itu sendiri. Hanya perubahan kosmetik yang dapat ditawarkan oleh Jokowi, dan mungkin dalam batasan tertentu ini bisa memuaskan sejumlah orang. Situasi Indonesia begitu menggenaskan, sehingga kalau harus memilih antara dihajar oleh orang berwajah bengis atau dihajar oleh orang berwajah manis tersenyum, sejumlah orang akan memilih yang belakangan. Ini seperti Obama yang juga menawarkan kapitalisme yang berwajah tersenyum. Sejarah menjadi guru kita, bahwa kapitalisme berwajah manis tersenyum yang ditawarkan Obama pun tidak mampu mengenyangkan perut rakyatnya. Hanya kekecewaan yang mengisi perut rakyat Amerika hari ini, dan dalam kampanye Obama hari ini tidak ada lagi seruan “perubahanan” darinya sendiri ataupun dari rakyat AS.

Selama Jokowi dan Ahok tidak melancarkan pukulan-pukulan terhadap kapitalisme, maka ia hanya akan jadi pelayannya. Sampai hari ini, mereka berdua masihlah pelayan kapital dan tidak ada indikasi serius bahwa sang pelayan akan mencampakkan tuannya. Namun, yang lebih penting lagi adalah pertanda lain dari Pilkada ini, yakni tidak adanya kemandirian politik rakyat pekerja – dalam kata lain absennya partai politik rakyat pekerja – sehingga memaksa rakyat memilih yang terbaik dari yang buruk, menitipkan suaranya ke partai-partai yang bukan miliknya, dan menggantungkan harapan mereka pada tokoh-tokoh populis. Rakyat pekerja harus membangun partai politik dan kepemimpinan mereka sendiri. Getok Monas hari ini telah menunjukkan kalau buruh punya kekuatan politik sendiri, yang kalau digunakan dengan tangannya sendiri, tanpa dititipkan sana sini, akan dapat membawa perubahaan yang riil. Manusia Indonesia sungguh sedang mencari dirinya sendiri. Inilah beban berat di pundak rakyat pekerja Indonesia yang harus dipanggulnya sendiri.