Sifat buruk dan destruktif dari demokrasi ala Amerika sedang terkuak lebar hari ini. Intervensi Amerika dan sekutunya terhadap perjuangan rakyat Lybia dengan dalih kemanusiaan bukanlah pembenaran yang cerdas. Karena hampir seluruh publik dunia – dari kuli bangunan hingga direktur bank; dari anak baru gede hingga orang kurang waras – tahu bahwa tujuan utama Amerika dan sekutunya atas Lybia adalah untuk kepentingan imperialis. Ungkapan-ungkapan filosofis dari mulut Obama, Sarkozy dan yang lainnya adalah omong kosong “demokrasi”.

Dalam nilai yang sama juga sudah – dan masih akan terus – dilakukan oleh Amerika di Indonesia. Atas nama “demokrasi”, hak asasi manusia dan stabilitas, Amerika menekan dan memasung kebebasan negeri ini untuk mandiri secara politik dan ekonomi – untuk mengayomi rakyatnya dan mendistribusikan kekayaan dengan merata. Karena peran dari kapitalisme Amerika, rakyat kehilangan subsidi; buruh dieksploitasi; mall-mall besar berdiri; pedagang kecil tergusur; korupsi menjadi tradisi; kepemilikan besar hanya berada di tangan segelintir orang; dll.

Menanti dengan sabar datangnya “surga” yang dijanjikan oleh kapitalisme tak ubahnya seperti menunggu Godot dalam cerita dramatik Samuel Beckett. “Waiting for Godot(Menunggu Godot), yang pentas perdananya diadakan pada tahun 1953 di Paris, berkisah tentang absurditas dari dua orang yang bernama Vladimir dan Estragon. Dua orang tersebut, dengan tanpa kepastian, menunggu seseorang yang bernama Godot. Mereka telah menganggap Godot sebagai seorang kenalan, padahal, faktanya, mereka samasekali tidak mengenalnya.

Karena yang ditunggu tak kunjung datang, yakni Godot, Vladimir dan Estragon menghibur dirinya dengan makan, tidur, berbicara banyak, berdebat, menyanyi, bermain kartu, berolahraga, merenung, bahkan mencoba untuk bunuh diri. Dalam cerita ini, Vladimir dan Estragon tak habis-habisnya bertengkar dan berdebat. Mereka selalu memperdebatkan sesuatu yang tak jelas. Mereka berdebat tentang rencana tidur selama menunggu Godot, menunggu di tempat mana, apakah Godot akan datang hari ini atau lusa, Godot benar-benar  akan datang atau tidak, dll. Tidak hanya itu, mereka juga berdebat tentang rencananya untuk bunuh diri: siapa yang menggantung diri terlebih dahulu – karena tidak mungkin menggantung diri bersama-sama. Demikianlah selalu, mereka terus berdebat tanpa berbuat. Dan semuanya ternyata sia-sia, karena Godot tak pernah datang.

Drama alegorik dua babak ini, meski agak saya paksakan, relevan untuk menggambar situasi politik di Indonesia baru-baru ini. Meskipun kandungan makna dalam cerita Beckkett ini sangat multi-interpretasi, tetapi, dengan berani, saya mengarahkannya pada paradigma absurd dari para politisi “kiri”, tengah dan kanan tentang akan terwujudnya “demokrasi” yang sempurna, kepemimpinan yang bersih, atau mistifisasi akan lahirnya Satrio Piningit; pada para politisi yang gemar berdebat tentang kemiskinan, dan kesenjangan, pengelolaan negara yang benar dan adil; pada jargon-jargon ilusif dari partai-partai opurtunis.

Di Indonesia, sebentar lagi, persoalan-persoalan yang dihadapi sudah bukan lagi tentang bagimana caranya meningkatkan taraf hidup rakyat, tetapi sudah jauh dari itu: bagaimana mencegahnya agar tidak bunuh diri. Ini merupakan problem historis yang akut, yang akan menggali tanah dalam-dalam untuk mengubur partai-partai opurtunis. Partai-partai borjuis dengan politik wira-wirinya, seperti PDIP, Golkar, PPP, P. Demokrat, Gerindra, PKB, PAN, PKS, dll. akan segera tersungkur di pojok jaman jika abai terhadap problem akut ini. Sebaliknya, sebuah partai revolusioner akan menemukan mata air kekuatan dan kesadaran yang melimpah yang sedang dibutuhkan oleh sejarah.

Jangan menunggu “Godot”! Gejala-gejala akan muculnya problem akut ini harus segera membangkitkan kesadaran massif dari kaum tertindas (buruh, tani, dan kaum miskin kota). Basis kondisi bagi kemenangan revolusi rakyat di Indonesia telah dibangun oleh pengalaman sejarah ’98. Sejarah di mana rakyat pernah bangkit dan mampu melawan. Secara teoritik, dengan menggunakan perspektif Marxis, kondisi obyektif hari ini lebih dari itu. Berbicara tentang revolusi sosial di Indonesia adalah tema yang sangat realistis. Ini bisa dijelaskan sebagai berikut: (1) hari ini partai-partai borjuis di Indonesia telah mengalami jalan buntu, dan partai penguasa sedang kebingunan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang hampir meledak (persoalan basic need, carut marut politik, bobroknya institusi hukum, dll.); (2) ketidakpuasan yang meningkat dan perubahan sikap di kalangan borjuis kecil  terhadap borjuis besar yang selama ini menyokongnya; dan (3) kesadaran yang sedang berkembang di kalangan proletariat dan kesiapannya untuk melakukan aksi-aksi revolusioner.

Namun  beberapa prasyarat di atas belumlah cukup. Sebuah partai revolusioner proletariat, dengan kepemimpinan yang tangguh dan program yang jelas belumlah ada di Indonesia. Apakah kita akan mengambil partai-partai seperti Demokrat, Golkar, PDI, PPP, PAN, PKB, Gerindra, dll. sebagai sahabat untuk mewujudkan revolusi sosial?

Sekali lagi, jangan menunggu “Godot”! Proletariat harus segera membangun partainya sendiri dan tetap berjuang di garis kelas. Karena perubahan radikal akan terwujud di negeri ini jika elemen-elemen borjuis dihancurkan hingga ke akar-akarnya. Meskipun “progresif”, borjuasi bukanlah kawan bagi proletariat. Mereka seperti tikus-tikus yang berada di geladak kapal. Tikus-tikus itu akan meloncat-loncat menyelematkan dirinya sendiri sambil membawa bahan makanan di mulutnya saat kapal akan tenggelam.

Dalam banyak sejarah, penyebab utama terjadinya revolusi sosial adalah karena adanya perubahan-perubahan di dalam cara pandang – munculnya kesadaran kelas. Relasi-relasi materiil dalam masyarakat hanya berfungsi menyediakan saluran-saluran bagi proses yang sedang berlansung ini. Sebab, secara natural, perubahan-perubahan dalam kesadaran massa secara kolektif memiliki karakter yang semi tersembunyi. Hanya ketika sudah mencapai titik dan kadar tertentu mood-mood dan ide-ide baru akan pecah dan menyembul ke permukaan dalam bentuk aktifitas massa.

Membangkitkan kesadaran kelas adalah agenda penting bagi terwujudnya revolusi di Indonesia.  Tanpa hadirnya kesadaran kelas dari proletariat, kemenangan sebuah kelas (tertindas) tidak akan pernah terjadi. Situasi obyektifnya sudah mulai matang. Lapisan termaju dari kelas proletariat harus didorong untuk membentuk partainya sendiri, dan harus segera memetik buah yang sudah matang ini.

Terakhir, hal penting yang harus dipahami, tugas historis dari kaum revolusioner bukanlah menciptakan revolusi. Kontradiksi-kontradiksi internal dari sistem kapitalis itu sendiri yang akan menciptakannya. Tugas kaum revolusioner adalah untuk membawa revolusi ke garis kemenangan, dan ini hanya bisa dilakukan bila sudah terbangun sebuah instrumen politik yang siap melakukan tugas ini.