Artikel berita dan opini mengenai banjir di Jakarta sudah menumpuk, dengan berbagai statistik, keluhan, dan himbauan. Akan menjadi pemborosan kertas – dan lebih penting lagi, waktu para pembaca – kalau kita lantas tenggelam pada pengulangan yang sama. Rakyat miskin yang tertimpa banjir tidak perlu lagi statistik mengenai curah hujan, lebar kali Ciliwung, ketinggian air, lahan serapan air yang hilang, dsb. Biarlah para teknokrat yang mengurus masalah angka-angka dan berbagai skema pintar-cerdik untuk mengatasi banjir.

Yang dibutuhkan adalah sebuah program yang tidak hanya berisi sejumlah proyek tambal sulam dan lagi-dan-lagi berbagai perangkat hukum tak berguna. Program yang diperlukan adalah program yang akan menyelesaikan masalah ini dari hulu hingga hilir, yang akan membutuhkan pengerahan seluruh kekuatan produksi bangsa. Tanpa pengerahan seluruh kekuatan produksi bangsa, masalah banjir – dan juga ratusan masalah lainnya di ibukota ini: kemiskinan, kebersihan, akses air bersih dan drainase, kesehatan, transportasi, polusi, kejahatan, dan lain sebagainya – tidak akan terselesaikan.

Kita akan coba jabarkan dengan singkat program-program apa saja yang dibutuhkan, dan kita akan lihat bahwa implementasi penuh mereka mensyaratkan perubahan ekonomi dan politik yang fundamental. Dalam hal ekonomi, ini akan berarti pelanggaran hak skaral kepemilikan pribadi, perubahan ekonomi dari bermotif laba privat menjadi bermotif kepentingan publik, dan dari ekonomi pasar menjadi ekonomi terencana-demokratis. Dalam hal politik, ini berarti pemindahan kekuasaan ke rakyat pekerja luas: buruh, tani, nelayan, dan kaum miskin kota.

Tidak ada yang bisa menolak kenyataan bahwa perubahan kawasan resapan di Bogor dan sekitarnya menjadi vila-vila dan pemukiman-pemukiman orang-orang kaya adalah salah satu faktor yang menyebabkan banjir di Jakarta. Dari para peneliti, sampai petinggi-petinggi negara, sampai tukang ojek pun tahu akan fakta ini, yang setiap kali banjir diulas di koran dan TV dengan begitu bersemangatnya. Setiap kali air mulai menggenang para pejabat lantas berjanji akan “menertibkan” dan “mengawasi” pembangunan vila-vila. “Kami tidak pandang bulu. Semua bangunan yang melanggar ditertibkan,” kata Ahmad Heryawan, Gubernur Jabar. Tetapi kita tahu bahwa penertiban dan pengawasan ini hanya jadi lahan basah bagi mereka.

Lahan resapan adalah kawasan yang penting bagi hajat hidup banyak orang. Fakta ini sendiri sudah mengharuskan negara untuk mengambil alih kepemilikannya. Membiarkan lahan resapan ini masuk ke dalam pasar bebas, diperjualbelikan untuk kenyamanan orang-orang yang mampu merogoh kocek mereka dan mengeluarkan puluhan milyaran rupiah, telah membawa bencana “buatan-manusia” yang menyengsarakan rakyat luas. Logikanya sederhana: kita tidak akan bisa mengendalikan apa yang tidak kita miliki. Vila-vila di kawasan Puncak dan sekitarnya harus segera dinasionalisasi dan dikembalikan ke kondisi awalnya. Kawasan-kawasan resapan harus segera dijadikan milik negara dan ditaruh di bawah perlindungan negara yang setara dengan perlindungan cagar alam penting. Kawasan resapan terlalu penting untuk dijadikan milik pribadi; mereka harus dijadikan milik publik. Bukan orang-orang miskin di pinggiran kali Ciliwung yang harus digusur, tetapi orang-orang kaya di Puncak.

Berbicara mengenai penduduk miskin yang terpaksa tinggal di pinggiran kali Ciliwung dan 12 sungai lainnya, mereka harus direlokasi ke hunian yang lebih layak. Para pejabat hari ini pun akan setuju dengan ini, tetapi mereka tidak tahu bagaimana melakukan ini karena dibutuhkan sumberdaya raksasa untuk merelokasi ratusan ribu rakyat miskin. Mereka hanya bisa berjanji membangun rumah susun, tetapi pembangunan begitu lambat sehingga bahkan tidak mampu mengejar pertambahan penduduk bantaran sungai yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Tidak hanya relokasi, tetapi juga penciptaan lapangan kerja layak bagi mereka. Tidak sedikit penduduk miskin di bantaran sungai menolak direlokasi karena mata pencaharian mereka terikat dengan lokasi tempat tinggal mereka.

Fakta ini telah menunjukkan kegagalan pasar bebas dalam mengatasi masalah perumahan. Perusahaan-perusahaan real estate lebih sibuk membangun pemukiman berharga ratusan juta hingga milyaran rupiah karena ini lebih menguntungkan. Spekulasi perumahan dalam pasar bebas juga membuat harga rumah tidak terjangkau sama sekali. Papan adalah kebutuhan dasar manusia dan oleh karenanya tidak boleh dibiarkan jadi bulan-bulanan pasar bebas. Publik harus mengambil alih sektor perumahan secara luas. Pembangunan rumah publik tidak boleh hanya jadi sampingan kecil dari industri perumahan yang didominasi oleh swasta. Justru sebaliknya, industri perumahan harus didominasi oleh publik, oleh negara. Bukan lahan-lahan pemukiman orang miskin yang harus dibebaskan, tetapi kompleks-kompleks perumahan mewah yang memakan begitu banyak lahan – seperti Pandai Indah Kapuk, Pluit Mutiara, dll. – yang seharusnya dibebaskan agar lahannya dapat dibangun kampung susun publik. Pembangunan pemukiman rakyat yang layak harus dijadikan sebuah proyek nasional, dengan mengerahkan seluruh sumber daya produksi bangsa. Bila sektor perumahan sepenuhnya ada di bawah kontrol publik, maka tatakota bisa didesain secara terpusat yang lalu memungkinkan pembangunan kota Jakarta yang manusiawi. Programnya jelas: nasionalisasi industri perumahan di bawah sistem ekonomi terencana dan terpusat.

Selain relokasi, penduduk miskin bantaran sungai juga membutuhkan pekerjaan yang bermartabat dan layak. Hanya dengan menyediakan perumahan dan matapencaharian yang layak maka rakyat miskin akan mendukung program relokasi yang masif ini. Pemerintah harus dapat menjamin hak untuk bekerja yang sampai hari ini tidak pernah terpenuhi di bawah sistem kapitalisme yang melihat tenaga kerja manusia – dan manusia itu sendiri pada dasarnya – sebagai komoditas untuk diperjualbelikan di pasar. Apalagi hari ini ketika ekonomi dunia sedang didera krisis yang melempar ratusan juta orang ke lembah penggangguran. Di Indonesia, 45 juta orang menganggur (terbuka 8 juta dan terselubung 37 juta) dan 70 juta lainnya terpaksa bekerja di sektor informal. Berarti secara kasar setengah penduduk Indonesia tidak mampu merealisasikan potensi mereka. Penyelesaian masalah tenaga kerja yang akut dan masif ini hanya bisa dilakukan dengan sistem perencanaan ekonomi nasional. Bayangkan kalau 115 juta orang ini dipekerjakan secara layak, kita bisa menciptakan kekayaan yang tak ternilai untuk bangsa kita. Mereka bisa dididik dan  diperkerjakan jadi guru, dokter, insinyur, buruh pabrik, buruh tambang, teknisi, ilmuwan, pekerja sosial, dsb. Selain keterbatasan ekonomi pasar bebas, tidak ada alasan mengapa seorang harus menganggur dan membiarkan kedua tangannya dan kreatifitasnya terbengkalai. Alih-alih mengharapkan pihak swasta menciptakan lapangan kerja, dengan menasionalisasi ekonomi bangsa pemerintah dapat segera dengan aktif menciptakan lapangan pekerjaan dan mengorganisasi ulang manejemen ketenagakerjaan dimana hak untuk bekerja terpatri di dalam konstitusi dasar.

Pengerahan sumber daya bangsa secara serentak, terrencana, dan terpusat ini – sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh ekonomi kapitalisme yang berdasarkan anarki pasar bebas dan bermotif laba – dapat diarahkan juga ke proyek-proyek restorasi 13 sungai di Jakarta, pembangunan waduk dan dam, dan pembangunan sistem drainase. Tidak perlu lagi menunggu tender, yang sesungguhnya adalah lahan basah bagi pengembang dan juga para pejabat.

Sayangnya, semua yang dijabarkan di atas tidak akan mungkin bisa dijalankan oleh administrasi hari ini. Semua program ini akan menemui perlawanan dari dalam jajaran birokrasi dan kepemimpinan pemerintah hari ini. Selain sudah terbukti tidak kompeten, para pejabat dan birokrat juga akan kehilangan lahan korupsi mereka. Tidak akan ada lagi perusahaan-perusahaan real-estate yang dapat menyuap mereka. Tidak akan ada lagi tender-tender yang bisa digelembungkan.

Oleh karenanya diperlukan sebuah administrasi yang baru. Diperlukan sebuah kepemimpinan politik yang baru, yang datang langsung dari rakyat pekerja. Seperti halnya kita harus memperbaharui sistem drainase Jakarta yang tua dan usang, yang adalah peninggalan jaman kolonial, kita juga harus menggantikan semua yang tidak hanya tua dan usang tetapi juga busuk dan korup di dalam pemerintahan kita. Masalah banjir, pada analisa terakhir, adalah masalah politik. Ia terkait dengan semua permasalahan yang ada di dalam masyarakat kita, yakni ketidakmampuan penguasa hari ini untuk menyelesaikan problem-problem kemiskinan, lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, dan demokrasi.