facebooklogocolour

 

Labor guard before palaceDi tengah gelombang pasang situasi revolusioner yang melanda Rusia pasca Revolusi Februari 1917, Lenin merumuskan pandangannya tentang negara dalam bukunya, Negara dan Revolusi. Ia mendasarkan pandangannya pada tulisan-tulisan Karl Marx dan Frederick Engels. Dalam artian tertentu ia berupaya mempersilakan kedua pendiri Sosialisme Ilmiah itu untuk berbicara kepada kelas buruh Rusia ketika perjuangan kelas di negeri itu memasuki tahap yang sangat menentukan.

Negara dan Revolusi merupakan karya polemik. Di dalamnya Lenin mengkritik pandangan kaum reformis dan kaum Anarkis tentang negara. Bukan sembarang polemik, tentunya. Polemik  yang digelar Lenin bertujuan positif: menolong kelas buruh Rusia dari keraguan yang disebabkan oleh pandangan-pandangan kaum reformis (yang mengaku Marxis seperti Karl Kautsky) dan kaum Anarkis, serta meyakinkan mereka untuk mengambil tindakan yang tepat di tengah gelombang pasang situasi revolusioner.

Kaum reformis dalam satu dan lain cara menolak revolusi sosialis. Adapun yang dimaksud dengan revolusi sosialis adalah aksi kelas buruh merebut kekuasaan negara dari tangan kelas borjuis serta merombak negara dan sistem ekonomi seturut dengan asas-asas demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Kaum reformis menolak revolusi sosialis karena berpandangan bahwa kapitalisme dapat diubah secara berangsur-angsur menjadi sosialisme melalui kebijakan-kebijakan pro-buruh yang dibuat dan dijalankan oleh parlemen dan pemerintah yang didominasi oleh Partai Sosial-Demokrat. Bagi mereka, negara adalah sebuah entitas yang pada dasarnya netral, yang bisa dipengaruhi dan digunakan untuk kepentingan kelas mana saja, baik kelas borjuis maupun kelas buruh. Negara dapat digunakan untuk melayani kapitalisme. Negara juga bisa digunakan untuk mengubah kapitalisme menjadi sosialisme secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, mereka memilih reformasi alih-alih revolusi. 

Pandangan kaum reformis ini bertali-temali dengan (1) kondisi ekonomi kelas buruh yang kelihatan semakin membaik di negeri-negeri kapitalis maju Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan Inggris; dan (2) kedudukan partai-partai kelas buruh seperti Partai Sosial-Demokrat yang semakin mapan di negeri-negeri kapitalis maju tersebut. Bila tanpa merombak kapitalisme, kondisi ekonomi kelas buruh semakin membaik, mengapa harus merombaknya? Bila partai-partai kelas buruh bisa memenangkan kebijakan-kebijakan pro-buruh di dalam dan melalui negara yang ada sekarang ini, mengapa harus merombaknya? Bila melalui negara yang ada sekarang ini partai-partai kelas buruh dapat memperbaiki kapitalisme dan berpeluang untuk mengubahnya secara berangsur-angsur menjadi sosialisme, bukankah revolusi sosialis telah kehilangan relevansinya? Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah reformasi, bukan revolusi.

Sementara kaum reformis memuja negara, kaum Anarkis menolaknya mentah-mentah secara dogmatis. Bagi kaum Anarkis, negara adalah sumber penindasan dan oleh karenanya tujuan segera dari revolusi adalah membangun masyarakat tanpa negara. Dalam hal ini, kelas buruh  tidak diperbolehkan merebut kekuasaan dan membentuk negara buruh, karena negara adalah sumber kejahatan, terlepas dari kelas mana yang berkuasa. Posisi Anarkis ini dipraktekkan selama Revolusi Spanyol. Pada Mei 1937, kekuasaan ada di tangan proletariat Barcelona. Namun para pemimpin Anarkis menolak merebut kekuasaan, dan malah mengatakan: “Bila kami ingin merebut kekuasaan, kami sudah pasti bisa melakukan ini pada bulan Mei [1937]. Tetapi kami menentang kediktatoran.” Ini bukan pertama kalinya selama periode Revolusi Spanyol kepemimpinan anarkis CNT menolak merebut kekuasaan ketika jelas kekuasaan sudah ada di tangan buruh Spanyol. Hasilnya adalah kekalahan Revolusi Spanyol.

Di sini kita lihat sebenarnya kesamaan dari posisi kaum reformis dan kaum Anarkis, walaupun mereka tampak berseberangan. Kedua-keduanya melihat negara sebagai sebuah entitas yang bebas dari kepentingan kelas, sebuah institusi yang terlepas dari kelas mana yang berkuasa.

Lenin menolak baik pandangan kaum reformis maupun kaum Anarkis tentang negara. Ia mengemukakan penolakannya dengan menyajikan pandangan-pandangan yang digalinya dari tulisan-tulisan Marx dan Engels.

Pertama, Lenin menggarisbawahi bahwa negara adalah “hasil dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas.”[1] Maksudnya, “Negara timbul ketika, di mana, dan pada suatu tingkatan bahwa antagonisme-antagonisme kelas secara obyektif tidak dapat didamaikan.”[2] Sebaliknya, “eksistensi negara membuktikan bahwa antagonisme-antagonisme kelas adalah tak terdamaikan.”[3]

Dengan menyitir Marx, Lenin menandaskan bahwa “negara adalah suatu alat dari kekuasaan kelas, suatu alat untuk menindas kelas yang satu oleh kelas lainnya; adalah ciptaan ‘susunan tata-tertib’ yang mengesahkan dan mengekalkan penindasan ini dengan melunakkan bentrokan antarkelas.”[4] Menyitir Engels, Lenin menyatakan bahwa negara adalah kekuasaan yang timbul dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan diri dari masyarakat.[5] Adapun negara atau kekuasaan tersebut pada pokoknya terdiri dari “badan khusus orang-orang bersenjata yang memiliki penjara, dsb.”[6]

Maksud Lenin jelas. Negara senantiasa berwatak kelas: (1) timbul dari pertentangan antarkelas yang terdamaikan dalam masyarakat; (2) merupakan pengorganisasian kekuasaan kelas yang dominan; (3) terdiri dari badan khusus orang-orang bersenjata; dan (4) berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan kelas yang dominan. 

Kesimpulannya  jelas: negara bukan sebuah entitas politik yang netral. Betapa tidak! Negara datang dari kelas yang dominan, dikemudikan oleh kelas yang dominan, dan berfungsi untuk kepentingan kelas yang dominan. Dengan kata lain, negara adalah dari, oleh, dan untuk kelas yang dominan. Di zaman kuno, ia adalah negara warganegara pemilik budak. Di Abad Pertengahan, ia adalah negara bangsawan feodal. Di zaman kita sekarang, ia adalah negara borjuasi.[7] Implikasinya, adalah sebuah ilusi untuk membayangkan negara borjuis bekerja untuk kepentingan kelas buruh.

Jika demikian, apakah yang harus dilakukan oleh kelas buruh, wabil khusus kelas buruh Rusia? Meninggalkan ilusi kaum Marxis reformis, termasuk yang duduk dalam rezim borjuis Pemerintah Sementara di Rusia, yang mengajak kaum buruh, beserta kaum tani dan prajurit, untuk mendukung transisi dari Rusia Lama yang otokratis ke Rusia Baru yang demokratis. Sebab bukankah, sebagaimana diakui oleh sejarawan Marxis Alan Woods, bahwa Pemerintah Sementara “merepresentasikan secara masif kepentingan-kepentingan dari kelas-kelas yang berprivilese dan kaya-raya”[8]? Alih-alih, kelas buruh Rusia harus mengambilalih kekuasaan dari Pemerintah Sementara, merombak Rusia menjadi negara buruh, dan merombak kapitalisme menjadi sosialisme.

Kedua, Lenin menandaskan bahwa kelas buruh masih membutuhkan keberadaan negara. Baginya ini merupakan suatu keniscayaan, karena tumbangnya sebuah negara borjuis tidak dengan sendirinya membuat suatu masyarakat menjadi masyarakat tanpa kelas atau masyarakat Komunis. Jelas, Komunisme atau masyarakat tanpa kelas bukanlah sesuatu yang datang begitu saja dari langit.

Tumbangnya negara borjuis “hanya” mengintrodusir kelas buruh ke dalam tahapan perjuangan berikutnya. Secara negatif, itu berarti perjuangan untuk mengatasi kontra-revolusi kaum kapitalis (yang ingin merestorasi kapitalisme dan kekuasaan politiknya) dan menghapuskan kapitalisme. Secara positif, perjuangan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi Komunisme, termasuk meningkatkan level politik kelas buruh dan eks kelas-kelas tertindas lainnya serta menata perekonomian dengan memadukan prinsip terencana dan demokratis-partisipatoris. Ini sejalan dengan pernyataan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis:

“... langkah pertama dalam revolusi oleh kelas pekerja adalah menaikkan proletariat ke posisi kelas penguasa untuk memenangkan pertempuran demokrasi. Proletariat akan menggunakan keunggulan politiknya untuk mengambilalih, setapak demi setapak, semua kapital dari borjuasi, untuk menyentralisasikan semua instrumen produksi ke dalam tangan negara, yakni, proletariat yang diorganisir sebagai kelas penguasa; dan untuk memperbesar tenaga-tenaga produktif secara keseluruhan secepat mungkin.”[9]

Dalam pada itu, kelas buruh tidak bisa menggunakan negara yang telah diambilalihnya dari kelas borjuis. Sebagaimana dikatakan Marx, “... kelas buruh tidak bisa begitu saja mengambilalih mesin negara yang sudah-jadi, dan menggunakannya untuk tujuan-tujuannya sendiri.”[10] Sebab, sebagai pengorganisasian kekuasaan kelas borjuis, mesin raksasa ini sudah dilatih untuk menindas kelas buruh dan menekan kelas-kelas tertindas lainnya.

Kelas buruh membutuhkan sebuah negara tipe baru, yang cocok untuk menjalankan kekuasaannya. Untuk itu kelas buruh harus membongkar negara borjuis dan membangun sebuah negara yang sepenuhnya baru. Pembangunan negara yang baru itu sendiri sama sekali bukan sebuah eksperimen yang didasarkan pada impian kosong. Lenin merujuk pada sebuah preseden historis yang pernah dikaji oleh Marx dan Engels: Komune Paris (1871).[11]

Komune membubarkan baik kepolisian dan tentara reguler, maupun sistem parlementer. Komune menggantikan kepolisian dan tentara reguler dengan sebuah milisi demokratis yang terdiri dari seluruh rakyat pekerja yang diorganisir menurut lingkungan ketetanggaan. Komune menggantikan sistem parlementer dengan suatu jaringan seluas kota dari majelis-majelis rakyat. Komune juga menetapkan bahwa tiap-tiap pejabat harus dipilih oleh majelis rakyat, menerima upah sebesar upah seorang buruh yang terampil, bertanggungjawab secara langsung kepada majelis rakyat yang memilihnya,dan tunduk kepada recall dan penggantian langsung.[12] Dalam perkataan Lenin:

“Jadi, Komune tampaknya telah mengganti mesin negara yang telah dihancurkan itu dengan “hanya” demokrasi yang lebih penuh: penghapusan tentara tetap; semua pejabat harus dipilih dan harus tunduk pada penarikan kembali. Tetapi kenyataannya ialah bahwa “hanya” tersebut berarti suatu penggantian besar-besaran dari lembaga-lembaga tertentu oleh lembaga-lembaga yang tergolong pada susunan tata-tertib yang berbeda secara fundamental. Ini justru adalah suatu kejadian yang berjiwa “kualitas diganti menjadi kualitas”: demokrasi, dikemukakan sepenuh dan sekonsekuen yang dapat dipahami, telah diubah dari demokrasi borjuis menjadi demokrasi proletar: dari negara (=kekuatan penindas yang khusus dari kelas tertentu) menjadi sesuatu yang bukan lagi negara yang sebenarnya.”[13]

Lenin juga menyimak pelajaran dari revolusi-revolusi di Rusia: Revolusi 1905 dan Revolusi Februari 1917. Ia melihat bahwa Soviet-soviet (dewan-dewan) buruh, prajurit, dan tani[14] menubuhkan prinsip-prinsip yang sama dengan Komune. Baginya jelas, ada kesejajaran antara Komune dan Soviet-soviet. Menurut Lenin, apa yang dilakukan Komune bisa dikerjakan oleh Soviet-soviet.[15]

Berkenaan dengan pembubaran parlemen negara borjuis dan pengadaan alternatifnya, ia memperhatikan bahwa baik Komune maupun Soviet-soviet benar-benar berakar dalam gerakan-gerakan massa rakyat. Oleh karena itu, keduanya dapat menjalankan fungsi legislatif dan eksekutif sekaligus.[16] Lenin menyindir bahwa parlemen-parlemen borjuis (termasuk parlemen Rusia, Duma) sekadar merupakan warung untuk mengobrol,[17] sehingga  tangan-tangan eksekutif Negara jauh dari kontrol rakyat.

Dari pemaparan di atas, kekuasaan politik kelas buruh via negara tipe barunya ini berwatak demokratis: melibatkan partisipasi kelas buruh dan eks kelas-kelas tertindas seluas-luasnya dalam tatakelola negara. Lenin, mengikuti Marx, menyebutnya Diktatur Proletariat.[18]

Ketiga, Lenin menggarisbawahi bahwa keberadaan negara tipe baru itu bersifat sementara. Sebagaimana dikemukakan di atas, negara buruh, dengan Diktatur Proletariat yang dijalankan kelas buruh melalui Soviet-soviet, ada untuk menghapuskan sisa-sisa kapitalisme dan menciptakan kondisi-kondisi untuk Komunisme. “Penghapusan” dan “penciptaan” itu berlangsung di tengah antagonisme kelas yang belum berakhir.

Setelah kemenangan Revolusi Sosialis, kelas borjuis serta para pelayan mereka tidak serta merta lenyap begitu saja. Mereka baru saja terguling dari kekuasaan dan berusaha dengan segala macam cara untuk kembali berkuasa dengan mengorganisir kontra-revolusi. Paham-paham kapitalis yang telah ditanam selama ratusan tahun masih bersemayam dalam masyarakat yang baru. Oleh karenanya kelas buruh harus mengorganisir diri mereka untuk memadamkan perlawanan kaum borjuasi dan usaha mereka untuk kembali berkuasa.

Satu kelas yang terorganisir untuk menindas kelas lainnya, inilah yang disebut negara, dan dalam konteks ini Negara Buruh. Negara buruh akan berbeda dengan negara borjuis, karena dalam negara buruh mayoritas (buruh) akan menindas minoritas (kapitalis), bukan sebaliknya seperti yang sebelumnya. Dalam negara borjuis, kelas kapitalis yang segelintir menindas kelas buruh yang mayoritas guna memeras nilai lebih darinya, dan oleh karenanya kelas kapitalis berkepentingan untuk melanggengkan keberadaan kelas buruh dan penindasan atasnya. Dalam negara buruh, kelas buruh menindas kelas kapitalis, tetapi bukan untuk memeras nilai lebih dari kapitalis, melainkan untuk menihilkan hak kapitalis untuk memeras nilai lebih dari buruh. Dalam kata lain, negara buruh akan melarang kepemilikan modal kelas kapitalis yang merupakan sumber penindasan. Kelas buruh menindas kelas kapitalis untuk mengakhirinya sebagai sebuah kelas. Dalam masyarakat sosialis kelas kapitalis tidak punya lagi fungsi sosial dan ekonomi, dan secara berangsur akan melenyap karena ia adalah kelas tanpa masa depan.

Negara lahir dari masyarakat kelas. Ketika masyarakat kelas berakhir, maka akan matilah negara. Negara timbul antagonisme antarkelas yang tak terdamaikan. Manakala antagonisme kelas berakhir, maka akan lenyaplah negara. Negara buruh unik, karena ia berakhir saat bermula, mulai layu saat mulai berkembang. Dengan partisipasi seluas-luasnya dalam menghapuskan kapitalisme dan menciptakan kondisi-kondisi baru untuk Komunisme, negara buruh mempersiapkan terwujudnya masyarakat Komunis: masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa negara.

Penciptaan kondisi-kondisi untuk Komunisme juga membutuhkan “kelas buruh yang terorganisir sebagai kelas penguasa,”[19] baik “untuk mengambilalih, setapak demi setapak, semua kapital dari borjuasi, untuk menyentralisasikan semua instrumen produksi ke dalam tangan negara,”[20] maupun “untuk memperbesar tenaga-tenaga produktif secara keseluruhan secepat mungkin.”[21] Pembesaran tenaga-tenaga produktif akan menyelesaikan masalah kemiskinan, dan dengan bebasnya manusia dari kemiskinan maka ia akan bebas dari prasangka-prasangka lama yang menghantuinya selama puluhan ribu tahun.

Dengan memaparkan pandangan ini, Lenin menggarisbawahi politik kaum Marxis revolusioner yang didasarkan pada pemahaman ilmiah, historis, dan materialis mengenai negara, dan mengkritik utopisme politik kaum Anarkis yang meniadakan negara melalui revolusi.[22] Seperti halnya kaum Anarkis, Lenin mencita-citakan melenyapnya negara. Akan tetapi berbeda dengan kaum Anarkis, Lenin berpandangan bahwa negara, yakni negara buruh, baru akan lenyap setelah tugas historisnya selesai. Posisi kaum Marxis revolusioner dekat dengan kaum Anarkis perihal visinya tentang masyarakat Komunis, masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa negara. Akan tetapi kaum Marxis revolusioner berseberangan dengan kaum Anarkis perihal jalan untuk mencapai visi tersebut. ***

 ___________________

Catatan Kaki

 

[1]V.I. Lenin, Negara dan Revolusi: Adjaran Marxis tentang Negara dan Tugas-tugas Proletariat di dalam Revolusi (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1961), hlm. 10.

[2]Ibid.

[3]Ibid.

[4]Ibid, hlm. 11.

[5]Ibid, hlm. 13.

[6]Ibid.

[7]Ibid, hlm. 23.

[8]Alan Wood, The Origins of the Russian Revolution: 1861-1917 (London & Routledge: 32003), hlm. 47.

[9]Karl Marx & Frederick Engels, Communist Manifesto (1848), Marxist Internet Archives, https://www.marxists.org/archive/marx/works/1848/communist-manifesto/ch02.htm

[10]Karl Marx, The Paris Commune (New York: New York Labor News Company, t.t.), hlm. 70.

[11]Komune Paris adalah revolusi buruh yang pertama kali berhasil, yang berdiri sejak 26 Maret dan bertahan hingga 30 Mei 1871, sebelum dihancurkan oleh pasukan pemerintah Prancis.

[12]Lihat, Marx, Paris Commune, hlm. 73-74.

[13]Lenin, Negara danRevolusi, hlm. 57.

[14]Soviet-soviet adalah dewan-dewan buruh, tani, dan prajurit, yang mereka dirikan sebagai alat perjuangan dan penyambung lidah rakyat. Sebelum Revolusi Oktober 1917 diperkirakan ada 900 soviet di seluruh Rusia.

[15]Lenin, Negara dan Revolusi, hlm. 129.

[16]Ibid, hlm.61, 63.

[17]Ibid, hlm. 63.

[18] Istilah “Diktatur Proletariat” sering diartikan negatif. Kesannya anti-demokratis. Kesan ini diperkuat dengan praktik kekuasaan rezim-rezim Stalinis, yang pada galibnya merupakan Diktatur Partai (Komunis). Padahal, istilah “Diktatur Proletariat” sekadar berarti “kekuasaan politik kelas buruh.” Watak kekuasaan tersebut justru demokratis, yakni partisipasi seluas-luasnya dari kelas buruh dan eks kelas-kelas tertindas lainnya dalam tatakelola negara. Antitesis “Diktatur Proletariat” adalah “Diktatur Borjuis” alias kekuasasan politik kelas borjuis. Diktatur Borjuis sendiri bisa berwatak demokratis (dalam arti liberal, parlementer), bisa juga fasis, tergantung situasi kapitalisme yang melatarbelakanginya. Kapitalisme yang sedang naik cocok dengan demokrasi liberal. Kapitalisme yang sedang turun cocok dengan fasisme.

[19]Marx & Engels, Communist Manifesto, https://www.marxists.org/archive/marx/works/1848/communist-manifesto/ch02.htm

[20]Ibid.

[21]Ibid.

[22]Lenin, Negara dan Revolusi, hlm. 66.