facebooklogocolour

Hari Perempuan Sedunia (International Women's Day) adalah harinya perempuan buruh sedunia, hari munculnya solidaritas internasional kaum buruh perempuan dalam rangka membangun kekuatan politik perempuan sebagai bagian integral dari cita-cita revolusi proletar. Hari Perempuan Sedunia tidaklah mengandung makna emansipasi sempit, atau kategori dangkal yang sering digembar-gemborkan oleh para aktifis feminis liberal. Hari Perempuan Sedunia memiliki arti yang dalam dan revolusioner, yakni bergeraknya kaum buruh perempuan untuk menumbangkan kapitalisme yang menindas mereka.

Meskipun kisah perlawanan perempuan dalam catatan sejarah sudah dimulai sejak jaman Yunani Kuno hingga Revolusi Prancis -- yang menyerukan “kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" -- namun gagasan untuk memperingati hari Perempuan Sedunia muncul ketika para buruh perempuan di pabrik-pabrik mendapat perlakuan yang tidak layak dan diskriminatif. Berikut ini adalah kronologi singkat dari beberapa kejadian penting yang mengiringi perjalanan Hari Perempuan Sedunia.

Sejarah Hari Perempuan Sedunia

Tahun 1909, dalam rangkaian pendirian Partai Sosialis Amerika, Hari Perempuan Nasional pertama kali diperingati pada tanggal 28 Februari di Amerika Serikat. Hari hari tersebut kemudian terus diperingati perempuan pada setiap hari minggu terakhir bulan Februari sampai tahun 1913.

Tahun 1910, pertemuan kelompok sosialis internasional di Copenhagen, Denmark, memutuskan untuk memiliki Hari Perempuan Sedunia sebagai hari aksi untuk kaum buruh perempuan sedunia. Clara Zetkin, seorang sosialis dari Jerman, mengusulkan Hari Perempuan Sedunia tersebut dan ini diterima secara bulat oleh semua peserta yang diikuti oleh 99 perempuan dari 17 negara, termasuk tiga perempuan pertama yang dipilih sebagai anggota parlemen Finlandia. Pada saat itu, mereka belum memutuskan pada tanggal berapa peringatan hari tersebut akan diadakan.

Tahun 1911, hari Perempuan Sedunia pertamakali diperingati pada tanggal 19 Maret di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss, dimana lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki bersama-sama turun ke jalan. Selain hak untuk ikut serta dalam pemilu dan berpartisipasi dalam pemerintahan, mereka menuntut hak bekerja, kesempatan memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan.

Kurang dari seminggu sejak peringatan tersebut, pada tanggal 25 Maret terjadi insiden tragis di New York yang menewaskan lebih dari 140 buruh perempuan yang kebanyakan adalah imigran asal Italia dan Yahudi. Kejadian ini sangat mempengaruhi peraturan perburuhan di Amerika Serikat dan kondisi kerja yang menyebabkan insiden ini terjadi, yang kemudian dikecam habis-habisan selama peringatan Hari Perempuan Internasional tahun berikutnya.

Tahun 1913-1914, sebagai bagian dari upaya perdamaian yang berkembang selama berlangsungnya Perang Dunia I, perempuan Rusia memperingati Hari Perempuan Internasional untuk pertama kalinya pada hari Minggu terakhir bulan Februari 1913. Di belahan Eropa lainnya, pada atau sekitar tanggal 8 Maret di tahun berikutnya, perempuan berunjuk rasa baik untuk memprotes perang maupun sebagai ungkapan solidaritas kepada saudara-saudara perempuan di manapun.

Tahun 1917, karena dua juta tentara Rusia terbunuh dalam Perang Dunia Pertama dan kesengsaraan yang dialami oleh seluruh rakyat Rusia akibat peperangan tersebut, perempuan Rusia sekali lagi turun ke jalan pada hari minggu terakhir di bulan Februari menyerukan “Roti dan Perdamaian” Dan sejarah mencatat bahwa empat hari kemudian, Tsar turun tahta dan ini menandai Revolusi Februari 1917 yang lalu membuka jalan bagi Revolusi Oktober. Hari bersejarah itu jatuh pada tanggal 23 Februari di Kalender Julian yang digunakan di Rusia atau tanggal 8 Maret menurut kalender Gregorian (kalender Masehi yang juga kita gunakan). Buruh perempuan membuka jalan bagi Revolusi Oktober dan sejak saat itulah Hari Perempuan Sedunia diperingati pada hari yang sama oleh perempuan di seluruh dunia.

Berdasar kronologi di atas, gerakan perempuan yang bulan ini sedang diperingati oleh gerakan-gerakan perempuan sedunia jelas sekali watak kelasnya, yakni berwatak proletar. Catatan heroisme dari perlawanan perempuan untuk cita-cita revolusi proletar bisa dilihat dari perlawanan yang dilakukan oleh Clara Zetkin bersama Rosa Luxemburg. Mereka memandang perempuan perlu memiliki militansi dalam perjuangan melawan penindasan dan perlakuan buruk terhadapnya. Dan hanya perempuan proletar yang bisa melakukan ini, bukan perempuan kelas menengah kecil yang selalu ingin berkompromi dengan para penindas.

Asal Usul Penindasan Perempuan

Opresi yang dialami oleh perempuan secara historis bukanlah karena watak alami pria yang suka menindas. Pemahaman dangkal ini mencegah kita untuk bisa menghadapi masalah opresi perempuan karena bila kita menerima watak alami ini, maka tidak ada yang bisa kita lakukan untuk merubahnya. Penindasan perempuan terikat dengan evolusi masyarakat kelas. Engels, dalam karya monumentalnya “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara” menulis bahwa lahirnya masyarakat kelas dan lahirnya hak kepemilikan pribadi atas alat produksi adalah landasan dari timbulnya penindasan terhadap perempuan.

Pada zaman komunisme primitif, kaum perempuan menikmati posisi yang setara dengan laki-laki, dan bahkan berada dalam posisi yang terhormat. Peran wanita pada saat itu sangatlah penting bagi keberlangsungan masyarakat pada saat itu. Laki-laki memburu binatang liar dan wanita mengumpulkan makanan dari tanaman-tanaman sekitarnya (pada saat itu belum ada pertanian). Sekilas kita berpikir bahwa memburu binatang adalah peran yang lebih penting karena membutuhkan keberanian, kepandaian, dan ketangkasan; sedangkan pekerjaan mengumpulkan makanan dari tanaman sekitarnya adalah peran sekunder. Pada kenyataannya, memburu binatang liar bukanlah sumber makanan yang konsisten dan dapat diandalkan karena seringkali pemburuan binatang tidaklah membuahkan hasil selama berbulan-bulan; oleh karena itu pengumpulan makanan dari tanaman-tanaman sekitar yang dilakukan oleh perempuan di masyarakat komunisme primitif sangatlah penting, dan ini memberi posisi sosial yang penting bagi perempuan.

Kaum perempuan juga memiliki tugas mengurusi tempat pemukiman (membangunnya, membersihkannya, dll) dalam masyarakat hunter-gatherer yang bersifat nomadik ini. Dalam masyarakat moderen sekarang, tugas membersihkan rumah adalah pekerjaan yang nilai sosialnya rendah dan diberikan kepada kaum yang lemah, yakni perempuan. Namun dalam masyarakat nomadik yang selalu berpindah-pindah, maka urusan membangun dan memelihara tempat pemukiman sangatlah penting, dan ini jatuh ke tangan kaum perempuan. Garis keturunan juga ditarik dari perempuan bukan dari laki-laki, karena perempuan adalah satu-satunya orang tua yang anaknya dapat ditelusuri garis keturunannya. Jadi kita bisa perhatikan bahwa walaupun ada pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat berburu dan mengumpul, tetapi tidak ada ketimpangan sosial antara mereka; pembagian tugas ini bukanlah berdasarkan penundukan perempuan ke bawah kekuasaan laki-laki.

Dengan perkembangan teknik produksi, yakni dari masyarakat berburu-pengumpul menuju masyarakat bertani, maka terjadilah revolusi di dalam hubungan sosial di antara manusia. Di dalam masyarakat bertani, manusia mampu menghasilkan surplus, maka pertanyaannya muncul: siapakah yang akan menguasai surplus ini? Hak kepemilikan pribadi muncul, dan bersamanya maka muncul juga untuk pertama kalinya opresi atas satu manusia oleh manusia yang lain. Seiring dengan bergesernya kepemilikan kolektif menuju kepemilikan pribadi, posisi perempuan juga perlahan-lahan semakin tergeser karena mereka tersingkirkan dari proses produksi. Dulunya dimana peran wanita dalam mengumpulkan makanan dari tanaman-tanaman sekitar adalah penting, di dalam masyarakat bertani yang bisa menghasilkan surplus makanan maka peran tersebut menjadi semakin tidak penting.

Basis dari penindasan perempuan adalah hak kepemilikan pribadi atas alat produksi. Oleh karena itu, kesetaraan sejati antara laki-laki dan perempuan hanya bisa dicapai dengan menghancurkan basis kepemilikan pribadi tersebut dan kembali lagi ke kepemilikan kolektif. Apakah ini berarti kembali lagi ke komunisme primitif? Tidak sama sekali, karena komunisme yang baru akan lahir dari tingkat teknik dan produksi tinggi yang sudah dicapai oleh manusia dalam perjalanannya melalui masyarakat kelas. Ini juga bukan berarti menunda perjuangan pembebasan kaum perempuan sampai tercapainya sosialisme; karikatur semacam ini adalah tidaklah perlu dianggap serius. Adalah tugas setiap kaum revolusioner untuk berjuang demi tuntutan sehari-hari kaum perempuan (upah sama untuk kerja yang sama, cuti hamil 18 bulan yang dibayar penuh dengan jaminan pekerjaan, dll), dan pada saat yang sama menggunakan tuntutan sehari-hari tersebut sebagai batu pijakan untuk menuju revolusi sosialis.

 

Pembebasan Perempuan dan Revolusi Proletar

Pemikiran revolusioner mengenai perlunya gerakan perempuan diapresiasi dengan sangat tinggi oleh Partai Bolshevik dan Lenin. Karena, menurutnya, perempuan merupakan fundamen bagi keberhasilan setiap revolusi proletar. Watak ini, tentunya, berbeda sekali dengan watak gerakan perempuan hari ini dengan isu-isu yang parsial: relasi suami-istri, kekerasan rumah tangga, dan masalah-masalah yang terkait dengan aktifitas seksual. Militansi perjuangan perempuan untuk cita-cita  perubahan besar, yakni penghancuran kapitalisme dan terbebasnya perempuan dari penindasan karena proses modal, yang pernah terjadi dulu, hari ini hampir sudah tidak ada lagi. Ini menunjukkan watak kontras antara gerakan perempuan masa lalu dengan gerakan perempuan (feminisme patriarkal) hari ini.

Gerakan-gerakan perempuan yang bermunculan hari ini dengan isu-isu parsial yang dangkal tidak akan mampu membebaskan perempuan dari penindasan modal, atau melepaskannya dari ruang pengap pabrik-pabrik. Tetapi malah sebaliknya, memperkuat posisi kapitalis untuk terus mengeksploitasi mereka. Isu perlawanan perempuan terhadap laki-laki merupakan isu yang artifisial, yang samasekali tidak menyentuh substansi dari sebuah perlawanan. Perlawanan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki karena perbedaan kelamin sangat tidak masuk akal dan menggelikan. Karena jelas, kekuatan modallah yang telah memenjarakan kebebasan dan kesetaraan. Sehingga kebebasan perempuan bisa dicapai jika sistem kapitalis dihancurkan, diganti dengan sistem yang membebaskan dan menghargai peran perempuan, yakni sosialisme.

Terkait dengan gerakan perempuan menuju yang benar, Lenin pernah menyerukan kepada gerakan perempuan internasional untuk memberi kejelasan pada teori dan programnya. Karena, menurut Lenin, tidak ada praktik yang revolusioner (termasuk praktik dalam gerakan perempuan) tanpa teori Marxis – teori yang mendasarkan pada perjuangan kelas.

Kapitalismelah yang menjadi musuh kita bersama, sebagai penindas yang kejam, yang tidak memandang jenis kelamin, suku, agama, ras, dan bangsa. Perlawanan dari gerakan-gerakan perempuan, guna mencapai tujuan yang revolusioner, haruslah berwatak proletar dengan tuntutan-tuntutan progresif sebagai berikut:

Upah sama untuk kerja yang sama.

 

Lawan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan keluarga.

 

Bebaskan perempuan dari kungkungan rumahtangga dengan menyediakan pelayanan penitipan anak gratis, cuti hamil 18 bulan yang dibayar penuh dengan jaminan kembali kerja.

 

Setiap perempuan harus memiliki otonomi penuh atas tubuhnya sendiri.