facebooklogocolour

Belum lama ini, telah terjadi penyerangan kepada para buruh SPBI-KASBI di Gresik yang sedang mogok oleh sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai anggota dari suatu serikat buruh. Aksi ini, menurut penuturan seorang buruh anggota serikat SPBI-KASBI, cukup mengagetkan. Karena, biasanya, siapapun tidak bisa masuk ke dalam pabrik jika tidak menunjukan kartu pekerja. Namun segerombolan orang itu sungguh diperlakukan berbeda. Selain dibiarkan masuk dengan tanpa kartu pekerja, mereka juga dibiarkan melakukan aksi premanisme terhadap buruh.

Sejak tahun 2012 buruh Gresik semakin sering melakukan aksi, bahkan durasinya melebihi batas toleransi pihak pabrik, yakni hampir setiap bulan -- khususnya di Petrokimia Gresik. Aksi yang sering tersebut rupanya membuat resah pihak Petrokimia dan lembaga outsourcing (PPJP). Maka, dengan demikian, PPJP membentuk serikat pekerja tandingan—tentu, dengan restu pihak Petrokimia—dengan nama Serikat Pekerja Independen (SPI), serikat yang berada di bawah instruksi Petrokimia.

Pada waktu awal kemunculannya, organisasi buruh baru ini, yakni SPI, juga bergabung dengan organisasi-organisasi buruh lain dalam suatu aliansi. Namun akhir-akhir ini, ketika ada serikat buruh yang akan memobilisasi anggotanya untuk mogok, untuk menuntut hak-hak buruh, SPI meminta kawan-kawan yang akan mogok untuk membatalkan diri dan mereka mengancam akan membubarkan jika mogok tetap akan dilakukan.

Akhirnya mogok tetap berlanjut—namun tidak di luar pabrik, tetapi di dalam pabrik. Dan, sesuai dengan janji ancaman yang pernah dilontarkan, para pengancam itu pun datang dengan wajah lain untuk melakukan aksi premanisme. Anehnya, tak satu pun aparat keamanan yang tampak hadir untuk mengamankan situasi. Dan anehnya lagi, mereka yang menamakan diri sebagai anggota SPI, tidak memiliki kartu pekerja dan bukan anggota-anggota SPI yang selama ini sudah dikenal, serta dengan leluasa dibiarkan masuk ke pabrik oleh pihak Petrokimia. Para buruh menduga bahwa mereka adalah preman-preman bayaran.

Aksi premanisme di atas tentu bukan hal baru bagi kita. Karena, melihat fakta-fakta yang sudah terjadi, menajamnya perjuangan buruh berarti pula menghujamnya pukulan balik yang dilakukan oleh kapitalis. Dan ini akan menjadi suatu petaka bagi buruh jika tidak segera membentuk pertahanan diri yang kuat untuk menghadapi pukulan balik. Dalam Program Transisional, Trotsky pernah menulis bahwa kaum borjuis samasekali tidak puas dengan pasukan dari kesatuan polisi dan tentara yang disediakan oleh negara untuk menjaga kapital-kapital mereka. Trotsky memberi contoh yang pernah terjadi di Amerika, dalam periode “damai” saja, kaum borjuis memiliki batalion buruh pengkhianat dan preman-preman bayaran bersenjata.

Ungkapan Trotsky mengenai suatu fakta pada jaman itu ternyata juga terjadi di Gresik beberapa waktu lalu, dan bahkan di seluruh Indonesia. Buruh dimana-mana sedang dihadapi oleh gelombang premanisme. Analisa Trotsky mengenai karakter kapitalis dalam membentuk seperangkat pasukan pengaman kapital bukan analisa yang serampangan. Trotsky memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam memimpin gerakan buruh. Watak akumulatif, eksploitatif, dan ekspansif dari sistem kapitalisme diturunkan pada bentuk-bentuk yang lebih spesifik, contohnya dalam format pengamanan atas kapital. Bahkan tingkah laku seperti ini, pada waktu-waktu tertentu, bisa berada pada titik ekstrem.

Peristiwa di atas, secara politik, haruslah mendorong kencang organisasi-organisasi buruh untuk membentuk pertahanan diri di pabrik-pabrik, dengan membuat pasukan khusus yang mampu menghadang aksi-aksi preman selanjutnya. Dan tentu tidak berlebihan jika saya katakan bahwa, jika situasinya sudah seperti ini, bersikap lunak terhadap mereka tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya dengan pasukan khusus buruh yang didukung oleh massa buruh yang akan mampu mengalahkan preman-preman bayaran tersebut. Gagasan untuk membentuk pasukan khusus buruh, atau garda pertahanan, guna mengamankan mogok kerja dan aksi-aksi massa menjadi hal yang krusial, dan slogan ini perlu disampaikan dalam setiap mogok kerja dan aksi-aksi massa. Mereka yang layak untuk dilatih menjadi anggota pasukan khusus adalah kaum buruh muda. Melatih mereka dalam beladiri dan beberapa hal mengenai teknik pertahanan diri.

Pada akhirnya, sebagai analisa terakhir, untuk menyelesaikan aksi premanisme di pabrik tidak bisa dengan melakukan lobi di kantor pabrik, tetapi dengan membentuk garda pertahanan yang bertugas mengamankan jalannya mogok kerja dari serangan preman-preman bayaran. Namun, tugas ini adalah tugas yang bersifat transisional. Serikat-serikat buruh harus terus maju ke arah yang lebih politis, memajukan perspektifnya ke arah pembentukan kekuatan yang lebih besar, yakni partai politik buruh.