facebooklogocolour

master 52j20H8DKY 904 piala dunia qatar 2022Piala Dunia Qatar dimulai pada 20 November 2022 sebagai Piala Dunia pertama yang diadakan di Timur Tengah. Alih-alih menjadi laga pertandingan yang damai dan menyenangkan sebagai pewarna akhir tahun yang telah cukup kelam, Piala Dunia kali ini justru dipenuhi kontroversi. Suporter, aktivis, grup dan organisasi politik, bahkan tim dari berbagai negara melakukan aksi protes terhadap penyelenggaraan Piala Dunia kali ini. Drama di luar lapangan terasa lebih bising daripada di dalam lapangan.

Selain menetapkan hukum yang sangat represif terhadap kaum perempuan dan kaum LGBT+, pemerintah Qatar membangun infrastruktur Piala Dunia dengan eksploitasi buruh migran yang mengerikan. Bocoran skandal korupsi dari petinggi Qatar dalam penawaran tuan rumah Piala Dunia 2022 juga menjadi sorotan. Dengan demikian, Piala Dunia 2022 mengekspos bagaimana kapitalisme merusak sepakbola melalui korupsi dan eksploitasi.

Kontroversi Piala Dunia Qatar mulai muncul pada 2011 ketika mantan wakil presiden FIFA Jack Warner mengklaim bahwa Qatar membeli suara dalam proses pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022. Selain itu, muncul laporan yang menambah detail bahwa pemerintah Qatar mengeluarkan $1,5 juta untuk menyuap eksekutif sepakbola Afrika untuk memilih Qatar. Kemampuan Piala Dunia untuk meraup untung yang sangat besar melalui turisme, sponsor perusahaan, penjualan tiket, serta merchandise menjadi peluang bisnis yang langka sehingga pantas diperebutkan dengan segala cara. Kapitalis Qatar diprediksi akan meraup keuntungan sebesar $17 miliar dari penyelenggaraan Piala Dunia 2022.

Qatar yang merupakan negara kecil dengan penduduk hanya sebanyak 3 juta orang jelas kekurangan infrastruktur untuk menampung pengunjung acara olahraga terbesar di dunia. Untuk bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar mesti meluncurkan program pembangunan infrastruktur besar-besaran. Untuk bisa membangun infrastruktur seperti transportasi umum, hotel, dan stadion dengan cepat dan murah agar menguntungkan, Qatar mengandalkan eksploitasi tenaga kerja buruh migran dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka. Buruh migran tersebut mengalami eksploitasi yang sangat kejam, dengan kondisi kerja yang menyerupai perbudakan. 6500 buruh migran tewas antara 2010-2020, yang berarti rata-rata 12 buruh tewas setiap minggu.

Dalam membangun infrastruktur Piala Dunia, buruh migran tersebut bekerja sepanjang hari di tengah cuaca Qatar yang terik. Paspor mereka ditahan dan melalui sistem kerja kafala, mereka tidak dapat mengganti pekerjaan tanpa adanya persetujuan dari bos mereka. Dengan demikian, mereka sungguh menjadi budak yang tidak memiliki kebebasan. Upah mereka juga sering telat diberikan dan mereka mendapat jumlah yang jauh lebih kecil dari yang dijanjikan. Selain itu, tempat tinggal mereka juga sangat tidak manusiawi, dimana mereka diharuskan tinggal di blok pemukiman yang sempit dan kumuh.

Selain itu, sistem hukum Qatar sangat represif terhadap perempuan dan LGBT+. Kebebasan perempuan di Qatar sangat dibatasi. Tanpa persetujuan wali laki-laki, perempuan tidak diperbolehkan bepergian, bekerja, menikah, dan bahkan mengambil keputusan untuk anaknya sendiri. Undang-undang Qatar juga masih menindas hubungan sesama jenis. Meskipun petinggi FIFA mengatakan bahwa Qatar berusaha menjadikan Piala Dunia menjadi semakin “inklusif”, tetapi mereka menolak memberikan jaminan rasa aman bagi suporter LGBT+ yang menghadiri Piala Dunia.

Berbagai aksi protes simbolis dilakukan di lapangan oleh tim dari berbagai negara. Misalnya tim Inggris berniat mengenakan gelang pelangi sebagai solidaritas terhadap kaum LGBT+, meski akhirnya niat ini diurungkan karena ancaman skorsing dari FIFA. Tim sepak bola Australia juga mengeluarkan video memohon pemerintah Qatar untuk menghapus hukum melarang hubungan sesama jenis. Banyak suporter sepakbola juga turut menyampaikan kekesalan mereka dengan memboikot Piala Dunia. Beberapa bar dan tempat umum di Perancis yang biasa digunakan sebagai tempat nonton bersama turut menolak menyiarkan pertandingan sebagai aksi protes. 

Melihat berbagai protes dan kontroversi yang muncul, presiden FIFA Gianni Infantino mengkritik eksploitasi di negara barat sebagai upaya pengalihan isu dan melindungi Qatar dari kontroversi. Infantino juga menyerukan kepada tim peserta dan masyarakat untuk “fokus terhadap sepakbola” dan menghentikan “pertarungan” politik dan ideologi. Namun pernyataan Infantino ini penuh dengan kemunafikan. Pada Piala Dunia saat ini, FIFA memutuskan untuk melarang Rusia berpartisipasi akibat konflik Ukraina. FIFA juga awalnya mempertimbangkan untuk turut melarang Iran dengan dalih penindasan rezim Iran terhadap perempuan. Ini berarti FIFA tidak bebas dari perpolitikan diplomasi internasional.

Rejim-rejim negara Arab Teluk adalah rejim yang paling reaksioner, tetapi berdiri di belakang mereka adalah negeri-negeri demokrasi Barat. Maka dari itu, ketika kaum liberal Barat mengeluh mengenai pelanggaran hak asasi manusia, mereka sebaiknya melihat rekam jejak negeri-negeri imperialis Barat yang dengan kebijakan luar negerinya telah memorak-porandakan banyak negara. Bila sungguh mereka khawatir dengan pelanggaran hak asasi manusia di Qatar, mengapa tidak menerapkan sanksi ekonomi seperti di Kuba dan Venezuela? 

Pada akhirnya, Piala Dunia 2022 mengekspos korupsi, eksploitasi, dan kemunafikan sistem kapitalisme yang melecehkan sepakbola. Kaum liberal dan FIFA bukan hanya tidak mampu mencegah eksploitasi dan korupsi, justru mereka saat ini melindungi kebusukan yang ada secara terbuka. Kaum liberal, FIFA, dan pemerintah Qatar tidaklah berada di sisi buruh dan kaum tertindas lainnya. Mereka semua adalah pemain dalam sistem kapitalisme yang berdasarkan penindasan dan eksploitasi.

Skandal yang jauh lebih menjijikkan menanti di masa depan dengan para kapitalis yang semakin haus akan keuntungan. Korupsi dan eksploitasi dalam sepakbola tidak akan berakhir selama kapitalisme masih dapat berlari bebas.