facebooklogocolour

Tidak diragukan lagi kalau mogok nasional kali ini telah sekali lagi menggoncang seluruh masyarakat Indonesia dan setiap lapisan dan strata yang ada di dalamnya. Tidak ada satupun kelas dan lapisan di dalam masyarakat yang tak tersentuh oleh mogok ini. Tani, nelayan, mahasiswa, kaum muda, kaum intelektual, kelas menengah, pedagang kecil, kaum miskin kota, dan tentunya kaum kapitalis – semua memberikan reaksi-reaksi mereka sendiri, yang merefleksikan di satu pihak status sosial dan ekonomi mereka, dan di lain pihak tekanan-tekanan dari perimbangan kelas yang terus bergerak.

Setiap aksi selalu menghasilkan reaksi, terlebih lagi aksi dari jutaan buruh yang turun ke jalan dan menghentikan roda produksi. Artikel ini adalah satu dari serangkaian artikel yang akan mengupas sejumlah reaksi yang ditimbulkan oleh mogok nasional buruh. Satu reaksi yang ingin kita kupas hari ini adalah salah satu tuduhan kotor yang dilemparkan ke para buruh yang sedang mogok, yakni bahwa buruh adalah orang-orang yang boros.

Untuk mendiskreditkan perjuangan buruh, media massa mencoba menggambarkan buruh sebagai segerombolan orang boros yang tidak tahu cara hidup hemat, bahwa mogok nasional ini adalah ekspresi keborosan kaum buruh. Kompas menerbitkan artikel berjudul “Buruh Ini Cicil Motor Kawasaki Ninja Rp 1,2 Juta Per Bulan” (1/11), begitu juga koran-koran lain dengan tajuk serupa. Seorang buruh bernama Wahyu dijadikan maskot “Si Pemboros”:

“Misalnya saja Wahyu (21), yang memiliki sepeda motor Kawasaki Ninja 150 seharga Rp 26 juta. Ia mendapatkan penghasilan dari bekerja di salah satu perusahaan di KIP, Jakarta Timur. Pria lulusan STM itu mendapat gaji Rp 2,3 juta. Namun, pendapatan pria yang bekerja sebagai engineering itu bisa mencapai Rp 3,1 juta jika lembur.

“Gaji tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya per bulan, yaitu bayar sewa kos Rp 400.000, makan Rp 450.000, bensin Rp 200.000, uang kuliah Rp 350.000 per bulan, dan cicilan sepeda motor Rp 1,2 juta. Sementara sisanya untuk tabungan dan kebutuhan lainnya.”

Pesan yang ingin disampaikan adalah ini. Kalau saja “Si Pemboros Wahyu” tidak menghambur-hamburkan uangnya untuk menyicil motor Kawasaki Ninja 150, maka tidak perlu dia menuntut gaji sebesar 3,7 juta. Gaji Rp. 2,3 juta sebenarnya sudah cukup, karena “sewa kos Rp 400.000, makan Rp 450.000, bensin Rp 200.000, uang kuliah Rp 350.000 per bulan” (total Rp 1,4 juta) sehingga masih ada sisa Rp 900.000 ribu untuk kebutuhan lain. Sifat boros dan serakah si Wahyu inilah yang mendasari pemogokan buruh.

Buruh harus bisa hidup hemat! Inilah pesan bijaksana yang ingin disampaikan oleh media-media arus utama. Pesan ini dengan lahap dikunyah oleh kelas menengah, yang dengan penuh kesombongan mencibir perjuangan para buruh sebagai ekspresi keborosan dan keserakahan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ini mereka lakukan sembari minum kopi di mal-mal mewah.

Akan tetapi, ini bukan pertama kalinya kita mendengar pesan bijaksana ini. Sejak awal, tabiat untuk hidup hemat sudah menjadi nilai moral di dalam masyarakat. Tanya siapa saja, tentu semua orang akan setuju bahwa kita harus hidup hemat. “Hemat pangkal kaya”, begitu katanya. Sejak kita SD, sudah dipatrikan ke dalam pikiran kita semua bahwa orang boros akan jatuh miskin, dan orang yang hemat akan jadi kaya.

Namun kita hidup di dalam masyarakat kelas, dan tidak ada nilai moral absolut yang jatuh begitu saja dari langit. Tidak ada nilai moral yang berdiri di atas semua kelas. Dalam kata lain, ada nilai-nilai moral yang melayani kepentingan kapitalis, dan ada nilai-nilai moral yang melayani kepentingan buruh.

Seruan hidup hemat tidak lain adalah nilai moral yang disebarkan oleh kaum kapitalis agar buruh menerima upahnya yang rendah dan tidak menuntut lebih. Kalau ia menuntut lebih, maka ini berarti ia tidak hemat, dan oleh karenanya boros, serakah, dan tidak bertanggungjawab dalam mengatur uangnya sendiri. Buruh yang baik di mata kaum kapitalis adalah buruh yang bisa menghemat. Kalau ia hanya mendapat 1 juta per bulan, maka buruh yang baik akan bisa mengatur keuangannya dengan cermat sehingga 1 juta itu cukup untuk memberikan sandang, pangan, dan papan. Tidak perlu dia menuntut lebih. Bahkan dia akan menjadi buruh yang lebih baik lagi kalau bisa menghemat biaya kehidupannya sampai 800 ribu per bulan, sehingga kapitalis bisa menekan biaya upah. Jadi, semakin buruh  hidup hemat, semakin besar laba yang akan diraup oleh pemilik modal.

Kaum buruh tidak boleh tertipu oleh nilai-nilai moral yang abstrak dan harus selalu bertanya: kelas mana yang akan terlayani oleh nilai-nilai moral ini? Sejak kelas buruh muncul 200 tahun lalu, mayoritas buruh telah terpaksa hidup hemat. Terpaksa karena memang tidak ada pilihan lain. Namun buruh tetap miskin, bahkan menjadi semakin miskin sementara yang sudah kaya menjadi semakin kaya. Studi demi studi telah menunjukkan bahwa jurang pemisah antara yang kaya dan miskin di seluruh dunia telah menjadi semakin lebar, dan konsentrasi kekayaan menjadi semakin terpusat di tangan segelintir orang. Inilah hasil dari seruan hidup hemat. Pepatah yang benar semestinya adalah “Punya modal pangkal kaya”, “Menjual tenaga kerja (jadi buruh) pangkal miskin”.

Sejatinya buruh punya hak untuk punya motor Ninja Kawasaki, punya hak untuk hidup bukan di kamar kos sempit pengap yang sewanya Rp. 400 ribu per bulan, punya hak untuk bertamasya plesir ke luar negeri, punya hak untuk belajar setinggi-tingginya. Selain itu, tidak jarang pada hari raya Lebaran kita mendengar keluhan dari orang-orang bijak bahwa Lebaran telah menjadi terlalu konsumtif.  Rakyat diminta untuk lebih menghayati Lebaran secara spiritual, dan bukannya membeli barang-barang baru. Ini tidak berbeda dengan seruan hidup hemat. Kalau buruh tidak perlu beli baju baru pada hari Lebaran, maka THR tidak perlu tinggi-tinggi, dan ini hanya akan melayani laba kapitalis. Kita katakan “Tidak!”. Buruh punya hak untuk membeli baju-baju baru yang bagus pada hari raya mereka (Lebaran, Natal, dll.). Mereka punya hak untuk merayakan hari-hari besar dengan semeriah mungkin. Bagi kebanyakan rakyat pekerja, hanya pada hari raya mereka bisa membeli barang-barang baru. Orang-orang bijak ini, kaum moralis yang suci ini, selalu memandang rendah buruh  sebagai segerombolan orang-orang liar tanpa iman.

Buruh punya hak atas semua ini karena merekalah yang sebenarnya memproduksi semua barang-barang tersebut. Perjuangan buruh untuk upah yang lebih tinggi (dan berbagai tuntutan turunan lainnya) adalah usaha untuk merebut kembali barang-barang yang mereka produksi ini.

Bukan hidup hemat, tapi hidup layak

Buruh harus menolak nilai moral hidup hemat ini, namun bukan berarti buruh lantas harus hidup boros. Nilai moral yang harus dijunjung tinggi oleh buruh adalah hak untuk kehidupan yang layak. Tetapi sekali lagi, bukan “hidup layak” yang berdasarkan nilai moral yang abstrak. Yang layak untuk satu kelas tidaklah layak untuk kelas yang lain. Kapitalis merasa bahwa kamar kost sempit adalah layak untuk buruh. Kelas menengah mengatakan Honda bebek adalah layak untuk buruh, dan Ninja Kawasaki tidak. Ada pemimpin buruh yang merasa 2,4 juta per bulan adalah layak, ada yang mengatakan 3,7 juta baru layak. Oleh karenanya, apa itu “hidup layak”?

Kita menuntut kehidupan yang layak sesuai dengan tingkat produktivitas (dan potensi tingkat produktivitas) masyarakat yang ada. Apa artinya ini?

Sistem ekonomi kapitalis memiliki tingkat produktivitas yang sangatlah tinggi, sehingga begitu besar kekayaan yang diproduksinya. Tidak ada satupun kerajaan atau kekaisaran di masa silam yang bisa menandingi kejayaan kapitalisme. Tenaga kerja buruhlah yang menghasilkan semua kekayaan tersebut, atau yang kita sebut nilai-lebih. Tetapi ada segelintir orang (pemilik modal) yang menyita mayoritas nilai-lebih ini dan hanya menyisakan sedikit nilai lebih (dalam bentuk upah) kepada buruh. Nilai-lebih yang disisihkan untuk buruh ini hanya cukup untuk mempertahankan keberadaan buruh, sementara ada nilai-lebih yang sangat besar yang “disita” oleh segelintir pemilik modal.

Kapitalisme sebenarnya sudah memproduksi begitu banyak komoditas untuk bisa memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi seluruh rakyat, tetapi rakyat terlalu miskin (karena upahnya yang hanya minimum untuk hidup) untuk bisa membeli komoditas-komoditas tersebut. Sehingga terjadilah kegilaan yang kita sebut krisis “over-produksi”. Begitu banyak rumah dibangun tetapi dibiarkan kosong karena tidak ada rakyat yang mampu membelinya sebab gajinya terlalu kecil. Terlalu banyak mobil dan motor yang diproduksi, tetapi rakyat tidak sanggup membelinya juga. Akibat dari krisis “over produksi” ini adalah para pemilik modal harus menutup pabrik-pabriknya, sehingga semakin banyak buruh yang tidak punya kemampuan (daya beli) untuk mengkonsumsi apa yang sebenarnya mereka produksi. Inilah kegilaan kapitalisme, dimana kemiskinan terjadi karena kelimpahan (over produksi). Inilah yang sedang terjadi hari ini di dunia.

Kapitalisme tidak mampu menggunakan secara efektif dan efisien tingkat produktivitas yang ada, dan tidak mampu mengembangkan potensi yang ada. Justru kapitalisme telah menjadi penghalang kemajuan masyarakat. Kekayaan masyarakat dihamburkan untuk perang. Ratusan juta orang dibiarkan menganggur dan oleh karenanya potensi mereka disia-siakan.  Korporasi-korporasi besar karena perhitungan laba jangka pendek lantas mencegah berkembangnya teknologi yang dapat memajukan masyarakat dalam jangka panjang. Misalnya teknologi mobil listrik yang ditelantarkan selama berpuluh-puluh tahun karena tidak memberikan keuntungan bagi korporasi minyak raksasa.

Pendek kata, di dalam masyarakat kita hari ini sudah ada tingkat produktivitas yang dapat memberikan kesejahteraan yang lebih baik, dan potensi produktivitas yang bisa memberikan kesejahteraan yang bahkan jauh lebih besar. Namun alat-alat produksi ini dikuasai oleh kelas kapitalis, yang merebut mayoritas nilai-lebih dari buruh yang menghasilkannya. Hidup layak yang sesungguhnya dan sepenuh-penuhnya hanya dapat dicapai kalau buruh merebut alat-alat produksi tersebut, sehingga buruh dapat menikmati seluruh nilai-lebih yang dihasilkan oleh tingkat produktivitas (dan potensi tingkat produktivitas) masyarakat yang ada. Inilah kehidupan yang layak bagi buruh dalam arti yang sebenarnya, yakni sesuai dengan tingkat produktivitas (dan potensi tingkat produktivitas) masyarakat yang ada.

Ketika buruh berkuasa secara ekonomi, yakni tidak ada lagi segelintir kapitalis yang menguasai tuas-tuas ekonomi dan menjalankan ekonomi berdasarkan laba dan pasar bebas, maka buruh akan punya kuasa penuh pula untuk menentukan tingkat kehidupan layak mereka. Dengan sistem ekonomi terpusat yang direncanakan secara demokratis oleh buruh, yakni apa yang disebut dengan sosialisme, seluruh potensi sumber daya yang ada (teknologi, alam, dan manusia) di seluruh dunia dapat disatukan untuk menyelesaikan semua problem masyarakat. Seiring dengan meningkatnya tingkat produktivitas di bawah sistem ekonomi sosialisme, manusia akan semakin bebas dari beban kerja. Jam kerja akan terus berkurang sehingga buruh pun bisa “memboroskan” waktunya untuk belajar, untuk berseni, untuk duduk santai dengan keluarga mereka, untuk menikmati alam di sekitarnya.

Kalau ada yang pemboros, itu adalah kelas kapitalis yang telah menyia-nyiakan potensi tenaga produksi masyarakat. Kapitalisme itu sendiri yang hari ini merupakan pemborosan terbesar di dalam sejarah umat manusia. Berapa juta nyawa manusia yang telah ia “boroskan” dalam perang-perang untuk merebut sumber daya alam dan pasar? Berapa banyak pemborosan yang dilakukan oleh para koruptor? Berapa masa depan jutaan anak yang “diboroskan” karena mereka kurang gizi dan tidak bisa sekolah? Berapa banyak hutan yang “diboroskan” demi laba besar dan cepat dari usaha perkebunan sawit ? Yang boros bukanlah buruh yang ingin menyicil Kawasaki Ninja, tetapi kapitalisme.