Aksi selalu menghasilkan reaksi. Ini adalah hukum alam yang juga benar di dalam hukum politik. Aksi mogok nasional – yang sungguh merupakan aksi yang teramat luar biasa – oleh karenanya niscaya menghasilkan reaksi yang besar juga. Hari ini kita akan kupas salah satu reaksi dari pemilik modal dalam menanggapi tuntutan kenaikan upah buruh, yakni “buruh akan digantikan dengan mesin”.

Di dalam sejarah pergerakan buruh di seluruh dunia, setiap kali buruh bergerak menuntut perbaikan kondisi kerja mereka (kenaikan upah, dll.) pemilik modal selalu mengancam akan menggantikan buruh dengan mesin. Ancaman ini adalah satu ancaman yang cukup serius yang membuat takut mayoritas buruh untuk berjuang menuntut upah lebih. Kita akan berbohong kalau kita mengatakan bahwa ancaman ini adalah gertak sambal semata. Ancaman ini nyata dan riil, tetapi bukan berarti kita lantas harus tunduk takut. Memahami ancaman ini akan membuat kita mampu “mengancam balik”, membuat kita lebih paham tugas historis perjuangan buruh.

Kapitalisme adalah sistem yang berdasarkan kompetisi bebas, di mana pengusaha saling bersaing untuk bisa memproduksi lebih murah dan lebih banyak dengan waktu yang seminim-minimnya. Oleh karenanya, pemilik modal harus terus bisa “merevolusionerkan” alat-alat produksinya. Teknik produksi terus diperbarui; mesin-mesin yang lebih canggih diciptakan. Semua agar ongkos produksi bisa ditekan.

Reaksi awal kaum buruh Eropa sekitar 300 atau 400 tahun yang lalu terhadap kemajuan teknologi kapitalisme adalah memusuhi mesin-mesin. Ini wajar, karena mereka melihat bagaimana mesin-mesin ini membuat mereka kehilangan pekerjaan. Karena buruh saat itu belum berorganisasi, aksi yang mereka lakukan adalah menyabotase mesin-mesin tersebut. Kata sabotase sendiri berasal dari Belanda pada abad ke-15, ketika buruh melemparkan sabot (sepatu kayu tradisional Belanda) mereka ke dalam gir-gir mesin pemintal kapas untuk merusaknya, karena para buruh penenun takut kalau-kalau mereka akan digantikan oleh mesin pemintal kapas.

Namun tidak ada yang bisa menghentikan laju perkembangan teknologi di bawah kapitalisme. Awalnya memang modernisasi di pabrik-pabrik membuat banyak buruh Eropa kehilangan pekerjaan dan menganggur. Namun perlahan-lahan buruh menjadi sadar bahwa mereka dapat melawan mesin-mesin ini dengan berorganisasi dan melakukan aksi massa, dan bukan dengan menyabotasenya tetapi menuntut agar kemajuan teknologi mestinya dapat menyejahterakan buruh. Mereka melakukan perjuangan yang masif – dan kerap berdarah-darah – agar standar hidup mereka meningkat seiring dengan meningkatnya produktivitas ekonomi.

Para buruh Eropa ini menuntut pemotongan jam kerja. Awalnya bekerja 10-12 jam sehari tanpa hari libur, mereka menuntut 8 jam kerja dengan 2 hari libur, tanpa pemotongan gaji. Dengan demikian banyak tenaga kerja yang terserap, dan ini mengurangi pengangguran.  Dengan gerakan politik, mereka menuntut agar para kapitalis dikenakan pajak yang lebih tinggi. Hasil pajak tersebut lalu dapat digunakan untuk memberikan pendidikan gratis dan bermutu bagi buruh agar mereka bisa menjadi buruh terampil, kesehatan gratis agar buruh lebih sehat dan produktif, dan layanan-layanan sosial lainnya. Buruh menuntut pensiun, agar mereka tidak harus terus bekerja sampai ke liang kubur mereka. Mereka juga melakukan berbagai perjuangan lainnya yang bersifat ekonomis maupun politik, di mana pada intinya buruh menuntut bagian mereka dari perkembangan produktivitas kapitalisme. Mereka tidak diam saja ketika mesin menggantikan tangan-tangan mereka. Mereka tidak memusuhi perkembangan teknologi, tetapi menuntut agar perkembangan teknologi ini  menyejahterakan buruh. Inilah mengapa hari ini buruh-buruh Eropa telah memenangkan banyak pencapaian dan standar hidupnya tinggi. Ini bukan pemberian dari pemilik modal, tetapi hasil perjuangan yang gigih dan panjang.

Selain itu mesin tidaklah jatuh dari langit, tetapi harus dibuat oleh buruh juga. Untuk bisa membuat mesin, maka dibutuhkan buruh terampil. Untuk menjalankan dan menservis mesin, juga dibutuhkan buruh terampil. Masuknya mesin-mesin ke dalam industri (terutama industri padat karya) awalnya memang akan menyebabkan gangguan tenaga kerja (labour disruption) pada industri yang bersangkutan. Namun dalam jangka menengah dan panjang ini akan menciptakan lapangan pekerjaan buruh terampil di sektor permesinan dan sektor padat modal lainnya. Kita saksikan sendiri bagaimana buruh-buruh Eropa dan Amerika relatif lebih makmur karena industri-industri di sana adalah industri padat modal. Masuknya mesin-mesin canggih ke pabrik-pabrik di negeri-negeri Barat tidak menyebabkan buruh miskin dan menganggur, tetapi sebaliknya. Namun perbaikan standar hidup buruh ini tetap harus diperjuangkan, seperti yang telah disebut di atas. Kapitalis tidak akan serta-merta memberikan upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Kalau mereka bisa memberikan upah yang sangat rendah untuk buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dengan mesin-mesin canggih, ini akan mereka lakukan.

Selain itu, dengan semakin termekanisasinya industri, semakin kuat pula posisi buruh di dalam industri tersebut. Di Amerika misalnya, serikat-serikat buruh yang paling kuat dan militan adalah serikat buruh pabrik-pabrik otomotif dan komponennya. Di Indonesia, kekuatan FSPMI – yang mayoritas anggotanya adalah buruh-buruh di industri padat modal – adalah bukti nyata dari pernyataan di atas. Secara umum, buruh dari industri padat modal punya kekuatan yang relatif lebih besar dibandingkan buruh industri padat karya.

Berikut misalnya penuturan seorang buruh, Farid Ridho Kurniawan, mengenai militansi dan kepeloporan buruh Suzuki pada hari pertama Monas:

"Yang paling menarik adalah kawan-kawan buruh dari Suzuki. Merekalah motor penggerak keluarnya buruh-buruh di sekitar pabrik PT. AHM tsb. kawan-kawan Suzuki adalah militant yang patut di acungi jempol, dimana mereka mendatangi satu persatu pabrik yang berada di sekitar daerah tersebut, dan kemudian mengajak kawan-kawan buruh lainnya untuk bergabung merayakan Mogok Nasional ini.”

Situasi di Indonesia, di mana banyak sekali industri padat karya yang masih menggunakan teknologi lama dan sistem produksi yang usang, sebenarnya mengungkapkan ketidakmampuan kelas kapitalis Indonesia untuk memodernisasi industri dan perekonomian Indonesia. Mereka lebih memilih menggaji rendah buruh daripada berinvestasi ke mesin-mesin canggih. Kapitalis Indonesia adalah kapitalis yang tidak kompeten. Justru kita lihat, industri-industri canggih adalah hasil investasi luar negeri, yakni hasil cangkokan dari luar. Kapitalis Indonesia bahkan tidak mampu belajar dari saudara-saudari kelasnya di luar negeri mengenai bagaimana mengembangkan industri nasional. Mereka lebih memilih menjadi kacung kapitalis asing daripada berdiri sendiri. Inilah watak kapitalis kita dari dulu hingga sekarang.

Kenyataan digantikannya buruh dengan mesin adalah kenyataan sehari-hari di dalam kapitalisme. Terlepas dari buruh melakukan pemogokan atau tidak, kaum kapitalis terus akan melakukan proses modernisasi di dalam pabrik-pabriknya. Buruh harus berjuang agar modernisasi industri ini tidak melempar ribuan buruh ke dalam lembah pengangguran dan kemiskinan. Seperti yang dilakukan oleh kaum buruh di negeri-negeri Barat dulunya, mereka harus berjuang supaya modernisasi industri memberikan kesejahteraan pada buruh dan bukan sebaliknya.

Beberapa program reforma mendesak yang harus diperjuangkan buruh:

  1. Buruh yang di-PHK harus diberikan pesangon yang layak.
  2. Pemerintahan harus menyediakan asuransi tenaga kerja (Employment Insurance) kepada buruh yang di-PHK. Di negeri-negeri kapitalis maju, buruh yang di-PHK mendapatkan tunjangan bulanan selama 12-24 bulan sampai ia menemukan pekerjaan lain.
  3. Pemerintah harus memberikan program pelatihan gratis kepada buruh supaya mereka bisa meng-upgrade skill mereka dan melakukan transisi ke industri lain yang lebih memerlukan keterampilan.
  4. Program pendidikan gratis sampai ke tingkat universitas.

Program-program reforma ini akan dapat meringankan penderitaan buruh  dari kenyataan kapitalisme yang terus memodernisasi industri, dan ini bukanlah program yang utopis karena setidaknya sudah pernah dimenangkan oleh buruh-buruh Eropa.

Sejatinya, selama kapitalisme ada, kesejahteraan buruh tidak akan pernah terjamin. Dalam batasan kapitalisme, buruh hanya bisa berjuang untuk meringankan penderitaan mereka secara sementara, tetapi tidak akan pernah bisa sejahtera sepenuh-penuhnya. Lihat saja apa yang terjadi hari ini di negeri-negeri Barat. Pencapaian-pencapaian yang telah dimenangkan oleh buruh-buruh Eropa dan AS ini sekarang diserang, dan banyak yang telah dihapus. Perjuangan sengit yang dilakukan buruh-buruh Eropa hari ini adalah untuk mempertahankan status quo, yang sebenarnya menunjukkan bahwa kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi memang sudah tidak mampu lagi memberikan standar hidup yang lebih baik.

Di bawah kapitalisme, modernisasi industri justru mengancam kesejahteraan buruh. Sungguh sebuah sistem yang tidak rasional. Bahkan di Indonesia, kapitalis kita tidak mampu melakukan modernisasi. Hanya dengan buruh yang berkuasa secara politik dan ekonomi maka modernisasi industri akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat pekerja. Di bawah sosialisme, di mana buruh yang memiliki tuas-tuas ekonomi, mesin akan menggantikan buruh tetapi bukan dengan mem-PHKnya dan membuatnya lapar. Mesin akan menggantikan buruh dengan mengurangi jam kerja buruh. Tidak perlu lagi kita kerja 8 jam sehari, atau bahkan lembur. Kita bisa mengurangi jam kerja buruh sampai 4 jam sehari dengan menggunakan mesin-mesin canggih.

Mesin sungguh-sungguh akan menggantikan buruh dan menjadi “budak” kita – bukan kita yang menjadi budak mesin – ketika buruh menjadi pemilik mesin tersebut, ketika buruh menjadi pemilik alat-alat produksi bangsa. Inilah perjuangan kita. [ ]