facebooklogocolour

Gebrak JatimKaum buruh Indonesia seperti dilecut punggungnya ketika Menaker Hanif Dhakiri mengumumkan bahwa pemerintah akan merevisi UU Ketenagakerjaan no. 13. Menurutnya, UUK ini kaku seperti kanebo kering, dan oleh karenanya harus segera diubah dan disesuaikan sebab Indonesia membutuhkan ekosistem dan iklim ketenagakerjaan yang lebih baik, terutama yang mengarah pada pasar tenaga kerja yang fleksibel.  “Perkembangan dunia sekarang itu apa, yang sudah mengarah kepada pasar kerja yang lebih fleksibel. Nah sementara undang-undang dan regulasi ketenagakerjaan kita ini kaku seperti kanebo kering.” katanya di Istana Negara.  

Ceramah sang menteri kita ini soal pasar tenaga kerja yang fleksibel bukanlah hal yang baru. Praktik pasar tenaga kerja fleksibel ini sudah menjamur dalam wujud banyaknya buruh outsourcing dan kontrak yang dipekerjakan di segala sektor.

Sejak semula investasi telah menjadi tema utama pemerintahan Joko Widodo. Jajaran kementeriannya diarahkan untuk bagaimana memuluskan investasi. Pelayanan Terpadu Satu Pintu semakin digalakkan untuk memotong ruwetnya birokrasi dalam pengurusan ijin investasi. Tidak heran bila sekarang ini UU Ketenagakerjaan juga dilirik sebagai salah satu hambatan birokrasi untuk segera dirombak agar memberi jalan terang bagi investasi untuk masuk. Tentu saja pihak yang dikorbankan lagi dan lagi adalah kelas buruh. Hal ini bisa kita lihat dari poin-poin dalam UUK yang diajukan untuk direvisi antara lain: upah, pesangon, outsourcing, dan fleksibilitas jam kerja.

Bahkan jauh sebelum pemerintahan Joko Widodo, agenda untuk merombak UU Ketenagakerjaan telah dicanangkan. Siapapun presidennya, selama pemerintahan ini melayani kaum pemilik modal, maka tidak akan segan untuk memuluskan langkah merombak UUK ini.  

Motivasi Utama Revisi UUK

Dengan perlambatan ekonomi dunia sekarang ini yang semakin parah dan momok resesi yang menghantui, berbagai resep harus dicoba, bahkan bila ini adalah resep lama yang dikemas dengan nama baru. Resep ini tidak lain adalah pasar kerja fleksibel, yang merupakan resep anjuran Bank Dunia. Dalam World Development Report 2019, Bank Dunia merekomendasikan negara-negara miskin dan berkembang untuk merevisi sejumlah peraturan ketenagakerjaannya supaya hubungan industrial menjadi lebih fleksibel.  Para ekonom-ekonom Bank Dunia berasumsi bahwa pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel akan menciptakan lapangan kerja.

Tetapi yang terjadi sebenarnya sebaliknya. Fleksibilitas tenaga kerja pada akhirnya berarti kalau pemilik modal bisa memperkerjakan lebih sedikit buruh untuk kerja yang sama, karena fleksibilitas ini berarti upah yang lebih rendah -- secara langsung ataupun tidak langsung misalnya lewat pembatalan pesangon yang sebenarnya adalah bagian dari upah buruh -- dan jam kerja yang lebih panjang. Bahkan bila akan lebih banyak investasi yang masuk sebagai hasil dari revisi UUK, lapangan pekerjaan yang tercipta adalah lapangan pekerjaan dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk serta tak menentu.

Yang ada justru kelas pekerja menjadi tumbal. Kelas pekerja dimanapun mereka berada, baik di negara maju dan negara berkembang, dipaksa untuk menerima beban krisis dari perlambatan ekonomi ini dengan merelakan standar hidup mereka dipotong.

Dalam konteks Indonesia, salah satu program pemotongan atau austerity ini berwujud dalam PP 78 yang digetok pengesahannya 4 tahun lalu. Program pemotongan selanjutnya adalah memangkas hak-hak buruh lainnya yang "dijamin" oleh UU Ketenagakerjaan.

Bank Dunia sendiri sebetulnya pesimis ketika melihat laju pertumbuhan ekonomi dunia yang prospeknya justru semakin turun. Target pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu masih 3% telah direvisi menjadi 2,9% untuk 2019 dan terus turun menjadi 2,6%. Perang dagang AS-Tiongkok yang sempat mereda kembali tegang dan memperburuk situasi yang ada. Hal ini menyebabkan khususnya negara berkembang seperti Indonesia was-was.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan saat ini seluruh negara tidak lagi hanya menunggu ancaman dari perang dagang mereda, tetapi lebih kepada mengantisipasi implementasi penerapan tarif kedua belah pihak. “Dengan demikian kuartal II, III dan IV akan terpengaruh dengan adanya, tidak lagi ancaman, tetapi implementasi ancaman.”

Bagi kelas kapitalis Indonesia, satu-satunya jalan untuk bertahan di tengah badai krisis ekonomi dunia ini adalah dengan memuluskan investasi agar dapat memeras lebih banyak keringat buruh. Tentu saja para investor menginginkan kemudahan dan tidak ingin dipersulit dengan berbagai kewajiban yang harus mereka penuhi terhadap kelas buruh. Disinilah kita saksikan dua kelas sedang beradu. Kelas buruh yang tidak ingin standar hidupnya dipotong dan kelas kapitalis yang tidak ingin pundi-pundi profitnya berkurang.

Perlawanan yang dibutuhkan

Kelas buruh jelas tidak akan diam saja melihat taraf hidupnya digerus. Kemarin hari pada tanggal 16 Agustus gerakan buruh mulai meluncurkan aksi serentak menolak revisi UUK. Dengan segera polisi dan tentara mencoba meredam aksi-aksi ini, terutama di Jakarta. Dengan sigap pihak keamanan segera menghadang buruh-buruh yang akan bergerak ke gedung DPR untuk mengkonfrontasi Jokowi yang akan memberikan pidato kenegaraannya. Dua puluh satu aktivis ditangkap. Ini menunjukkan keseriusan dari rejim akan niatnya untuk merevisi UUK.

Respons keras rejim pada 16 Agustus kemarin harus jadi sinyal bagi gerakan buruh kalau kita membutuhkan aksi massa yang jauh lebih militan dan masif, karena jelas pemerintahan ini sudah tidak takut lagi hanya dengan demo biasa dan mogok gertak sambal. Kalau ada ratusan ribu buruh yang bergerak, dan jelas siap dan berani menerobos segala halangan di depan mereka, polisi dan tentara tidak akan begitu mudah meluncurkan represi seperti kemarin.

Bagi pemerintah dan kaum kapitalis, masalah revisi UUK ini adalah masalah hidup mati bagi kepentingan profit mereka. Oleh karenanya ini harus juga jadi masalah hidup mati bagi gerakan buruh. Kaum buruh harus terus meningkatkan kadar militansi aksi-aksi mereka sampai ke pemogokan penuh dengan okupasi dan penutupan zona-zona industri. Ini adalah satu-satunya cara yang bisa menghantam balik pemerintahan pemilik modal ini.  Persiapan menuju ke aksi mogok nasional harus mulai didiskusikan di antara buruh kalau kita tidak ingin lagi "kecolongan" seperti tempo hari dengan lolosnya PP78.