facebooklogocolour

 perspektif dunia 4Berikut adalah dokumen Perspektif Dunia yang menyajikan analisa umum kami mengenai proses-proses fundamental yang tengah bergulir dalam perpolitikan dunia, di masa yang ditandai dengan krisis dan gejolak tanpa preseden. Dengan dinamit yang ada di fondasi perekonomian dunia dan pandemi Covid-19 yang masih membayangi seluruh situasi dunia, semua jalan mengarah ke perjuangan kelas yang semakin menajam. Dokumen ini kami terbitkan dalam 6 bagian:

1) Dunia dalam Krisis Tanpa Preseden
2) Amerika Serikat: Prospek Revolusi Mulai Terbuka
3) Eropa & Rusia: Ketidakstabilan Di mana-mana
4) Asia: Badai Pandemi India & Perang Dagang China
5) Apakah Pemulihan Ekonomi Mungkin?
6) Perjuangan Kelas dan Tugas Kita

India

Di India, kita saksikan gerakan insureksioner petani yang menggelar demo dengan menggunakan traktor untuk memblokade Parade Hari Republik di Delhi pada 26 Januari, saat Modi merayakan hari ini dengan parade militer besar.

Peristiwa ini harus diletakkan di konteks krisis kapitalisme global. Di tengah kompetisi buas dalam sektor pertanian, korporasi multinasional berniat menekan harga yang diterima oleh petani kecil dan menengah untuk hasil pertanian mereka sampai ke harga produksi.

Dominasi pasar dalam pertanian Indian bukanlah fenomena baru. Ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, seperti yang kita saksikan di bahwa pemerintah Manmohan Singh sebelumnya. Kapital finans telah memenetrasi pertanian India dalam skala besar, dan memaksa petani untuk semakin bersandar pada hutang, sampai ke tingkat yang tak tertanggungkan, untuk bisa membeli suplai pertanian, yang ongkosnya telah melambung tinggi.

Segera setelah UU Pertanian baru ini lolos, harga yang diterima petani terpangkas sampai 50 persen, sementara harga pangan naik. Situasi yang tak tertanggungkan inilah yang memicu gerakan besar petani India. Mereka menuntut dibatalkannya UU baru ini. Tetapi tidak ada satupun tuntutan mereka yang terpenuhi, dan tidak ada satupun problem yang selesai lewat perundingan.

Apa yang dimulai pada Agustus 2020 dengan protes-protes kecil di Punjab, ketika RUU Pertanian Modi diumumkan, dengan cepat meledak menjadi gerakan yang lebih besar, yang menyebar ke negara-negara bagian lainnya. Pada September 2020, serikat-serikat tani di seluruh penjuru India menyerukan Bharat Bandh (pemogokan umum). Gerakan ini terus membesar, karena perundingan dengan pemerintah yang tidak ada habis-habisnya itu tidak membuahkan hasil nyata. Lima juta orang turut serta dalam protes di lebih dari 20.000 lokasi pada Desember 2020.

Titik balik penting dalam gerakan ini tiba dengan peristiwa dramatis pada 26 Januari, saat ratusan ribu petani turun ke jalan-jalan di Delhi untuk menyampaikan tuntutan mereka. Kaum tani ini menyeruak masuk secara paksa dari pinggiran kota ke kawasan Red Fort yang historis. Rakyat miskin ini menunjukkan keberanian luar biasa, baku hantam dengan polisi yang bersenjata lengkap, diserang dengan pecut, diinjak-injak dan dipukuli.

Kendati represi hebat polisi, para petani menyerbu Red Fort dan mendudukinya. Polisi harus bersusah payah untuk mengusir mereka. Seorang demonstran mati, dan lebih dari 300 polisi terluka. Ini hanya membuat kaum tani lebih geram, dan semakin banyak petani dari berbagai daerah lainnya yang bergabung ke dalam gerakan sebagai bentuk solidaritas.

Cakupan perjuangan ini juga merefleksikan gejolak dalam seluruh masyarakat, dimana bahkan lapisan yang sebelumnya dianggap relatif konservatif di daerah pedesaan kini bergerak dan menjadi radikal akibat pukulan krisis ekonomi.

Belum lama yang lalu, ketika Modi pertama kali memenangkan pemilu, kaum Kiri yang letih dan mantan-mantan Kiri mengeluh mengenai kebangkitan “fasisme” di India. Sebaliknya, tendensi Marxis memahami bahwa Modi hanya akan menyiapkan kondisi perlawanan balik yang masif. Perspektif kami telah terkonfirmasi oleh peristiwa dalam skala besar. Jauh dari fasisme, yang kita saksikan adalah polarisasi kelas dan perjuangan kelas yang intens.

Peran kaum Stalinis

Modi jelas telah terguncang oleh insureksi tani ini, yang memberi gambaran akan kemarahan massa yang sudah terakumulasi. Tetapi kelemahan gerakan di India dapat ditemukan dalam kepemimpinan serikat buruh, yang telah gagal memimpin kelas buruh India yang kuat itu untuk mendukung kaum tani.

Semua ini setelah bertahun-tahun dimana kita saksikan mobilisasi-mobilisasi hebat dari proletariat India, dengan beberapa pemogokan umum 24-Jam, yang melibatkan sampai 200 juta buruh – pemogokan umum terbesar dalam sejarah kelas buruh internasional.

Pada September 2016, antara 150-180 juta pegawai negeri mogok umum 24 jam. Pada 2019, sekitar 220 juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan umum, dan lagi pada Januari 2020, 250 juta buruh mogok 24 jam.

Fakta-fakta ini mendemonstrasikan potensi revolusioner besar dari proletariat India. Kaum buruh siap berjuang. Akan tetapi, kebijakan Stalinis bukanlah untuk memobilisasi massa untuk pertempuran menentukan dengan rejim Modi, tetapi hanya untuk bersandar pada gerakan massa guna memperoleh konsesi dan kesepakatan dengan Modi.

Dalam praktik, mereka menggunakan taktik pemogokan umum 24-jam untuk melepaskan tekanan amarah massa, sementara mengalihkan gerakan massa ini ke saluran yang aman. Ini adalah taktik serupa yang digunakan oleh para pemimpin serikat buruh di Yunani, yang menyerukan serangkaian pemogokan umum 1-hari. Ini adalah muslihat untuk meletihkan massa, dan mengubah pemogokan umum menjadi gestur, yang menciptakan ilusi adanya tindakan serius, sementara justru menggembosi tindakan tersebut dalam praktiknya.

Slogan Pemogokan Umum

Di India, secara objektif, semua syarat sudah terpenuhi untuk pemogokan umum sampai habis. Para pemimpin Partai-partai Komunis dan serikat-serikat buruh semestinya dapat memainkan peran penting dalam pemogokan ini, tetapi mereka menyeret kaki mereka. Mereka bisa saja menumbangkan pemerintahan Modi, dan mengakhiri kebijakan-kebijakan reaksionernya. Alih-alih, mereka hanya mengeluarkan statemen simbolik, tetapi tidak menyerukan aksi serius.

Ini menggarisbawahi urgensi untuk membangun kekuatan Marxisme di India. Tetapi kita harus mempertahankan sense of proportion, yakni mampu mengukur kekuatan sendiri. Organisasi kita di India masih dalam tahapan embrio. Akan menjadi kesalahan fatal untuk melebih-lebihkan apa yang sesungguhnya bisa kita capai.

Tugas kita bukan memimpin gerakan atau memenangkan massa, tetapi bekerja secara sabar untuk memenangkan elemen-elemen yang terbaik dan paling revolusioner, yang sudah habis kesabarannya dengan kebimbangan dan kegoyahan dari kepemimpinan gerakan.

Kita harus memajukan slogan-slogan transisional yang tepat waktu, yang bersesuaian dengan apa yang dibutuhkan situasi dan dapat mendorong maju gerakan, sementara mengekspos kepengecutan kepemimpinan reformis.

Perjuangan petani telah menyebar gaungnya di pabrik-pabrik. Merasakan api panas di bokongnya, para pemimpin serikat buruh mulai berbicara mengenai pemogokan umum empat-hari. Kita akan mendukung tuntutan semacam ini, tetapi yang dibutuhkan adalah tindakan dan bukan perkataan saja!

Kita harus mengatakan: baiklah, mari kita luncurkan pemogokan empat-hari, tetapi jangan di bibir saja, ayo lakukan! Serukan tanggalnya! Mulai kampanyekan ini di pabrik-pabrik. Serukan rapat-rapat akbar, bangun komite-komite pemogokan. Libatkan kaum tani, perempuan, kaum muda, kaum pengangguran, dan semua lapisan tertindas dalam masyarakat. Dan hubungkan organ-organ perjuangan akar-rumput ini dalam tingkatan kota, daerah, dan nasional. Dalam kata lain, organisir soviet dengan tujuan memindahkan kekuasaan ke buruh dan tani.

Segera setelah massa India diorganisir untuk perebutan kekuasaan, tidak ada satupun kekuatan di muka bumi yang akan dapat menghentikan mereka. Pemogokan empat-hari akan dengan cepat berubah menjadi pemogokan umum tanpa-akhir. Tetapi ini mengedepankan masalah kekuasaan.

Inilah perspektif yang harus secara sabar kita jelaskan ke buruh dan tani India. Dengan cara ini, walaupun kita sangatlah kecil, pesan kita akan menemukan gaungnya di antara lapisan buruh dan muda yang paling maju, yang tengah mencari jalan revolusioner.

Tugas kita adalah memenangkan dan melatih sejumlah kader revolusioner yang akan memungkinkan kita untuk mengintervensi secara efektif peristiwa-peristiwa dramatis yang akan bergulir di periode mendatang.

Myanmar

Kudeta militer di Myanmar merupakan bukti bahwa kita tengah hidup dalam periode “penuh dengan perubahan tajam dan mendadak.” Kudeta ini mengejutkan banyak orang. Militer telah merumuskan konstitusi yang menjamin mereka 25 persen kursi parlemen dan kendali atas sejumlah kementerian kunci. Mereka juga memasukkan sebuah pasal yang memperbolehkan militer untuk mengintervensi pemerintah selama “kondisi darurat.”

Tetapi, kondisi darurat apa? Militer menggunakan dalih palsu bahwa ada kecurangan pemilu yang masif, yang memberi kemenangan besar untuk Aung San Suu Kyi dan National League of Democracy pada November 2020.

Alasan sesungguhnya kudeta ini adalah konflik yang telah lama berlangsung mengenai siapa yang seharusnya mendulang keuntungan dari program privatisasi yang dimulai pada 1988. Sejak 1988, para petinggi militer sibuk memperkaya diri mereka dengan membeli properti-properti milik negara dengan harga murah. Di sisi lain, kaum imperialis, terutama Amerika Serikat, mendorong Myanmar untuk membuka pasarnya ke korporasi-korporasi multinasional.

Problem yang dihadapi oleh kaum imperialis Barat adalah pengaruh dominan China di Myanmar. Kuota ekspor dan impor terbesar Myanmar adalah dengan China. Maka dari itu, ada persaingan antara China dan AS untuk pengaruh di Myanmar, dan Aung San Suu Kyi mewakili kepentingan AS.

Para petinggi militer telah mengubah diri mereka menjadi oligarki kapitalis, dan mereka melihat kemenangan telak NLD berpotensi mengancam kepentingan mereka. Militer dibenci oleh massa, dan kasta militer takut, dengan dukungan yang begitu besar pemerintah NLD akan membatasi kekuasaan dan privilese mereka.

Militer juga takut rasa percaya diri massa yang terus tumbuh setelah pemilu. Militer terbiasa berkuasa dengan komando, dan mereka membayangkan dapat mengintervensi dan mendikte ke arah mana negeri ini akan melangkah. Akan tetapi, mereka tidak mengira penolakan massa yang besar terhadap kekuasaan militer. Massa rakyat belum lupa bagaimana buruknya kehidupan mereka di bawah kuasa militer, dan rakyat melihat kasta militer tidak lebih dari sekumpulan elite yang korup dan serakah.

Di sini kita saksikan sebuah contoh apa yang Marx pernah katakan: “lecutan kontra-revolusi.” Kudeta ini, alih-alih meneror dan melumpuhkan massa, justru mendorong mereka. Perspektif Myanmar, oleh karenanya, adalah satu yang penuh dengan perjuangan kelas yang menajam, bukan paralisis dan demoralisasi.

China

Sebelumnya, China adalah bagian besar dari solusi untuk kapitalisme dunia, sekarang ia adalah bagian besar dari problemnya.

China adalah satu-satunya kekuatan ekonomi utama yang tumbuh pada 2020. Pemerintah China mengintervensi secara menentukan untuk menangkal dampak pandemi dan krisis ekonomi. Dari sudut pandang kapitalis intervensi ini efektif, tetapi ini disertai dengan ongkos yang tinggi. Tingkat hutang China telah melambung tinggi sejak 2008, meningkat sebesar 30% selama pandemi dan mencapai 285% PDB pada 2020. Tingkat hutang China sekarang telah melampaui banyak negeri-negeri kapitalis maju.

Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan 8% tahun ini. Bila proyeksi ini benar, China akan tumbuh paling pesat di seluruh dunia. Tetapi kesuksesan ini akan jadi kejatuhannya, karena sebagian besar pertumbuhan ini datang dari ekspor. Pihak berwenang di Beijing selama beberapa waktu telah berusaha mengubah struktur perekonomian China yang amat bersandar pada investasi dan ekspor, dengan mendorong permintaaan domestik. Mereka juga telah berusaha mengembangkan industri teknologi baru, seperti Kecerdasan Buatan, 5G, dan tenaga listrik surya, yang memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi. Mereka juga berupaya mengembangkan pakta-pakta perdagangan alternatif untuk menangkal upaya AS untuk mengisolasi China.

Tidak ada satupun dari kebijakan-kebijakan ini yang akan menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang tengah berkembang di dalam perekonomian China. Bahkan, sejak pandemi, ekonomi China menjadi semakin tergantung pada ekspor. Lebih jauh lagi, hutang terus meningkat secara eksplosif, konflik-konflik dengan negeri-negeri tetangga dan kekuatan-kekuatan imperialis lainnya semakin menajam, dan ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut, dengan wilayah-wilayah pantai yang tumbuh pesat dibandingkan wilayah-wilayah interior. Semua in akan memperburuk kontradiksi-kontradiksi sosial yang sudah ada.

Ini adalah resep untuk kontradiksi baru yang mengancam kestabilan, tidak hanya di China tetapi juga seluruh dunia. China mengintervensi secara agresif ke dalam pasar dunia dan harus mengintervensinya bahkan lebih agresif, dengan mengambil peluang dari krisis yang dialami negeri-negeri lain. Ini pada akhirnya akan mempertajam ketegangan antara China dan AS, yang melihat China sebagai bahaya besar terhadap ekonominya dan peran globalnya.

Bukanlah kebetulan administrasi Trump, di masa akhirnya, mengadopsi pendekatan “bumi hangus” terhadap China. Tetapi di bawah Biden, kebijakan AS terhadap China secara fundamental tidak berubah. Partai Republik dan Demokrat keduanya melihat China sebagai ancaman utama terhadap dominasi AS di dunia.

Konflik antara AS dan China berisiko menyebabkan perang dagang yang bahkan lebih serius. Ini adalah ancaman terbesar pada kapitalisme dunia, karena pertumbuhan perdagangan dunia (yang disebut globalisasi) adalah oksigen untuk kapitalisme di masa sebelumnya.

Ini pada gilirannya akan berdampak di dalam China. Krisis ekonomi adalah ancaman serius terhadap kestabilan sosialnya. Sudah ada penutupan pabrik-pabrik dan pengangguran, yang telah ditutup-tutupi, tetapi sesungguhnya ada. Perusahaan-perusahaan swasta yang merugi memecat dan memotong upah buruh. Pembayaran upah ditunda selama berbulan-bulan, yang menumpuk rasa geram dan benci yang semakin tinggi.

Lingkaran penguasa takut akan kemungkinan ledakan sosial akibat krisis ekonomi dan tingkat pengangguran yang meninggi. Inilah alasan utama mengapa Xi Jinping terdorong untuk meredam secara kejam gerakan di Hong Kong. Ini bukan ekspresi kekuatan, tetapi rasa takut dan kelemahan. Kelas penguasa China khawatir kalau-kalau gerakan semacam ini menyebar ke China daratan, dan di hari depan ini pasti akan terjadi, seperti halnya malam menyusul siang.

Rejim sampai sekarang masih berhasil meredam kekecewaan yang membara di seluruh China. Tetapi ini dapat meledak kapanpun, dan bila ini terjadi, akan mustahil untuk merepresinya seperti di Hong Kong. Bahkan di Hong Kong, untuk beberapa waktu rejim kehilangan kendali. Tetapi dihadapkan dengan seratus atau seribu “Hong Kong” di China daratan, rejim akan segera menemukan dirinya goyah.

Peristiwa-peristiwa besar tengah dipersiapkan di China. Dan mereka akan terjadi dengan tanpa disangka, persis karena rejim di China adalah rejim totaliter, dimana hampir semua hal ditutupi.

(Bersambung ke bagian 5)

Bergabunglah dengan Perhimpunan Sosialis Revolusioner!

Form Pendaftaran

Form by ChronoForms - ChronoEngine.com