facebooklogocolour

srilankaBerikut adalah dokumen perspektif 2022, yang memberikan perspektif mengenai situasi dunia dan Indonesia, dan apa yang harus dikerjakan oleh kaum revolusioner.

Memasuki 2022, dunia tampak seperti kekusutan tanpa akhir. Proses-proses kontradiktif yang kompleks bergulir dengan pesatnya. Tugas kaum revolusioner adalah mengurai kekusutan ini, bukan untuk keperluan akademis, tetapi untuk memahami proses-proses fundamental yang berlangsung di bawah permukaan, mengenali keseluruhan tendensi yang tersirat dan tidak teralihkan perhatiannya pada rinci-rinci ini itu yang sesaat. Bila kita dapat rangkum proses ini dalam satu kalimat, ini yang bisa kita katakan: dunia yang lama tengah sekarat, sementara dunia yang baru tengah susah payah dilahirkan. Yang dapat dan harus membidani proses kelahiran ini adalah kepemimpinan revolusioner kelas proletariat, dan ketiadaan kepemimpinan inilah yang membuat dunia terkatung-katung dalam proses yang kontradiktif.

Kaum Kiri reformis hanya bisa melihat apa yang ada di permukaan. Melihat situasi di dunia, mereka hanya dapat menarik kesimpulan yang pesimis. Mereka menulis banyak buku dengan setumpuk fakta yang mengutuk kebiadaban kapitalisme, tetapi di bab akhir atau kesimpulan mereka selalu tidak memiliki imajinasi dan keberanian untuk menyatakan apa yang perlu dilakukan: kapitalisme perlu ditumbangkan dan kediktatoran proletariat ditegakkan di atasnya. Di sana sini, saat menyaksikan meletusnya gerakan massa yang besar, kaum Kiri kita dapat terbuai oleh euforia sesaat. Tetapi euforia ini dengan cepat padam saat revolusi yang mereka nanti-nantikan tidak terwujud sesuai dengan skema mereka. Euforia mereka menjelma menjadi demoralisasi, pesimisme, dan sinisme, yang pada gilirannya justru menjadi penghalang keberhasilan revolusi itu sendiri. Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab.

Sebaliknya, tidak ada satu gram pun pesimisme dalam tubuh seorang Sosialis Revolusioner. Berpegang pada filsafat materialisme dialektis, dan tidak malu mengatakan bahwa ia adalah seorang ortodoks, kaum revolusioner memahami dengan terang benderang proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang tengah bergulir, dan dengan jeli mengorientasikan kekuatannya. Kaum Sosialis Revolusioner tidak bimbang dan selalu melangkah dengan penuh keyakinan di bawah kondisi apapun. Keyakinan ini bukan jatuh dari langit. Keyakinan ini berdiri di atas fondasi perspektif revolusioner yang tepat, yaitu wawasan mengenai proses-proses yang tengah bergulir di dunia, di mana posisi kaum revolusioner di dalam keseluruhan proses tersebut, dan ke arah mana kita harus melangkah darinya. Dengan ini, keyakinan kita adalah keyakinan yang dimenangkan secara sadar.

Perubahan yang tajam dan tiba-tiba adalah implisit dalam situasi hari ini. Kita telah saksikan ini di awal tahun dengan pemberontakan massa di Kazakhstan. Dan kita saksikan lagi di Sri Lanka, dengan digeruduknya istana kepresidenan oleh massa yang memaksa Presiden Gota Rajapaksa lari terbirit-birit. Perubahan tajam juga terjadi di medan parlementer: di Kolombia dan Chile dengan terpilihnya presiden sayap kiri untuk pertama kalinya selama puluhan tahun. Kedua negeri Amerika Latin ini, Chile dan Kolombia, telah lama menjadi benteng reaksi di kawasan tersebut, dengan politik yang didominasi oleh sayap kanan yang reaksioner. Ini adalah gempa politik yang tidak bisa diremehkan dampaknya.

Perubahan tajam juga terjadi dalam hubungan luar negeri dan relasi antar kekuatan imperialis, dengan meletusnya perang Ukraina-Rusia, yang sesungguhnya adalah perang antara NATO dan Rusia, dengan Ukraina sebagai pion. Friksi antara AS dan China juga semakin menajam, dengan provokasi baru-baru ini oleh kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan. Konflik militer antara AS dan China bukanlah prospek yang segera, tetapi kondisi-kondisi tengah dipersiapkan ke arah sana. Krisis kapitalisme mempertajam semua kontradiksi, dan mendorong dunia ke dalam periode yang penuh dengan revolusi, kontra-revolusi dan perang.

Semua peristiwa ini saling terhubungkan, tidak terisolasi satu sama lain. Ada tekanan besar di bawah permukaan, yang cepat atau lambat akan menemukan jalan keluarnya dengan ledakan besar. Ini bukan masalah apakah ledakan ini akan terjadi atau tidak, tetapi kapan ini akan terjadi. Kita tidak perlu menyibukkan diri mencoba menerka persisnya kapan dan di negeri mana ledakan selanjutnya akan terjadi. Tetapi satu hal yang pasti yang bisa kita lakukan adalah memahami proses fundamental yang mendasarinya, dan dengan demikian tidak terombang-ambing dan dapat melangkah dengan pasti untuk mempersiapkan kekuatan kita. Demikianlah tujuan dari dokumen perspektif.

Perang Ukraina Sebagai Titik Balik

war ukrainePerang adalah peristiwa besar yang mengekspos semua hal yang sebelumnya terselubung, dari kontradiksi dasar kapitalisme itu sendiri, kemunafikan kelas penguasa, sampai ke kebangkrutan para pemimpin reformis dan orang-orang “Kiri”. Untuk alasan itu pula, sering kali perang menjadi bidan revolusi.

Ketika dihadapkan dengan kenyataan perang, banyak orang yang nuraninya tersentuh dan meratapi korban perang yang berjatuhan. Tetapi, kaum revolusioner mendekati masalah perang bukan dari sudut pandang sentimentalitas ataupun moralitas. Perang itu buruk, tetapi perang adalah kenyataan hidup, bukan untuk diratapi tetapi untuk dipahami. Tugas kita adalah memeriksa kepentingan kelas yang bersembunyi di belakangnya, yang sering kali diselubungi dengan air mata buaya yang dipompa begitu derasnya oleh mesin-mesin propaganda perang kelas penguasa.

Semua pihak yang bertikai selalu membenarkan perang mereka dengan dalih membela demokrasi dan kebebasan, membela hak menentukan nasib sendiri, membela tanah air, melindungi warga sipil, dan bahkan menjaga perdamaian. Ya, perang untuk menjaga perdamaian. Tetapi tidak ada yang pernah menanyakan: demokrasi siapa? perdamaian untuk kepentingan kelas mana? Bila kita jatuh ke dalam dalih-dalih ini, maka secara sadar atau tidak kita telah menjadi corong imperialis. Demikianlah nasib kaum pasifis dari masa ke masa. Mereka begitu lantangnya mengecam kekejaman perang, berbicara tanpa henti mengenai perdamaian. Tetapi pada momen kebenaran, ketika perang sungguh meletus, mereka menjadi pemandu sorak perang yang paling antusias.

Perang Ukraina telah mengklarifikasi semua kecenderungan politik yang ada dalam masyarakat. Perang ini telah menarik garis pemisah yang jelas antara Kaum Sosialis Revolusioner dan kaum Kiri. Kaum Kiri ini selalu menentang perang. Mereka pasifis. Tetapi ketika perang yang sesungguhnya meletus, mereka menemukan diri mereka mendukung perang ini, entah di sisi NATO-Ukraina, ataupun di sisi Rusia. Mereka menelan bulat-bulat propaganda perang imperialis dari Biden maupun Putin.

Kaum revolusioner telah mempertahankan posisi kelas internasionalis dengan tegas. Tidak ada ruang bagi elemen-elemen yang goyah dalam barisan kita. Banyak kaum Kiri Indonesia yang mengatakan: musuh terbesar adalah imperialisme Amerika dan NATO. Dengan demikian mereka mendukung kekuatan imperialis lainnya -- yang menyelubungi diri mereka dengan aura ‘anti-imperialis -- yang tengah berseteru dengan Amerika. Ini tidak berbeda dengan argumen minus malum mereka selama pilpres Jokowi vs Prabowo, bahwa musuh utama saat ini adalah elemen Orde Baru dan ‘fasisme’ (kubu Prabowo), yang membawa mereka ke kebijakan kolaborasi kelas dengan kubu ‘progresif’ Jokowi. Kini sang ‘fasis’ telah jadi bagian integral dalam kabinet ‘progresif’ Jokowi. Pada kenyataannya, setiap kecenderungan politik yang tidak memiliki kemandirian kelas proletariat sebagai prinsip utama mereka pada akhirnya akan berpihak pada kubu borjuasi ini atau itu, dan pada kubu imperialis ini atau itu.

Tugas melawan dan mengalahkan Imperialisme Amerika pada akhirnya ada di tangan kelas proletariat Amerika. Tugas ini tidak bisa diserahkan atau dititipkan dalam kapasitas apapun pada kekuatan kapitalis lainnya yang kebetulan bermusuhan dengan Amerika, entah pada Putin (Rusia), Assad (Suriah), atau Khamenei (Iran). Dalam permainan diplomasi, rejim-rejim yang belakangan ini gemar menyelubungi ambisi imperialis mereka sendiri dengan retorika anti-imperialisme, dan kaum Kiri kerap mengekornya. Tetapi mereka tidak ubahnya preman-preman kelas teri yang wilayah operasinya dikangkangi oleh preman kelas kakap. Kelas buruh tidak punya kepentingan sama sekali untuk berpihak pada preman manapun. Kelas buruh memiliki kepentingan yang tak terdamaikan dengan kekuatan kapitalis manapun.

Kelas kapitalis-imperialis AS hanya bisa dilawan dengan metode perjuangan kelas oleh buruh AS itu sendiri, yang bekerja sama dengan kelas buruh dari bangsa-bangsa lainnya yang juga berjuang melawan kelas penguasa mereka sendiri. Seperti yang diserukan oleh Karl Liebknecht dan Lenin selama Perang Dunia Pertama, “musuh utama kita ada di rumah kita sendiri!”

Apa artinya ini bagi kaum revolusioner Indonesia? Perjuangan utama kita adalah melawan kelas kapitalis Indonesia kita sendiri, bukan berkolaborasi dengan sayap kapitalis yang mengklaim dirinya sebagai anti-imperialis, anti-AS, nasionalis, progresif, dsb. Pada 1950an, PKI mengadopsi kebijakan kolaborasi kelas ini, dengan beraliansi dengan apa yang mereka sebut sebagai borjuasi progresif, dengan dalih bahwa musuh utama adalah imperialisme AS dan semua kekuatan ‘anti-imperialis’ harus bersatu. Sebagai akibatnya, ini menundukkan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional demokratik dan melucuti kemandirian kelas buruh. Inilah yang membuat proletariat Indonesia tidak siap untuk memenangkan revolusi, dan membuka jalan bagi kontra-revolusi 1965.

NATO memiliki kepentingan imperialis mereka untuk terus menegakkan dan memperluas dominasinya di seluruh Eropa. Tetapi ini berbenturan dengan kepentingan imperialis Rusia, yang ingin mempertahankan dominasinya di Eropa Timur dan Asia Tengah. Ukraina, dan bangsa-bangsa kecil lainnya, hanya menjadi recehan kecil dalam perseteruan antar kekuatan-kekuatan imperialis yang lebih besar. Demikian nasib mereka dari masa ke masa. Kenyataan bahwa Rusia bukanlah kekuatan imperialis sebesar AS tidak membuat mereka lebih progresif dalam tingkatan apapun. Rusia tidak memiliki jejaring dominasi ekonomi dan politik yang mengglobal seperti AS, dan Putin pun tidak punya tujuan demikian. Tetapi Rusia memiliki halaman belakang mereka sendiri -- Eropa Timur dan Asia Tengah, serta wilayah pengaruh di Suriah dan Iran -- yang dengan mati-matian ingin mereka pertahankan dari rongrongan AS lewat NATO. Demikianlah basis dari Perang Ukraina hari ini. Ini tidak ada hubungannya dengan hak penentuan nasib sendiri bangsa Ukraina, atau rakyat Donetsk dan Luhansk, yang hanya jadi recehan kecil dalam perang antara Rusia dan AS. Ini tidak ada hubungannya dengan melawan fasisme di Ukraina. Ini tidak ada hubungannya dengan demokrasi, apalagi perdamaian.

Dampak Perang Ukraina

energy crisis europePerang adalah peristiwa yang teramat kompleks, yang hasilnya tidak mudah diantisipasi. Pada awal perang, semua pihak mengira bahwa ini akan menjadi perang yang singkat. Keunggulan angkatan bersenjata Rusia begitu besar dibandingkan Ukraina, sehingga bahkan CIA dan Pentagon mengira Kiev akan jatuh dalam hitungan hari, jika bukan mingguan. Inilah mengapa Amerika mengirim helikopter untuk mengevakuasi Zelensky pada hari-hari awal perang, karena Amerika yakin Kiev akan jatuh ke tangan Rusia dengan cepat. Mereka mengingat bagaimana Afghanistan dengan cepat jatuh ke tangan Taliban. Ketika AS dan sekutunya menarik mundur pasukannya dari Afghanistan, mereka yakin kalau dana miliaran dolar, peralatan militer, dan pelatihan militer yang telah mereka sediakan kepada angkatan bersenjata Afghanistan selama bertahun-tahun akan cukup untuk mempertahankan rejim Afghanistan dari Taliban. Tetapi rejim boneka ini roboh dengan memalukan seperti rumah kartu. Dari pelajaran ini, AS meragukan kapasitas angkatan bersenjata Ukraina yang telah mereka danai dan latih sebelumnya, kalau-kalau mereka akan bernasib sama seperti di Afghanistan.

Pada hari-hari awal, kita saksikan betapa mudahnya pasukan Rusia memasuki wilayah Ukraina, hampir-hampir tanpa perlawanan. Tetapi memasuki wilayah musuh adalah hal yang berbeda dengan mendudukinya. Kantung-kantung resistensi terbentuk, dengan bantuan militer miliaran dolar yang mengucur dari NATO. Ini membuat kekuatan militer Ukraina menjadi kekuatan yang serius, yang setidaknya bisa menghalangi Rusia dari kemenangan segera. Perang ini pun menjadi berkepanjangan, dengan dampak-dampak serius yang melampaui perbatasan Ukraina dan semakin mempertajam kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Inilah yang ingin kita kaji. Di sini bukan tempatnya untuk melakukan analisa taktik-taktik militer, ataupun memprediksi bagaimana persisnya perang ini akan berakhir. Itu sekunder.

Dampak paling segera dari Perang Ukraina ini adalah inflasi, terutama melonjaknya harga migas dan produk-produk pertanian dari Ukraina dan Rusia. Ini memperparah badai inflasi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kita saksikan di hadapan kita sebuah badai inflasi yang sempurna, dengan beragam faktor yang saling bersinggungan: kebijakan uang murah dengan suku bunga yang hampir mencapai nol, quantitative easing, stimulus pandemi, menajamnya perang dagang, kerentanan rantai pasok dunia yang berdasarkan just-in-time production, dan lalu perang. Inilah yang membuat inflasi ini begitu sulit ditanggulangi oleh kelas penguasa.

Krisis inflasi ini telah mempertajam krisis politik di banyak negara, dengan letupan pertama yang kita saksikan di Sri Lanka belum lama ini. Ini telah membuat kelas penguasa di seluruh dunia cemas akan gelombang gerakan massa yang dapat dipicu oleh inflasi. Selapisan kelas penguasa AS kini mulai mempertanyakan keterlibatan AS yang panjang dalam perang ini. Afghanistan masih segar dalam ingatan mereka. Ini bukan karena mereka khawatir akan korban perang. Mereka siap berjuang sampai titik darah penghabisan rakyat pekerja Ukraina. Masalahnya, mereka khawatir akan opini publik yang dapat berbalik dan memicu krisis sosial dan politik di rumah mereka sendiri. Propaganda perang sudah mulai menumpul. Bagaimana tidak? Ketika mereka berbicara mengenai penghematan, dengan memangkas anggaran sosial dan upah pegawai negeri, mereka menghabiskan puluhan miliaran dolar untuk perang.

Selain itu, persatuan NATO sudah mulai retak. Bila awalnya tampak ada persatuan, kepentingan negeri-negeri anggota NATO mulai terungkap bergerak ke arah yang berbeda-beda. AS bisa dengan mudah menerapkan sanksi migas terhadap Rusia, tetapi tidak demikian dengan Eropa, terutama Jerman, yang mengandalkan suplai migas Rusia. Sebelum perang meletus, Jerman menerima 1/3 minyak dan lebih dari separuh gas dari Rusia, yakni total 60 persen kebutuhan energinya. Dengan melonjaknya harga gas yang disebabkan oleh perang, serta sanksi ekonomi terhadap Jerman, suplai gas ke Jerman dari Rusia telah berkurang. Kendati pengumuman dari pemerintah bahwa mereka akan mendapatkan suplai gas dari negara lain, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Infrastruktur baru harus dibangun, dan ini membutuhkan waktu dan investasi besar. Pasar dunia bukanlah seperti pasar Tanah Abang, dimana kita bisa memilih tukang buah mana yang ingin kita kunjungi. Pasar dunia adalah sebuah sistem jejaring rantai pasok yang kompleks, dengan kesalingtergantungan yang mendalam dimana bila satu mata rantai rusak dampaknya bisa katastropik terhadap keseluruhan sistem. Oleh karenanya, untuk periode ke depan, selama perang masih berkecamuk, suplai energi Jerman akan sangat terganggu, yang akan berimbas pada industri Jerman. Rakyat pekerja Jerman telah diminta untuk “membeku demi kebebasan”, sementara suplai gas diprioritaskan ke industri, yakni demi profit kapitalis.

Tidak heran jika dalam survei opini baru-baru ini, 47 persen warga Jerman berpendapat Ukraina lebih baik menyerahkan wilayah timurnya (Donetsk dan Luhanks) demi perdamaian. Ekonomi Jerman yang bahkan sebelum perang telah tertatih-tatih, kini terancam memasuki krisis yang dalam, dengan prediksi penyusutan ekonomi sebesar 3 sampai 12 persen GDP bila krisis energi ini tidak terselesaikan. Inflasi di Jerman telah mencapai 8,5 persen pada Juli 2022, dengan momok pengangguran yang menanti. Sebuah ledakan sosial dan politik yang besar tengah dipersiapkan, dan inilah yang dikhawatirkan oleh kelas penguasa Jerman. Annelan Baerbock, Menteri Luar Negeri Jerman, telah memperingatkan bahaya “pemberontakan sosial”.

Awalnya, perang Ukraina adalah peristiwa yang dinanti-nanti oleh kelas penguasa. Propaganda nasionalis mengaburkan perbedaan kelas dan mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari problem-problem mendesak mereka. Perang ini memungkinkan peningkatan anggaran perang. Selain itu, persatuan NATO yang sebelumnya telah merenggang, terutama di bawah kepresidenan Donald Trump dengan kebijakan “America First”, tampaknya pulih ketika mereka menemukan musuh bersama, yakni Putin. Tetapi dampak perang ini, yang berlangsung lebih lama daripada yang diharapkan semua orang, mulai menguji persatuan NATO kembali. Masalah Ukraina akan berubah dari pemersatu menjadi kebalikannya. Ini akan menjadi elemen yang mengguncang kestabilan di banyak negeri. Ini semua merupakan kelanjutan dari periode krisis kapitalisme yang kita masuki. Selama krisis, tiap-tiap negeri kapitalis mencoba menyelamatkan diri mereka sendiri, dan sering kali dengan mengorbankan kepentingan sekutu mereka.

Bagaimana setelah Perang?

Bahkan bila perang ini berakhir, yang pasti akan berakhir cepat atau lambat, kita tidak akan kembali ke kondisi sebelum perang. Perang ini semakin mendorong proses balkanisasi perdagangan dunia, sebuah proses yang sudah dimulai bahkan sebelum perang.

Eropa, terutama Jerman, melihat tangan kakinya terikat karena ketergantungannya pada migas Rusia. Untuk menanggulangi ini, Eropa berusaha mengubah rantai pasokan migasnya menjauh dari Rusia dan mendekat ke sekutu-sekutunya. Proses pembentukan blok-blok ekonomi regional dengan negeri-negeri yang bersahabat, yang disebut oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen sebagai “friend-shoring”, adalah pukulan bagi perdagangan dunia. Selain itu, tidak ada sahabat yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Ini menciptakan ketidakpastian.

Sanksi ekonomi terhadap Rusia, terutama yang melarang transaksi dolar AS, membuat banyak pemerintah mulai khawatir atas ketergantungannya pada dolar AS sebagai cadangan mata uang asing dan sarana pembayaran ekspor-impor. Banyak negeri yang mulai mengambil langkah untuk tidak menggunakan dolar AS, karena AS dan sekutunya telah menggunakan dolar AS sebagai senjata. Ini bukan berarti berakhirnya dominasi dolar AS. 60 persen cadangan mata uang asing di dunia hari ini masih dalam bentuk dolar AS. Tetapi dua dekade yang lalu ini mencapai 70 persen. Ada pelemahan secara relatif.

Dominasi dolar AS dalam perdagangan dunia adalah bagian tak terpisahkan dari globalisasi, yang memerlukan sistem moneter internasional yang tersatukan. Selama puluhan tahun, kelas kapitalis dari berbagai negara tidak keberatan mengikat ekonominya pada dolar AS, karena mereka pun kecipratan untung besar dari proses globalisasi ini. Selama semua kapitalis pundi-pundi emasnya terus terisi penuh dari eksploitasi kelas buruh, mereka semua senang memegang dolar AS. Persetan dengan nasionalisme. Tetapi ketika kapitalisme memasuki krisis, dan tiap-tiap kapitalis dari tiap-tiap negeri mencoba menyelamatkan dirinya, pesta pun berakhir. Krisis ekonomi yang melanda AS telah mendorong pemerintahan ini mengambil langkah-langkah proteksionis yang tidak lagi sesuai dengan kepentingan negeri-negeri kapitalis lainnya. “America First” begitu slogan yang dicetuskan oleh Trump, yang berarti: negeri-negeri lainnya nomor dua atau sekian, dan bahkan dikorbankan demi Amerika. Walaupun banyak negeri masih tergantung pada AS, dan kemungkinan untuk waktu yang cukup lama, tetapi mereka sudah mulai tidak merasa nyaman dengan dominasi AS ini.

Sementara selapisan kelas penguasa AS sendiri, yang diwakili oleh Partai Republik, ingin menarik diri AS keluar dari peran “Polisi Dunia”. Peran “Polisi Dunia” memang memberi AS keunggulan dan privilese dalam relasi dunia, secara ekonomi dan politik. Tetapi selama krisis kapitalisme ini, peran ini justru menjadi beban bagi kapitalisme AS. Kegagalan AS di Afghanistan, Irak, dan juga Suriah, yang menelan begitu banyak korban tentara AS dan ratusan miliar dolar (sejak 2001, AS menghabiskan 2,3 triliun dolar untuk perang di Afghanistan dan Irak), serta ketidakpuasan massa yang menjadi konsekuensinya, ini mendorong selapisan kapitalis AS ke arah kebijakan proteksionis.

Di hadapan publik, Biden berbicara mengenai mendukung Ukraina sampai menang. Tetapi yakinlah, di belakang pintu, para penasihatnya telah mendiskusikan bagaimana keluar dari perang ini tanpa kehilangan muka seperti di Afghanistan. Kemenangan Ukraina sudah tidak ada lagi di agenda AS. AS kini hanya berkepentingan melemahkan militer Rusia dengan menggunakan rakyat Ukraina sebagai umpan meriam. Para penasihat Biden sudah pasti tengah mencoba meyakinkan pemerintah Ukraina untuk menerima kehilangan teritori di timur, sementara bisa menyajikan hasil ini sebagai kemenangan.

Zelensky dan para jenderalnya kini sedang bermimpi besar. Mereka berbicara mengenai meluncurkan konter-ofensif, tidak hanya untuk merebut kembali Donbas tetapi juga Krimea. Tetapi kenyataan bertentangan dengan harapan mereka. Krimea tidak akan kembali ke Ukraina. Dan bila sebelum perang saja Ukraina sudah tidak memiliki otoritas terhadap daerah Donetsk dan Luhansk, apalagi setelah pasukan Rusia mendudukinya.

Selapisan kelas penguasa AS yang lebih berwawasan jauh memahami dengan baik bahwa Ukraina adalah masalah fundamental dan eksistensial bagi Rusia, tetapi bukan bagi AS. Dalam kata lain, sudah waktunya kita sudahi perang Ukraina ini untuk fokus pada musuh yang sesungguhnya: China. Tetapi, perang bila sudah dimulai dapat berjalan seturut logikanya sendiri, dan terus berlangsung bahkan bila tujuan-tujuan awalnya sudah tidakada lagi. Mudah untuk memulai perang, tetapi adalah hal lain untuk mengakhirinya. Bagi AS, ini adalah masalah menyelamatkan muka: bagaimana bisa menyudahi perang Ukraina ini tanpa tampak terlihat seperti pihak yang kalah, agar tidak dipermalukan seperti di Afghanistan.

Inilah mengapa perang Ukraina adalah titik balik, seperti halnya pandemi. Dampaknya akan terus terasa bahkan setelah perang ini usai. Relasi dunia tidak akan sama lagi. Selesainya perang ini tidak akan berarti kembalinya normalitas. Perang Ukraina adalah sebuah gejala awal dari sebuah masyarakat yang tengah menderita krisis mendalam. Di hadapan kita, kondisi tengah dipersiapkan untuk perang-perang yang bahkan lebih besar lagi.

Menajamnya Konflik China dan Taiwan

Ahli strategi kapital menarik kesimpulan yang sama dengan kaum revolusioner hari ini, bahwa kita tengah memasuki periode yang penuh dengan perubahan tajam dan mendadak, dimana kita harus expect the unexpected. Editorial FT menulis ini: “Seperti yang telah ditunjukkan oleh konflik Ukraina dan Taiwan, tidak hanya apa yang tak terpikirkan dapat terjadi, ini dapat terjadi dengan begitu tiba-tiba.” (FT Editorial: Western companies are waking up to China risk) Bila Ukraina jadi pion pertarungan antara dua kekuatan imperialis AS dan Rusia, maka Taiwan hari ini telah menjadi arena utama bentrokan antara AS dan China.

Pada Agustus awal, Ketua DPR AS Nancy Pelosi melakukan kunjungan ke Taiwan. Ini merupakan kunjungan pemangku jabatan tertinggi dari AS semenjak 1997, dan wajar dianggap oleh China sebagai provokasi. Dengan cepat, China merespons dengan unjuk kekuatan militer, yang mengirim pesan yang jelas: “Kami memiliki kekuatan militer yang ampuh, yang dapat menduduki Taiwan dengan mudah kapan pun kami inginkan. Jangan main-main!”

Tentu saja, hari ini China tidak memiliki tujuan untuk menduduki Taiwan. Xi Jinping hanya menginginkan bertahannya status quo sehubungan dengan status Taiwan, yakni yang dikenal dengan “ambiguitas strategis”. Dunia mengakui Taiwan secara formal sebagai bagian dari China, tetapi secara de fakto Taiwan sesungguhnya sudah berfungsi sebagai negara yang independen, dengan pemerintahan terpilihnya sendiri, dengan mata uang sendiri, dengan ekonomi yang berpartisipasi dalam pasar dunia.

Selama puluhan tahun, “ambiguitas strategis” ini diterima oleh semua pihak, terutama AS. Kelas penguasa Taiwan pun sebelumnya melihat Taiwan sebagai bagian dari China daratan, tetapi dengan relasi yang terbalik: bahwa pemerintahan di Taiwan adalah pemerintahan sah dari seluruh China daratan. Pada 1949, pemerintahan KMT yang berkuasa kalah dan melarikan diri ke Taiwan, dan mendirikan “pemerintahan eksil” di sana yang mengklaim sebagai pemerintahan dari seluruh China. Inilah mengapa pemerintahan Taiwan menamakan dirinya “Republik China”. Mereka memiliki tujuan yang sama dengan pemerintahan Partai Komunis Tiongkok: unifikasi China, tetapi dari arah yang berbeda.

Terutama sejak 1990an, dengan masuknya China ke pasar kapitalis dunia, kebijakan AS adalah mempertahankan hubungan informal dengan Taiwan tanpa mengakuinya sebagai negara yang terpisah dari China. Tidak ada kedubes AS di Taiwan, dan tidak ada komunikasi langsung dan publik antara petinggi AS dan Taiwan. Kebijakan “ambiguitas strategis” ini dipertahankan demi akses investasi AS ke China. Pada saat itu, kapitalis AS membayangkan bahwa investasi kapitalnya ke China akan mendorong China menjadi “demokrasi liberal” yang akan berada di bawah jempolnya. Mereka benar dalam satu hal, bahwa influks kapital luar negeri ke China merupakan faktor penting dalam restorasi kapitalisme di sana. Tetapi restorasi kapitalisme tidak otomatis berarti China yang kapitalis akan menjadi ‘pabrik’ milik AS seperti Bangladesh. Yang terjadi justru China menjadi kekuatan kapitalis besar yang tidak hanya mulai menyaingi AS tetapi juga mengancam posisi imperialisme AS. Inilah yang mengubah dinamika masalah kebangsaan Taiwan. Sebelumnya AS yang meraup untung besar dari investasinya di China siap tutup mata mengenai Taiwan. Kini tiba-tiba AS menjadi pemandu sorak “demokrasi”, “kebebasan”, dan “kemandirian” Taiwan. Ini hanya membuktikan sekali bagaimana bangsa-bangsa kecil hanyalah recehan kecil bagi kekuatan imperialis besar.

Pada 2016, Trump menelepon langsung presiden Taiwan Tsai Ing-Wen. Ini adalah komunikasi langsung dan publik pertama antara kedua presiden semenjak 1979. Langkah ini menandai perubahan sikap AS terhadap China. Sejak itu, semakin banyak kunjungan “kerja” dari anggota-anggota DPR AS ke Taiwan. Kunjungan Pelosi, ketua DPR dari Partai Demokrat, adalah kelanjutan dari provokasi ini. Semua ini merupakan kulminasi dari bertahun-tahun ketegangan yang semakin menajam dalam relasi antara AS dan China. Partai Republik dan Partai Demokrat boleh saja berseteru, tetapi kelas penguasa AS seiya-sekata, entah di bawah perwakilan politik mereka Obama, Trump, sampai Biden, bahwa China mewakili ancaman terbesar bagi posisi mereka.

AS telah meningkatkan intervensi ekonomi, diplomatik, dan militernya di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara guna meredam pengaruh China. Keberpihakannya AS pada Jepang, Taiwan, Korea, Filipina dan bahkan Vietnam dalam sengketa perbatasan Laut dengan China adalah salah satu bentuk intervensi tersebut. AS tengah memperkuat basis-basis dukungannya di wilayah tersebut. Bantuan perlengkapan militer senilai miliaran dolar serta latihan militer bersama telah ditingkatkan. Senat AS telah merancang Taiwan Policy Act 2022 yang ingin mereka loloskan, yang kontennya akan mengubah relasi US-Taiwan secara drastis dan jelas sebagai tindakan provokasi lebih lanjut: bantuan militer 6,5 miliar dolar; mengubah status Taiwan sebagai “sekutu besar non-NATO”, mengubah Taiwan Relation Act yang telah menjadi kerangka relasi US-Taiwan sehingga kebijakan AS tidak hanya “menyediakan Taiwan dengan senjata yang bersifat defensif” tetapi juga “senjata yang kondusif untuk mencegah aksi agresi dari People’s Liberation Army”, dll. RUU ini masih jauh dari diloloskan di Senat dan DPR, tetapi jelas memberi kita gambaran ke arah mana kebijakan luar negeri AS.

Tujuan AS tidak ada hubungannya sama sekali dengan membela demokrasi Taiwan ataupun hak penentuan nasib sendiri. Amerika melihat Taiwan sebagai salah satu garis depan mereka untuk melemahkan China, terutama di wilayah Asia Timur. Selain Taiwan adalah mata rantai penting dalam perekonomian dunia, terutama sebagai pusat industri chip terbesar dan termaju di dunia, yang menyuplai produk-produk teknologi serta militer China. TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company) mengendalikan 90 persen dari pasar chip yang paling canggih. yakni komponen semi konduktor lebih kecil dari 10 nanometer. Walaupun China tengah mengembangkan industri chip mereka sendiri, mereka masih jauh tertinggal dari Taiwan, Korea Selatan, dan AS. Taiwan dan Korea Selatan ada di bawah pengaruh AS, dan oleh karenanya suplai chip untuk industri teknologi China juga rentan pada pengaruh AS. Pada saat yang sama, China juga mampu memblokir ekspor chip dari Taiwan ke AS dengan mengerahkan angkatan lautnya. Pendeknya, Taiwan adalah medan pertempuran antara China dan AS.

Saat ini, AS tidak akan mendorong Taiwan untuk mendeklarasikan kemerdekaan secara resmi, ataupun mengakui Taiwan secara resmi sebagai sebuah negara. Kelas penguasa AS mafhum bahwa ini dapat mengarah ke konflik militer terbuka dengan China, dan ini bukan sesuatu yang mereka inginkan sekarang. Mereka melihat dampak perang Ukraina terhadap perekonomian dunia, dan perang di Taiwan jelas dapat memiliki dampak menghancurkan 1000 kali lipat. Namun, tidak ada jalan keluar bagi konflik imperialis antara AS dan China. Persaingan imperialis antara dua kekuatan ini tidaklah terelakkan. AS tidak akan menyerahkan posisi ekonominya kepada China yang kini terus mengekspansi kekuatan ekonominya. Cepat atau lambat, akan ada benturan terbuka, dan Taiwan akan jadi salah satu arena benturan ini, karena pada akhirnya perang adalah kelanjutan dari politik. Krisis kapitalisme tengah mendorong dunia ke periode yang penuh dengan revolusi, kontra-revolusi, dan perang.

Satu-satunya kekuatan yang bisa mencegah perang imperialis adalah kelas buruh, dalam kasus ini, kelas buruh AS, China dan Taiwan. Kaum buruh dari ketiga bangsa ini tidak memiliki kepentingan sama sekali untuk saling bertikai demi keberlangsungan profit kapitalis. Beban perang imperialis, entah dalam hal anggaran perang maupun korban perang, akan diletakkan di pundak rakyat pekerja. Hanya gerakan revolusioner kelas buruh yang menumbangkan pemerintahan kapitalis mereka masing-masing yang akan dapat menghentikan roda perang. Di luar itu, semua celoteh mengenai diplomasi, perdamaian, da dan keterlibatan PBB adalah dusta untuk meninabobokan rakyat.

Tugas kaum revolusioner China adalah menjelaskan kepada kaum buruh China bahwa musuh utama mereka bukanlah Taiwan ataupun AS, tetapi kelas kapitalis China dan perwakilan politik mereka Xi Jinping dan rejim Partai Komunis China, yang hanya komunis dalam nama saja. Dengan semakin tajamnya kontradiksi kelas di China, rejim PKC menggunakan sentimen nasionalisme untuk mengaburkan kontradiksi kelas. Ini taktik klasik dari semua kelas penguasa. Kaum revolusioner China harus menjelaskan: bukan rejim Taiwan, Tsai Ing Wen, ataupun Biden yang menekan upah mereka, memeras keringat dan air mata kalian, yang menekan kalian bekerja sampai 12 jam setiap harinya, yang menciptakan spekulasi real estate hingga harga rumah sudah tidak lagi terjangkau. Kelas kapitalis dan rejim birokrasi PKC-lah yang bertanggung jawab demi profit kapitalis yang mengisi pundi-pundi emas mereka. Kaum revolusioner China harus menentang semua usaha agresi dan manuver imperialis oleh rejim PKC terhadap Taiwan. Dengan demikian, ini akan menunjukkan kepada buruh Taiwan bahwa musuh mereka bukanlah buruh China, yang pada gilirannya akan melemahkan nasionalisme Taiwan.

Di sisi lainnya, kaum revolusioner Taiwan memiliki tugas untuk melawan kapitalis Taiwan serta Tuan imperialis AS mereka. Di setiap langkahnya, kaum revolusioner Taiwan harus mengekspos kemunafikan dan kebangkrutan nasionalisme Taiwan, serta menunjukkan bagaimana hak penentuan nasib sendiri bangsa Taiwan tidaklah lebih dari recehan bagi imperialisme AS. Kemandirian kelas proletariat Taiwan harus dipertahankan dengan cara apapun. Dengan demikian, ini akan menunjukkan kepada buruh China bahwa musuh mereka bukanlah kelas buruh Taiwan. Ini akan melemahkan histeria nasionalisme yang dikobarkan oleh Xi Jinping. Hanya posisi kelas internasionalis yang dapat memotong semua kabut nasionalisme yang ditebarkan oleh semua kelas penguasa.

Negara-bangsa telah menjadi penghambat reaksioner bagi umat manusia. Konflik inter-imperialis menjadi semakin akut dengan semakin membusuknya kapitalisme. Perang dagang antara AS dan China; perang Ukraina; Brexit dan krisis Uni Eropa, semua ini mengekspresikan proses yang sama: krisis kapitalisme yang tengah sekarat tetapi menolak dikubur.

Krisis Inflasi

Perang memperparah krisis inflasi. Tetapi krisis inflasi itu sendiri sudah dipersiapkan selama dekade terakhir, dengan program uang murah, yang mencapai kresendonya selama pandemi. Pada April 2022, tiga-perempat ekonomi dunia mengalami inflasi di atas 5 persen. Di sejumlah negara kapitalis utama seperti Amerika Serikat, inflasi mencapai 9 persen, level yang tidak pernah terlihat selama lebih dari 30 tahun. Laporan baru-baru ini dari Citigroup memperkirakan inflasi di UK akan melebihi 18 persen pada Januari tahun depan.

Awalnya, para ekonom dan bank-bank sentral percaya bahwa inflasi ini hanyalah bersifat sementara. Dengan dilonggarkannya pembatasan pandemi dan terbukanya ekonomi, suplai dan permintaan akan mencapai keseimbangannya sendiri. Inilah mimpi kapitalis, yang membayangkan mekanisme pasar kapitalis bila dibiarkan berjalan sendiri akan menyeimbangkan dirinya dan menemukan kestabilan. Alih-alih menyeimbangkan dirinya, semua faktor justru menciptakan badai inflasi.

Hari ini, para pengambil kebijakan ekonomi kewalahan mengendalikan inflasi. Mereka dihadapkan dengan pilihan menaikkan suku bunga secara ekstrem seperti yang pernah dilakukan oleh US Federal Reserve pada 1970-80 (untuk mengontrol inflasi yang telah mencapai 14 persen, pada 1980 US Federal Reserve menaikkan suku bunga hingga mencapai 20 persen). Tetapi, dengan ekonomi yang selama beberapa dekade terakhir telah terbiasa mengandalkan kebijakan suku bunga rendah untuk bisa tumbuh, kenaikan suku bunga dapat menghentikan roda ekonomi. Ekonomi terancam memasuki resesi, pengangguran meningkat, upah dan permintaan menurun.

Bagi sebagian ahli strategi kapital, mereka melihat satu-satunya cara untuk menekan inflasi adalah dengan memicu resesi, seperti yang mereka lakukan pada 1980. Mereka berharap, setelah inflasi dikendalikan, resesi akan disusul dengan boom ekonomi yang megah, seperti yang terjadi pada 1980an. Masalahnya 1980 berbeda dengan 2022. Pada 1980, resesi disusul dengan boom ekonomi yang tajam. Hari ini tidak ada perspektif untuk boom ekonomi, ketika kapitalisme ada dalam epos kemunduran dan pembusukan. Pertama, pada 1980an, proses globalisasi baru saja dimulai. Pasar-pasar baru yang besar mulai memasuki perekonomian global kapitalisme, sebuah proses yang semakin dipercepat dengan runtuhnya Uni Soviet dan dibukanya perekonomian China. Hari ini, semua sudut dunia telah terhubungkan oleh pasar dunia. Tidak ada lagi pasar baru. Kecenderungan proteksionisme tengah menguat dengan tiap-tiap negeri kapitalis berusaha mengekspor pengangguran mereka ke negeri lainnya. Epos globalisasi tengah menemui akhirnya. Kedua, hutang publik dan swasta juga sangat rendah pada 1980an, tidak seperti hari ini yang telah mencapai tingkatan tanpa preseden. Total hutang global meningkat dari sekitar 100% PDB pada 1980 mencapai 256% pada 2020, yakni mencapai rekor 226 triliun dolar.

Selain itu, kenaikan suku bunga akan membuat pembayaran hutang lebih besar, entah hutang negara ataupun hutang swasta. Selama 20 tahun terakhir, dengan suku bunga yang amat rendah,  pemerintah, bisnis, dan rumah tangga mengambil hutang untuk secara artifisial memperluas permintaan pasar. Tetapi epos suku bunga ultra-rendah telah berakhir, dan bagaimana membayar kembali hutang ini akan menjadi problem serius.

Proses globalisasi juga telah menciptakan perekonomian yang jauh lebih terintegrasi dibandingkan pada 1980. Ini berarti krisis di satu negeri ataupun satu sektor ekonomi bisa memiliki dampak yang teramat luas dan dalam, seperti yang telah ditunjukkan oleh Perang Ukraina dan sanksi ekonomi terhadap Rusia.

Pendeknya, masa keemasan kapitalisme sudah lewat. Siklus boom-and-bust yang normal, dimana resesi disusul dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, sudah bukan lagi fitur umum kapitalisme hari ini. Yang kita saksikan adalah resesi yang disusul pemulihan yang pucat pasi, yang temporer, pendek, dan dangkal.

Dalam bulan-bulan ke depan, kemungkinan besar bank-bank sentral akan terus memperketat kebijakan moneter untuk menjinakkan binatang buas inflasi ini. Pasar telah bereaksi terhadap prospek pengetatan ini dengan jatuhnya bursa-bursa saham. Ancaman stagflation juga menjadi semakin riil, yakni stagnasi ekonomi dengan inflasi yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh kebijakan bank sentral yang setengah hati. Mereka menaikkan suku bunga, tetapi dengan terlalu berhati-hati untuk tidak memicu resesi, tetapi justru tidak memadai untuk mengendalikan inflasi. Hasilnya, kemandegan ekonomi dengan inflasi yang masih tinggi. Ini karena bank sentral harus juga memperhatikan reaksi sosial dan politik dari kebijakan mereka. Bila kebijakan ekonomi diperketat dengan terlalu cepat, pukulan ekonomi yang disebabkannya dapat memicu guncangan politik yang tidak diinginkan. Setiap usaha untuk menstabilkan ekonomi menciptakan ketidakstabilan dalam ranah politik, dan juga sebaliknya. Bagi kelas penguasa, tidak ada jalan keluar selain berhadap-hadapan dengan kelas buruh yang akan bangkit melawan. Mereka tidak bisa menghindari perjuangan kelas yang niscaya akan menajam. Dalam hal ini, kelas borjuasi memiliki pelayan terbaik mereka untuk meredam dan menumpulkan perjuangan kelas, yakni para pemimpin reformis gerakan buruh, entah reformis kanan maupun reformis kiri. Benteng paling ampuh kelas borjuasi dalam meredam gerakan buruh dan mempertahankan kapitalisme bukanlah aparatus kekerasan mereka, tetapi kepemimpinan reformis gerakan buruh hari ini.

Perang dan pandemi telah mengubah semua faktor yang sebelumnya adalah motor pertumbuhan menjadi kebalikannya. Sebelumnya, sistem just-in-time production (produksi tepat waktu) memungkinkan manufaktur hanya memproduksi jenis barang yang diminta dan pada saat yang dibutuhkan oleh konsumen, tanpa harus menumpuk inventori atau bahan baku di gudang mereka. Ini menciptakan efisiensi dan menekan biaya produksi. Tetapi, sistem produksi tepat waktu ini ternyata rentan saat dihadapkan dengan guncangan seperti pandemi dan perang. Globalisasi dan konsentrasi produksi telah menciptakan jejaring rantai pasok yang terintegrasi, yang telah menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Tetapi dengan integrasi ekonomi ini, gangguan dan krisis di satu mata rantai terlemah saja dapat dengan cepat menyebar ke seluruh rantai. Kapitalisme itu sendirilah yang menyiapkan kondisi-kondisi untuk penumbangannya.

Krisis Hutang dan Kebangkrutan di Dunia Ketiga

Ketua Federal Reserve AS Jay Powell pada Jumat kemarin (26/08/22) dalam pertemuan di Jackson Hole menyatakan bahwa Federal Reserve akan meneruskan kebijakan kenaikan suku bunganya dengan tegas guna menjinakkan inflasi. Dia menambahkan, keberhasilan menurunkan inflasi kemungkinan akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang rendah untuk waktu yang cukup panjang. Sentimen ini ditegaskan pula oleh para pemimpin bank-bank sentral lainnya di Jackson Hole. Setelah pidato tersebut, bursa saham AS, dan banyak negara lainnya, berjatuhan.

Kebijakan suku bunga Federal Reserve AS memiliki dampak yang mendunia, terutama sehubungan dengan perekonomian negara-negara berkembang. Masih segar di ingatan kita bagaimana kenaikan suku bunga AS pada awal 1990an menjadi salah satu faktor penting yang memicu krisis finansial Asia 1997. Kenaikan suku bunga AS menyedot kembali kapital yang sebelumnya mengalir deras ke Asia Tenggara. Selain itu, biaya membayar utang luar negeri dengan denominasi dolar AS meningkat. Dikombinasikan dengan gelembung real estate di Asia Tenggara saat itu, yang akhirnya meletus, ini menjadi krisis yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Kenaikan suku bunga AS yang pesat selama beberapa bulan terakhir, serta pernyataan dari Jay Powell bahwa suku bunga yang tinggi ini akan terus dipertahankan untuk waktu yang lama, telah menciptakan kecemasan mendalam bagi banyak negara-negara berkembang.

Beban hutang negeri-negeri miskin telah mencapai rekor tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Tingkat hutang publik telah meningkat dari 33% PDB pada 2008 mencapai 54% pada 2019. Ini sebelum pandemi yang mendorong banyak pemerintah menggelontorkan stimulus dengan jumlah yang tanpa preseden. Pada 2020, anggaran belanja negeri-negeri berkembang mengalami defisit rata-rata sebesar 9,3% PDB, yang tidak terlalu jauh dari 10,5% di negeri-negeri maju. Menurut IMF, pada 2021, rasio utang publik terhadap PDB di negara-negara berkembang telah mencapai rekor 67 persen. Dengan kombinasi kenaikan harga pangan dan energi, perekonomian dunia yang melambat, dan kenaikan suku bunga yang pesat dimana-mana, negeri-negeri berkembang tengah memasuki periode yang penuh dengan ketidakpastian ekonomi.

Sejak Maret, akibat kenaikan suku bunga AS dan juga negeri-negeri maju, serta pengetatan kebijakan moneter secara umum, kapital luar negeri telah mengalir keluar dari perekonomian negara berkembang. Ongkos meminjam juga melonjak tinggi sebagai akibatnya. IMF telah memberi peringatan, ada 53 negara yang paling rentan ekonominya, yang entah memiliki tingkat hutang yang tidak sehat dan telah tidak mampu membayar hutang mereka. Apa yang terjadi di Sri Lanka -- yang secara efektif pailit dan tidak bisa lagi membayar hutangnya -- telah menjadi peringatan akan apa yang dapat terjadi di 53 negara tersebut, dan banyak lainnya yang mengantre untuk bergabung ke dalamnya. Apa yang dicemaskan oleh para ekonom dan ahli strategi kapital adalah konsekuensi politik dan sosial yang mengalir darinya. Gambaran Istana Presiden yang diduduki massa rakyat membuat mereka gemetar ketakutan.

Majalah The Economist mencoba mencari secercah harapan dari kondisi ini. Tidak seperti pada 1990an, hari ini hanya sekitar 16 persen hutang negara-negara berkembang ada dalam mata uang asing. Pemerintah semakin bergantung pada bank-bank dalam negeri mereka sendiri untuk hutang. Selain itu, 53 negara yang paling rentan itu hanya mencakup 5 persen dari total PDB dunia. Semua ini memberi mereka harapan bahwa krisis ekonomi di negeri-negeri ini tidak akan mudah menyebar keluar dari perbatasan mereka. Tetapi masalahnya, ada 1,4 miliar penduduk (atau 18% dari total populasi dunia) yang bermukim di negara-negara tersebut, dan krisis ekonomi di sana akan menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan.

Selain itu, ketergantungan hutang negara pada bank-bank dalam negeri tidak menyelesaikan masalah hutang itu sendiri, tetapi hanya memindahkan beban krisis ke sistem perbankan dalam negeri. Semakin pemerintah bersandar pada bank dalam negeri untuk kredit, semakin bank-bank ini bersandar pada surat-surat utang pemerintah sebagai investasi yang mereka gunakan sebagai kolateral untuk menjamin dana dari bank sentral. Maka dari itu, kesulitan finans pemerintah dapat dengan cepat menyebar ke perbankan domestik, yang lalu menghambat laju kredit ke bisnis dan rumah tangga. Kredit macet ini akan memperlambat ekonomi, mengurangi pemasukan negara, dan semakin mempersulit keuangan pemerintahan, yang pada gilirannya berimbas pada perbankan domestik, dan seterusnya, dan menciptakan apa yang disebut sebagai doom-loop (lingkaran kehancuran). Diotak-atik bagaimanapun, masalah utang negara ini adalah ancaman besar bagi kestabilan ekonomi.

Kelas Penguasa Cemas

Perlambatan perekonomian dunia, inflasi yang tak terkendali, perang Ukraina, semakin menajamnya konflik antar-imperialis, terutama dua raksasa besar AS dan China, krisis hutang yang mengancam pailit di banyak negeri, semua ini menciptakan kecemasan mendalam bagi kelas penguasa. Mereka mafhum betul bahwa semua ini akan mengarah ke intensifikasi perjuangan kelas di semua negeri tanpa terkecuali. Polarisasi yang tajam ke kanan dan ke kiri, dengan ayunan-ayunan yang pesat dan tak terduga, adalah perspektif dunia ke depan. Tidak heran bila kelas penguasa dan ahli strategi mereka melihat masa depan mereka penuh dengan pesimisme.

Dengan bersusah payah kelas penguasa mencoba membangun kembali politik tengah mereka yang telah runtuh. Selama puluhan tahun, politik tengah telah berperan sebagai kekuatan yang menstabilkan sistem. Dalam parlemen, boleh saja ada partai kanan dan kiri, partai liberal dan konservatif, tetapi mereka berseteru dalam batasan-batasan moderasi yang telah mereka tentukan di antara mereka sendiri secara terhormat. Mereka memberi ilusi pada rakyat pekerja adanya pilihan demokrasi dalam parlemen. Namun krisis kapitalisme telah merusak politik tengah, dengan ayunan tajam ke kanan dan ke kiri. Membonceng kegeraman massa atas status-quo adalah politisi-politisi kapitalis kanan-ekstrem seperti Trump, Bolsonaro, Boris Johnson, Marine Le Pen, dll. Walaupun mereka adalah politisi borjuasi, tetapi kelas penguasa tidak menyukai mereka karena mereka bermain dengan aturan mereka sendiri, yang mengorbankan kestabilan keseluruhan sistem kapitalisme demi kepentingan politik sempit dan sesaat mereka sendiri. Retorika dan demagogi mereka justru semakin mempertajam perjuangan kelas.

Dari kiri juga muncul tokoh seperti Bernie Sanders, Jeremy Corbyn, Melenchon, Gabriel Boric, Tsipras, dll., yang pada tingkatan tertentu menjadi saluran polarisasi tajam massa ke kiri. Namun, para pemimpin reformis Kiri ini penuh dengan keragu-raguan. Pijakan mereka selalu goyah. Walau terdorong ke kiri oleh arus massa yang teradikalisasi, dengan cepat pula mereka kembali bergeser ke kanan ketika dihadapkan dengan kesulitan. Alasannya mudah ditemui. Para reformis kiri ini, walau di sana sini berbicara mengenai sosialisme, sesungguhnya tidak memiliki kepercayaan pada rakyat pekerja dan masa depan sosialisme. Dihadapkan dengan realitas keras, di mana pilihannya adalah pecah dengan kapitalisme atau berdamai dengannya, para pemimpin ini memilih berdamai.

Kelas penguasa terus mencari politik tengah untuk dibangun kembali, tetapi krisis kapitalisme membuatnya mustahil. Mereka bersorak-sorai ketika Macron terpilih kembali sebagai presiden Prancis pada 2022. Tetapi perayaan ini sungguh terlalu prematur. Macron telah kehilangan mayoritasnya di parlemen, yang akan membuat masa jabatan keduanya sangat sulit. Popularitasnya rendah. Dan pada pilpres kedua ini, dia kehilangan 2 juta suara. Di Amerika, kelas penguasa berharap kemenangan Biden akan mengembalikan kestabilan dalam sistem politik dua-partai mereka. Harapan ini kandas. Dukungan terhadap Biden anjlok, dan pada pemilu sela November 2022 nanti Partai Demokrat akan kehilangan kendalinya atas DPR dan Senat. Pada pilpres 2024, Trump kemungkinan besar akan kembali berkuasa.

Tatanan dunia kapitalis yang tua ini tengah tertatih-tatih melangkah ke liang kubur. Di bawah beban kontradiksi internalnya, tatanan ini dapat roboh kapan pun. Namun, kapitalisme yang sudah sekarat ini menolak mati. Kapitalisme yang uzur ini tengah menyeret seluruh peradaban manusia ke barbarisme. Kapitalisme tidak hanya telah menjadi penghalang kemajuan umat manusia, tetapi telah berubah menjadi penghancurnya.

Kelas Buruh Terbangun dan Belajar Berjuang

Kelas buruh telah mengemban krisis kapitalisme ini. Taraf hidup mereka telah diserang lagi dan lagi, digerus sampai tidak bisa lagi dikenali. Ini bukan berarti kelas buruh menerima serangan ini dengan kepala tertunduk. Dalam banyak kesempatan, mereka telah bangkit melawan. Dari Yunani sampai Sri Lanka, di Kazakhstan dan Kolombia, mereka gunakan semua saluran yang bisa mereka temui untuk bertempur.

Yang kita saksikan hari ini adalah awal dari bangkitnya kelas buruh. Setelah periode panjang tertidur, mereka tengah bangun dari tidurnya. Dan seperti seorang yang baru terbangun dari tidur yang panjang, kelas buruh masih merasa canggung. Pandangannya tidak jelas. Pijakannya masih goyah. Masih banyak kenaifan, yang disebabkan kurangnya pengalaman. Kelas buruh telah membuat banyak kesalahan selama dekade terakhir, dan akan membuat lebih banyak lagi di hari depan. Mereka harus mempelajari kembali pelajaran-pelajaran masa lalu yang telah hilang. Ini terutama karena kebangkrutan para pemimpin mereka, yang dengan mencampakkan sosialisme ilmiah maka telah juga mencampakkan pelajaran perjuangan kelas proletariat. Karena ketiadaan kepemimpinan revolusioner inilah maka perjuangan proletariat akan berkepanjangan. Kelas proletariat tidak belajar dari buku, tetapi mereka belajar dari pengalaman dan kehidupan itu sendiri. Ini adalah proses yang lambat, dan sering kali menyakitkan. Akan ada banyak kemajuan, tetapi juga banyak kemunduran dan kekalahan. Kita harus siap menghadapi ini pula.

Di sinilah tugas kaum revolusioner dan partainya. Partai kita adalah satu-satunya yang telah menyimpan dan menyarikan pengalaman perjuangan kelas proletariat selama 200 tahun terakhir. Tugas kita adalah menjaga pelajaran ini dan menyampaikannya ke kelas proletariat, dimulai dari lapisan pelopornya yang paling maju. Pada saat ini kekuatan kita masihlah kecil, tetapi kita tengah tumbuh. Lapisan muda dan buruh termaju tengah mencari gagasan revolusioner, dan semakin banyak yang menemukan organisasi kita.

Dibutuhkan kerja revolusioner yang konsisten dan sabar. Kita memiliki gagasan terbaik, yang menjelaskan krisis kapitalisme ini dan menyajikan jalan keluar revolusioner darinya. Tetapi ini saja tidak cukup. Dibutuhkan kerja revolusioner yang sistematis, agar gagasan ini berubah menjadi kamerad-kamerad militan yang siap melakukan apapun yang diperlukan untuk mewujudkan gagasan tersebut. Kualitas harus kita ubah menjadi kuantitas, yang pada gilirannya pertumbuhan kuantitas ini akan menjadi lompatan kualitatif.

Ada urgensi di sini. Peristiwa tidak akan menunggu siapnya organisasi revolusioner. Oleh karenanya, seluruh fokus dan energi kita harus dicurahkan pada tugas membangun organisasi revolusioner. Tidak boleh ada satu hal pun yang mengalihkan perhatian kita dari tugas sentral ini, karena krisis yang dihadapi umat manusia dapat direduksi ke krisis kepemimpinan proletariat. 

Perspektif Nasional 2022: Zaman Bergejolak dan Tugas Kita Hari Ini

Perlambatan ekonomi dunia, pengetatan kebijakan moneter di negeri-negeri pengekspor kapital, serta krisis inflasi, semua ini telah memiliki dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Yang mengkhawatirkan kelas penguasa adalah gejolak sosial dan politik yang dapat menjadi konsekuensinya. Pada awalnya, pemerintah mencoba meyakinkan publik bahwa perekonomian Indonesia terlindungi dari krisis inflasi yang merongrong dunia. Setiap pemerintah tampaknya merasa yakin akan keunikan perekonomian mereka. Namun, realitas globalisasi tidak memberikan ruang bagi keyakinan konyol seperti itu. Tidak ada satupun negeri yang bisa membebaskan dirinya dari rantai emas pasar dunia. Proses umum dunia yang kita jabarkan di atas juga tengah berlangsung di Indonesia.

Inflasi telah mencapai 4,94 persen pada Juli 2022, tingkat tertinggi selama 7 tahun terakhir. Ini telah mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga dari 3,50 persen menjadi 3,75 persen pada bulan Agustus, mengikuti pengetatan kebijakan moneter AS dan tetangga-tetangga Asia Tenggara mereka. Ini kenaikan pertama selama 4 tahun terakhir. Analis ekonomi memprediksi inflasi dapat mencapai lebih dari 5 persen, dengan kenaikan suku bunga mencapai 4,35 persen. Ini jelas akan menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Momok inflasi ini bahkan telah mendorong Presiden Jokowi untuk memainkan peran diplomat internasional, sesuatu yang jauh dari bakatnya sebagai politisi “blusukan”. Pertemuan G20 pada November nanti akan diadakan di Indonesia, dan ini akan menjadi pertemuan yang penuh dengan ketegangan antar berbagai kekuatan, terutama seputar Perang Ukraina dan perseteruan China-Taiwan/AS. Sebagai tuan rumah Jokowi tidak menginginkan gagalnya pertemuan ini, terutama karena hasil pertemuan ini dapat menentukan arah ekonomi Indonesia. Para pemimpin Barat telah mengancam akan memboikot pertemuan ini bila Putin hadir, dan Jokowi terpaksa menjadi penengah dengan mengunjungi Ukraina dan Rusia. Indonesia adalah pengimpor gandum terbesar kedua dari Ukraina, dan dengan kenaikan harga pangan, Jokowi harus terlihat melakukan sesuatu untuk menangani dampak perang ini. Perang ini telah menciptakan krisis pangan dunia, yang berimbas pula pada rakyat pekerja Indonesia dan telah menciptakan keresahan. Pada awal tahun ini, popularitas Jokowi sempat terhantam karena kenaikan harga minyak goreng, yang merupakan imbas dari perang Ukraina. Perhitungan diplomasi Jokowi sangatlah sempit: perdamaian di Ukraina akan berarti kestabilan dan perdamaian kelas di Indonesia. Tetapi dia akan kecewa, karena situasi dunia tidaklah kondusif bagi perdamaian kelas. Jokowi mungkin saja telah berhasil mengundang Putin dan Xi Jinping ke pertemuan G20, tetapi perang ini bukanlah disebabkan oleh kegagalan diplomasi, melainkan keniscayaan dari krisis kapitalisme yang semakin mendalam.

Hari ini, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi masihlah tinggi, berkisar sekitar 60-65 persen. Namun kita akan membuat kesalahan besar bila menarik kesimpulan bahwa kapitalisme Indonesia ada dalam posisi yang stabil. Kita bukan kaum empiris yang impresionis. Di bawah permukaan yang tampaknya stabil ini, ada kekuatan-kekuatan yang tengah bergemuruh. Kontradiksi-kontradiksi kapitalisme tengah mengumpul. Selama kelangkaan minyak goreng, popularitas Jokowi anjlok dengan cepat dari 75,3 persen pada Januari 2022 sampai 53 persen pada Mei 2022. Ini menunjukkan, basis kestabilan rejim Jokowi sesungguhnya sangatlah rentan. Taraf hidup mayoritas rakyat pekerja Indonesia sudah begitu ada di tepi jurang, kenaikan harga minyak goreng saja bisa menggerus 1/3 dukungan Jokowi.

Kebobrokan institusi negara

Selain itu, institusi politik lainnya seperti DPR dan parpol memiliki tingkat kepercayaan yang rendah di mata rakyat, dan dipandang dengan penuh rasa curiga sebagai sarang korupsi. Ini membuat rakyat teramat kritis terhadap apapun yang dilakukan DPR, sampai hal-hal kecil seperti pengadaan gorden puluhan miliar, pengecatan atap Gedung DPR, dan pengadaan kalender baru-baru ini yang beranggaran RP 955 juta menjadi kontroversi yang membuat geram rakyat. Namun elite-elite politik ini buta dan tuli, terbiasa dengan kemewahan-kemewahan yang lazim mereka terima. Sekjen DPR Indra Iskandar misalnya mengeluhkan kontroversi ini; menurut dia, tidak adil jika pengadaan kalender di DPR dipersoalkan sementara di lembaga lain tidak dipermasalahkan. Dia melanjutkan, “Kalau dibilang kemahalan, coba cek harga kalender sejenis supaya fair.” Di sinilah letak keterbelakangan dan kepicikan dari perwakilan borjuasi Indonesia, yang tidak memahami bahwa hal-hal kecil ini dapat mengancam legitimasi kapitalisme secara keseluruhan. Mereka hanya bisa melihat apa yang ada di ujung hidung mereka. Para politisi borjuasi tidak memiliki wawasan ke depan bahkan demi keberlangsungan kelas dan sistem mereka sendiri, yang juga merupakan refleksi dari kebangkrutan kelas kapitalis yang hari ini hanya memikirkan kepentingan jangka pendek mereka.

Tidak hanya institusi demokrasi saja yang legitimasinya sudah cacat di mata rakyat. Aparatus negara kapitalis juga terus dirongrong skandal demi skandal. Kasus Sambo semakin mengekspos apa yang sudah diketahui dengan sangat baik oleh rakyat luas, bahwa kepolisian adalah institusi yang busuk. Bahkan banyak lembaga negara lainnya yang terlibat dalam persekongkolan untuk menutupi pembunuhan Brigadir J, seperti yang keceplosan diakui oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Mahfud mengungkapkan, Sambo sempat menghubungi sejumlah pihak, antara lain Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komnas HAM, pemimpin redaksi sebuah stasiun televisi, dan anggota DPR. “Agar orang percaya bahwa di situ terjadi tembak-menembak dan yang menembak dan membunuh itu Bharada E,” tuturnya. Mahfud MD setelah ditegur oleh atasannya telah menarik pernyataannya, dan mengatakan bahwa ini adalah “prank” Sambo.  Namun siapa yang cukup bodoh untuk tidak memahami bagaimana korupsi, kolusi, dan nepotisme bekerja di antara petinggi pemerintah yang saling melindungi. Sambo dan konco-konconya kali ini akan dikorbankan, karena kasusnya telah menarik terlalu banyak perhatian publik. Masalahnya sekarang bagi Polri, bagaimana bisa mencuci tangan mereka dari Sambo, tetapi pada saat yang sama membuat kompromi dengan Sambo agar dia tidak membongkar borok para petinggi Polri lainnya.

Kasus Sambo ini telah menjadi layaknya sinetron, jadi tontonan rakyat luas, dengan berbagai misteri dan dramanya yang berkelit-kelit. Nama Sambo pun menjadi marak sebagai panggilan polisi di jalan raya, yang menunjukkan insting rakyat: mereka semua adalah Sambo; mereka semua terlibat. Ini bukan masalah oknum satu dua, tetapi keseluruhan negara dan berbagai institusinya, termasuk media.

Hari ini, rakyat telah menerima fakta bahwa KKN adalah bagian tak terpisahkan dari pemerintah. Ada semacam kesinisan, sentimen nrimo bahwa memang demikianlah kehidupan dan politik. Tetapi kuantitas dapat berubah menjadi kualitas. Selama puluhan tahun pula rakyat nrimo KKN keluarga Cendana dan pejabat Orde Baru, sebelum akhirnya tumpah ruah ke jalan dan menumbangkan rejim Orde Baru. Skandal-skandal dan kasus-kasus KKN yang terus menggunung cepat atau lambat akan runtuh menjadi tsunami yang menghantam tatanan yang ada. Kita harus menjelaskan dengan sabar, bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan adalah bagian tak terpisahkan dari kapitalisme, dari masyarakat kelas yang meletakkan kekuasaan ekonomi dan politik di tangan minoritas kelas penguasa. Akhiri kapitalisme, akhiri masyarakat kelas, bangun demokrasi buruh, dan maka dari itu KKN pun akan berakhir. Inilah kesimpulan yang semakin hari menjadi semakin terang benderang bagi rakyat pekerja.

Serangan Baru

Pemerintah baru mempersiapkan serangan baru terhadap rakyat pekerja: kenaikan harga BBM yang mencapai 30 persen. Akibat kenaikan harga minyak bumi, anggaran subsidi dan kompensasi energi pemerintah membengkak mencapai Rp 502,4 triliun, jauh dari apa yang dianggarkan pada 2022, yakni Rp 152,5 triliun. Ini telah menciptakan defisit anggaran yang semakin membesar, yang membuat keuangan pemerintah tidak sehat, terutama setelah defisit besar yang ditanggungnya selama pandemi. Tentunya, bila berbicara mengenai subsidi untuk korporasi, tidak ada satupun politisi yang mengeluh mengenai defisit. Pemotongan subsidi BBM ini oleh karenanya adalah usaha membebankan krisis kapitalisme ke pundak rakyat pekerja.

Untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM ini, pemerintah menyatakan akan “menyalurkan bantuan sosial tambahan bagi masyarakat.” Tetapi bansos ini hanya akan menyentuh selapisan kecil rakyat pekerja, dan hanya berdampak kecil pada taraf hidup rakyat yang akan tergerus oleh kenaikan harga BBM dan inflasi yang menyusul darinya. Kenaikan harga BBM diperkirakan akan mendorong inflasi sampai di atas 7 persen pada akhir tahun. Dengan kenaikan UMK yang hampir nol persen pada tahun ini, beban rakyat pekerja telah menjadi semakin tak tertanggungkan. Ini dapat membuka bab baru dalam perjuangan kelas di Indonesia. Pemberontakan massa di Kazakhstan pada awal tahun ini juga dipicu oleh kenaikan harga BBM.

Serangan kelas penguasa tidak terbatas dalam ranah ekonomi. Pemerintah mengajukan RKUHP yang esensinya adalah memperkuat aparatus negara dalam membungkam perlawanan rakyat terhadap institusi negara. Dengan berbagai pasal karet, kebebasan demokratik untuk berpendapat dan mengkritik pemerintah semakin dicekik. Ini jelas merupakan antisipasi pemerintah terhadap prospek menajamnya perjuangan kelas. Kelas penguasa melihat di sekeliling mereka dan menarik kesimpulan yang serupa dengan kaum revolusioner: dunia hari ini penuh dengan bahan bakar perjuangan kelas yang dapat tersulut kapan pun. Tidak akan ada satupun perangkat hukum yang bisa memadamkan kobaran api perjuangan massa kelas buruh bila waktunya telah tiba. Mereka akan baik betul mengingat bagaimana bedil Orba yang berlumuran darah pun tidak mampu membendung revolusi 1998. Satu-satunya hal yang menjadi perintang bagi revolusi 1998 untuk mencapai kemenangan akhir adalah ketidaksiapan kepemimpinan dan organisasi gerakan itu sendiri. Ini benar saat itu, dan masih benar hari ini.

Perlawanan terhadap RKUHP tengah mengumpul, terutama di antara kaum mahasiswa dan lapisan liberal yang melihat ini sebagai perangkat hukum yang memutar balik pencapaian-pencapaian demokrasi yang dimenangkan oleh gerakan revolusi 1998. Gerakan kelas buruh harus mengambil kepemimpinan dalam perjuangan demokrasi, bukan hanya karena pembungkaman demokrasi ini paling menyasar gerakan buruh sebagai gerakan yang paling berpotensi menjadi revolusioner, tetapi juga karena kelas buruh adalah satu-satunya kelas revolusioner yang dapat membawa perjuangan demokrasi sampai ke kesimpulannya. Kaum liberal dalam perjuangan demokrasinya selalu ragu-ragu, ini karena mereka membatasi perjuangan mereka pada membela demokrasi borjuis dan menjaga kemaslahatan kapitalisme. Mereka selalu terikat pada norma-norma parlementerisme borjuis, dan oleh karenanya impoten. Metode-metode legalistik, seperti uji materi ke MK, selalu jadi pilihannya ketimbang aksi massa. Tetapi, pada kenyataannya, metode-metode legalistik dan parlementer ini hanyalah perangkap untuk mengalihkan perjuangan ke saluran yang aman dan meredam militansi rakyat.

Kelas buruh sesungguhnya memiliki kepentingan dan tujuan historis bukan untuk mempertahankan demokrasi borjuis (kediktatoran kapital), tetapi memperjuangkan tegaknya demokrasi buruh (kediktatoran proletariat). Demokrasi hari ini adalah demokrasi demi kediktatoran modal terhadap buruh. Kita bisa saja memenangkan reforma demokratik ini dan itu yang memberi ruang gerak bagi perjuangan, tetapi ini tidak akan mengubah esensi demokrasi borjuis. Oleh karenanya, setiap ruang demokrasi yang dimenangkan buruh bukanlah demi mempertahankan tatanan demokrasi borjuis, namun harus kita gunakan untuk mengekspos kemunafikannya, untuk terus memperluasnya sampai menghancurkan batas-batasnya yang sempit itu.

Sayap reformis dalam gerakan buruh, entah reformis kanan dan kiri, dalam menyikapi perjuangan demokrasi, tidak ubahnya kaum liberal. Pada 2020, perjuangan melawan Omnibus law diarahkan oleh kepemimpinan reformis gerakan buruh ke jalur legal. Namun, setelah diuji materi ke MK dan dinyatakan “inkonstitusional” oleh MK pun hari ini Omnibus Law masih berlaku. Bagi kelas penguasa, hukum ini hanya secarik kertas yang bisa dirobek kapan pun, dan kelas buruh harus baik-baik mengingat ini dan tidak mengidap fetisme pada hukum dan demokrasi borjuis.

Perjuangan untuk hak-hak demokrasi dapat menjadi tuntutan penting yang memobilisasi massa luas. Adalah dangkal dan bahkan merendahkan kelas buruh bila memandang kelas buruh hanya tertarik pada isu upah, BBM, dan isu-isu ekonomi lainnya. Revolusi Oktober tidak hanya memperjuangkan roti dan tanah, tetapi juga penghapusan rejim autokratik Tsar dan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa tertindas. Bila kaum Bolshevik tidak memperhatikan perjuangan demokratik, Revolusi Oktober tidak akan bisa dimenangkan. Yang membedakan kita dari kaum liberal dan reformis dalam memperjuangkan hak-hak demokratik adalah penekanan kita pada kemandirian kelas proletariat, ketidakpercayaan kita pada kaum borjuis liberal, dan tujuan akhir kita dalam menumbangkan kapitalisme dan menegakkan demokrasi buruh.

Masalah Partai Buruh

Semenjak 1965, kelas buruh Indonesia tidak memiliki partai politik yang mewakilinya. Ini telah membuat buruh menjadi semata lumbung suara untuk partai-partai politik borjuasi. Tidak hanya itu, perjuangan kelas buruh menjadi terbatas pada tuntutan ekonomi. Selepas gerakan mogok nasional pada 2012, ada dorongan besar dari akar rumput menuju ke pembentukan partai buruh massa. Namun momentum ini diredam oleh kepemimpinan buruh yang dalam banyak hal terikat oleh parpol-parpol borjuis, seturut dengan kebijakan kolaborasi kelas mereka. Taktik membonceng parpol borjuis mereka gagal total. Sebaliknya, buruh-lah yang diboncengi, dan habis manis sepah dibuang.

Pada Oktober lalu, sejumlah pemimpin serikat buruh massa mengumandangkan pendirian partai buruh. Apakah partai ini akan menjadi partai massa kelas buruh, pertanyaan ini masih belum terjawab. Partai Buruh dalam makna yang sesungguhnya, yakni partai yang memiliki ikatan historis dengan kelas buruh, terbentuk bukan semata lewat deklarasi para pemimpin buruh. Partai yang masih embrio ini masih harus memenangkan lapisan-lapisan rakyat pekerja lainnya dan ini akan ditentukan oleh proses-proses pergulatan selanjutnya. Partai ini harus menunjukkan lewat ide, program dan tindakannya bahwa ia dapat menjadi alat perjuangan rakyat pekerja. Ini yang masih harus dibuktikan.

Pada kongres pendirian Partai Buruh, Negara Kesejahteraan dinyatakan sebagai asasnya. Ketika negara kesejahteraan telah dipereteli di negeri-negeri asalnya, para pemimpin Partai Buruh justru mengadopsinya sebagai seruan perjuangan. Entah para pemimpin ini buta sejarah, atau mereka tengah mengelabui rakyat bahwa kapitalisme bisa diperbaiki untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Kapitalisme hari ini sudah tidak memungkinkan lagi terwujudnya negara kesejahteraan. Proyek negara kesejahteraan di negeri-negeri kapitalis maju terbentuk lewat serangkaian kondisi yang sudah tidak ada lagi: boom ekonomi pasca Perang Dunia Kedua dan ancaman revolusi selepas perang. Kelas penguasa terpaksa memberi remah-remah yang cukup besar untuk memastikan kestabilan. Tidak hanya itu, reforma-reforma yang signifikan ini dimenangkan lewat perjuangan gigih buruh, dengan aksi massa dan mogok yang militan.

Bila kita lihat di sekeliling kita hari ini, kapitalisme berjalan terseok-seok, dalam kondisi sekarat; hidup segan mati enggan. Tidak ada landasan ekonomi untuk reforma apapun. Tidak ada basis untuk tegaknya negara kesejahteraan. Yang ada di hadapan seluruh rakyat adalah serangan demi serangan terhadap taraf hidup mereka. Rakyat pekerja tengah dipaksa untuk membayar krisis kapitalisme. Kaum kapitalis sendiri tidak memiliki optimisme pada sistem mereka. Mereka sudah tidak lagi melakukan investasi yang diperlukan untuk mengembangkan kekuatan produksi. Mereka puas meraup untung lewat spekulasi dan judi di bursa saham, -- yang keduanya semakin dimungkinkan oleh kebijakan uang murah pemerintah -- privatisasi aset-aset publik (memereteli negara kesejahteraan), dan memeras lebih banyak keringat dan air mata buruh, dengan kerja kontrak yang tidak menentu, perpanjangan lembur tak-berbayar, dan meningkatkan intensitas kerja. Inilah mengapa belakangan ini tren quiet quitting menjadi ramai dibicarakan. Pekerja menolak bekerja melampaui jam kerja dan job description mereka, yang merupakan insting buruh yang menolak dieksploitasi. Yang diperlukan adalah mengorganisir secara kolektif sentimen quiet quitting ini lewat organisasi buruh dan aksi bersama, karena aksi individual semata tidak akan efektif melawan tekanan kapitalis.

Para pemimpin Partai Buruh hari ini hanyalah menjiplak apa yang telah mereka praktikkan dalam ranah perjuangan serikat buruh hari ini: yaitu reformisme dan kolaborasi kelas. Dan bila mereka membayangkan bahwa pembentukan partai buruh -- dan berlaganya partai ini dalam pemilu nanti -- akan menjadi jawaban atas kegagalan reformisme mereka, maka mereka sungguh keblinger. Dalam banyak kesempatan, kaum buruh telah menunjukkan militansi mereka untuk berjuang, hanya untuk dipadamkan oleh kepemimpinan mereka.

Di tengah krisis kapitalisme, satu-satunya program yang bisa memberi jalan keluar bagi rakyat pekerja adalah sosialisme. Hanya program sosialis yang dapat menginspirasi kelas buruh yang sudah muak dengan perpolitikan dan tatanan ekonomi hari ini. Memadukan program sosialis dengan keberanian untuk mengambil jalan aksi massa, Partai Buruh ini dapat berkembang dengan pesat dan menjadi organisasi perjuangan massa kelas buruh serta lapisan rakyat pekerja lainnya.

Walaupun demikian, kendati keterbatasannya -- secara ideologi maupun taktik, yang fokus pada perjuangan elektoral -- ini tidak menutup kemungkinan bahwa buruh dapat mengambil partai ini sebagai alat perjuangan mereka. Buruh dalam banyak hal sangatlah praktis. Mereka tidak akan menunggu tibanya organisasi yang sempurna. Mereka tidak bisa menunggu hadirnya Partai Bolshevik. Mereka dapat menggunakan apa yang ada di hadapan mereka, seburuk apapun itu. Di tengah memburuknya taraf hidup mereka, dan di bawah himpitan yang tak tertanggungkan dari tekanan kapitalisme, mereka dapat merenggut Partai Buruh ini untuk digunakan sebagai alat perjuangan. Kita saksikan sendiri bagaimana Partai Buruh Inggris yang selama puluhan tahun telah membusuk karena dominasi kaum Blairite mengalami transformasi dengan masuknya ratusan ribu kaum muda dan buruh, yang menjadi basis dari gerakan Jeremy Corbyn. Massa akan menempuh jalan perjuangan dengan berbagai cara, dan keniscayaan ini menjadi semakin tak tertanggungkan dengan krisis kapitalisme.

Kita harus bisa mengintervensi ketika massa bergerak. Tetapi, dan ini kuncinya, sebelum bisa mengintervensi gerakan massa ini, kita harus terlebih dahulu membangun organisasi revolusioner kita. Massa buruh cepat atau lambat akan memasuki arena perjuangan kembali, entah dalam arena industrial atau arena elektoral, entah lewat serikat buruh atau partai buruh, atau bahkan di luar semua itu. Kita harus menyiapkan organisasi revolusioner yang dapat mengintervensi ini, dan memenangkan lapisan termaju yang terdorong maju oleh gerakan. Mengintervensi proses ini dengan organisasi yang beranggotakan 10 orang akan berbeda dengan 100 orang, ataupun 1000 orang. Walaupun kita belum bisa menjadi faktor penentu yang dapat mengubah hasil perjuangan, kita bisa menjadi titik referensi bagi lapisan maju yang teradikalisasi, yang tengah mencari jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme, yang akan merasa tidak puas dengan apa yang ditawarkan oleh Kiri. Hanya dengan itu, kita bisa menyelamatkan lapisan ini dari disorientasi dan demoralisasi, yang biasa menyusul setelah surutnya gerakan massa; menyelamatkannya dan lalu menempanya dengan ideologi proletariat agar bisa menghadapi pasang naik selanjutnya dengan lebih baik, lebih terorganisir, lebih sadar kelas.

Apa yang harus kita kerjakan?

Gambaran yang semakin terang benderang di hadapan kita adalah membusuknya kapitalisme. Tetapi selama tidak ada organisasi revolusioner, maka krisis kapitalisme ini akan berkepanjangan dan menghasilkan letupan-letupan besar namun sesaat, yang mengguncang sistem ini tetapi tidak mampu menumbangkannya. Massa rakyat siap berjuang, dan mereka telah menunjukkan kesiapan mereka lagi dan lagi. Yang kurang adalah partai revolusioner yang bisa memberi mereka ide dan program untuk mencapai kemenangan akhir. Apa yang harus kita kerjakan? Jawabannya hanya satu: membangun partai revolusioner yang profesional dengan kegigihan dan fokus yang intens. Tidak boleh ada satu hal pun yang mengalihkan perhatian kita pada kerja ini.

Kerja pembangunan partai revolusioner bukan sesuatu yang bisa dilakukan di waktu senggang, atau dilakukan sesekali saat kita tidak disibukkan oleh berbagai advokasi. Kerja ini membutuhkan waktu panjang, bukan satu dua tahun saja. Kesabaran revolusioner diperlukan. Tidak ada jalan pintas.

Partai revolusioner pertama-tama adalah ide, program, metode dan tradisi, dan baru setelah itu aparatus organisasi. Maka dari itu, untuk membangun partai revolusioner diperlukan terlebih dahulu fondasi ideologi revolusioner. Kaum revolusioner harus mengemban tugas menegakkan kembali filsafat materialisme dialektika dan menggali kembali pelajaran historis gerakan proletariat dunia yang telah terkubur. Yang dibutuhkan oleh gerakan bukanlah lagi dan lagi aktivis, tetapi gagasan revolusioner. Kaum borjuasi dan para ideolog bayaran mereka memahami kenyataan ini dan mereka melakukan segalanya untuk menegakkan ideologi mereka. Mereka bisa melihat apa yang juga dilihat oleh kaum revolusioner: terdorongnya kaum muda ke arah revolusi. Tidak heran mereka mencetak begitu banyak buku yang menyajikan postmodernisme dan berbagai variannya, dan menawarkan ini kepada kaum muda yang kini tengah mencari alternatif bagi kapitalisme. Tetapi postmodernisme adalah ideologi yang penuh dengan pesimisme, seturut mood kapitalisme hari ini. Sosialisme Ilmiah sebaliknya dipenuhi dengan optimisme akan masa depan manusia yang lebih terang.

Kepemilikan pribadi dan negara-bangsa telah menjadi halangan bagi umat manusia. Krisis kapitalisme hari ini telah mengungkapkan fakta ini dengan begitu terang benderang. Perjuangan untuk mengakhiri mereka adalah satu batu loncatan penting dalam sejarah umat manusia, yang perjalanannya yang masih panjang itu. Inilah perjuangan yang kita emban hari ini, yang telah kita kobarkan selama 200 tahun terakhir.