Bagi mereka-mereka yang paham akan watak peperangan, tidaklah mengejutkan kalau Gaddafi akan dieksekusi walaupun dia tertangkap hidup-hidup. Dalam taktik perang, seorang pemimpin yang dapat menjadi simbol perjuangan harus disingkirkan sesegera mungkin untuk menghancurkan moral para pengikutnya. Kaum imperialis tahu ini dengan jelas dan pada akhirnya Konvensi Jenewa hanyalah secarik kertas untuk memuaskan segelintir kaum liberal moralis yang ingin memberikan wajah kemanusiaan pada perang dan menipu rakyat.

Tidak perlu kita meneteskan air mata untuk seorang diktatur kejam yang dibunuh oleh mantan tuannya, seperti seorang anjing gila yang dibunuh oleh pemiliknya karena sang pemilik menemukan anjing yang lebih baik dan penurut. Gaddafi harus dibunuh di tempat karena bila dia diadili maka dia akan mengekspos perjanjian-perjanjian yang telah dia buat dengan Blair, Sarkozy, Berlusconi, dan negara-negara Barat lainnya sepuluh tahun terakhir sebelum Revolusi Libya meledak. Kemunafikan rejim Barat sangatlah busuk dan mereka tidak ingin Gaddafi mengekspos ini.

Namun, kemarin, tidak saya sangka kalau saya harus mendengar keluhan dari beberapa kaum komunis aliran Maois, yang mengatakan: “Ini hari yang gelap karena kematian Gaddafi.” Sikap ini menunjukkan kalau memang ada kebingungan yang mendalam di antara kaum kiri mengenai Revolusi Libya. Di satu pihak, ada mereka yang mendukung intervensi NATO dengan alasan “kemanusiaan” dan “melindungi rakyat”. Di ujung yang lainnya, berdiri mereka yang mendukung Gaddafi dengan alasan “menentang imperialisme” dalam bentuk apapun. Walaupun berlainan, keduanya memiliki kesamaan: pragmatisme dan penyangkalan politik kelas.

Untuk bisa mengekspos kekeliruan dari kedua posisi ini, kita harus mulai dari watak rejim Gaddafi yang sesungguhnya. Ini akan menjadi pondasi yang bisa menjelaskan kompleksnya perjalanan Revolusi Libya yang mengakibatkan banyak kebingungan.

Rejim Gaddafi

Rejim Gaddafi bukanlah sebuah rejim sosialis. Kalau sosialisme berarti kediktaturan proletariat dalam politik dan ekonomi, ini sama sekali bukan fitur utama rejim Gaddafi. Tetapi rejim ini menasionalisasi mayoritas ekonomi, memberikan pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan pelayanan-pelayanan publik lainnya kepada rakyatnya, dan pemimpinnya Gaddafi menggunakan retorika anti-imperialis. Bagaimana menjelaskan ini? Ini hanya bisa dijelaskan kalau kita melihat bagaimana Gaddafi merebut kekuasaan, perimbangan kelas di Libya dan situasi politik dan ekonomi dunia.

Gaddafi merebut kekuasaan lewat sebuah kudeta militer pada tahun 1969, yang jelas dipengaruhi oleh Pan-Arabisme Nasser dari Mesir. Di bawah pemerintahan Raja Idris, Libya adalah negara terbelakang di bawah kegelapan feodalisme dan menjadi boneka imperialis. Sementara, kaum borjuis nasional Libya sangatlah lemah dan tidak mampu menyelesaikan tugas historisnya untuk menumbangkan feodalisme dan monarki. Fenomena inilah yang melempar ke depan sekelompok militer di bawah Gaddafi untuk melakukan tugas historis borjuasi ini – yakni menumbangkan monarki. Sejarah telah menunjukkan berkali-kali kalau kadang-kadang militer bisa terdorong untuk melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh kelas borjuasi karena yang belakangan ini terlalu lemah dan impoten.

Namun setelah menumbangkan feodalisme, kaum borjuasi Libya masih juga lemah dan tak berdaya – apalagi karena mereka adalah pelayan imperialisme – untuk melakukan tugas selanjutnya, yakni memodernisasi ekonomi. Negaralah yang harus melakukan ini, dengan satu-satunya cara yakni menasionalisasi perekonomian. Jadi Gaddafi melakukan nasionalisasi bukan karena ia adalah seorang sosialis yang memiliki program sosialis semenjak awal sebagai ideologinya, tetapi karena dia terdorong oleh logika situasi. Karena program nasionalisasi inilah dia berbenturan dengan negara-negara imperialis Barat: dengan Italia karena pemerintahannya menyita properti mantan penjajah Italia, dan dengan Inggris karena nasionalisasi aset-aset British Petroleum. Negara-negara Barat pun melakukan serangan balik dengan memblokade Libya, dan ini mendorong Libya untuk mencari dukungan ekonomi Uni Soviet.

Pada periode awal ini, Gaddafi menunjukkan dengan terbuka dan jelas sentimen anti komunisnya. Pada bulan Agustus 1971, Kolonel Gaddafi membantu Presiden Sudan, Jaafar Nimeiry, dalam memberantas musuh-musuh komunisnya. Pada bulan Agustus 1971, Partai Komunis Sudan melakukan pemberontakan untuk menumbangkan kediktaturan Presiden Jaafar Nimeiry. Namun pemberontakan ini berhasil ditumpas, dengan bantuan Libya dan Mesir. Pemerintahan Libya menculik sejumlah pemimpin Partai Komunis Sudan dari maskapai penerbangan Inggris yang singgah di Tripoli dan mengirim mereka ke Sudan untuk dieksekusi. Berita dari Time Magazine, tertanggal 9 Agustus 1971 menulis: “Menurut seorang Menteri Kabinet dari Libya, pemerintahan Libya dan Mesir siap mengintervensi bila konter-kudeta [dari Presiden Nimeiry] gagal.” Tentunya media borjuis tidak perlu berdusta mengenai ini, karena media AS adalah anti komunis dan senang melihat tumpahnya darah kaum komunis.

Lalu pada tahun 1973, rejim ini menerbitkan sebuah buku untuk memperingati 4 tahun berkuasanya Gaddafi, dengan judul: “Perang Suci Melawan Komunisme” yang mengatakan bahwa “ancaman terbesar yang dihadapi manusia hari ini adalah teori komunis.” Yang dianut oleh Gaddafi adalah sosialisme bernuansa Islam dan nasionalisme Arab, yakni sosialisme yang menyangkal perjuangan kelas. Ini sama seperti sosialismenya kaum sosial demokrat, yang beretorika sosialisme tetapi sangat takut dengan perjuangan kelas dan kerap menghentikan laju perjuangan buruh dengan berbagai cara. Benar saja, rejim Gaddafi melarang serikat buruh independen dan pemogokan. Ia memburu dan membunuhi kaum komunis.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, ketidakmampuan kelas borjuasi Libya untuk memajukan ekonomi memaksa pemerintahan Libya untuk menasionalisasi industri minyak, dan lewat kekayaan minyak ini Gaddafi mampu menyediakan program-program sosial. Program nasionalisasi ini ditentang oleh kaum imperialis karena properti mereka tersita, dan Gaddafi pun tampil menjadi pahlawan anti-imperialis karena dilihat oleh publik sebagai pemimpin negara kecil yang menentang kepentingan borjuasi asing besar. Pada periode inilah cukup banyak kelompok Kiri yang mendukung rejim Gaddafi karena dua aspek negara Libya tersebut: nasionalisasi dan anti-imperialisme. Bagi para revolusioner kacangan, kedua hal ini cukup untuk melempar diri mereka menjadi pendukung rejim apapun. Sementara kaum Marxis harus melihat dari mana program nasionalisasi ini lahir, untuk kepentingan siapa, kelas mana yang berkuasa, apa watak anti-imperialisme itu sesungguhnya. Ini karena Marxis melihat segala sesuatu sebagai proses, sementara kaum revolusioner kacangan melihat segalanya sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah.

Perlu disadari kalau kaum borjuasi sering melakukan program nasionalisasi ketika mereka harus menyelamatkan kapitalisme. Di Inggris, paska Perang Dunia II, pemerintahan borjuasi Inggris terpaksa menasionalisasi sektor-sektor ekonomi penting dan menjalankannya untuk kaum kapitalis karena yang belakangan ini tidak mampu membangkitkan perekonomian yang terporak-porandakan oleh Perang Dunia II. Di Jerman Nazi dan Itali Fasis, Hitler dan Mussolini juga melakukan nasionalisasi. Di Amerika juga sekarang terjadi nasionalisasi, yakni dalam bentuk bail-out kepada bank-bank yang bangkrut.

Negara-negara borjuasi pun kadang-kadang menenggelamkan diri dalam retorika anti-imperialis, karena imperialisme bukan hanya berarti penjajahan negara kecil oleh negara besar, tetapi pertentangan antar negara akibat pertentangan kepentingan ekonomi nasional. Bukankah PD I dan PD II adalah perang imperialis dimana pemain-pemain besar yang saling berperang adalah negara-negara adidaya yang saling berebut koloni dan pasar?

Anti imperialismenya Gaddafi sesungguhnya adalah imperialisme Pan Arabisme. Gaddafi tidak ingin menghilangkan imperialisme dari muka bumi. Ia ingin Libya dan negara-negara Arab lainnya kembali berjaya sebagai negara-negara adidaya. Mimpi basah Gaddafi adalah imperialisme dengan tatanan yang berbeda. Pada saat yang sama, dengan retorika anti-imperialisnya dia berhasil meraih dukungan massa yang secara insting menentang dominasi imperialisme. Karena membutuhkan bantuan dari Uni Soviet, Gaddafi pun harus mengenakan kedok anti Barat dalam percaturan politik Perang Dingin.

Kedok terungkap

Di bawah sistem ekonomi kapitalisme, reforma-reforma sosial tidak akan bisa bertahan lama. Tidak mungkin bisa selamanya mensubsidi program-program sosial tanpa menciptakan defisit di dalam anggaran negara. Pada akhirnya ada dua pilihan: melakukan konter-reforma (mengakhiri program-program sosial dan melaksanakan program neo-liberal) atau bergerak ke sistem ekonomi terencana sosialis yang sejati dengan kepemilikan dan kontrol penuh alat-alat produksi di bawah buruh. Gaddafi mengambil jalan yang pertama.

Keruntuhan Uni Soviet mendorong proses ini. Pada tahun 1993, gelombang program liberalisasi ekonomi dimulai. Sebuah dekrit diumumkan yang memperbolehkan liberalisasi perdagangan. Namun tidak serta merta langsung terjadi privatisasi besar-besaran: hanya 196 perusahaan negara diprivatisasi dan 7483 perusahaan swasta baru berdiri. Program nasionalisasi di Libya telah menciptakan satu lapisan birokrasi yang menikmati hak-hak istimewa di bawah sistem ini dan merasa posisinya akan terancam bila perusahaan-perusahaan milik negara terprivatisasi. Lapisan ini menentang program liberalisasi hanya karena mereka takut kehilangan posisi empuk mereka di perusahaan negara.

Namun logika pasar kapitalisme terus mendorong, dan pada awal 2000an, proses liberalisasi ini bergulir dengan cepat. Pada Juni 2003, Shukri Ghanem, seorang penganut pasar bebas, diangkat jadi Perdana Menteri. Dia memimpin proses privatisasi di Libya besar-besaran di Libya. 360 perusahaan milik negara akan diprivatisasi. Program liberalisasi ekonomi juga ditujukan supaya Libya bisa menjadi anggota WTO. Dari tahun 2003 hingga 2008, investasi asing langsung (FDI) meningkat dari 26 juta Dinar menjadi 1500 juta Dinar, atau peningkatan sebesar 5700% dalam kurun waktu 5 tahun. Sementara, pada tahun 2007 British Petroleum menandatangani perjanjian senilai 545 juta poundsterling untuk membor minyak Libya. Gaddafi juga meliberalisasi sistem perbankan, dimana bank-bank asing diperbolehkan membeli bank-bank lokal.

Ketika sedang mencari data mengenai program privatisasi di Libya, saya menemukan sebuah tesis doktoral S3 seorang dari Libya berjudul: “Privatization Process and Firm Performance: The Libyan Industrial Sector,” yang diselesaikannya Februari 2011. Si mahasiswa S3 ini, Abouazoum Alafi Adbourhim Aboujdiryha, dikirim ke sebuah universitas di Belanda oleh Kementerian Pendidikan Libya untuk mempelajari proses privatisasi di Libya dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah guna meningkatkan efektivititas dan efisiensi program privatisasi di Libya. Dia menulis:

“Sekarang, Libya sedang bergerak dari sebuah ekonomi berorientasi sosialis [!] ke ekonomi berorentasi pasar yang terbuka untuk kompetisi asing. Ini berarti privatisasi di Libya mengikutsertakan kebutuhan untuk menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif untuk perkembangan sektor privat.”

Begitu jujurnya teknokrat ini: rejim Libya sedang bergerak ke arah privatisasi yang terbuka untuk asing. Ekonom muda ini jelas diharapkan oleh Gaddafi untuk membantu rejim ini dalam proses privatisasi tersebut. Sekarang Gaddafi telah tiada, jangan sangka kalau sang ekonom muda akan kehilangan pekerjaan. Tidak, dia akan melanjutkan proses yang sama, sekarang di bawah pemerintahan NTC (National Transitional Council).

Abouazoum bukan satu-satunya warga Libya yang dikirim ke luar negeri oleh rejim Gaddafi untuk menjadi ekonom-ekonom yang akan memprivatisasi ekonomi Libya. Ada juga mahasiswa S3, bernama Salem Ahmed M. Abdulla Alfergani, yang dikirim ke universitas Inggris juga dengan kemurah-hatian Kementerian Pendidikan Libya, untuk mempelajari bagaimana membuat iklim bisnis yang kondusif untuk investasi asing. Tesis doktoral S3-nya, “An Empirical Analysis of Libyan Business Environment and Foreign Direct Investment,” yang terbit tahun 2010, dibuka dengan pernyataan, “Pada awal abad ke-21 Libya mengumumkan niatnya untuk meliberalisasi ekonominya dan berintegrasi ke ekonomi global [baca kapitalisme] untuk mencapai perkembangan komprehensif.”

Mereka berdua ini hanya sedikit dari banyak mahasiswa yang dikirim ke luar negeri oleh Gaddafi, karena rejim ini membutuhkan ekonom-ekonom ulung untuk menjalankan privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Dedengkot lulusan luar negeri terbesar adalah Saif al Islam, anak Gaddafi yang juga dikirim ke London School of Economics – sebuah sekolah ekonomi terkemuka di Inggris – dimana dia digelari PhD (S3) pada tahun 2008.

Selain itu, rejim Gaddafi tentunya juga menggunakan jasa ahli ekonom Barat. Tidak bisa tidak. Sepuluh tahun sebelum Gaddafi dikejar-kejar oleh serdadu anti-rejim, dia dikejar-kejar oleh bos-bos besar dan ahli-ahli ekonomi Barat yang berantrian menandatangani perjanjian-perjanjian dagang dan liberalisasi dengannya. Salah seorang guru ekonomi paling terkenal dari Amerika, Michael Porter, menjadi konsultan utama rejim ini. Artikel bertajuk “The Opening of Libya” di majalah Business Week, tertanggal 12 Maret 2007, menulis:

“Kebanyakan progres [dalam liberalisasi ekonomi Libya] adalah karena hubungan dengan profesor Sekolah Bisnis Harvard dan guru bidang kompetisi, Michael E. Porter, yang menasehati Libya melalui perusahaan konsultan dari Boston, Monitor Group. Selama dua tahun belakangan ini, lebih dari selusin konsultan dari Monitor telah bekerja di Libya, mempelajari ekonominya dan menyelenggarakan program pendidikan kepemimpinan 3-bulan yang bertujuan untuk menciptakan elit-elit pro-bisnis baru ...

“Porter dibujuk untuk mengambil pekerjaan ini oleh anaknya Gaddafi, Saif al Islam. Mahasiswa S3 London School of Economics ini adalah seorang yang menyukai jas-jas Eropa mahal dan reformasi ekonomi model Barat. Semenjak bertemu dengan Saif di beberapa jamuan makan malam, Porter telah mengunjungi Libya tiga kali dan bertemu dengan petinggi-petinggi negara, termasuk Gaddafi.”

Saif mengatakan kepada Business Week, “Kami harus beralih dari perekonomian negara ke perekonomian terbuka, tetapi tanpa kehilangan kendali.” Yang dia maksud tanpa kehilangan kendali adalah memastikan kalau Gaddafi, keluarganya, dan kroni-kroninya tetap kecipratan dan menjadi rekan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang masuk.

Proses inilah yang membangkitkan oposisi rakyat di Libya. Sosialismenya Gaddafi perlahan-lahan terekspos palsu. Banyak rakyat yang dulu percaya bahwa Libya sedang membangun sosialisme terbangunkan dari tidur mereka. Liberalisasi perekenomian Libya menyebabkan kesengsaraan di antara rakyat, memperparah tingkat pengangguran, menaikkan harga-harga sembako, mengurangi subsidi, dll. Awalnya memang Gaddafi bisa membeli ketenangan rakyat lewat subsidi sembako dan program-program sosial. Ingat Soeharto dulu dengan harga berasnya yang murah.

Pasang Naik dan Surut Revolusi

Proses, proses, dan proses. Ini yang harus selalu kita pahami untuk bisa menelusuri hutan rimba masalah revolusi Libya yang pelik ini. Marxisme adalah pisau analisa yang melihat segalanya dalam prosesnya, kelahirannya, dan kematiannya, yang berubah bentuk dari kuantitas menjadi kualitas dan berbalik kembali.

Ketika Revolusi Arab meledak di Tunisia dan Mesir, rakyat Libya juga mulai mendemo pemimpin mereka. Namun, saat itu, masih banyak rakyat yang mempunyai ilusi terhadap pemimpin mereka. Mereka masih ingat subsidi-subsidi yang diberikan Gaddafi kepada mereka, dan masih ingat betapa kejamnya dan terbelakangnya Libya di bawah feodalisme Raja Idris. Gerakan rakyat berjalan lebih perlahan dibandingkan di Tunisia dan Mesir.

Tetapi demo ini semakin hari semakin membesar. Semakin banyak rakyat yang terbangunkan. Revolusi sungguh adalah sebuah sekolah politik besar. Rejim Gaddafi semakin tidak menentu nasibnya. Kaum imperialis yang tertangkap basah tidak siap merespon revolusi di Tunisia dan Mesir, dimana mereka kehilangan kendali, tidak ingin terkejut lagi. Mereka memutuskan untuk mengambil kendali situasi di Libya. Sementara di dalam Libya sendiri, banyak bawahan Gaddafi yang juga menjadi ragu dengan nasib rejim ini, apalagi setelah melihat lengsernya Ben Ali dan Hosni Mubarak. Kalau pemimpin mereka dilengserkan, mereka tidak ingin ikut jatuh dengannya dan mungkin akan dihukum mati juga. Satu per satu mereka mulai membelot layaknya tikus-tikus yang mengungsi dari kapal karam.

Sejumlah kaum Kiri mengatakan bahwa dari awalnya tidak ada gerakan rakyat. Kaum imperialislah yang mengorkestra segalanya dari awal. Namun ini tidak bisa menjelaskan periode satu dekade sebelumnya, ketika kaum imperialis begitu mesranya dengan Gaddafi, dan juga sebaliknya. Tidak ada alasan bagi kaum imperialis untuk menumbangkan sebuah rejim yang sudah begitu terbuka untuk membiarkan negaranya dijajah secara ekonomi melalui program privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Satu-satunya alasan mengapa kaum imperialis akhirnya memutuskan untuk mengintervensi dan menumbangkan Gaddafi adalah meledaknya Revolusi Arab yang menjangkiti rakyat Libya.

Bila rakyat Libya berhasil menumbangkan Gaddafi dengan kekuatan dan kepemimpinan mereka sendiri, walhasil kepentingan asing akan terancam. Bisa-bisa program privatisasi dan liberalisasi akan dibatalkan oleh pemerintahan yang baru ini karena banyak perjanjian dagang antara Gaddafi dan perusahaan-perusahaan asing yang sarat KKN. Melihat kemungkinan ini, yang semakin hari semakin riil, kaum imperialis mencari kuda tunggangan baru, yakni para bawahan Gaddafi yang membelot. Biarlah Gaddafi kita tumbangkan, asal kita tetap ada di pucuk kepemimpinan dan memastikan laju privatisasi. Dengan jaminan dukungan negara-negara Barat, para pembelot semakin yakin untuk mencampakkan pemimpin mereka, Gaddafi. Sementara di lain pihak, dengan adanya pembelot-pembelot dari pemerintahan Gaddafi, yang juga adalah orang-orang utama dalam proses liberalisasi ekonomi Libya, kaum imperialis menjadi semakin yakin juga untuk meninggalkan Gaddafi. Terjadilah perkawinan haram antara kedua pihak ini, atau lebih tepatnya kontrak politik baru antara majikan dan pesuruh.

Dukungan asing terhadap pihak revolusi ini membuat banyak rakyat kebingungan. Naluri anti-imperialis mereka langsung menyala, dan ini semakin membelah rakyat. Perdebatan sengit juga terjadi di kubu revolusi: menerima atau tidak menerima dukungan asing. Yang menolak menerima menjelaskan bahwa dukungan asing ini justru akan melemahkan revolusi; revolusi harus mengandalkan kekuatan rakyat dan bukan kekuatan asing yang nota-bene sebelumnya seranjang dengan Gaddafi juga. Sementara yang mendukung intervensi asing – yakni sayap kanan revolusi – berargumen bahwa ini adalah untuk menyelamatkan revolusi, kita akan kalah tanpa bantuan asing, dll. Sayap kanan revolusi ini, yang dipimpin oleh mantan-mantan bawahan Gaddafi yang membelot, memenangkan perseteruan ini karena mereka lebih terorganisir, dan juga kaum imperialis lebih terorganisasi. Keabsenan partai revolusioner yang terorganisir di sini merupakan kelemahan yang fatal.

Benar juga. Intervensi asing membuat sebagian rakyat yang awalnya bersimpati pada revolusi menyebrang mendukung Gaddafi. Mereka tidak mempercayai kaum imperialis. Serangan NATO dilihat sebagai penjajahan. Lebih baik mati lapar di bahwa rejim Gaddafi daripada mati dijajah kulit putih, begitu pikir mereka Revolusipun melemah secara signifikan. Apa yang ia raih dalam kekuatan militer harus ia bayar secara politik. Kubu revolusi sekarang terlihat sebagai agen kaki tangan imperialis oleh sebagian rakyat. Perang saudara pun terjadi, dengan kekuatan yang berimbang. Gaddafi mampu menggunakan sentimen anti imperialis untuk meraup dukungan jutaan rakyat kota Tripoli.

Namun sekali lagi, proses, proses, dan proses. Dukungan yang dapat direnggut oleh Gaddafi akibat intervensi asing perlahan-lahan luntur. Setelah kabut dan debu tersingkir, semakin banyak rakyat yang sadar bahwa secara fundamental tidak ada perbedaan antara rejim Gaddafi dan rejim NTC. Pemimpin-pemimpin NTC adalah orang-orang lama juga, dengan program liberalisasi dan privatisasi yang sama. Semakin banyak orang yang jatuh ke dalam apatisme. Para serdadu Gaddafi juga kehilangan semangat dan banyak yang meninggalkan medan perang. Dan akhirnya kubu anti-Gaddafi berhasil masuk ke Tripoli tanpa perlawanan berarti. Dimana jutaan rakyat yang sebelumnya berdemo mendukung Gaddafi di Tripoli? Selain retorika-retorika anti-imperialis, Gaddafi tidak bisa memberikan apa-apa lagi kepada rakyat, karena semua sudah dia gadai – atau akan gadai – ke pihak asing sepuluh tahun terakhir. Tripoli pun jatuh seperti rumah kartu.

Kaum liberal dan pasifisme mereka

“Demi menyelamatkan rakyat Libya,” begitu koar kaum pasifis liberal yang mendukung serangan udara NATO. Kaum pasifis liberal, pada momen-momen yang penting, adalah pelayan imperialisme yang paling setia. Dalam kesehari-hariannya, kaum pasifis menebarkan oposisi mereka terhadap peperangan. Dengan seminar-seminar dan buku-buku mereka, mereka mengutuk kekejamam perang. “Jangan lagi terjadi,” teriak mereka dengan mata berkaca-kaca. Mereka menginginkan kapitalisme tanpa peperangan.

Mereka menolak menumbangkan kapitalisme, dan oleh karenanya terjebak dalam posisi sulit ketika kapitalisme harus mengobarkan peperangan. Akhirnya kaum pasifis pun harus mengadopsi propaganda kapitalis: mengobarkan peperangan demi perdamaian. Mereka menjadi agen kapitalisme yang paling efektif. Rakyat yang melihat kaum pasifis yang mendukung perang lantas berpikir: “Kalau para pasifis saja – yakni para tuan nyonya pembela perdamaian – mendukung perang ini, berarti perang ini adalah perang yang baik, perang yang benar, perang untuk perdamaian.” Disinilah fungsi kaum pasifis liberal yang sebenarnya, menjadi salesmen dan salesgirls ulung imperialisme, menjual peperangan sebagai perdamaian. Karena mereka tidak memiliki perspektif revolusioner untuk menumbangkan akar dari peperangan, yakni kapitalisme, mereka tak ayal menjadi pelayan imperialisme.

Dalam episode Revolusi Libya ini, kaum pasifis liberal dari berbagai macam aliran mendukung intervensi NATO. Mereka yang semenjak awal tidak mempercayai rakyat sebagai agen sejati perubahan memohon pada kaum imperialis untuk membantu rakyat Libya yang menurut mereka tak berdaya.

Tugas kaum revolusioner adalah menentang intervensi oleh kekuatan borjuasi asing. Satu-satunya bentuk intervensi yang diperbolehkah adalah intervensi oleh kelas buruh dengan metode aksi massa. Rakyat Libya tidak memerlukan bantuan borjuasi asing untuk melawan rejim Gaddafi. Mempercayai kekuatan rakyat, di Libya dan di negeri sendiri, adalah sebuah perjuangan yang penting, apalagi di tengah pesimisme yang terus ditiupkan oleh kelas borjuasi.

“Tetapi kita harus membantu rakyat Libya yang dibantai oleh Gaddafi,” rengek kaum pasifis. Yah saudara-saudara kelas kita di Libya harus dibantu, tetapi dengan metode kita sendiri, dengan kekuatan kita sendiri, dan bukan bersandar pada pemerintahan borjuasi kita, PBB, ataupun NATO. Semisal, kaum buruh bisa menggalang dana sendiri dan mengirim dana ini ke pejuang-pejuang di Libya. Bahkan kalau memang perlu, membentuk Brigade Internasional seperti yang dilakukan oleh partai-partai komunis dunia ketika Revolusi Spanyol 1936-39 meledak, dimana puluhan ribu kaum proletar dari manca negara berangkat ke Spanyol untuk membantu melawan Jendral Franco. Kaum buruh di negara-negara Barat juga harus terus mengekspos kemunafikan pemerintahan mereka yang belum lama yang lalu bermesraan dengan Gaddafi; dan ini akan menjadi alat propaganda yang kuat untuk melemahkan basis dukungan Gaddafi di antara rakyat yang masih terbuai oleh retorika anti imperialisnya. Dengan koran kita, dengan demo-demo, kita ekspos kemunafikan dan tipu daya negara-negara imperalis. Bila kita bisa menunjukkan kepada rakyat Libya bahwa kita sendiri saja tidak percaya pada pemerintahan kita untuk bisa membantu perjuangan Libya, maka mereka pun akan berpikir dua kali sebelum meminta bantuan pemerintahan borjuasi ini.

Metode aksi massa yang mandiri juga membedakan kaum revolusioner dari kaum liberal yang memilih bersandar pada pemerintah borjuasi dan menggunakan metode manuver-manuver pragmatis. Metode perjuangan buruh, metode kelas, tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Tetapi tidak ada jalan lain, tidak ada jalan pintas. Kita gunakan metode ini karena metode-metode aksi massa membangun daya juang rakyat untuk menumbangkan kapitalisme. Bagi kaum liberal yang sudah menerima kapitalisme sebagai sistem yang abadi, mereka sudah tidak punya tujuan akhir perjuangan, dan metode apapun mereka gunakan asal pragmatis di mata mereka.

Kaum Ultra Kiri dan Anti Imperialisme Mereka yang Cetek

Di seberang yang lain, berdiri mereka-mereka – kaum ultra-kiri – yang bukan hanya menentang intervensi NATO, tetapi bahkan sampai mendukung rejim Gaddafi secara terbuka. Penjelasan saya di atas sudah cukup untuk memberikan alasan bahwa rejim ini bukanlah rejim pro-rakyat, apalagi sosialis, dan oleh karenanya tidak patut dielu-elukan.

Argumen mereka bisa disimpulkan seperti ini: imperialisme adalah kekuatan yang paling berbahaya sekarang, maka kita harus mendukung semua negara yang menjadi korban negara-negara imperialis Barat. Kekalahan imperialis Barat adalah pukulan telak bagi imperialisme, dan maka segala bentuk perlawanan terhadap imperialisme Barat, tidak peduli datang dari mana, adalah sesuatu yang harus didukung.

Masalah dasar dari argumen semacam ini adalah pemahamannya mengenai imperialisme yang cetek. Bagi mereka, imperialisme adalah penindasan negara-negara kecil oleh negara-negara besar. Oleh karenanya, kalau ada negara kecil yang diserang oleh negara besar, maka ia harus didukung sepenuhnya terlepas analisa kelas apapun. Dalam banyak kasus di dalam sejarah, ini telah melahirkan berbagai kebijakan yang kalau dipikir sekarang akan membuat kita agak pangling. Pada saat Perang Dunia I, kaum sosial demokrat beramai-ramai mendukung pemerintahan borjuasi mereka ketika Jerman mengobarkan perang. Lalu terulang lagi di Perang Dunia II, dimana sekarang kaum Stalinis mendukung pemerintahan borjuasi negara-negara Barat untuk menaklukkan imperialisme Nazi Jerman. Intinya, kalau pemahaman imperialisme hanya berarti membela negara sendiri (atau negara orang lain) dari serangan atau dominasi negara lain, maka ini pada kenyataannya adalah pemahaman imperialisme kaum liberal.

Imperialisme, dalam pengertian yang lengkap, adalah sebuah tahapan dari perkembangan kapitalisme dimana monopoli kapitalis menjadi karakter yang dominan. Monopoli, yang lahir dari kompetisi bebas, tidak serta-merta menghilangkan dengan sepenuhnya kompetisi bebas, tetapi eksis di atasnya dan oleh karenanya menimbulkan kontradiksi-kontradiksi yang akut di dalam kapitalisme. Lenin menjabarkan lima karakter utama dari imperialisme:

1. Konsentrasi produksi dan kapital yang telah berkembang sedemikian rupa sehingga menciptakan monopoli-monopoli,

2. Merger antara kapital perbankan dengan kapital industri, yang menjadi kapital finansial.

3. Ekspor kapital menjadi lebih penting daripada ekspor komoditi

4. Pembentukan perusahaan-perusahaan kapitalis internasional yang membagi dunia di antara mereka sendiri

5. Pembagian teritori dunia di antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar telah selesai, dan yang terjadi sekarang hanyalah pembagian ulang (redivision)

Yang belakangan ini yang penting, bahwa selalu terjadi pembagian ulang dunia di antara kapitalis-kapitalis besar. Ini adalah sebuah proses yang terjadi terus menerus; negara-negara kapitalis tak henti-hentinya berproses, bersaing, jatuh dan bangun, layaknya perusahaan-perusahaan di dalam kapitalisme.

Pada jaman sekarang, pemahaman imperialisme yang cetek berarti membela rejim manapun yang menentang Barat. Di sejumlah kalangan Kiri di Indonesia, ini sampai mengelu-elukan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai kekuatan anti imperialis. Padahal, BRICS sendiri adalah imperialis, dalam arti mereka juga melakukan penjajahan ekonomi terhadap negara-negara yang lebih miskin. Benua Afrika sudah jadi jajahan ekonomi Cina, Rusia, dan Afrika Selatan. Brazil juga sudah jadi negara imperialis dengan investasi asing mereka yang di negeri-negeri Amerika Latin. Bagi rakyat Nepal, India adalah kekuatan imperialis.

Jadi imperialisme bukan hanya mengenai penjajahan yang dilakukan negara-negara ‘besar’ terhadap negara-negara ‘kecil’, karena besar kecil itu relatif, dan ukuran besar kecil itu terus berubah. Tentunya sebagai kaum revolusioner, kita membela rakyat pekerja yang terdominasi oleh kekuatan asing. Kata kuncinya di sini adalah rakyat pekerja.

Dalam kasus Gaddafi, sudah terbukti jelas kalau retorika anti-imperialisnya adalah kosong, hampa, dan tidak revolusioner. Anti imperialismenya berkarakter borjuis. Dalam sepuluh tahun terakhir, dia dan keluarganya tidak malu-malu berselingkuh dengan korporasi-korporasi multi-nasional. Menutup mata terhadap ini adalah sebuah kejahatan besar.

Kaum Maois yang saya temui disini membalas, “Libya di bawah dominasi imperialis akan lebih parah daripada di bawah Gaddafi.” Ini menutup mata kalau Gaddafi sendiri sudah menjual Libya ke kekuatan asing, sebelum tuan-tuannya memutuskan untuk menyingkirkan dia karena ledakan Revolusi Arab yang tidak mereka duga.

Lantas apa?

Akhirnya, pertanyaan yang mencuat: kalau tidak mendukung intervensi NATO dan tidak mendukung Gaddafi, lantas apa yang bisa kita lakukan secara konkrit? Bersembunyi di belakang kata “konkrit”, pertanyaan ini sesungguhnya merefleksikan sentimen keputus-asaan dan tidak percaya diri. Satu-satunya hal yang konkrit bagi kaum revolusioner adalah bagaimana menumbangkan kapitalisme untuk selama-lamanya dan membawa kemenangan sosialisme. Pertimbangan-pertimbangan setengah jalan tidak akan membebaskan manusia dari jerat kapitalisme dan imperialisme.

Untuk mencapai ini, kelas buruh harus percaya pada dirinya sendiri. Ini berarti menentang intervensi asing, dan melawan Gaddafi dengan kekuatannya sendiri. Kaum buruh pun harus sadar kelas, bahwa rejim Gaddafi bukanlah pemerintahan buruh. Mereka harus mampu menembus kabut retorika anti-imperialis Gaddafi yang berpuluh-puluh tahun telah membutakan mereka. Kita yang di Indonesia tidak membantu sama sekali kalau kita justru mendukung intervensi NATO atau mendukung dan mengelu-elukan rejim Gaddafi sebagai rejim anti imperialis.

Tugas kita jelas: menentang intervensi asing dan menyerukan dengan lantang kepada saudara-saudari kelas kita di Libya: “Wahai rakyat pekerja Libya, hanya kalian sendirilah yang mampu menyelesaikan revolusi ini hingga akhir.”

Hanya Babak Pertama

Revolusi Libya belumlah selesai. Jatuhnya Gaddafi hanyalah babak pertama. Babak kedua telah dimulai. Berbagai kepentingan sekarang bermain di belakang layar, mencoba menjaga kue-kue jarahan mereka dan menelikung revolusi ini. Rakyat Libya yang sekarang bersenjata adalah kekuatan yang berbahaya bagi para pemimpin NTC dan tuan-tuan mereka. Terorganisir ke dalam berbagai unit milisi bersenjata, akan sulit bagi para pemimpin NTC untuk melucuti mereka.

Sekarang Gaddafi telah ditumpas, kelompok anti-Gaddafi akan pecah ke dalam kelas. Rakyat yang berjuang dan NTC/NATO, walaupun sama-sama bertujuan menumbangkan Gaddafi, punya motivasi kelas yang berbeda dan ini akan menjadi semakin jelas sekarang. Lingkaran-lingkaran penguasa akan mencoba mengaburkan garis kelas ini dengan pertentangan-pertentangan sekte dan klan.

Revolusi Libya pun adalah bagian dari Revolusi Arab, yang masih bergulir di Tunisia, Mesir, dan Suria. Nasib Libya terikat dengan Revolusi Arab, yang masih jauh dari selesai. Banyak pelajaran yang sudah diambil oleh massa Arab dalam enam bulan terakhir ini. Tapi bila ada satu pelajaran yang paling krusial, itu adalah perlunya membangun partai revolusioner yang dipersiapkan sejak dini untuk merebut kekuasaan bila waktunya tiba.

22 Oktober 2011