Kamis Pagi, 25 Juli 2013, Muhammad Brahmi, anggota Majelis Konstituen Tunisia dari sayap kiri Nasserite, mati dibunuh di luar rumahnya di Tunis. Suatu demonstrasi pemogokan massa diserukan oleh serikat UGTT, sementara Front Rakyat (Popular Front) menyerukan pembangkangan sipil massa untuk menggulingkan pemerintahan dan membubarkan Majelis Konstituen.

Pembunuhan terhadap Brahmi, seorang anggota sekaligus salah satu pimpinan Gerakan Rakyat, organisasi Nasseris, merupakan pembunuhan dengan modus operandi yang sama dengan pembunuhan terhadap Chokri Belaïd pada 6 Februari 2013. Dua pria bersepedamotor menunggu di depan rumahnya dan menembakkan 14 peluru ke tubuh anggota Majelis Konstituen ini. Tak ada keraguan lagi bahwa ini merupakan pembunuhan bermotif politik dan keluarga Brahmi serta kawan-kawannya telah menudingkan jari mereka ke partai Islamis Ennahda yang berkuasa, sebagai pihak yang bersalah atas pembunuhan ini. Ini adalah tuduhan sama yang dibuat saat pembunuhan Belaïd, yang mana para pembunuhnya juga belum diseret ke pengadilan. Pembunuhan demikian diawali dengan pernyataan-pernyataan para pimpinan Ennahda yang menyatakan bahwa mereka akan mempertahankan “legitimasi” hingga titik darah penghabisan. Ini jelas-jelas merupakan hasutan untuk memicu kekerasan akibat penggulingan Morsi yang terjadi di Mesir.

Demonstrasi massa yang marah seketika muncul di seluruh negeri. Awalnya ratusan kemudian berkembang jadi ribuan orang, khususnya pemuda yang sangat marah, berkumpul di Jalan Raya Bourghiba, tempat demonstrasi raksasa yang menggulingkan Ben Ali pada tahun 2011 lalu. Aksi ini kemudian ditindas aparat kepolisian dengan gas air mata dan represi brutal. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat kaum demonstran yang bersikukuh terus turun ke jalan hingga dini hari Jumat, sebagian diantaranya berbaris menuju Majelis Konstituen Nasional sambil meneriakkan “degage” atau “keluar!”, yang merupakan slogan Revolusi Tunisia.

Terdapat demonstrasi-demonstrasi dan bentrokan-bentrokan dengan aparat kepolisian di Bizerte, Gafsa (dimana militer menembakkan peluru tajam), Redeyef, Siliana, Sfax, Djerba, Beja, Kasserine, dan banyak kota-kota lainnya. Di Sidi Bouzid, tempat kelahiran Brahmi, dimana revolusi dimulai pada Desember 2010, massa membakar kantor-kantor Enhahdan dan gedung pemerintah. Ada laporan-laporan juga bahwa otoritas sudah digantikan dengan “komite warga”.

Pemuda berpartisipasi dalam protes di ibukota Tunis mengumumkan bahwa kelompok-kelompok pemuda revolusioner dari Gafsa, Sidi Bouzid, dan Sfax sudah siap bergerak ke ibukota. “Kami tidak akan pergi sampai Ghannouchi pergi dan tak kembali” kata Muhammad Maaroufi, salah satu pimpinan aktivis pemuda yang mengecam pimpinan partai Ennahda yang berkuasa. Sentimen yang berkembang jelas merupakan sentimen insureksional. Peristiwa-peristiwa revolusioner baru-baru ini di Mesir yang berujung pada penggulingan Morsi telah menangkap imajinasi massa Tunisia yang menghadapi kondisi-kondisi serupa. Gerakan “tamarrod” (pemberontakan) Tunisia telah diciptakan dan mengklaim telah berhasil mengumpulkan 850.000 tanda tangan hanya dalam beberapa hari melalui petisi menuntut penggulingan pemerintah dan Majelis Nasional.

Akar peristiwa ini bisa ditemukan di penumpukan kemarahan akibat tak satupun tuntutan revolusi (roti, kerja, keadilan) yang dipenuhi dan kenyataannya situasi malah semakin memburuk. Jumlah pemuda yang terkena pengangguran semakin meningkat dan terdapat kemerosotan situasi ekonomi serta inflasi yang semakin tinggi. Tidak ada keadilan sama sekali bagi para martir revolusi dan kini setelah dua tahun hampir lewat, Majelis Konstituen bahkan belum menghasilkan sebuah Konstitusi padahal seharusnya satu konstitusi dirumuskan dalam satu tahun.

Pemerintahan Troika, aliansi Ennahda Islamis dengan kaum borjuasi liberal CPR dan kaum “Sosial-Demokratis” Ettakol sepenuhnya tidak mampu menangani bahkan lumpuh di hadapan krisis ekonomi yang mendalam.

Ketidakpuasan inilah yang naik ke permukaan melalui rangkaian-rangkaian interval dalam dua tahun belakangan. Suatu gelombang pemogokan massa regional dan perlawanan-perlawanan pada November-Desember. Hal-hal demikian bukanlah sekedar pemogokan-pemogokan biasa. Dalam banyak kasus, aksi-aksi pemogokan tersebut memiliki proporsi-proporsi insureksioner dimana kaum pekerja dan pemuda memblokade jalan-jalan utama dan pada dasarnya mengambil alih kekuasaan selama beberapa kurun waktu di daerah-daerah yang berbeda. Sebagaimana tuntutan sosial dan ekonominya, massa juga marah terhadap provokasi dan hasutan terus menerus yang datang dari gang-gang fasis Islamis terhadap kaum kiri dan gerakan pekerja, termasuk serangan terhadap markas UGTT. Serangan-serangan ini dijalankan oleh gerombolan yang mengaku sebagai “Liga Perlindungan Revolusi” yang memiliki hubungan dengan partai Ennahda yang berkuasa.

Akhirnya gerakan ini memaksa UGTT untuk menyerukan pemogokan massa skala nasional. Namun para pimpinan nasional UGTT takut bahwa pemogokan nasional akan mengajukan pertanyaan “siapa yang menguasai negeri”? Para pimpinan demikian karena itu telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah dan membatalkan pemogokan massa di menit-menit terakhir. Kesepakatan ini dimaksudkan dengan prasyarat agar pemerintah mau melaksanakan investigasi penuh terhadap aktivitas-aktivitas geng LPR. Namun investigasi ini tak pernah terjadi.

Lalu pada 6 Februari 2013, terjadilah pembunuhan terhadap Chokri Belaïd, pimpinan Persatuan Gerakan Patriot Demokratis, yang memicu ledakan revolusioner baru. Pemogokan massa dideklarasikan dan muncullah demonstrasi dan bentrokan dengan aparat kepolisian dimana-mana. Pemakaman Chokri Belaïd sendiri menarik massa hingga sebanyak satu juta orang yang berduka dan mengenang pimpinan sayap kiri ini serta meneriakkan slogan-slogan melawan troika penguasa dan khususnya Ennahda Islamis. Sedangkan di beberapa kota lainnya, massa mengambil aksi langsung untuk membubarkan geng-geng LPR dan menutup kantor-kantor mereka serta membakar kantor-kantor Ennahda. Sentimen massa jelas merupakan sentimen insureksioner.

Bagaimanapun juga, sekali lagi, tak ada yang memberikan perspektif jelas pada gerakan demikian. Para pimpinan Front Rakyat bicara tentang menyingkirkan pemerintahan troika namun tidak ada indikasi jelas kapan hal ini akan dilakukan. Massa, tanpa kepemimpinan dan perspektif yang jelas pada akhirnya pulang ke rumah saat gerakan padam. Saat itu seruannya seharusnya merupakan lanjutkan pemogokan massa di seluruh negeri dan bentuk komite-komite revolusioner di semua tingkat untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah. Komite-komite demikian perlu dikumpulkan dan dipertemukan dalam suatu majelis revolusioner nasional untuk merebut kekuasaan.

Namun karena kurangnya kepemimpinan, troika, yang memasuki krisis ini akibat gerakan, berhasil mempertahankan kekuasaannya. Mereka terus berdiri dan membentuk pemerintahan baru yang pada dasarnya sama saja dengan pemerintahan sebelumnya. Tak ada yang berubah.

Kini para pimpinan UGTT terpaksa menyerukan pemogokan massa hari ini, Jumat 26 Juli 2013. Masalahnya, para pimpinan utama UGTT tidak punya perspektif untuk merebut kekuasaan dan membentuk pemerintahan revolusioner rakyat pekerja. Mereka meletakkan diri mereka sebagai kepala pemogokan massa, yang akan terjadi bagaimanapun juga, demi meminimalisir dampak dan demi mengendalikan massa. Pagi ini saat massa berkumpul di luar markas UGTT, sekretaris Jenderal Abbasi keluar untuk menyambut mereka. Meskipun dia mengecam pembunuhan Brahmi, dia gagal memberikan arahan yang jelas pada massa, bahkan dia tidak menyebutkan dimana dan jam berapa demonstrasi akan dilangsungkan. Seorang aktivis yang hadir dalam peristiwa tersebut bahkan berkomentar betapa “massa bisa merasakan pengkhianatan”.

Front Rakyat mengeluarkan pernyataan yang bahkan memberikan arahan lebih jauh daripada yang dilakukannya di Februari dalam menunjukkan jalan bagi gerakan. Selain menyerukan pemogokan massa hari ini dan esok (hari pemakaman Brahmi), mereka juga menyerukan pembangkangan sipil massa “untuk memaksakan pembubaran Majelis Konstituen Nasional”. Lebih lanjut mereka menyerukan untuk melakukan aksi pendudukan di markas-markas otoritas perkotaan, regional, dan nasional. Ini merupakan tindakan yang tepat dan akan menciptakan basis bagi penggulingan institusi negara kapitalis (yang pada dasarnya masih sama meskipun rezim Ben Ali telah digulingkan) dan digantikan dengan badan-badan revolusioner di seluruh tingkatan.

Pemogokan massa dua hari adalah slogan yang tepat namun menyisakan pertanyaan apa yang akan terjadi sejak hari Minggu bilamana pemerintah tidak jatuh. Apa yang kini harus diserukan adalah pemogokan massa sepenuhnya untuk mengiringi dan memperkuat aksi-aksi pendudukan untuk menggulingkan rezim penguasa.

Perlu ditambahkan bahwa dalam kondisi saat ini komite-komite revolusioner perlu mengorganisir pertahanan diri bersenjata dan membubarkan geng-geng fasis LPR serta menghimbau pada prajurit-prajurit Militer untuk membentuk komite-komite revolusioner pula dan menghubungkan diri dengan kaum pekerja dan pemuda revolusioner.

Namun, apa alternatif yang ditawarkan para pimpinan Front Rakyat? Apa yang mereka tawarkan untuk diperjuangkan massa? Disinilah masalahnya dimulai. Mengutip pernyataan mereka, mereka menyerukan:

“Pembentukan Komisi Nasional Agung untuk Keselamatan Nasional dengan perwakilan dari semua partai politik dan komponen-komponen masyarakat sipil yang akan membantu menuntaskan perumusan konstitusi dengan bantuan dari para pakar hukum konstitusi.”

Begitu pula:

“Pembentukan pemerintahan keselamatan nasional”…”yang dikepalai oleh tokoh nasional independen” yang bisa “menangani dan menerapkan langkah-langkah darurat dalam ekonomi, sosial, politis, dan keamanan, serta menyiapkan pemilihan umum yang demokratis, adil, dan transparan.”

Hal ini mengungkap dua hal. Satu adalah fakta bahwa para pimpinan organisasi-organisasi Front Rakyat, dipengaruhi ilusi-ilusi tinggi terhadap konstitusionalitas borjuis. Mereka menuntut suatu konstitusi yang dirumuskan oleh para perwakilan dari “partai-partai politik dan komponen-komponen masyarakat sipil”. Namun siapa yang memilih mereka itu?  Kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat, partai-partai politik, serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi majikan, yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan kontradiktif dari kelas-kelas sosial yang berbeda dalam masyarakat. Bagaimana mereka bisa menyetujui suatu konstitusi yang memuaskan tuntutan semuanya. Tindakan ini menaburkan ilusi-ilusi berbahaya pada konstitusionalisme borjuis dan demokrasi borjuis.

Ketika apa yang diperlukan bagi kaum pekerja dan pemuda revolusioner adalah merebut kekuasaan baik secara politik maupun ekonomi, para pimpinan Front Rakyat malah menuntut pemerintahan teknokrat yang dikepalai “oleh tokoh nasional independen”! Independen dari mana? Tunisia adalah negara kapitalis yang tengah berada dalam krisis. Suatu negara yang terbelah dalam kelas-kelas. Kepentingan kelas pekerja, kaum tani, kaum miskin, dan pemuda revolusioner jelas tidak sama dengan kepentingan kelas kapitalis, kroni-kroni Ben Ali, kapitalis Ennahda dan kaum borjuis liberal. Kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok ini jelas bertentangan satu sama lain. Bagaimana bisa kita menemukan tokoh “independen” yang memuaskan kepentingan pekerja dan kepentingan kapitalis sekaligus?

Hal lain yang juga terungkap oleh pernyataan ini adalah kenyataan dimana para pimpinan Front Rakyat masih memeluk erat strategi revolusi dua tahap. Mereka pikir bahwa tugas mendesak revolusi Tunisia adalah mendirikan “demokrasi” dan baru kemudian masalah sosialisme bisa diajukan. Permasalahannya adalah kebutuhan-kebutuhan mendesak massa revolusioner Tunisia tidak bisa dipenuhi dalam batasan-batasan “demokrasi”, yang kenyataannya adalah demokrasi borjuis. Apa yang menjadi permasalahan selama dua setengah tahun ini yang menciptakan arus bawah oposisi di antara massa? Apa ini akibat pemerintah troika “tidak kompeten”? Kebenarannya adalah apapun kekurangan pemerintah dan perilaku konyol Majelis Konstituen, masalah utamanya adalah krisis akut kapitalisme di Tunisia, yang diperparah dengan krisis kapitalisme di Eropa dan di tataran internasional.

Massa tidak berjuang untuk demokrasi secara abstrak. Mereka berjuang melawan rezim Ben Ali agar mereka bisa mendapatkan roti dan pekerjaan. Dari sudut pandang kaum pekerja dan kaum miskin, demokrasi hanya memiliki arti bila mampu menyediakan roti dan pekerjaan. “Demokrasi” kapitalis sepenuhnya tidak mampu melakukannya dalam kondisi terkini di Tunisia.

Strategi revolusioner yang diperlukan di Tunisia hari ini adalah strategi yang menggabungkan tuntutan demokratis, sosial, dan ekonomi serta menghubungkan pemenuhan-pemenuhan tuntutan demikian dengan perebutan kekuasaan oleh kelas pekerja dan melalui komite-komite revolusioner demokratis.

Hal ini akan menjadi jalan terbaik dalam menghargai ingatan kita terhadap martir Brahmi dan Belaïd sebagaimana pula ingatan kita terhadap ratusan pekerja dan pemuda yang gugur sebagai martir selama revolusi.

  • Jatuhkan Troika! Jatuhkan Majelis Konstituen!
  • Sita semua perusahaan multinasional! Sita semua kekayaan keluarga Ben Ali dan kroni-kroninya! Rebut alat-alat produksi!
  • Bentuk komite revolusioner dimana-mana! Semua kekuasaan untuk majelis revolusioner yang terdiri dari delegasi pekerja, petani, dan prajurit!
  • Pemogokan massa sepenuhnya untuk gulingkan rezim!
  • Hormati para martir – Tuntaskan revolusi!