Kudeta istana telah terjadi di Paraguay. Sabtu, 23 Juni 2012, parlemen Paraguay menggulingkan Fernando Lugo, presiden yang terpilih secara demokratis. Parlemen yang didominasi oleh wakil-wakil oligarki Paraguay itu menilai bahwa Lugo telah gagal memenuhi kewajibannya dalam memelihara tertib sosial. 

Khas adab dan fatsun burjuis, kudeta itu menempuh jalur yang konstitusional. Dasarnya “jelas.” Konstitusi Paraguay pasal 225 mengizinkan pemakzulan bila presiden dinilai menyalahgunakan jabatan atau melakukan kejahatan. Wakil-wakil oligarki menggunakan pasal itu pasca insiden berdarah konflik agraria 15 Juni, yang menewaskan 6 orang polisi dan 11 orang petani. Melalui pemungutan suara, parlemen menggulingkan Lugo dengan 39 suara pro dan 4 suara kontra. Benar-benar konstitusional!

Tapi justru di sinilah letak persoalannya. Bagi kita kaum Sosialis, “prosedur yang benar-benar konstitusional” hanyalah salah satu dari sekian banyak cara yang bisa digunakan burjuasi dan imperialis untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dalam kasus Lugo, mereka bisa menggunakan prosedur yang konstitusional. Ini kena-mengena dengan perimbangan kekuatan di parlemen. Tapi dalam kasus yang berbeda, mereka tidak segan-segan menggunakan cara yang lain – bahkan cara yang paling biadab sekalipun.

Tentu kita belum lupa percobaan-percobaan kudeta terhadap Rafael Correa di Ekuador, Evo Morales di Bolivia, Zelaya di Honduras, Chavez di Venezuela. Jauh sebelumnya, pada tahun 1973, percobaan kudeta oleh Jenderal Pinoche, dengan restu dan dukungan penuh imperialis AS, berhasil menggulingkan presiden kiri Salvador Allende. Untuk Indonesia, kita juga tidak lupa kudeta Jenderal Soeharto terhadap Presiden Sukarno, yang “merangkak” di antara mayat-mayat kaum buruh dan tani yang bergelimpangan serta hancurnya PKI dalam Teror Putih 1965-1966.

Menyusul penggulingan Lugo, anggota parlemen Carlos Maria menegaskan, “Tidak ada yang ilegal di sini, tidak ada yang inkonstitusional di sini, tidak ada kudeta.” Federico Franco, wapres sekaligus rival Lugo yang sekarang menduduki kursi kepresidenan, menandaskan,

“Situasinya tidak mudah. Saya menyadari komunitas internasional merasa tidak nyaman. Saya menyatakan dan kembali menegaskan: tidak ada kup di sini. Tidak ada keruntuhan institusional. Ini telah dilakukan sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Ini merupakan suatu situasi legal yang oleh konstitusi dan undang-undang negeri saya diizinkan untuk dilakukan guna melakukan perubahan-perubahan seturut tuntutan situasi. Apa yang dilakukan adalah suatu pengadilan politik yang sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.”

Sebagai kaum Sosialis kita sama sekali tidak merasa heran dengan pernyataan dua wakil burjuis oligarkis Paraguay ini. Pasalnya, kita tahu bahwa yang legal dan yang konstitusional itu terbingkai dalam konstitusi, undang-undang, dan prosedur yang dirancang dan disahkan oleh wakil-wakil burjuasi yang bercokol di parlemen!

Bagi kita jelas, entah menggunakan prosedur yang konstitusional atau tidak, persoalan hakikinya adalah persoalan klas dan kekuasaan klas. Sebagaimana lama dikatakan Marx: Tidak ada klas penguasa manapun yang akan menyerahkan kekuasaannya kepada klas lain dengan sukarela. Apalagi, dalam kasus Paraguay, secara historis klas penguasa Paraguay telah menikmati privilese itu selama hampir tujuh dekade berturut-turut! “Berkat” partai kanan Colorado kaum kaya Paraguay dan korporasi-korporasi multinasional seperti Cargill atau Monsanto menguasai 64 persen tanah, baik melalui “hibah” dari pemerintah atau perampasan dari kaum tani! Saat Lugo terpilih, 2% populasi mengontrol lebih dari 77% lahan yang subur, sementara para petani kecil, yang merupakan 40% dari populasi, hanya memiliki 5% lahan yang dapat ditanami.

Sebenarnya, Lugo bukanlah seseorang yang menempuh jalan revolusioner. Memang, penganut Teologi Pembebasan, “uskup kaum miskin”, dan penganjur reforma-agraria ini maju dalam pemilu presidensial pada 2008 silam tak lepas dari dukungan organisasi-organisasi Kiri, gerakan-gerakan sosial, dan serikat-serikat buruh. Tapi kita tidak lupa bahwa Lugo juga berkoalisi dengan partai liberal PLRA (Partido Liberal Radical Autentico – suatu partai burjuis “sosdem”, yang kemudian bersekutu dengan Colorado untuk memakzulkannya!). Sebagaimana dikatakan Greg Grandin, profesor Sejarah Amerika Latin dari Universitas New York, Lugo “tampil ke tampuk kekuasaan melalui koalisi yang sangat rentan, dan ia nyaris segera masuk kotak.”

Langkah-langkah yang ditempuh Lugo selama ini (sejak 2008) terbilang moderat, jika bukan malah reaksioner. Ketimbang bersandar pada massa rakyat pekerja untuk melaksanakan reforma-agraria dan menasionalisasi korporasi-korporasi (kedelai) multinasional, Lugo malah memberi konsesi-konsesi kepada Partai Liberal dan Partai Colorado.

Di awal masa jabatannya, Lugo memang pernah mengatakan,

“Kami ingin konsisten dengan Teologi Pembebasan. Bila ada kaum yang memiliki privilese (hak istimewa), pasti ada orang-orang yang di masa lalu telah dilupakan: orang-orang pribumi, kaum tak bertanah, mereka yang tak berpendidikan, mereka yang sakit. Mereka adalah orang-orang yang perlu untuk menjadi prioritas yang pertama.”

Tapi, sayangnya, ia tidak pernah memobilisasi jutaan kaum miskin dan tertindas itu untuk mengubah perimbangan kekuatan parlementer yang didominasi oleh wakil-wakil burjuasi Partai Colorado dan Partai Liberal.

Salah satu janji kampanye Lugo adalah reforma-agraria. Tapi ia tidak mampu memenuhi janji itu. Wapres Federico Franco, menentangnya sejak awal. Sementara itu, gerakan tani semakin besar. Lugo terjebak dalam kontradiksi. Di satu sisi ia mendukung gerakan tani, namun di sisi lain ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Ketegangan dan bentrokan antara kaum tani dan pihak oligarki sering terjadi. Skalanya semakin besar. Puncaknya adalah peristiwa 15 Juni di Curuguaty, Paraguay utara, yang kemudian digunakan oleh pihak oligarki untuk memakzulkan dan kemudian menggulingkan Lugo.

Sungguh amat disayangkan, Lugo tidak menggunakan kredensi demokratik berupa mandat rakyat yang diterimanya melalui pemilu. Lugo percaya pada konstitusi dan mesin negara bikinan burjuasi. Di awal masa jabatannya ia berkata, “Kami berkomitmen terhadap kejujuran, transparansi, dan berkomitmen untuk mengembalikan martabat kepada institusi-institusi kami, dan dengan keadilan sosial yang jauh lebih besar.”

Sebagai kaum Sosialis, kita sepakat dengan kejujuran, transparansi, dan keadilan sosial. Tapi kita tidak silap terhadap watak dari institusi-institusi mesin negara burjuis. Tapi, tanpa mengurangi simpati, kekaguman, dan hormat kita kepada sang “uskup kaum miskin”, kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Lugo meyakini “jalan damai menuju Sosialisme.”

Sebagai kaum Sosialis, tentu saja kita cinta perdamaian dan menginginkan Sosialisme terwujud dengan jalan damai. Tapi kita menyadari bahwa “jalan damai menuju Sosialisme” adalah ilusi yang sangat berbahaya bila kita mengasumsikan bahwa mesin negara burjuis dapat digunakan untuk menuju Sosialisme! Sebab kita menyadari bahwa negara, lengkap dengan lembaga-lembaga, konstitusi, undang-undang, aparat, dan prosedurnya adalah pelembagaan kekuasaan kelas. Dalam Negara dan Revolusi, Lenin sudah memberikan peringatan keras tentang hal ini. Revisionisme yang digagas Bernstein dan kemudian diikuti pula oleh Kaustsky Tua tak habis-habisnya berujung malapetaka – tapi selalu digunakan oleh kaum Kiri yang santun dan berbudiluhur seperti Lugo.

Lihatlan peran polisi baik dalam bentrokan berdarah 15 Juni maupun bentrokan-bentrokan sebelumnya. Sejalan dengan posisi mereka sebagai perangkat atau perkakas negara burjuis, mereka “benar” dalam hal membela kepentingan Blas Riquelme, salah seorang dari kalangan oligarki dan politisi Partai Colorado. Mereka “benar” dengan berusaha mengusir kaum tani tak bertanah yang mengklaim dan menduduki tanah-tanah yang diperoleh Riquelme semasa kekuasaan Storessner dan partai sayap kanannya. Mereka “benar” dengan menembaki kaum tani itu dengan peluru tajam. Mereka justru “salah besar” bila membela dan mendukung kaum tani menuntut hak mereka dalam matriks reforma-agraria!

Lantas, mengapa burjuasi oligarkis Paraguay – yang tak lain dari para komprador alias, dalam istilah Mao Tse-tung, “imperialist’ running dogs” – harus menggulingkan seorang Fernando Lugo?

Klas penguasa, yang secara faktual memiliki mesin negara burjuis Paraguay, merasa telah kecolongan dengan kemenangan seorang kandidat populis Kiri dalam pemilu 2008 – yang untuk sejurus waktu telah menginterupsi epos hegemonik oligarki Partai Colorado dan Stroessnerismo.

Pada saat yang sama, gerakan-gerakan sosial Kiri terus berkembang. Pada satu titik, saat ketel uap faktor subyektif penderitaan dan kesadaran kritis rakyat pekerja mendidih karena kondisi obyektif berupa perkembangan-perkembangan revolusioner di Amerika Latin, gerakan-gerakan sosial Kiri itu akan menjadi kelompok penekan yang bisa mendorong Presiden Lugo jauh ke Kiri dan mengalami radikalisasi. Bila itu terjadi, revolusi sosial akan terjadi dengan salah satu kemungkinan muara, yaitu revolusi sosialis. Saat itu burjuasi oligarkis dan imperialis akan diekspropriasi oleh rakyat pekerja Paraguay.

Karena itu, selagi masih sangat kecil, “api” itu harus segera dipadamkan. Kita tahu, oligarki Paraguay sudah mencobanya beberapa kali selama pemerintahan Lugo. Kali ini mereka berhasil. Dengan menggunakan instrumen demokrasi liberal, yakni asas dan prosedur konstitusional, mereka berhasil menggulingkan Lugo dan sedang membunuh demokrasi yang sesungguhnya.

Tapi bila “api” itu sudah membakar rakyat pekerja Paraguay, dan gerakan-gerakan sosial mereka memiliki kepemimpinan yang tepat seturut dengan idea, tradisi, program, dan strategi revolusioner yang tepat, penggulingan Lugo akan menjadi awal dari proses revolusioner yang justru akan semakin mencondongkan pergeseran ke Kiri seluruh Amerika Latin.

Tolak pemerintahan Federico Franco!

Enyahkan oligarki Paraguay dan imperialisme!

Bangkitlah rakyat pekerja Paraguay! Kalian berhak atas demokrasi kalian! 

Pesanggrahan, 2 Juli 2012