facebooklogocolour

 

evo morales exileGelombang Revolusi Amerika Latin sekali lagi menerima pukulan telak dengan lengsernya Presiden Bolivia Evo Morales pada 10 November. Jatuhnya Evo Morales adalah kulminasi dari usaha kudeta yang telah bergulir selama beberapa minggu terakhir. Walau bukan untuk pertama kalinya kekuatan reaksi mencoba menggulingkan pemerintahannya, kali ini mereka berhasil. Pembangkangan polisi, penembak jitu yang menembaki buruh tambang, laporan dari OAS (Organisasi Negara-negara Amerika) yang mempertanyakan validitas pemilu, dan akhirnya, jerami yang mematahkan punggung onta, angkatan bersenjata yang meminta agar Evo Morales turun, semua ini menjurus ke babak terakhir dari drama ini.

Ketika artikel ini ditulis, Evo Morales telah menerima suaka politik di Meksiko. Ini jelas karena kekuatan oligarki Bolivia, kaum tuan tanah dan kapitalis, tidak akan memaafkannya dan berniat menjebloskannya ke penjara – bahkan menggantungnya bila perlu – karena telah memimpin Revolusi rakyat pekerja Bolivia yang mempermalukan para tuan-nyonya terhormat ini. Reaksi menginginkan balas dendam yang berdarah-darah.

Kita semua patut, dan harus, bertanya bagaimana Revolusi Bolivia bisa berakhir dengan kekalahan ini. Tidak cukup mengutuk kudeta reaksioner ini. Menjawab pertanyaan ini akan mempersenjatai kita dengan perspektif, strategi dan taktik untuk mematahkan reaksi yang kini tengah menunjukkan taringnya dan siap membatalkan pencapaian-pencapaian besar yang telah diraih oleh rakyat pekerja Bolivia selama dekade terakhir.

Bagaimana ini dimulai

Semua ini dimulai dengan hasil pemilu 20 Oktober, yang walaupun memberikan kemenangan pada Evo Morales tetapi menunjukkan anjloknya dukungan untuknya dan partainya MAS (Movimiento al Socialismo; Gerakan Menuju Sosialisme). Sebenarnya, kekalahan yang dideritanya pada referendum konstitusi 2016 (untuk menghapus batas masa jabatan presiden, agar Evo Morales bisa bersaing kembali di pilpres selanjutnya) telah menjadi peringatan. Alih-alih mencermati peringatan ini, MAS menggunakan mekanisme Mahkamah Agung untuk memaksakan perubahan konstitusi ini. 

Melihat fakta bahwa dukungan rakyat terhadap Evo Morales telah anjlok, kubu oposisi kanan menggunakan kesempatan ini untuk meluncurkan kudeta. Kudeta ini mencapai puncaknya dengan pembangkangan polisi pada Jumat, 8 November. Dimulai dengan UTOP (polisi huru-hara) di kota Cochabamba, pada Sabtu, 9 November, pembangkangan ini menyebar ke 8 dari 9 departemen kepolisian di seluruh Bolivia. Polisi memberontak dan menolak menjalankan perintah pemerintah, dan lalu mengunci diri mereka di barak-barak. Komandan nasional kepolisian mencoba mengelak dan mengatakan bahwa tidak ada pemberontakan, dan polisi hanya “pergi masuk ke barak mereka saja.” Tidak lama kemudian, angkatan bersenjata menyatakan kalau mereka “tidak akan turun ke jalan”. Mereka saat itu belumlah menyerukan agar Evo Morales turun, tetapi jelas mereka tidak siap membelanya. Pemerintah telah kehilangan kendali atas kekuatan represi negara. Negara pada akhirnya adalah badan orang-orang bersenjata, dan ketika badan ini sudah tidak lagi menuruti perintah rejim yang berkuasa, maka inilah awal dari akhir rejim tersebut.

Lalu, pada pukul 2 tengah malam, hari Minggu, 10 November, OAS mengumumkan hasil audit pemilu, bahwa hasil pemilu ini tidak bisa divalidasi dan “merekomendasikan” agar pemilu yang baru diselenggarakan dan KPU diganti. Ini adalah pukulan besar bagi Evo Morales yang sebelumnya telah menggantungkan harapannya pada OAS. Dia telah meminta agar kubu oposisi yang telah mengguncang Bolivia selama 2-3 minggu terakhir untuk menunggu hasil audit OAS dan dia sendiri akan menghormati hasil audit OAS itu. OAS, yang adalah klub imperialis, jelas-jelas mengeluarkan pernyataan ini untuk mendorong jatuhnya Morales.

Morales kemudian memanggil konferensi pers pada pukul 7 pagi. Pada saat yang sama dia telah kehilangan dukungan dari para pemimpin serikat buruh COB (Central Obrera Boliviana; Sentra Buruh Bolivia). Dia mengumumkan dibatalkannya hasil pemilu 20 Oktober dan akan menyelenggarakan pemilu baru. Tetapi reaksi telah menjadi semakin percaya diri dan menolak pernyataan Morales. Camacho, pemimpin oposisi sayap-kanan, menolak apa yang ditawarkan oleh Evo Morales. Setelah memobilisasi demo-demo besar, dan terutama memenangkan polisi dan angkatan bersenjata ke sisi mereka, reaksi menuntut turunnya Morales dengan segera dan mereka siap melakukan apapun untuk mencapai tujuan ini. Reaksi menjadi semakin percaya diri dan tahu apa yang perlu dilakukannya, sementara Evo Morales dan pemerintah bimbang, mundur, menawarkan konsesi demi konsesi, dan terjebak dalam kekusutan konstitusional mereka sendiri.

Siang harinya, angkatan bersenjata mengumumkan bahwa mereka akan mengintervensi situasi ini, guna mencegah “kelompok-kelompok bersenjata yang tak jelas dari menyerang penduduk”. Ini merujuk pada penembak jitu yang menembaki buruh tambang Potosi yang berdemo menentang Morales. Jelas angkatan bersenjata sudah mematahkan hierarki komando dan tidak lagi mematuhi perintah presiden. Tidak lama kemudian, dalam pernyataan resmi, para petinggi militer “meminta” agar Morales turun. Dengan ini selesailah kudeta ini.

Mengapa Evo Morales bisa kalah

Sejak hari pertama kami telah menentang usaha kudeta ini. Kami tekankan dengan keras bahwa satu-satunya cara untuk mematahkan kudeta ini adalah dengan aksi revolusioner, bukan dengan mengandalkan saluran-saluran legal seperti yang coba dilakukan oleh Morales dengan menggantungkan harapannya pada OAS.

Pada pemilu 2014, Evo Morales masih meraih 61 persen suara, tetapi kali ini ia hanya meraih 47 persen. Anjloknya dukungan rakyat terhadap partai MAS (Movimiento al Socialismo; Gerakan Menuju Sosialisme) dan Morales adalah karena kebijakan konsiliasi kelas dan konsesi pada kapitalis, tuan tanah, dan korporasi multinasional. Ini menggerus dukungan dari buruh dan tani terhadap pemerintahan Morales. Kendati Revolusi Bolivia sudah berlangsung selama lebih dari 13 tahun dan semua retorika mengenai sosialisme, kenyataannya rakyat pekerja Bolivia masih hidup di bawah penindasan kapitalisme. Rakyat tidak bisa hanya hidup dari janji tanpa perubahan fundamental dalam kehidupan mereka.

MAS dan Evo Morales naik ke tampuk kekuasaan dari gerakan revolusioner rakyat pekerja pada 2003-05, sebagai bagian dari gelombang revolusi yang menyapu Amerika Latin. Sosialisme ada di agenda, tetapi tidak pernah tercapai. Rejim Evo Morales menjalankan banyak reforma yang pro-rakyat, yang memperbaiki taraf hidup jutaan rakyat miskin Bolivia. Selain itu, sebagai presiden Indian pertama di Bolivia, dalam negeri dimana lebih dari 60 persen rakyat adalah kaum Indian yang telah lama termarjinalisasi dalam perpolitikan, ini adalah sebuah pencapaian besar yang memberikan kembali harga diri kaum Indian.

Tetapi sistem kapitalisme masih berlaku di Bolivia, yakni dimana tuas-tuas ekonomi masih dikuasai oleh segelintir kapitalis dan tuan tanah, dimana pasar bebas masih mendominasi, dimana kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi masih menjadi norma ekonomi. Benar kalau ruang gerak kapitalis telah menjadi lebih sempit semenjak Morales menjadi presiden karena reforma-reforma pro-rakyat yang diluncurkan oleh pemerintahannya, dan inilah mengapa dia dibenci oleh oligarki. Tetapi logika kapitalisme masih mendikte ekonomi, dan akhirnya mendikte politik. Inilah yang mendorong politik konsiliasi kelasnya Morales, yang terus memberi konsesi pada kelas kapitalis dan tuan tanah. Ini tak terelakkan selama kapitalisme masih utuh di Bolivia. MAS dan Morales mencoba mempertahankan kapitalisme sementara melayani kepentingan rakyat kecil yang mendukungnya, dan ini adalah sebuah kemustahilan.

Untuk memberi beberapa contoh saja. Morales memberi berbagai konsesi pada agribisnis Santa Cruz, dengan membatalkan larangan penanaman tanaman pangan rekayasa genetika, memperbolehkan penebangan hutan lebih lanjut, membuat perjanjian dagang ekspor daging ke Tiongkok. Begitu percaya dirinya dia, sampai-sampai pada pembukaan kampanye pemilu di Santa Cruz dia menyelamati “para pengusaha Santa Cruz ... yang selalu menawarkan solusi untuk seluruh Bolivia”.

Di Potosi, kita saksikan mobilisasi massa menentang Evo Morales. Rakyat menentang Morales karena kecewa dengan kontrak tambang lithium yang diberikan pemerintah kepada perusahaan multinasional Jerman, ACI Systems. Perusahaan ini diberi kontrak 70 tahun, padahal standarnya biasanya 30 tahun di banyak negeri Amerika Latin lainnya. Perusahaan ini juga diberi kontrol penuh atas tambang, walaupun ini adalah proyek bersama dengan negara. Pemberian kontrak ini dipandang oleh rakyat Potosi seperti menyerahkan kekayaan alam bangsa ke perusahaan asing, oleh sebuah pemerintah yang mengklaim dirinya anti-imperialis. Selain itu rakyat Potosi hanya menerima keuntungan kecil dari ini. Pemberian kontrak ini adalah salah satu alasan meledaknya protes anti-pemerintah, yang telah berlangsung bahkan sebelum pemilu. Akhirnya pada 9 November Evo Morales mengeluarkan dekrit untuk membatalkan kontrak ini, tetapi jelas ini sudah terlalu terlambat dan dilakukan oleh Morales hanya untuk menyelamatkan dirinya, yang lengser esok harinya.

Yang membuat rakyat Potosi lebih geram lagi adalah Morales menunjuk Orlando Careaga sebagai kandidat utama untuk posisi senator Potosi. Orlando Careaga adalah politisi sayap-kanan dan pengusaha tambang. Dia adalah bagian dari partai MNR-nya mantan Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada yang dilengserkan oleh gerakan revolusioner buruh dan tani pada 2003, yakni gerakan revolusi yang membuka jalan bagi Evo Morales dan MAS pada 2005. Penunjukan Careaga ditentang oleh anggota akar rumput MAS, tetapi petinggi MAS tidak menggubris. Di Chuquisaca, partai MAS memajukan kandidat Martha Noya Laguna, yang adalah mantan wakil-menteri di bawah rejim Gonzalo Sanchez. Ini hanya beberapa contoh saja dari banyak kasus bagaimana MAS, setelah menjadi partai penguasa, mulai bergerak ke kanan dan dimasuki politisi-politisi borjuis. Kekecewaan ini terus menggerogoti dukungan rakyat pada Morales dan MAS, dan menciptakan kebimbangan, apati, demoralisasi terutama di antara lapisan-lapisan rakyat pekerja yang kesadaran kelasnya lebih terbelakang, yang membuat mereka rentan pada demagogi dan propaganda hitam kaum oligarki.

Perang Kelas

Evo Morales memberitahu kita semua kalau dia memutuskan turun dari jabatannya demi menghindari pertumpahan darah, demi menghindari perang saudara. Tetapi pada kenyataannya perang saudara di Bolivia – yakni perang kelas, antara buruh dan tani di satu sisi, dan tuan tanah dan kapitalis di sisi lain – telah dimulai semenjak rakyat pekerja mendorong MAS dan Evo Morales ke tampuk kekuasaan pada 2005. Masalahnya perang kelas ini harus menemui kesimpulan akhirnya -- kemenangan penuh buruh dan tani atau kembalinya oligarki. Para pemimpin MAS melakukan segalanya untuk terus menghindari perang kelas ini dan kesimpulan yang mengalir darinya.

Pada 2005, kaum oligarki kehilangan kendali atas mesin politik mereka, yakni kekuasaan negara. Kekuatan revolusioner buruh dan tani menendang keluar mereka dari koridor kekuasaan, tetapi tidak memiliki kontrol terhadap tuas-tuas ekonomi, dan karenanya kaum oligarki tidak pernah kehilangan kekuatan mereka.

Pertama, tuas-tuas ekonomi utama masih dikuasai kapitalis dan tuan tanah, walaupun mereka harus menerima situasi baru dimana mereka tidak bisa lagi seenaknya memobilisasi kapital mereka untuk menindas rakyat pekerja. Ruang gerak kapital menjadi sempit ketika rakyat pekerja meregangkan otot-ototnya pada Revolusi 2003-05. Pemerintah MAS yang merupakan hasil revolusi tersebut menelurkan regulasi-regulasi yang lebih ketat dalam mengatur bagaimana perusahaan dapat berjalan, sehingga tidak sewenang-wenang dalam praktiknya: UU ketenagakerjaan pro-buruh, upah yang lebih baik, dsb. Semua ini baik, tetapi relasi kerja-upahan dan kapital masih utuh, yang berarti eksploitasi buruh masih berlangsung dan kekuatan modal masih menentukan jalannya roda ekonomi. Ini berarti, cepat atau lambat, logika kapitalisme mendikte kebijakan pemerintah. Ruang gerak kapital memang menyempit, tetapi ruang tersebut masihlah milik kapital. Inilah yang mendorong rejim Evo Morales membuat konsesi-konsesi kepada pemilik modal seperti yang ditunjukkan dalam beberapa contoh di atas.

Pada akhirnya kita tidak bisa mengontrol apa yang tidak kita miliki. Usaha meregulasi kapitalisme, yang merupakan esensi dari reforma-reforma pemerintahan MAS, pada akhirnya berbenturan dengan tembok. Kapitalis tidak akan menanamkan modalnya di negeri dimana ada terlalu banyak UU pro-buruh dan pro-tani yang akan menggerus profitnya. Dia akan memilih memboyong modalnya ke negeri lain dengan iklim investasi yang lebih baik. Menghadapi fakta ini, sebuah rejim memiliki dua pilihan: pertama, pecah dengan kapitalisme, dengan mengekspropriasi kapitalis besar dan menjalankan ekonomi seturut rencana demokratik; kedua, tunduk pada logika kapitalisme dan memberikan konsesi kemudahan berbisnis bagi kapitalis. MAS memilih melakukan yang belakangan, dan inilah awal dari kekalahan mereka dalam perang kelas ini, yang di setiap persimpangan yang menentukan terus mereka hindari.

Kedua, kaum oligarki masih punya kontrol atas media-media massa, yang mereka gunakan dengan bebas untuk terus menggiring opini publik ke arah mereka. Dalam perang kelas, media massa dan kontrol atas informasi adalah senjata yang luar biasa kuat. Merebut senjata ini dari tangan musuh dan tidak membiarkan mereka menggunakannya harus menjadi langkah setiap revolusi yang sungguh-sungguh ingin menang. Tidak ada “kebebasan berekspresi” ketika segelintir kapitalis lewat modal mereka mendominasi media massa. Kaum revolusioner tidak boleh terjebak dalam argumen “kebebasan berekspresi”-nya kaum liberal borjuis-kecil, yang gemar mengutip Voltaire: “Saya tidak setuju dengan apa yang kamu katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak kamu untuk mengatakan itu.” Dalam perang manapun yang kita tengok dalam sejarah, hanya jendral yang bodoh yang akan membiarkan musuhnya bebas menerbitkan koran di wilayahnya sendiri, dan perang kelas adalah perang yang paling sengit, kejam, dan tak mengenal belas kasihan dari semua perang.

Ketiga, mesin kekuasaan negara yang lama masih utuh. MAS dan Evo Morales naik ke tampuk kekuasaan negara dan menendang keluar para perwakilan politik oligarki, tetapi mereka memerintah dengan aparatus negara yang sama. Banyak sekali pembicaraan mengenai “demokrasi adat” (“indigenous democracy”) setelah Evo Morales menang. Konstitusi 2009 yang baru memperkenalkan konsep pemerintahan yang baru, yang “representatif, partisipatoris, dan komunitarian”, dengan perluasan otonomi dan self-governance bagi beragam kelompok adat. Namun pada akhirnya ini hanya secarik kertas, yang membungkus mesin negara yang lama, membuatnya tampak mengkilap dan menarik di permukaan saja tetapi tanpa perubahan fundamental di dalamnya.

Marx dan Engels, dan terutama Lenin, telah mengajarkan bahwa kita harus menghancurkan negara borjuasi yang lama. Kita tidak bisa menggunakan mesin yang lama untuk membangun masyarakat yang baru, karena keseluruhan sistem negara borjuis telah dibangun dan disempurnakan selama puluhan dan bahkan ratusan tahun oleh kelas penguasa sebelumnya untuk satu tujuan: menindas rakyat pekerja. Ini harus digantikan dengan tipe negara yang secara kualitatif berbeda, bukan dengan secarik Konstitusi, tetapi dengan organ-organ kekuasaan baru yang sungguh lahir dari perjuangan kelas, yang memenetrasi semua sendi kehidupan masyarakat dari atas hingga bawah. Revolusi Rusia 1917 memberi contoh terbaik. Selama Revolusi Rusia dewan-dewan rakyat (yang disebut Soviet) dan komite-komite rakyat terbentuk di semua tempat dimana bisa kita temui rakyat pekerja: pabrik, kantor, kampung buruh, desa-desa, barak, armada laut, di antara ibu-ibu rumah tangga, di antara pelajar, dsb. Seorang sosialis dari Belgia, Jules Destree, bahkan bercerita bagaimana ketika dalam perjalanan kereta api dari Petrograd ke Moskow para penumpang di keretanya membentuk “komite perjalanan”. Dewan-dewan dan komite-komite rakyat inilah yang harus menjadi basis kekuasaan negara yang baru.

Selain itu, semua pembicaraan mengenai “demokrasi partisipatoris” hanya menjadi retorika hampa ketika ekonomi – yang mendominasi bagian besar dan penting dari kehidupan semua orang – masih ada di tangan kapitalis. Partisipasi macam apa yang bisa dilakukan oleh buruh di tempat kerjanya selain bekerja di bawah perintah majikannya? Di bawah sistem kapitalisme, rakyat pekerja hanya bisa berpartisipasi dalam ekonomi sebagai pekerja-upahan dan konsumen, lewat transaksi uang semata. Mereka tidak punya suara sama sekali dalam bagaimana menjalankan masyarakat, yang pada esensinya adalah ekonomi.

Kegagalan Reforma Agraria

Reforma agraria merupakan tuntutan utama kaum tani, terutama kaum Indian. Selama bergenerasi mereka hidup dalam kondisi yang menyerupai perhambaan dan perbudakan. Ignacia Patude, seorang Indian Chiquitano, menceritakan kehidupannya sebelum Evo Morales: “Di masa lalu, ada pemilik [tanah] yang memanggil kami pembantunya. Dia menyuruh-nyuruh kami, memberi perintah, memberitahu apa yang harus kami lakukan. Kehidupan kami setiap harinya adalah menyadap karet dan bekerja di ladang.” Abram Stejas, seorang petani tak bertanah yang dulu bekerja di ladang tebu milik tuan tanah besar, berbagi kisah yang serupa: “[kami] tidak diupah cukup untuk membeli tanah ... momen yang paling parah adalah ketika kami harus berjalan panjang, mencari tanah, ketika tidak ada satupun tempat bagi kami, tidak ada tempat teduh, tidak ada yang bisa kami makan. Tidak ada seorangpun yang membantu kami. Tidak ada.” Kini Abram dan Ignacia, dan ratusan ribu kaum tani seperti mereka, telah memiliki tanahnya sendiri.

Sejak 2005, pemerintahan MAS telah meluncurkan reforma agraria yang agresif, dengan membagi-bagikan setidaknya 12 juta hektar tanah pada kaum tani miskin. Bila sebelumnya 70% tanah dikuasai oleh 5% tuan tanah (100 keluarga memiliki 25 juta hektar tanah, sementara 2 juta kaum tani kecil hanya memiliki akses ke 5 juta hektar tanah, menurut laporan UNDP), kini pemilik tanah kecil mengontrol 55% tanah. Namun kebanyakan tanah yang didistribusikan ke petani kecil adalah tanah milik negara, dan bukan disita dari tuan tanah besar (latifundia). Segelintir latifundia masih mendominasi kepemilikan tanah yang produktif dan dengan demikian mendominasi sektor pertanian dan perkebunan.

Dalam UU agraria yang baru, limit kepemilikan tanah ditetapkan sebesar 5 ribu hektar, yang jelas adalah konsesi untuk tuan tanah besar karena mayoritas petani kecil biasanya memiliki lahan kurang dari 5 hektar. Terlebih lagi, limit 5-ribu-hektar ini tidak berlalu secara retroaktif, dalam artian kaum tuan tanah yang sebelum UU ini berlaku memiliki lebih dari 5000 ribu hektar tetap diperbolehkan mempertahankan kepemilikannya. Limit ini juga tidak berlaku kalau pemilik tanah dapat menunjukkan kalau tanahnya produktif.

Tidak hanya itu, reforma agraria mulai melambat pada 2011 dan administrasi Evo Morales mulai mengubah prioritasnya untuk mengekspansi sektor agribisnis, yang didominasi oleh latifundia. Sistem produksi perorangan kaum tani kecil yang level produksinya rendah tidak dapat bersaing dengan latifundia dengan produksi skala besar dan teknologi tinggi. Selain itu petani kecil juga jadi bulan-bulanan pasar bebas, kalah bersaing dengan pasar dunia yang tingkat produksinya lebih tinggi dan oleh karenanya harganya lebih murah. Inilah yang mendorong banyak petani kecil melakukan praktik slash-and-burn untuk membersihkan lahan secara cepat dan murah, yang menyebabkan krisis kebakaran hutan belum lama ini.

Reforma agraria yang sungguh dapat membebaskan kaum tani oleh karenanya tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong. Pertama, tanah kaum latifundia harus disita, yang lalu pertanian dan perkebunan skala besar mereka dikelola secara demokratis. Pertanian dan perkebunan skala besar ini dikelola secara kolektif bukan untuk bersaing dengan para petani kecil perorangan, tetapi untuk menopangnya, meningkatkan level produksinya dan memandunya ke arah kolektivisasi. Kedua, seluruh industri yang berkaitan dengan pertanian, dari hulu hingga hilir (bioteknologi, kimia, mesin-mesin pertanian, pengelolaan, dan bahkan perbankan untuk pemberian kredit bagi petani) harus dikerahkan untuk meningkatkan produktivitas kaum tani dan mengejar ketertinggalannya. Ini hanya bisa dilakukan melalui nasionalisasi dan sistem ekonomi terencana, karena sistem pasar bebas kapitalis tidak akan mengizinkan ini. Ketiga, monopoli perdagangan asing untuk melindungi kaum tani dan industri pertanian dari gempuran pasar dunia, bukan dengan tujuan menciptakan ekonomi yang self-sufficient dan shut-in, tetapi untuk memperkuat industri dalam negeri agar mampu bersaing di tingkat dunia. Pendeknya, reforma agraria yang sejati hanya bisa diraih dengan merobohkan pilar-pilar kapitalisme dan melangkah menuju sosialisme, sesuatu yang tidak dilakukan oleh administrasi Evo Morales.

Kebuntuan “Sosialisme Abad ke-21”

Jatuhnya Evo Morales, dan juga krisis ekonomi dan politik di Venezuela dengan semakin lemahnya pemerintahan Bolivarian di bawah Maduro, menunjukkan kegagalan dari apa-yang-disebut Sosialisme Abad ke-21. Sejak Revolusi Venezuela dan Bolivia meledak lebih dari satu dekade yang lalu, banyak Kiri yang begitu terpesona oleh gagasan Sosialisme Abad ke-21 – dan berbagai variannya, yang di Bolivia misalnya disebut “Sosialisme Komunitarian” atau “Sosialisme Adat” (Indigenous Socialism) – yang disematkan pada kedua Revolusi ini. Tetapi apa itu sebenarnya “Sosialisme Abad ke-21” ini?

Alan Woods, yang menulis buku “Reformism or Revolution. Marxism and Socialism of the 21st Century”, memberikan penjelasan yang paling cocok mengenai gagasan ini ketika dia berbicara di hadapan ratusan mahasiswa di Bolivia:

“Teori Sosialisme Abad ke-21 memiliki keunggulan atas semua gagasan lain: yakni tidak ada seorang pun yang tahu apa artinya. Gagasan ini adalah seperti botol kosong, yang diisi dengan frase-frase akademik yang kacau balau, yang sebenarnya adalah reformisme.”

Sosialisme abad ke-21 digadang-gadang sebagai alternatif baru dari Sosialisme Abad ke-20, dengan berbagai skema pintar yang dibungkus dengan ujar-ujar yang terdengar revolusionerrrrrr..... Banyak kaum Kiri yang begitu mudah terbuai dengan gagasan baru ini, yang ternyata kalau diperiksa secara seksama adalah gagasan usang yang telah lama dibantah oleh Marx, Engels dan Lenin. Sosialisme abad ke-21 berbicara banyak mengenai sosialisme tanpa sekalipun melangkah secara tegas ke sosialisme, sesuatu yang memuaskan perasaan banyak Kiri borjuis-kecil dan para akademisi radikal tanpa harus berkomitmen menumbangkan kapitalisme. Bila dikupas lebih dalam dan lebih kritis, gagasan ini terungkap sebagai reformisme, yang menyamar bak bunglon dan licin seperti ular.

Kebingungan dari Sosialisme abad ke-21 ini bisa dibaca dari wawancara dengan Alvaro García Linera, wakil presiden Bolivia sejak 2006 sampai 2019, dan tokoh intelektual terkemuka dan teoretikus “Marxis” MAS. Wawancara ini terbit pada 26 Oktober 2019, dua minggu sebelum kudeta. Dalam wawancara ini, dan kami berterima kasih pada Indoprogress yang telah menerbitkannya ke dalam Bahasa Indonesia sehingga pembaca bisa menilainya langsung, dia hanya berputar-putar secara abstrak tanpa memberikan program yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan.

Intinya Linera berbicara mengenai “wacana perjuangan sosial kaum Kiri klasik” (baca: sosialisme abad ke-20 atau Marxisme) yang menurutnya “tidak memadai”, dan bagaimana dia menemukan Marx yang baru, “Marx di pinggiran”, yang “lebih plural”, yang “memasukkan tema-tema adat”, yang “berbicara ... tentang identitas sosial hibrida.” Berbekal ini, dia mengklaim telah mampu “membaca secara berbeda GrundrisseManuskrip tahun 1861-1863 dan Capital dan menemukan elemen-elemen logika genetika kapitalisme yang gagal dipahami oleh penulis lain, sebelum dan sesudah Marx.” Tentunya ketika dia berbicara mengenai “penulis lain” ini dia juga merujuk pada Lenin dan Trotsky, dua pemimpin utama Revolusi Rusia.

Lantas, apakah penemuan “elemen-elemen logika genetika kapitalisme” ini mampu membantunya menumbangkan kapitalisme lebih baik daripada “penulis lain”? Setelah 13 tahun menjabat sebagai wakil presiden Bolivia, yakni dari awal Revolusi Bolivia sampai hari H kudeta, Linera telah diberi kesempatan dan posisi terbaik untuk menerapkan pemahamannya mengenai “elemen-elemen logika genetika kapitalisme”, dan kita berharap kalau tujuannya untuk memahami ini adalah untuk menumbangkan kapitalisme. Hasilnya: kapitalisme masih utuh di Bolivia; reaksi menang; dia dan Evo Morales tersingkirkan.

Dalam wawancara yang sama, Linera ditanya “apa yang harus dilakukan kaum Kiri Amerika Latin?” dan jawabannya menunjukkan hanya ambiguitas, yang memang merupakan fitur Sosialisme abad ke-21: “Tugas terbesar kaum Kiri, dalam mengatasi batasan dan kesalahan-kesalahan sosialisme abad kedua puluh, adalah memetakan cakrawala baru yang menawarkan solusi untuk masalah-masalah aktual yang menyebabkan penderitaan bagi mayoritas penduduk.”

Begitu merdu di telinga jawaban tersebut. Tetapi dalam praktik “solusi untuk masalah-masalah aktual” yang ditawarkan Linera dan pemimpin MAS lainnya, seperti yang telah kita kupas di atas, tidak membawa Bolivia sama sekali ke sosialisme. “Cakrawala baru” yang dijanjikan ternyata berakhir ke kekalahan yang pahit ini.

Untuk benar-benar melangkah ke sosialisme, untuk sungguh-sungguh “menawarkan solusi untuk masalah-masalah aktual yang menyebabkan penderitaan bagi mayoritas penduduk”, tugas yang perlu dituntaskan adalah mengekspropriasi tanpa ganti rugi semua kekayaan kaum kapitalis dan tuan tanah, meletakkannya di bawah kontrol demokratis buruh dan tani, dan menjalankannya seturut ekonomi terencana. Dalam kasus Bolivia terutama, Revolusi Agraria dengan menyita semua tanah kaum latifundia, untuk dikelola seturut aspirasi demokratik komite-komite tani miskin; bukan reforma agraria tambal-sulam, setengah-jalan setengah-hati, yang masih mempertahankan relasi kapitalis. Untuk melakukan ini dibutuhkan instrumen kekuasaan yang sepenuhnya berbeda, bukan dengan merombak atau memperbaiki mesin negara lama tetapi dengan menghancurkannya dan membangun yang sepenuhnya baru, yang pilar-pilarnya adalah dewan-dewan rakyat pekerja. Pemilihan semua pejabat yang bisa di-recall kapanpun; semua pejabat mendapat gaji tidak lebih dari buruh terampil; semua tugas administrasi negara digilir; dan pembubaran semua badan bersenjata (polisi dan tentara), yang digantikan dengan rakyat bersenjata; inilah sejumlah fitur utama dari negara yang baru ini. Inilah sosialisme yang sesungguhnya, yang jauh dari apa yang dilakukan oleh pemerintahan Evo Morales dan MAS selama 13 tahun terakhir.

Kita membutuhkan bukan Sosialisme Abad ke-21, bukan “Marx di pinggiran”, bukan “cakrawala baru,” tetapi sosialisme yang punya keberanian dan ketegasan untuk menuntaskan tugas-tugas historis mengakhiri kapitalisme. Sosialisme ini bisa ditemui di lembar-lembar karya Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky, dan dapat disaksikan secara praktis dalam sejarah Bolshevisme dan Revolusi Oktober. Tetapi semua ini tertutup rapat-rapat bagi para pemimpin reformis MAS.

Tugas ke depan

Buruh dan tani Bolivia telah menunjukkan elan revolusioner yang menakjubkan. Pada Kamis kemarin (15/11), puluhan ribu rakyat pekerja di kota El Alto turun ke jalan untuk memprotes kudeta reaksioner ini. Ini disusul di La Paz, Potosi, dan banyak kota lainnya, dengan demo-demo besar yang telah memakan korban jiwa. Buruh dan tani Bolivia tahu masa depan seperti apa yang menanti mereka di bawah rejim Kanan hasil kudeta ini, dan mereka tidak akan menerima ini tanpa perlawanan sengit.

Untuk bisa melawan reaksi yang sedang bergulir ini, rakyat pekerja Bolivia – terutama lapisan termajunya – harus menarik pelajaran penting dari kekalahan ini. Klarifikasi ideologi, program dan metode perjuangan harus menjadi prioritas bagi gerakan hari ini. Kita tidak bisa biarkan kesalahan-kesalahan para pemimpin MAS seperti Morales dan Linera tidak terjawab. Mereka kini berteriak keras mengecam: “Ini kudeta! Ini tidak demokratis! Ini otoriter! Ini ulah imperialis AS! Ini fasisme!” Tetapi kecaman-kecaman ini terdengar hampa ketika datang dari mereka-mereka yang bertanggung jawab atas kekalahan ini. Mereka berteriak keras untuk menutupi kesalahan mereka.

Perjuangan ideologi untuk kembali ke Marxisme harus diluncurkan untuk mempersenjatai ulang gerakan Bolivia dengan gagasan, program, strategi dan taktik yang tepat. Ini adalah perjuangan ideologi yang tidak hanya menyangkut masa depan rakyat pekerja Bolivia tetapi juga seluruh dunia, karena jutaan kaum muda dan buruh di luar Bolivia telah dan tengah mengikuti dengan dekat peristiwa-peristiwa di Bolivia. Kami yakin perjuangan ini sedang berlangsung dengan sengit di antara buruh dan tani Bolivia, untuk menarik garis demarkasi jelas antara Revolusi dan Reformisme.

Sosialisme abad ke-21 dan berbagai variannya sudah terbukti gagal. Gagasan ini telah terungkap tidak lebih dari gagasan reformisme yang usang, yakni jiplakan Reformisme abad ke-20. Tidak ada jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Venezuela dan Bolivia telah menunjukkan fakta pahit ini, bahwa Anda tidak pernah bisa membuat setengah revolusi.