malaysian elect18 the winner 02Pemilu Malaysia ke-14 telah mengguncang politik status quo. Untuk pertama kalinya, setelah 6 dekade kekuasaan, UMNO dan koalisinya BN (Barisan Nasional) dikalahkan. Aliansi gabungan oposisi Pakatan Harapan (PH) dan satu partai di negara bagian Sabah meraih 121 kursi parlemen. Ini lebih dari cukup dari yang ditetapkan 112 untuk memenangkan pemilu. Banyak yang percaya bahwa Barisan Nasional akan menang karena para pemilih Melayu lebih memilih BN seturut garis rasial yang dipertahankannya. Tetapi hari ini kita sedang memasuki sebuah era baru dimana segala sesuatu yang padat meleleh ke udara.

Isu rasial kerap dimainkan oleh penguasa untuk mendapatkan suara mayoritas pemilih Melayu yang jumlahnya melebihi 60 persen dari populasi. Kubu penguasa selalu meyakinkan massa Melayu bahwa memilih Pakatan Harapan berarti hilangnya hak-hak orang Melayu dan agama mereka. Namun situasi telah berubah. Wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi penyumbang suara terbesar untuk Barisan Nasional, seperti Johor, Sarawak dan Negeri Sembilan bergeser ke Pakatan Harapan. Sedangkan di wilayah yang lebih terbelakang seperti Kelantan, Terengganu, dan Kedah, suara ini berhasil ditangkap oposisi lain seperti PAS (Partai Islam Se-Malaysia), yang meraih 18 kursi dengan memainkan isu agama dan kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintahan BN. Di wilayah-wilayah yang lebih terindustrialisasi seluruh suara hampir semua mengalir ke kubu Pakatan Harapan.

Meskipun telah meluncurkan semua trik-trik kotor, mulai dari membungkam kritik, merekayasa ketegangan etnis, mencurangi sistem pemilihan yang menguntungkannya, menyuap pemilih dengan janji-janji kerakyatan dan mengancam akan ada kekacauan jika kalah, kelas penguasa tidak mampu membendung “tsunami rakyat” ini. Kekalahan kubu penguasa menjadi tidak terelakkan. Masalah ekonomi sangat kuat mempengaruhi pemilih. Biaya hidup yang semakin tinggi, naiknya harga bahan bakar, serta pajak barang dan jasa sebesar 6% dalam beberapa tahun terakhir telah membuat kehidupan rakyat Malaysia semakin tercekik. Skandal-skandal korupsi pemerintah, terutama korupsi 1MDB, menjadi jerami kering yang membakar seluruh bangunan tua koalisi kubu penguasa.

Paska kekalahan yang pahit ini UMNO mengalami krisis. Jajaran anggota yang selama ini diam terhadap kebangkrutan UMNO mulai angkat bicara. Seperti apa yang dituturkan oleh Razlan, Ketua Pemuda UMNO Wilayah Persekutuan:“Kita nak bawa kapal ini jauh, kapal yang kita ada ini sudah tenggelam dan apa yang nak buat hari ini adalah apungkan kapal yang tenggelam ini untuk berlayar semula untuk kita menuju semula kemenangan.... Tetapi sekiranya nakhoda itu adalah nakhoda yang sama di kapal yang karam itu, amat sukar untuk apungkan kembali kapal ini.”

Suara-suara kritis untuk menyelematkan partai ini mulai menjamur di lingkaran-lingkaran partai, suara-suara yang sebelumnya diredam oleh Najib. Sekarang UMNO terpolarisasi antara mempertahankan garis rasial Melayu atau membuka partai lebih luas untuk menjangkau seluruh ras, suku dan agama di Malaysia. Tetapi partai ini telah busuk di mata masyarakat luas. Upaya untuk mengapungkan partai yang sudah karam ini adalah usaha yang sia-sia. Sebagai oposisi pemerintah,UMNO tidak akan memberi keuntungan bagi para anggotanya seperti dahulu ketika mereka berkuasa. Sejumlah politisi UMNO akan meloncat keluar dari partai mereka, seperti tikus kapal ketika partai mereka sudah tidak memberikan mereka kekuasaan dan uang.

PSM dan Opportunisme Mereka

Kekuasaan UMNO-BN yang memonopoli perpolitikan Malaysia telah lama membuat rakyat resah, sampai titik dimana rezim ini dianggap sebagai tirani yang harus ditumbangkan. Tumbangnya kekuasaan UMNO-BN dan kemenangan Pakatan Harapan menunjukkan bahwa kesadaran rakyat Malaysia sedang berubah. Mereka paham bahwa rezim UMNO-BN adalah sumber dari problem-problem yang mereka hadapi. Namun karena absennya alternatif revolusioner kemarahan rakyat terhadap UMNO mengalir ke kubu oposisi borjuis PH. Partai Sosialis Malaysia (PSM) yang seharusnya memainkan peran ini, alih-alih mengedepankan kemandirian kelas, justru tersungkur ke politik praktis “memilih terbaik dari yang terburuk”. Di setiap kesempatan, PSM selalu mencoba membuat kesepakatan dengan kekuatan oposisi borjuasi Anwar Ibrahim dan Pakatan Harapan. Kecenderungan oportunis ini secara jelas nampak dalam program mereka pada pemilu 2013 dan menjelang pemilu 2018, seperti yang diakui sendiri oleh S. Arutchelvan, anggota Komite Pusat PSM:

“Dalam kongres November 2013, hanya enam bulan setelah pemilihan umum ke-13, kami membuat tiga resolusi utama: Kami tidak akan bergabung dengan Pakatan Rakyat - setelah semua upaya kami sebelumnya gagal - tetapi akan bekerja dengan oposisi untuk mengusir BN. ... Dari hari pertama, kamu tahu bahwa harapan kami tipis kecuali kalau kita mencapai kesepakatan dengan Harapan, yang sama sekali mengabaikan kami.[1]

Yah, setelah semua upaya mereka untuk bergabung dengan kubu oposisi borjuasi gagal, dan setelah diabaikan,PSM memutuskan untuk tetap bekerja sama dengan oposisi borjuasi guna melawan BN.Ini sungguh sebuah posisi yang memalukan. Dan lagi pada pemilu tahun ini, PSM mencoba bergabung dengan Pakatan Harapan, tetapi ini ditolak mentah-mentah, dimana PSM hanya diberi tawaran untuk bertarung di satu daerah di bawah logo PH. Tawaran ini terlalu buruk untuk diterima oleh pimpinan PSM, dan tampaknya memang dibuat untuk mempermalukan PSM. Kendati demikian, PSM masih “menyerukan kepada rakyat untuk memilih Harapan di daerah dimana kita tidak bertarung.” Alih-alih mengekspos secara prinsipil bahwa tidak ada perbedaan fundamental antara BN-UMNO dan PH, dan dengan tegas mengajukan program sosialis pada rakyat, kepemimpinan PSM terus mengekor PH. Tidaklah heran kalau PSM kehilangan semua kursi mereka ketika mereka tidak pernah menarik garis demarkasi yang jelas antara mereka dan kubu oposisi borjuasi. Ini terekspresikan dengan jelas oleh pernyataan Jeyakumar, anggota Komite Pusat PSM: “Saya akan setuju kalau menyingkirkan Najib adalah hal yang baik bagi perpolitikan Malaysia bahkan bila pemimpin UMNO yang korup lainnya yang mengambil alih posisi perdana menteri.”[2]

Kami kaum Marxis mengutuk oportunisme ini.Menggadaikan kemandirian kelas buruh, apalagi membayangkan ilusi bekerja bersama dengan oposisi borjuis, seberapapun “sementaranya” adalah menabur kebingungan. Kelas pekerja hanya bisa menang bila ia besandar pada kekuatan dan organisasi  mereka sendiri dalam perjuangan menumbangkan kapitalisme. Berusaha melawan kapitalisme dengan partai yang dibeli dan dibayar kapitalis sama saja menunggu antrian pasukan sementara jenderal musuh sudah menyiapkan serangan untuk kita. Partai-partai borjuis dirancang untuk melayani kepentingan borjuis, tidak lebih dari itu. Kepeloporan revolusioner harus bisa membedakan antara kemarahan pekerja terhadap status quo dan manuver licik oposisi borjuis yang menggunakan kemarahan massa untuk kepentingan mereka.

Benar bahwa sebuah partai tidak aktif dalam vakum. Partai akan selalu merefleksikan tekanan dari kelas-kelas yang ada dalam masyarakat. Kapitalisme lewat satu lain cara menciptakan tekanan-tekanan ini terhadap lapisan pelopor kelas tertindas. Alih-alih hanyut dalam rawa kapitulasi, “kepeloporan”, bila ia pantas disebut dengan kata itu, harus membersihkan kabut kebingungan dan melihat lebih jauh dari pada massa luas rakyat pekerja. Trotsky selalu menekankan bahwa, “partai yang ketinggalan di belakang tugas-tugas historis kelasnya sendiri akan menjadi, atau berisiko menjadi, alat tidak-langsung dari kelas-kelas lain.” Ini tepat. Untuk mengemban tugas kepeloporan ini hanya bisa dicapai jika sebuah partai revolusioner besandar pada teori Marxisme dan keyakinan terhadap kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang mempu menumbangkan kapitalisme dan membawa ke sosialisme.

Tantangan pemerintahan yang baru

Mahathir telah menjanjikan bahwa pasca kemenangan kubu oposisi, ia akan membebaskan sekutu yang pernah dia sendiri penjarakan, Anwar Ibrahim. Segera setelah Mahathir terpilih sebagai Perdana Menteri Malaysia, dia segera membebaskan Anwar Ibrahim. Selain membebaskan Anwar, pemerintahan yang baru ini juga akan menangani kasus korupsi 1MDB serta menjanjikan penghapusan pajak barang dan jasa (GST) yang selama ini membuat biaya hidup semakin tinggi.

Tidak mudah merealisasikan janji-janji ini.Bahkan pasca pemilu ini diakui sendiri oleh Mahathir:

“Kita perlu akui, kita akan ambil masa lebih 100 hari. Tetapi saya yakin rakyat boleh memahami betapa sukarnya untuk mentadbir negara yang sudah rusak.... Hari ini kami dapati walaupun kami berikrar untuk memenuhi 10 janji itu dalam 100 hari, malangnya, ia tidak begitu mudah untuk diselesaikan.”[3]

Penurunan tajam mata uang Ringgit Malaysia selama beberapa tahun terakhir sangat mencengangkan. Seperti di negeri-negeri berkembang yang lain, situasi demikian bisa memicu ketidakstabilan ekonomi. Pajak GST dan pencabutan subsidi publik oleh rezim sebelumnya yang diharapkan mampu menahan turunnya perekonomian Malaysia adalah satu-satunya alasan mengapa rezim ini jatuh. Tidak ada satupun yang bersedia mendiskusikan dampak dari kebijakan ini bila dicabut. Sementara rakyat Malaysia bisa ditenangkan dengan janji-janji penghapusan ini, namun kapitalisme mempunyai logikanya sendiri. Pasar telah merespons negatif penghapusan pajak GST. Lembaga pemeringkat Moody memperingatkan bahwa penghapusan GST akan menjadi kredit negatif untuk Malaysia karena akan memotong pendapatan yang signifikan bagi pemerintah. Defisit anggaran ini pada akhirnya harus diisi, dan pertanyaannya adalah siapa yang akan mengisinya? Rakyat pekerja lewat pemotongan anggaran sosial atau kelas kapitalis?

Pemerintahan yang baru akan dihadapkan dengan sisi-sisi yang berkontradiksi, antara menjaga kestabilan ekonomi atau menjaga kestabilan politik. Dalam situasi krisis kapitalisme seperti ini, menjaga keduanya adalah tidak mungkin. Satu-satunya hal yang akan dilakukan rezim ini adalah memberi dengan tangan kanan dan mengambil kembali dengan tangan kiri. Sementara saat ini mereka menggunakan seruan patriotik untuk menyerukan rakyat Malaysia menabung membayar hutang negara, seruan ini hanyalah menutupi ketidak-mampuan mereka menyelesaikan masalah perekonomian. Popularitas rezim ini hanyalah sementara. Cepat atau lambat wajah sebenarnya dari rezim ini akan terbuka, dan rakyat pekerja Malaysia tidak akan melupakan pelajaran dari sekolah Mahathir ini.

_____________________

[1]Socialist Partyof Malaysia will survive. LINKS international journal of socialist renewal, 13 Mei 2018, http://links.org.au/socialist-party-malaysia-2018-elections. Diakses pada 8 Juni 2018.

[2]PSM Statement - 28 March 2016 - The citizens' declarationis not a "game changer"!https://partisosialis.org/en/node/3420

[3]Dr M Akui 100 Hari Tidak Cukup Untuk Penuhi Janji. Malaysia Today, 2 Juni 2018, http://www.malaysia-today.net/2018/06/02/dr-m-akui-100-hari-tidak-cukup-untuk-penuhi-janji/. Diakses pada 8 Juni 2018.