facebooklogocolour

Keganasan yang dengannya “komunitas internasional” dan media dunia mempersetan, menghina, dan mengutuk negara Pakistan telah mencengangkan elit penguasa setempat di negeri itu. Serangan-serangan yang menyengat, yang dilancarkan oleh para pemikir-strategis (think-tank) dan cendekiawan imperialis, terhadap ISI [agen rahasia Pakistan] dan pemerintahan negeri itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

Sebuah “negara yang gagal”, “tempat yang paling berbahaya di dunia”, “sangat penuh kebohongan”, “pengkhianat”, adalah beberapa ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan negara Pakistan. The Economist menulis dalam edisi terakhirnya, “Bila ditempatkan di manapun, Pakistan – yang juga memiliki catatan terburuk di dunia dalam hal pelucutan senjata nuklir – dapat dianggap sebagai sebuah negara berandalan (rogue state)”.

Semuanya ini secara parsial bahkan mungkin secara total benar bila kita berbicara tentang elit Pakistan, klas-klas penguasanya, dan para aparatur negaranya yang kebingungan. Namun kenyataannya, pemerintahan apapun yang kita jumpai di Pakistan, itu merupakan bikinan kaum imperialis sendiri. Tidak ada keraguan bahwa klas-klas penguasa yang terlambat tampil di panggung sejarah dan lemah secara ekonomi terpaksa bersandar pada imperialisme dan bergabung dengan sisa-sisa feodalisme sejak negeri itu dilahirkan.

Dengan membudak mereka mengikuti arahan-arahan AS selama pasca Perang Dunia II ketika imperialisme Inggris sedang mengalami kemunduran yang drastis. Kaum imperialis mengintervensi secara langsung dalam pembentukan kebijakan-kebijakan ekonomi, politik, dan luar negeri Pakistan. Sejak tahun 1947 sampai hari ini, hampir setiap pemerintahan di Pakistan melayani kepentingan-kepentingan Amerika. Beberapa menteri kabinet, jenderal, diplomat, dan pegawai-pegawai negeri senior kerap melapor langsung ke Washington, dengan menafikan rantai komando mereka masing-masing.

Semasa hidup Jinnah, Feroze Khan Noon pemimpin Liga Muslim yang pro-Inggris dan belakangan menjadi perdana-menteri, menyerahkan sebuah “referendum konfidensial” yang kasar kepada Departemen Negara (kementerian luar negeri AS) di bawah George C. Marshall, yang berkata, “Kaum mussalman di Pakistan menentang Komunisme... Bila AS membantu Pakistan untuk menjadi sebuah negeri yang kuat dan merdeka … maka rakyat Pakistan akan bertarung sampai orang yang terakhir melawan Komunisme ...”

AS telah terlibat dalam penggantian-penggantian rezim sejak awal. Ketika hukum darurat pertama kali diimposisikan pada tahun 1958, Dewan Keamanan Nasional AS memberikan sokongan penuh kepada rezim militer yang baru. Pernyataan yang disokong sepenuhnya berbunyi, “Pakistan telah digantikan oleh suatu rezim militer yang relatif stabil … situasi politik saat ini akankondusif bagi tujuan-tujuan AS yang lebih jauh…” Jenderal Ayub Khan menanggapi dalam pidatonya dalam rapat kabinet yang pertama, “Sejauh yang Anda prihatinkan, hanya ada satu kedutaan besar yang penting di negeri ini: kedutaan besar Amerika.”

Pada akhir 1970-an, dengan krisis yang kian parah, kediktatoran brutal Jenderal Zia ul Haq menjadi poros strategi AS. Itulah alasan mengapa Washington memberi lampu-hijau untuk pengeksekusian Bhutto dan menutup mata terhadap program nuklir Pakistan. Si licik Zia memahami hal ini dan menginstruksikan kepala ISI waktu itu, Jenderal Akhtar Abdul Rehman agar, “Air di Afghanistan harus dibuat mendidih pada suhu yang tepat.”

Namun, ini bukan kali pertama Amerika bersitegang dengan tentara Pakistan. Ketika Zia berupaya bergerak terlalu jauh di Afghanistan dan berencana mengibarkan bendera Islam bulan-sabit dan bintang di atas negara-negara Asia Tengah, ia menjadi resiko bagi majikan-majikannya, dan yang terjadi selanjutnya adalah sebuah rahasia umum.

Meskipun merupakan bagian dari strategi AS untuk satu kurun waktu, metodologi Islam fundamentalis diberi dorongan oleh formulasi ideologi yang diberikan padanya oleh si “penjagal Vietnam” yang kesohor keji, Samuel P. Huntington. Pada musim panas 1993 ia menulis sebuah artikel dalam Foreign Affairs yang berjudul “The Clash Of Civilizations” (Benturan Antar Peradaban). Ia berargumen bahwa mulai sekarang kebudayaan, bukan politik atau ekonomi, yang akan mendominasi dan memecahbelah dunia. Huntington menyimpulkannya dengan memberikan sebuah catatan yang mengerikan, “dunia tidak satu. Peradaban-peradaban menyatukan dan memecahbelah umat manusia… darah dan kepercayaan adalah hal yang diidentifikasikan oleh orang-orang, dan mereka akan bertarung dan mati untuknya.” Inilah teori reaksioner yang dianut Osama bin Laden dan membuatnya melakukan kebrutalan demi kebrutalan. Ia membingkai dan melancarkan jihadnya sesuai “benturan peradaban-peradaban”. Beberapa pakar strategi imperialis yang serius khawatir jangan-jangan setelah lenyapnya Osama, semakin besar kebutuhan untuk mempertajam “benturan peradaban” guna menutupi kontradiksi yang sesungguhnya – kontradiksi klas.

Sayap kanan di Pakistan telah memunculkan kegaduhan untuk membela tentaranya dengan melontarkan retorika anti-Amerika dalam perbincangan-perbincangan di media cetak dan eletronik. Tapi anti-imperialisme tidak mutlak berarti anti-Amerikanisme. Kaum buruh dan kaum muda Amerika juga menjadi korban dari imperialisme AS. Proletariat Amerika akan memainkan suatu peran yang menentukan dalam transformasi sosialis atas masyarakat. Dalam artian tertentu, mereka akan menjadi pelopor proletariat dunia.

Pada saat yang sama Amerika tidak bisa mempercayai tentara Pakistan sekaligus tidak bisa meninggalkannya. Ketika krisis semakin parah, konflik pun merebak di antara mereka. Tetapi sejurus waktu kemudian mereka akan diperdamaikan karena kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak dari sistem eksploitatif kapitalisme yang merupakan dasar bagi mereka dan yang mana mereka diciptakan untuk membela kepentingan-kepentigan kapitalisme.  Karena itu, suatu perjuangan anti-imperialis yang sejati harus dihubungkan dengan penggulingan kapitalisme di Pakistan atau di negeri manapun. Kaum fundamentalis agamawi dan sayap kanan justru merupakan pengikut-pengikut paling setia dari sistem yang kejam ini.

Pakistan yang sekarang, secara ekonomi, sosial, politik, dan moral, adalah sebuah negara yang lebih buruk daripada sebelumnya. Inilah akibat dari kebusukan yang ekstrim dari kapitalisme Pakistan. Inilah Pakistannya kaum elit pembudak yang menguasai dan memiliki negeri ini. Tapi ada Pakistan yang lain! Itulah Pakistannya 180 juta kaum buruh, kaum tani, kaum muda, yang terhisap, tercerabut, diperlakukan brutal, dan dibuat sengsara oleh elit dan negaranya. Massa-rakyat pekerja ini jijik dengan korupnya klas penguasa Pakistan dan kaum imperialis. Mereka membenci teror yang ditebar kaum fundamentalis. Mereka juga membenci pembantaian yang dilakukan kaum imperialis. Tak heran: tidak ada massa yang meratapi, atau sebaliknya merayakan, kematian Osama bin Laden di Pakistan.

Ketika boneka-boneka imperialisme yang korup itu berkuasa, terjadilah pertarungan yang semakin sengit di antara mereka sendiri demi memperebutkan bagian jarahan yang lebih besar. Sementara itu, kaum imperialis, yang telah menghisap darah dan keringat Pakistan “yang lain” ini, ingin lebih lagi. Kaum imperialis ingin supaya kaum elit politik dan militer Pakistan semakin tunduk dan menghambakan diri kepada mereka. Tapi sementara nafsu untuk mendapatkan yang lebih besar kian menggelora, kadang-kadang anjing peliharaan menggigir tangan majikannya! Krisis sistem ini bukannya akan mereda. Stabilitas apapun, dengan mengabaikan massa-rakyat atau kemakmuran masyarakat, adalah suatu utopia, mengingat parahnya krisis sosio-ekonomi dan kemerosotan yang agaknya akan terus berlanjut di waktu-waktu yang akan datang.

Kesengsaraan, kemelaratan, dan kemiskinan bukanlah nasib kaum pekerja di negeri ini. Keselamatan satu-satunya untuk Pakistan “yang lain” adalah bangkit, seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulu mereka pada 1968-69. Mereka mempunyai sebuah ikrar sejarah yang harus digenapi. Mereka harus menyelesaikan sebuah revolusi yang belum selesai. Dan mereka akan bangkit, lebih cepat daripada para pendahulu mereka.

Diterjemahkan oleh Pandu Jakasurya, dari “The other Pakistan” Lal Khan, 18 Mei 2011.