facebooklogocolour

biden vs putinSelama beberapa bulan terakhir, dunia dicekam oleh kemungkinan perang antara Rusia dan Ukraina yang dibeking oleh AS dan Eropa. Eskalasi militer ini mencapai titik tertingginya ketika Putin mengakui kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Luhansk (LPR) di Ukraina Tenggara, dan mengirim pasukan “penjaga perdamaian” ke kedua wilayah tersebut. Agar tidak terjebak mendukung kubu imperialis ini atau itu, kita harus memahami kepentingan yang bersembunyi di belakang konflik ini. Hanya dengan demikian, gerakan buruh internasional dapat meneropong jauh melampaui kabut “nasionalisme” dan “patriotisme” yang membutakan mata dan menawarkan solusi kelas buruh yang internasionalis.

Imperialisme Barat telah menanggapi dengan ancaman sanksi ekonomi. Imperialisme AS, NATO, Uni Eropa dan Inggris mengecam keputusan Putin sebagai “pelanggaran kedaulatan Ukraina” dan “penghinaan terbuka atas hukum dan norma internasional.” Siapapun yang tahu sejarah akan mengendus dengan cepat bau busuk kemunafikan dari pernyataan tersebut. Negeri-negeri yang mengutuk Rusia hari ini juga telah melakukan kebijakan yang sama sebelumnya.

Imperialisme Barat memainkan peran menjijikkan dalam memecah belah Yugoslavia pada 1992. Tidak ada yang berbicara mengenai “kedaulatan nasional” Yugoslavia saat itu, dan alasannya jelas: Imperialisme Barat memiliki kepentingan mereka untuk memecah belah Yugoslavia guna memenangkan kembali pengaruh mereka di wilayah tersebut. Kebijakan memecah Yugoslavia adalah kebijakan yang sepenuhnya reaksioner, karena memicu perang saudara yang berdarah-darah, pembersihan etnis yang kejam, serta konflik SARA yang masih berkelanjutan sampai hari ini. Kemunafikan Imperialisme Barat memang tidak ada duanya.

Kemunafikan Imperialisme

AS dan Eropa sekarang berceloteh mengenai perlunya Rusia menghormati “kedaulatan nasional”, sembari mengumbar diri mereka sebagai pahlawan demokrasi dan HAM. Apakah kita seharusnya lupa kalau AS dan sekutu-sekutu junior mereka ini tidak mengedipkan mata barang sekalipun saat mereka membom dan menginvasi negeri-negeri berdaulat lainnya? Imperialisme Barat sangat mahir dalam mengorganisir kudeta militer dan mengintervensi urusan dalam negeri orang lain, terutama ketika ini cocok dengan kepentingan mereka. Kita telah saksikan ini dari Irak sampai Afghanistan, dari Honduras sampai Venezuela, dari Libya sampai Somalia, dan daftar ini terlalu panjang untuk ditulis di sini. Dan ketika ini bukan kepentingan mereka, mereka menutup mata mereka. Misalnya di Yemen, di mana Arab Saudi dibiarkan membom negeri ini sampai hancur lebur dan membuat jutaan rakyatnya kelaparan, imperialisme Barat tidak bertindak sama sekali. Ini karena Arab Saudi adalah sekutunya imperialisme Barat, dan Rusia bukan.

Dari sudut pandang kepentingan rakyat pekerja seluruh dunia, kita tidak boleh dibodohi oleh permainan “siapa yang memulai terlebih dahulu”. Kedua pihak memiliki aspirasi imperialis mereka, dan untuk kepentingan militer kedua kubu imperialis akan selalu menuduh yang lain sebagai pihak yang memulai. Sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, imperialisme AS dan sekutu-sekutu NATO-nya telah menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya ada di bawah lingkup pengaruh Rusia. Perlahan-lahan, negeri-negeri Eropa Timur ditarik ke bawah pengaruh AS, NATO, dan Uni Eropa.

Ukraina adalah kandidat anggota NATO, dan ekspansi NATO ini ditujukan untuk melemahkan ambisi imperialis Rusia di wilayah tersebut. Dalam kata lain, ini adalah kebijakan untuk membatasi pengaruh kelas kapitalis Rusia, dan meluaskan pengaruh kelas kapitalis Barat. Bila NATO tidak melakukan ekspansi ke timur, kita tidak akan dihadapkan dengan kemungkinan perang di Eropa. Tetapi NATO adalah aliansi negeri-negeri kapitalis, yang memiliki kepentingan ekonomi dan geo-politik mereka untuk menguasai Eropa Timur. Kapitalisme adalah sistem yang cepat atau lambat akan melahirkan perang. Di masa damai, kubu-kubu imperialis yang bertentangan berkompetisi secara “damai”. Tetapi “kompetisi damai” ini niscaya akan menemui batasnya, dan perang pun menjadi opsi selanjutnya.

Beragam “revolusi warna” yang kita saksikan di negeri-negeri Eropa Timur semenjak 1989 bukanlah ekspresi murni kehendak rakyat pekerja. Sebaliknya, “revolusi-revolusi warna” ini adalah manuver dari Barat untuk mendirikan rejim-rejim yang akan memfasilitasi privatisasi lebih lanjut dari aset-aset negara, memenangkan kendali atas pasar, dan memperluas cakupan pengaruh mereka. Aspirasi jujur rakyat untuk demokrasi dan kehidupan yang lebih baik dibajak. Jadi, ini bukanlah konflik antara “demokrasi” Barat dan “kediktatoran” Putin, tetapi adalah perseteruan antara dua kekuatan imperialis yang bertentangan, yang tengah bersaing untuk memenangkan dominasi di wilayah Balkan dan Eropa Timur.

Putin telah meniru metode-metode imperialis Washington untuk mengejar kepentingannya. Sang murid belajar dari sang guru. Misalnya, pasukan Rusia yang memasuki Donbas disebut Putin sebagai “penjaga perdamaian”. Dia juga meniru kebijakan imperialisme AS, yakni ketika AS secara sinis menggunakan penderitaan yang dialami rakyat Albania di Kosovo guna membom Serbia (Perang Kosovo 1998-99), yang adalah sekutu tradisionalnya Rusia. Sekarang, Putin secara sinis menggunakan kesengsaraan rakyat berbahasa-Rusia di Donbas untuk menghantarkan pukulan ke Ukraina dan Barat. Sementara, AS dan Eropa menitikkan air mata buaya mengenai pelanggaran “hukum internasional”, yang sesungguhnya tidak berarti dalam praktiknya. Relasi internasional dalam epos imperialisme diatur bukan oleh hukum, tetapi oleh kekuatan ekonomi dan militer.

Dalam pidato panjangnya untuk memberi justifikasi atas pengakuan kedaulatan DPR dan LPR, Putin mengungkapkan dengan jelas ideologi reaksioner dan sauvinis yang melatarbelakangi intervensi ini. Dia mengatakan, Ukraina adalah bangsa artifisial yang dipisahkan dari Rusia oleh Lenin dan kaum Bolshevik. “Ukraina modern sepenuhnya diciptakan oleh Rusia, atau lebih tepatnya, oleh Rusia di bawah rejim Komunis Bolshevik,” ujarnya. “Lenin dan pengikutnya melakukan ini dengan cara yang kasar, dengan memisahkan wilayah historis Rusia. Jutaan rakyat yang tinggal di sana tidak ditanya sama sekali.” Dia menambahkan: “Sekarang, keturunan mereka telah merobohkan monumen-monumen Lenin di Ukraina. Mereka menamakan itu dekomunisasi. Kalian ingin dekomunisasi? Baiklah, ini cocok dengan kami. Tetapi jangan berhenti di tengah jalan. Kami siap menunjukkan kepada kalian dekomunisasi yang sesungguhnya bagi Ukraina.” Karena Ukraina menurut Putin adalah ciptaan artifisial kaum Komunis, “ciptaannya Lenin”, maka dekomunisasi berarti kembalinya Ukraina ke Rusia. Demikian maksud Putin. Dan model yang dibayangkan oleh Putin adalah Rusia Imperium jaman Tsar, di mana negeri-negeri seperti Ukraina, Finlandia, Lituania, dan yang lainnya adalah bangsa-bangsa tertindas di bawah kuasa Rusia Raya.

Kebijakan Putin bukan dimotivasi oleh penderitaan etnis Rusia di Ukraina, ataupun penderitaan rakyat Donbas. Putin mewakili kepentingan kelas kapitalis Rusia, yang ingin menegakkan peran Rusia sebagai kekuatan imperialis yang dominan. Eskalasi Putin mencerminkan kepentingan keamanan nasional kelas kapitalis Rusia: kelas penguasa reaksioner yang berambisi menjadi kekuatan imperialis regional, seperti yang telah ditunjukkan di Georgia, konflik Armenia-Azerbaijan, Belarus dan Kazakhstan, dan juga intervensi Rusia di Suriah.

Selain itu, Putin juga berusaha memperkuat popularitasnya di Rusia, yang telah terpukul karena problem-problem sosial yang meruncing dan tingkat kemiskinan yang memburuk. Menabuh genderang perang dan mengobarkan sentimen nasionalisme adalah cara yang ampuh untuk mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari problem-problem mereka. Nasionalisme selalu berguna untuk mengaburkan konflik kelas.

Motivasi Putin

Putin telah menjabarkan dengan jelas dan terbuka apa yang memotivasinya. Dalam suratnya kepada NATO, dia menuntut jaminan keamanan bagi Rusia di Eropa. Ini meliputi: kepastian kalau Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO; menghentikan latihan militer di perbatasan Rusia; menghentikan penempatan misil jarak-menengah. Ini adalah tanggapan atas ekspansi NATO ke timur setelah runtuhnya Stalinisme 30 tahun yang lalu. Saat itu, ekonomi Rusia carut marut, dan imperialisme AS mengambil kesempatan ini untuk mengonsolidasikan cengkeraman mereka di Eropa Timur. Namun pada periode hari ini, kekuatan AS tengah mengalami kemunduran, terutama setelah penarikan mundur pasukan AS dari Afghanistan yang berakhir buruk itu. Melihat realitas baru ini, Rusia mulai mendorong kembali dan mencoba memenangkan posisi mereka kembali.

Melemahnya AS telah terungkap sejak awal konflik ini. Kendati semua peringatan AS mengenai “invasi yang akan terjadi”, sedari awal Presiden AS Joe Biden telah membuat jelas bahwa AS tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina. Seperti pada 2014, AS tidak melakukan apa-apa ketika Rusia menganeksasi Krimea. Ini mengirim pesan yang sangat jelas bagi Putin, bahwa dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan di Ukraina, dengan konsekuensi yang terbatas, seperti sanksi ekonomi. Sementara, serangan balik militer dari AS adalah kemungkinan yang amat kecil.

Oleh karenanya, secara fundamental, ini adalah konflik reaksioner antara dua kekuatan imperialis. Di satu sisi adalah imperialisme AS, yang sampai hari ini masihlah merupakan kekuatan imperialis yang paling kuat dan paling reaksioner di muka bumi. Di sisi lain adalah imperialisme Rusia, dengan ambisi reaksionernya untuk menjadi penguasa regional di wilayah Balkan, Eropa Timur, dan Asia Tengah. Kelas buruh sedunia tidak memiliki kepentingan sama sekali untuk mendukung kedua kubu ini.

Untuk memenuhi ambisi imperialis Rusia, Putin menggunakan dalih kedaulatan nasional Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Luhansk (LPR) sebagai recehan kecil. Pada 2014, pemberontakan di Donbas adalah bagian dari gerakan massa untuk menentang berkuasanya pemerintahan baru Ukraina yang dibeking oleh kekuatan-kekuatan neo-Nazi. Kekuatan reaksioner ini menyebarkan racun nasionalisme Ukraina yang sangat keji, dengan sentimen anti-etnis-Rusia dan pro-Nazi. Pada saat itu, gerakan massa di Donbas meliputi berbagai elemen: kaum Kiri dan Komunis; kaum anti-fasis; dan juga elemen sauvinis pro-Rusia yang memiliki nostalgia Rusia Imperium. Seiring waktu, kedua republik Donetsk dan Luhansk menjadi semakin tergantung pada Rusia, secara ekonomi maupun militer. Kepemimpinan kedua republik ini dibersihkan dari elemen-elemen yang lebih Kiri dan lebih akar-rumput, dan digantikan dengan elemen-elemen yang lebih sauvinis-Rusia. Ketika diminta oleh Putin, kepemimpinan DPR dan LPR memerintahkan evakuasi warga sipil dan memobilisasi semua warga di atas 17 tahun untuk perang, dan lalu pergi ke Moskow untuk memohon pengakuan kedaulatan. Tentu saja Putin memberi pengakuan ini. Oleh karenanya, pengakuan “kedaulatan” oleh Rusia hanyalah formalitas, karena kedua republik ini sesungguhnya sudah sepenuhnya tergantung pada Moskow. Satu-satunya hal yang berbeda adalah Putih mendeklarasikan mereka sudah bukan lagi bagian dari Ukraina.

Apa yang telah berubah?

Menanggapi tuntutan Putin, sedari awal Amerika mengambil posisi garis keras, dengan terus mengecam Rusia dan menolak memberi konsesi. Sebagai penguasa dunia, AS tidak boleh tampak lemah dengan memberikan konsesi. Bila AS menunjukkan kelemahan, ini bisa membuat banyak negeri lainnya mulai menantang posisi mereka. Jadi, sementara Biden tidak ingin dan tidak mampu meluncurkan aksi militer, pada saat yang sama Biden tidak ingin tampak memberikan konsesi. Kebuntuan inilah yang menghasilkan eskalasi hari ini.

Putin telah memperhitungkan, kubu imperialis Barat tidaklah berdaya untuk menghentikannya. Respons dari Barat sampai hari ini hanya terbatas pada beragam sanksi terhadap Rusia. Sanksi ekonomi oleh Uni Eropa menyasar pada siapapun yang melakukan relasi dagang dengan kedua republik Donetsk dan Luhansk. Masalahnya, semua anggota Uni Eropa, 27 dari mereka, harus setuju. Jelas ada opini-opini yang berbeda, seperti dari Italia, Jerman, dan Austria yang sangat khawatir mengenai suplai gas. Rusia menyuplai 40 persen konsumsi gas Uni Eropa, dan di seluruh Eropa ada kemarahan yang semakin meluas atas kenaikan harga gas. Konflik Rusia-Ukraina ini semakin mendorong naik harga gas, dan begitu juga harga minyak.

Konflik Rusia-Ukraina ini juga digunakan oleh banyak negeri untuk mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari problem sosial dan ekonomi yang mereka hadapi. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, misalnya, telah membuat banyak kegaduhan seputar konflik ini, dengan pengumumannya bahwa dia akan membela kedaulatan nasional Ukraina dan membekukan aset milik tiga kapitalis oligarki Rusia, serta menetapkan sanksi terhadap lima bank Rusia.

Sementara, Biden telah mengumumkan sanksi yang akan melarang investasi baru dan relasi dagang oleh warga AS dengan wilayah Ukraina yang kini berada di bawah kendali kekuatan separatis yang dibeking Rusia. Tetapi Thomas Graham, mantan Direktur Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih di bawah George W. Bush, telah menyatakan bahwa sanksi-sanksi ini “tidak akan memiliki banyak dampak” atas apa yang akan dilakukan Rusia selanjutnya. Sanksi-sanksi ini tidak akan berbeda dengan yang sebelumnya dikenakan ke Rusia setelah mereka mencaplok Krimea pada 2014.

Putin memahami kelemahan rejim Ukraina. Tetapi, setelah mengirim pasukan ke kedua republik, apa yang akan terjadi selanjutnya? Sulit mengatakan apa langkah Putin selanjutnya. Perang adalah persamaan yang paling kompleks, dan setelah dimulai tidak ada yang tahu bagaimana hasil akhirnya. Putih harus mempertimbangkan setiap konsekuensi yang ada, dan memperhitungkan langkah selanjutnya dengan cermat.

Di artikel-artikel sebelumnya, kami berpendapat, perang terbuka antara Rusia dan Ukraina adalah perspektif yang kemungkinannya kecil. Apa yang telah berubah? Putin membuat taruhan, kalau AS dan Eropa akan memberi konsesi-konsesi guna menghindari kemungkinan perang yang dapat menciptakan ketidakstabilan di Eropa. Sebelum langkah pengakuan kedaulatan baru-baru ini, Putin berusaha mendorong implementasi Pakta Minsk – perjanjian yang disetujui pada 2014-2015 untuk menghentikan perang di Donbas. Pakta ini berjanji memberi status otonomi bagi Republik Donetsk dan Luhansk, tetapi sampai hari ini belum dipenuhi oleh Ukraina. Ini karena bila DPR dan LPR menjadi otonom maka akan memberi posisi kuat bagi Rusia di dalam Ukraina. Ini adalah sesuatu yang sulit diterima oleh rejim Ukraina dan tuan-tuan AS dan Eropanya.

Aliansi NATO pada akhirnya tidak bersedia memberikan konsesi pada tuntutan-tuntutan Rusia. Dalam pandangan mereka, konsesi apapun akan memperkuat Rusia, dan ini ingin mereka hindari. AS terutama menolak untuk berkompromi seputar masalah ekspansi NATO

Ini menempatkan Putin dalam posisi harus melangkah maju dengan merealisasikan ancamannya, atau mundur. Ancaman awalnya telah gagal, dan satu-satunya opsi yang ada adalah dengan meningkatkan eskalasi. Dia mencari alasan yang dibutuhkan untuk mengirim pasukan ke republik Donetsk dan Luhansk. Dengan alasan membela “kedaulatan nasional” kedua republik ini dan menyelamatkan rakyat Donbas dari “lautan darah” yang disebabkan oleh rejim Kiev, Putin mengirim pasukan “penjaga perdamaian”nya. Pasukannya akan disambut hangat oleh warga DPR dan LPR. Setelah berhasil menguasai kedua republik ini, Putin dapat menggunakan posisi ini untuk menegosiasi konsesi dari NATO. Akan tetapi, bila Putin mencoba menyerang seluruh Ukraina, ini dapat menjadi bumerang, karena dia harus berhadapan dengan penduduk Ukraina yang menentang didominasi oleh Rusia.

Hentikan Perang! Musuh yang sesungguhnya ada di rumah kita sendiri!

mass protest in russiaPutin telah mencoba memaksa Barat untuk duduk di meja perundingan dan memberinya konsesi yang dia inginkan. Tetapi imperialisme Barat – terutama AS, yang dibeking oleh partner juniornya Inggris – menolak. Ini menjelaskan mengapa pada akhirnya Putin memutuskan meningkatkan ketegangan yang ada dengan mengirim pasukannya. Apakah dia akan membatasi dirinya pada dua republik DPR dan LPR? Atau dia akan terus memasuki ke kedalaman wilayah Ukraina?

DPR dan LPR pada kenyataannya hanya menguasai sebagian dari wilayah Donetsk dan Luhansk. Ini berarti garis perbatasan DPR dan LPR berpotensi menjadi titik ketegangan selanjutnya antara Rusia dan Ukraina. Kubu Barat telah menerapkan sanksi ekonomi, tetapi apa lagi yang bisa dilakukan oleh NATO bila Rusia memutuskan untuk terus memasuki Ukraina dan menumbangkan pemerintahan yang berkuasa? Dari sudut pandang militer murni, Rusia dapat mengalahkan Ukraina dengan cukup mudah, dan tidak ada kekuatan Eropa yang menunjukkan niatnya untuk ikut campur dengan mengirim prajurit mereka. Tetapi, walaupun ada simpati di antara penduduk DPR dan LPR terhadap kedatangan pasukan Rusia, ini akan berbeda bila Putin terus memasuki wilayah Ukraina. Dia akan menemui oposisi massa luas. Ini akan membuat operasi militer lebih rumit, dan lebih memakan biaya untuk mempertahankan wilayah di luar DPR dan LPR.

Pemerintahan Kiev sekarang ada di bawah tekanan besar. Dari sudut pandangnya, wilayah Ukraina telah secara resmi diserang. Tetapi mereka tidak bisa melakukan apapun. Krimea dicaplok delapan tahun yang lalu, dan masih sampai hari ini menjadi bagian dari Federasi Rusia, kendati sanksi ekonomi terhadap Rusia. Terakhir kali Kiev mengobarkan perang di Donbas, mereka kalah dan tidak ada yang datang membantu mereka. Ukraina telah memohon pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB, tetapi dengan hak veto Rusia, badan ini tidak akan lumpuh. Sementara, keimpotenan Presiden Ukraina Zelensky dalam menghadapi situasi ini dapat merobohkan pemerintahannya yang lemah ini cepat atau lambat.

Apa yang dituntut oleh Rusia pada akhirnya adalah ini: Rusia harus diakui sebagai kekuatan regional dan diberi jaminan agar negeri-negeri Eropa Timur yang berbatasan dengannya tidak akan menjadi ancaman bagi kepentingannya. Setelah dia menguasai Donetsk dan Luhansk, kemungkinan besar Putin tidak akan melepaskan cengkeramannya. Dia bahkan dapat merangsek masuk lebih jauh ke wilayah Ukraina.

Pada akhirnya, dari sudut pandang kepentingan kelas buruh Ukraina dan Rusia, konflik ini tidak memberi mereka apapun, kecuali racun nasionalisme dan patriotisme yang memecah belah mereka. Ketika Putin mengatakan bahwa Ukraina adalah ciptaan Lenin, dia tentu saja keliru. Identitas Ukraina yang kompleks ini sudah ada jauh sebelum 1917. Tetapi kebijakan hak penentuan nasib sendiri Lenin yang cermat memungkinkan persatuan antara Soviet Ukraina dan Soviet Rusia secara setara, yang diakui oleh pembentukan USSR pada 1922, tepat 100 tahun yang lalu. Hanya dengan pengertian ini maka kita bisa mengatakan bahwa Ukraina yang bebas dan berdikari adalah ciptaan Lenin, dan ini sekarang tengah dihancurkan oleh kubu-kubu imperialis yang tengah berseteru, dengan kacung-kacung mereka.

Rakyat pekerja Ukraina dan Rusia memiliki ikatan historis yang kuat. Ikatan ini kini tengah dilemahkan oleh nasionalisme Ukraina dan sauvinisme Rusia Raya, terutama semenjak runtuhnya Uni Soviet, dan dilanjutkan oleh “Revolusi Euromaidan” pada 2014 yang dipimpin oleh kaum nasionalis Ukraina yang reaksioner dan bahkan pro-Nazi.

Satu-satunya jalan keluar bagi kelas buruh Ukraina dan Rusia adalah dengan menumbangkan kelas kapitalis oligarki mereka masing-masing, yakni parasit-parasit yang telah menguasai Rusia dan Ukraina semenjak runtuhnya Uni Soviet dengan menjarah aset-aset publik. Kekayaan yang dijarah oleh oligarki Rusia dan Ukraina ini harus disita kembali dan diletakkan di tangan kelas buruh. Hanya dengan demikian maka Ukraina dapat sungguh-sungguh bebas, dan kelas buruh dari kedua bangsa ini dapat bersatu secara sukarela dan setara, tanpa diskriminasi linguistik, nasional, etnis, dsb.

Tugas kaum revolusioner di seluruh dunia bukanlah mendukung kubu imperialis Barat ataupun Rusia. Mereka ibarat preman-preman yang tengah bentrok berebutan wilayah kekuasaan. Yang jadi korban adalah penghuni wilayah tersebut, yakni rakyat pekerja. Aspirasi nasional dari bangsa-bangsa tertindas selalu digunakan sebagai recehan kecil oleh kekuatan imperialis besar: kali ini Barat mengklaim membela “kedaulatan nasional” Ukraina dan Rusia membela “kedaulatan nasional” DPR dan LPR. Tugas kita adalah mengekspos kapitalisme dan imperialisme yang akan selalu melahirkan perang dan konflik, yang terus menebar racun nasionalisme atas nama “kedaulatan nasional” dan mengirim rakyat pekerja ke parit-parit perang demi kepentingan profit mereka. Marx sejak awal telah mengatakan, kaum buruh tidak memiliki bangsa. Bukan perang nasional, tetapi perang kelas!