facebooklogocolour

demonstrasi menolak perangSetiap kali perang pecah, kemandirian kelas proletariat juga mengalami ujiannya yang terbesar. Demam perang, sentimen nasionalisme, dan propaganda perang dengan cepat melempar ke sana ke mari aktivis Kiri yang sedari awal tidak punya pegangan yang kokoh atas teori Marxisme. Hari ini, perang Ukraina mengungkapkan proses yang sama.

Kaum reformis dan sosial demokrat di negeri-negeri Barat tergesa-gesa membuntuti pemerintahan borjuis mereka masing-masing. Mereka membebek propaganda imperialisme AS dan NATO mengenai Rusia yang jahat, dan bagaimana negeri-negeri “demokrasi” tengah melawan kebijakan predatoris Rusia yang buas, yang katanya melanggar “kedaulatan nasional” dan “hukum internasional”.

Tetapi posisi kaum reformis di negeri-negeri Timur seperti Indonesia sesungguhnya tidak berbeda jauh, dan hanya datang dari kutub yang berbeda. Mereka mengutuk kemunafikan imperialisme Barat – yang memang patut dikutuk – tetapi menemukan diri mereka mendukung Putin dan membebek propaganda “sauvinis” Rusia. Pada akhirnya, mereka hanya mendukung gangster imperialis lainnya.

Kaum reformis entah di Barat maupun Timur hanya berbeda dalam mendukung kubu imperialisme yang mana. Mereka sama-sama telah mencampakkan posisi internasionalisme sosialis. Yang tentunya menjijikkan, tidak sedikit dari mereka yang mengaku Marxis dan mengutip Lenin dengan penuh semangat untuk membela posisi mereka. Seruan internasionalis “Kaum buruh sedunia bersatulah!” dilupakan.

Amerika Serikat dan aliansi militer NATO mereka adalah kekuatan kontra-revolusioner yang paling keji. Tetapi dalam melawan imperialisme AS, kita tidak boleh lalu mereduksi posisi ini menjadi anti Amerika Serikat saja, dengan dalih bahwa AS adalah musuh terbesar dan kita harus beraliansi atau setidaknya bersimpati dengan kekuatan lainnya yang anti-Amerika. Ini tidaklah lebih dari politik minus malum, dengan memilih sayap borjuasi mana yang lebih “jinak”. Setiap kali seorang bermain-main dengan logika “terbaik dari yang terburuk” yang katanya lebih realistis, maka ia telah secara efektif mencampakkan kemandirian kelas proletariat, dan dengan demikian mencampakkan juga sosialisme. Pada akhirnya memang demikian. Mereka yang memilih posisi “realistis” sebenarnya sudah tidak lagi percaya pada masa depan sosialisme. Mereka sudah menyerah. Selalu ada banyak alasan yang dikemukakan. Di sana sini mereka sering memberi layanan bibir pada sosialisme, tetapi hanya demi pencitraan agar masih tampak “radikal” dan “militan”, atau mungkin untuk menenangkan batin mereka yang merasa bersalah telah menyerah.

Jalan keluar dari mimpi buruk perang ini bukanlah dengan mendukung salah satu kubu imperialis yang tengah berperang. PBB juga bukan jalan keluar. Selama PBB eksis sejak 1945, apakah ada perdamaian? Tidak. Perang terus berlanjut: Perang Korea, Vietnam, Yugoslavia, Irak, Afghanistan, Suriah, Georgia, dst. PBB hanya menabur ilusi perdamaian. Satu-satunya kekuatan yang bisa menghentikan perang ini adalah kelas buruh, dengan metode perjuangan aksi massa militan. Jangan taruh secuilpun kepercayaan pada pemerintahan borjuis ataupun “komunitas internasional” semacam PBB, ASEAN, dsb.

Selama kapitalisme terus bercokol, maka perang menjadi tak terelakkan. Tidak akan ada perdamaian di bawah kapitalisme. Bagi imperialisme, perdamaian berarti hidup di bawah himpitan jempol kekuatan imperialis yang lebih dominan. Dan bahkan bila ada perdamaian, ini hanyalah gencatan senjata sementara, di mana negeri-negeri yang bertikai berhenti perang hanya untuk membangun kekuatan militernya lebih lanjut untuk perang selanjutnya, yang akan lebih besar dan berdarah-darah. Oleh karenanya mengharapkan perdamaian di bawah kapitalisme adalah pasifisme yang membuai massa dengan ilusi.

Mereka mengatakan kepada kita: “Realistis saja, kelas buruh belum siap merebut kekuasaan.” Tetapi kelas buruh tidak akan pernah siap kalau setiap saat kita berkapitulasi. Kelas buruh akan siap ketika kepemimpinannya memiliki visi perjuangan sosialis yang jelas, konsisten, dan tegas. Kekuatan kaum revolusioner memang belum cukup kuat untuk bisa mengubah alur sejarah dan menghentikan perang, tetapi kita sudah cukup kuat untuk bisa memperjuangkan posisi internasionalis dalam gerakan buruh, dan dengan sabar mendidik buruh -- satu demi satu bila diperlukan -- agar selalu prinsipil dalam mempertahankan kemandirian kelas mereka dan nilai internasionalisme. Bila kita ingin mengakhiri perang, maka kita harus mengakhiri kapitalisme. Dan untuk mengakhiri kapitalisme, kita harus membangun organisasi revolusioner yang berlandaskan sosialisme internasionalis. Inilah yang tengah kami bangun hari ini. Bergabunglah dengan kami!