facebooklogocolour

Karl Marx menulis bahwa "Manusia yang menciptakan agama, bukanlah agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran diri dan kepercayaan diri seorang manusia, yang belum lagi menemukan jati dirinya, ataupun telah kehilangan dirinya lagi. Akan tetapi manusia bukanlah makhluk abstrak yang berkemah di luar dunia. Manusia itulah dunia manusia, negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat ini menciptakan agama: sebuah kesadaran - dunia yang terbalik, karena kita hidup di sebuah dunia yang terbalik, sebuah dunia dimana hubungan umat manusia natural berdiri di atas kepala mereka." (1)

Analisa Marxis mengenai agama dan akar sosial manusia membantu kita dalam memahami masyarakat di masa lampau dan, melalui pemahaman masyarakat terdahulu, memahami masyarakat jaman sekarang yang telah berevolusi darinya. Begitu kita telah menggapai metode ilmiah ini (materialisme historis), dengan mudah kita bisa memahami fenomena fundamentalisme, yang sangat menyebar luas dalam masyarakat kontemporer -bukan hanya fundamentalisme Islam, tetapi juga macam Yahudi, Hindu dan Kristen. Penyebaran fundamentalisme dan jenis pemikiran irasional lain adalah sebuah refleksi dari kebuntuan kapitalisme. Alan Woods mengatakan: "Antara lapisan penutup yang tipis, terdapat tendensi dan ide-ide irasional primitif, tersembunyi dalam peradaban yang telah mengakar di masa lampau dan setengah terlupakan, tetapi belum sepenuhnya tertanggulangi. Pun hal itu tidak akan pernah benarbenar tercerabut dari kesadaran manusia kecuali para lelaki dan perempuan telah membangun kendali yang mantap atas kondisi eksistensi mereka." (2)

Gagasan-gagasan agamis masih memainkan peranan kuat dalara masyarakat umat manusia tetapi, dalam analisa terakhir, hal ini didasarkan atas realitas material. Dengan mengesampingkan segala formasi dan karakter khusus, pemikiran-penikiran religius yang muncul pada periode tertentu perkembangan sosial manusia muncul terutarna dari perubahan yang berlangsung dalam hubungan produktif dan daripadanya merupakan refleksi dari perubahan-perubahan ini.

Setiap institusi relijius pun, dan juga organisasi-organisasi yang mendasarkan diri padanya, pada pokoknya mewakili kepentingan kelas tertentu dalam tubuh masyarakat. Derajat survivalitas agama yang tinggi hanya bisa diwujudkan sepanjang bisa memelihara landasan sosialnya sendiri berupa dukungan terhadap satu kelas atau pengelompokan sosial atau yang lainnya.

Sebagai contoh, gereja Katolik Roma, yang muncul pada akhir jaman kuno, bisa bertahan dengan mengadaptasikan diri, yang pertama dengan masyarakat feodal dan kemudian dengan masyarakat kapitalis yang menggantikan feodalisme. Dalara proses ini kebanyakan ajarannya telah berubah. Di abad ke-16 dan ke-17, ketika krisis feodalisme merusak tatanan sosial masyarakat lama, satu gerakan yang menggoncangkan menyapu daratan Eropa. Kepentingan sosial dan kelas dibungkus dengan baju agamis. Dalara konteks ini, Luther, Calvin dan para pemuka agania lain menginterpretasikan kembali Injil, yang secara tidak sadar merefleksikan perubahan hubungan kelas. Meskipun mereka sendiri tidak menginsyafi relasi antara dogma agama dengan kepentingan kelas sosial yang ada di baliknva, mereka memainkan peranan yang fundamental dalam menentukan arah revolusi borjuis di Eropa (Reformasi dan Revolusi Inggris). Dengan demikian, dari sudut pandang Marxis, perlu dibedakan dengan hati-hati antara bentuk luar ideologis dari agama dengan kepentingan kelas yang disalurkan melaluinya dalam~ sebuah bentuk yang berbelit dan mistik. Dengan kata lain, perlu dibedakan antara bentuk dan isi.

Islam secara mendasar tidaklah berbeda dengan agama lainnya. Agama tersebut lahir di kota-kota Arab pada abad ke-7 dan merefleksikan trend ekonomi tertentu serta mengakibatkan perubahan dalam hal hubungan kepemilikan, kepentingan kelas dan tendensi sosial. Perang-perang yang berkepanjangan antara Persia dan Bizantium telah, selain memperlemah kinerja ekonomi mereka, membuat rute perdagangan di Teluk dan Laut Merah menjadi tidak aman. Akibatnya adalah, rute perdagangan melalui Mekkah dan Yatsrib (Madinah) menjadi sangat penting. Arus perekonomian yang mengalir ke Mekkah membawa perubahan yang cukup mendasar dalara kehidupan sosial, politik dan kulturalnya. (3) Kebangkitan kepemilikan pribadi memperkuat kelas pedagang Arab yang baru terbentuk. Ketika pedagang yang kaya sibuk dengan memperbanyak kekayaan personal mereka, mereka semakin tidak memperdulikan kewajiban tribal tradisional mereka: memperhatikan anggota suku yang lebih miskin. Urusan memperkaya diri lebih penting daripada solidaritas klan. Sebagai akibatnya, masyarakat klan yang lama dengan cepat terdisintegrasikan oleh tekanan relasi keuangan dan perdagangan, membuat rakyat semakin lemah. Akibatnya sikap permusuhan semakin meningkat terhadap para pedagang yang terkemuka, yang diharapkan masih menaruh rasa hormat terhadap nilai-nilai lama.

Di antara mereka-mereka yang teralienasi, adalah para anggota suku Mekkah yang paling kuat, suku Quraisy, yang tidak berbagi kesejahteraan dengan kelas pedagang yang baru. Muhammad dilahirkan dalara suku ini. Perhatiannya yang paling utama adalah untuk menyembuhkan ketidakadilan dalara masyarakat Mekkah. Pertanian tidak bisa dilakukan di Mekkah dan tidak ada kemajuan dalam relasi kelas yang berdasar atas tanah, sebagaimana yang kemudian terjadi di Eropa feodal.(4) Kerajaan Persia dan Byzantium mengadu domba suku-suku yang ada untuk keuntungan pribadi mereka sendiri dan memanfaatkan para pendekar suku Badui sebagai tentara bayaran.

Agama suku Badui, sebagaimana yang dimiliki oleh leluhur nomaden kuno mereka Israel, memiliki ajaran yang mempercayai dewa-dewa lokal, roh-roh yang mendiami tempat-tempat keramat dan memuja berhala dalam berbagai jenis obyek. Muhammad mendorong masyarakat Mekkah untuk menyembah satu Tuhan, yang nabinya, Muhammad sendiri, telah dikirim untuk menyampaikan risalah syariah, dan akan menimbang perilaku manusia pada Hari Pembalasan. Risalah kepada para pengikutnya adalah: tiadakan segala bentuk pemujaan berhala serta pasrahkan dirimu dengan sepenuhnya terhadap yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, tapi Maha Pengasih, Allah. Dia memperingatkan kaum berpunya bahwasanya yang hanya perduli pada pengumpulan kekayaan dan kikir dalam menggunakan uangnya, akan mengarahkan dirinya pada bencana. Pesan ini jelas revolusioner dari segala sudut. Serangan terhadap orang-orang kaya yang berlebihan mendapat sambutan gegap gempita dari kaum miskin, tetapi tidak diterima dengan baik oleh para pedagang. Di sisi lain, dengan menuntut penerimaan yang penuh akan satu Tuhan, Muhammad juga menciptakan sebuah loyalitas yang melewati batas kesetiaan tradisional terhadap klan tersebut. Hal ini menyulut kemarahan para pernimpin klan yang kuat, yang juga kecewa dengan kecaman terhadap kekayaan mereka yang tidak terinfakkan. Pada tahun 619 permusuhan terhadap Muhammad dan sekelompok kecil pengikutnya mencapai keadaan dimana mereka dilecehkan dan diserang berulang kali.

Pada bulan Juni 622, pada sebuah pertemuan antara 75 orang penduduk Madinah dengan umat Muslim di Mekkah, kaum muslimin memutuskan untuk berimigrasi ke Madinah. Kaum Muslim dari Mekkah berangkat menuju Medinah, 300 mil ke utara, dengan Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar yang terakhir berangkat. Muhammad hijrah untuk membangun sebuah kelompok yang berbasis para pengikutnya, Ummahh. Ummahh mengorganisir serangkaian serangan terhadap kafilah-kafilah Mekkah, mengklaim sebuah kemenangan besar, vang setelahnya Muhammad membagi-bagi hasil pampasan perang diantara anggota Ummahh. Dalam waktu delapan tahun setelah kepindahannya dari Mekkah, masyarakat Mekkah memasrahkan diri kepada Muhammad. Mekkah telah menjadi sentra ekonomi regional dan sekarang menjadi pusat kerajaan Islam yang berkembang dengn pesat. Arab bagian barat sekarang dipersatukan di bawah otoritas sentral yang kuat diperintah oleh Muhammad. Hal ini mewakili sebuah revolusi sosial mendalam, yang mempersatukan suku-suku Arab yang tercerai-berai di bawah satu pemerintahan dan agama. Islam menjadi sebuah kekuatan digdaya yang merubah dunia. Islam bertindak sebagai kekuatan perekat, yang pada awalnya bekerja sebagai pelindung sergapan suku-suku lain yang menjarah perniagaan yang semakin meningkat, serta merubah kaum Badui yang tak berdaya menjadi kuat.

Imperium Muslim, menyebar dengan cepat dalam kurun beberapa tahun. Kekuasaan mereka telah mencakup Afrika Utara, Siria, Irak dan Iran. Dalam konteks pemerintahan Byzantium dan Persia yang opresif, kekuatan Islam dianggap sebagai pembebas. Pada mulanya imperium Islam memberlakukan beban pajak yang relatif ringan atas teritori taklukan. Mereka tidak menduduki atau mengambil alih tanah kaum tani dan tidak memaksa mereka untuk merubah agamanya. Semangat keagamaan memberikan kontribusi kepada kemenangan. Akan tetapi di luar semua ini, terdapat pembusukan di dalara imperium ini menyebabkan mereka semua berguguran seperti buah yang terlalu matang.(5) Terdapat alasan mengapa Arab harus diberi kehormatan sebagai pembawa pesan, bukannya populasi yang lebih tua, kaum Semit Siria dan Mesopotamia serta orang Mesir. Hal itu dikarenakan mereka telah lama menjadi daerah jajahan bagi Roma, kemudian oleh Byzantium di Barat dan bagi Imperium Sassanid Persia. Mereka berada dalam keadaan berontak permanen dan pemberontakan ini memiliki landasan berupa basis sosial dan sedikit basis agama.

Meluasnya agama Islam mencakup wilayah yang terbentang dari Pantai Atlantik di Afrika Barat Laut hingga Teluk Benggala, melibatkan penyatuan dalam masyarakat Islam bagi semua orang yang menganut Islam. Banyak dari mereka yang tetap mempertahankan elemen-elemen signifikan dari budaya dan praktik agama lama mereka, yang memiliki dampak yang besar bagi Islam. Hal ini cukup natural karena, kendati bertentangan dengan kepercayaan para teologis dan fanatis, gagasan-gagasan agama tidak memiliki kehidupan dari independensi masyarakat mereka sendiri. Setelah kematian Muhammad, dalara waktu dua dekade, Islam dengan sendirinya terlapis oleh karakter masyarakat yang telah ditaklukkan.

Hanya dua tahun setelah kematian Muhammad, perselisihan pecah antara para pengikut Abif Bakar, yang menjadi Khalifah pertama, dan Ali, suami dari putri Sang Nabi. Ali mengklaim bahwa beberapa kebijakan pemerintahan Abu Bakar opresif. Perselisihan tumbuh hingga titik dimana tentara partisan saling bertempur. Namun merupakan suatu yang berada di luar perselisihan ini mengspa pemisahan sekte Sunni dan Sy'iah dalam Islam bisa muncul. Aliran Syí ah mulai menjadi sebuah kelompok politik pengikut Ali, keponakan dan menantu Muhammad.

Di bawah dinasti Abbasiyah, kelompok utama dari penganut Syi'ah terkristalisir menjadi tarekat "lima", "enam" dan "dua belas". Kelompok "lima" memegang ketakziman khusus terhadap imam kelima (Ali):, Kelompok "tujuh" dan "duabelas" berbeda pada garis suksesi setelah imam yang ke-6. Imam ini semakin lama menjadi dianggap terlindung secara religi dari segala kesalahan dan dosa, dan sebagai mediator antara Allah dan hambanya. Kaum Sunni di lain pihak, menekankan bahwa Qur'anlah, dan bukan orang yang mendapat

petunjuk dari langit, yang membimbing segala segi kehidupan. Sekte Syí ah yang paling radikal-pada abad ke 9 dan ke 10 adalah kelompok "tujuh" atau Ismailiyah yang melancarkan ancaman serius terhadap Imperium Abbasiyah. lsmailiyah adalah gerakan dari kaum tertindas pada awal periodenya, para pengikut utamanya adalah para petani dan kemudian para pengrajin di perkotaan.

Terdapat sebuah kemiripan yang mengejutkan antara gerakan awal Islam dan gerakan awal Kristen yang juga berbasiskan kaum miskin dan tertindas. Bukan tanpa alasan, musuh awal Kristen, Bangsa Romawi, memberikan stigma terhadap kepercayaan mereka sebagai sebuah agama "para wanita dan para budak". Di Persia, para pejuang militan Safavid memperoleh

kekuasaan pada tahun 1501 mengikuti kepopuleran Syi'ah "dua belas". Di bawah kaum Syi'ah, tradisi Persia lama berupa monarki keluarga dirubah dari ideologi mesianik menjadi sebuah sarana untuk mensolidkan pemerintahan Safavid dan menjadi sebuah senjata untuk melawan rivalnya kerajaan Sunni Ottoman. Ini adalah sebuah pola yang mereproduksi diri lagi dan lagi: kaum miskin, berarakan di bawah panji-panji agama, melakukan revolusi menentang elit kaya, tetapi kemudian dinasti vang dilahirkan, setelah mendapatkan kekuasaan dalara genggaman, menjadi kaya dan opresif, dan menindas rakyat jelata.

Satu gagasan sebangun yang diambil dari sekte Syi'ah Ismailiyah oleh para penganut Syi'ah dan Sunni adalah pemikiran tentang Imam Mahdi. Imam Mahdi seseorang yang telah dibimbing dari atas - akan terlihat tepat sebelum hari kiamat, ketika dunia telah menjadi serpihan dan puing-puing, penuh dengan ketidakadilan serta penindasan, untuk menyelamatkan umat manusia. Gagasan ini serupa dengan ajaran Messiah dalara Kristen yang telah menunggu kedatangan Kristus selama dua ribu tahun terakhir. Hal itu juga berakar dari kerinduan mereka yang menderita dan tertindas akan sebuah dunia yang lebih baik dan seorang Juru Selamat dari atas yang akan mengenyahkan dunia yang tidak adil, menghukum yang jahat dan memberikan pertolongan pada saat yang tepat bagi mereka yang lemah dan terinjak.

Di kemudian hari, menentang latar belakang ekspansi kolonial imperialis, gerakan kehangkitan Islam muncul sebagai sebuah titik pusat resii- -nsi terhadap opresan asing. Perjuangan melawai L., 1 Eropa adalah sebuah sumber kekuaaan '11ental yang diperbaharui balti Islam. Gerakan revival: islam memasuki gelanggang politik pada suatu s_t t ketika hubungan sosial ekonomi dalara masyarakat kol- -lial dan semi kolonial telah enyah melalui sebuah proses transformasi dibawah pemerintahan imperialis. Apa yang digarn barkan Lenin dan Trotsky sebagai kemajuan yang terkombinasikan dan tidak adil bertindak sebagai agen yang kuat bagi perubahan sosial dan ekonomi.

Korupsi yang dilakukan oleh para rezim dan perilaku menjilat dan pengecut dari para ulama (pejabat keagamaan) dalara hubungannya dengan majikan bangsa asing, menghasilkan serangkaian gerakan yang menuntut dikembalikannya warna versi Islam yang orisinil dan "murni" sebagai sebuah sarana perjuangan melawan tatanan tersebut. Setelah Perang Dunia 1, imperialis Eropa membagi kerajaan Ottoman menjadi wilayah pengaruh dan dengan brutal mengeksploitasi daerah itu. Terhadap kolonisasi in!, tienbul berbagai macam respon dari elit lokai-beberapa di antaranya mengorganisir resistensi bersenjata, beberapa melancarkan tekanan politik, beberapa mencoba untuk menentang pengaruh imperialis barat dengan menjiplak barat, memodernisasikan ekonomi dan mereformasi negara. Akan tetapi seluruh strategi ini berakhir dengan kegagalan. Manufaktur tradisional digantikan oleh metode kapitalis yang diimpor dari Barat, yang mentransformasikan relasi sosial internal di Timur. Kolonialisasi juga membawa perubahan mendalam baik dalam struktur politik maupun sosial.

Aliran revivalis Islam yang pertama digagaskan oleh Jamaluddin Al-Afghany, yang berpendapat bahwa: "Pemetaan wilayah kekuasaan yang telah terjadi di Negara-Negara Islam semata-mata berasal dari kegagalan para penguasa, yang menyirnpang dari prinsipprinsip solid yang dibangun di atas keyakinan Islam dan ineninggalkan jalan yang diikuti oleh para pewaris mereka sebelumnya. Ketika mereka yang memerintah Islam kembali kepada peraturan-peraturan dari hukum mereka serta perilaku mereka mengambil teladan berdasar dari apa yang telah dipraktekkan oleh generasi Muslim awal, maka tidak akan lama lagi Tuhan akan memberikan kekuatan yang tangguh dan melimpahkan kekuatan yang sebanding dengan yang dimiliki oleh para khalifah ortodoks, yang merupakan para pemimpin agama." Argumennya mengalir kuat menentang gagasan negara nasional Muslim, dan menyerukan dibentuknya negara pan-Islaini, penyatuan seluruh negara yang menggunakan tradisi Islam. Pendekatan Afghani merupakan sebuah terobosan terhadap pendirian tradisional dan menyerukan akan adanya sebuah restorasi nilai-nilai Islam yang telah dimurnikan. Jamaluddin Afghany meletakkan basis Islam radikal atau Islam fundamentalis. Dari latar belakang ini muncullah Ikhwannul Muslimin yang didirikan oleh Hassan al-Banna di tahun 1929. Padahal, ini merupakan suatu pendekatan yang benar-benar utopis terhadap masalah yang dihadapi oleh negara-negara jajahan. Setelah Perang Dunia II, revolusi kolonial menggerakkan rakyat jajahan berjuta jumlahnya dalam perjuangan menentang imperialisme. Akan tetapi, setelah apa yang dinamakan dengan pemerdekaan, terungkap bahwa pendirian para borjuis kolonial benar-benar impoten dalam melaksanakan tugas yang dilimpahkan oleh sejarah. Pengalaman dalam revolusi Aljazair menunjukkan bahwa, dengan berbasiskan kapitalisme, tidak akan ada jalan keluar bagi masyarakat. Meskipun menunjukkan perjuangan heroik melawan penindas Perancis, Aljazair di masa kini lebih bergantung pada imperialisme daripada sebelumnya. Dan hal yang sama bisa diungkapkan tentang keadaan seluruh negara Muslim setelah merdeka dari imperialism. Dengan berdasarkan kapitalisme, tidak ada suatu halpun yang bisa diselesaikan. Kemiskinan yang meraja lela, alienasi masyarakat, khususnya lapisan pemuda dan kelas menengah, telah mendorong mereka menuju lorong buntu fundamentalisme religius. Fenomena yang sebangun bisa diamati di Mesir, Palestina, Turki, Afganistan, Tajikistan dan Iran.

Gerakan Islam Radikal tidak memperoleh dukungan sepadan dari semua lapisan masyarakat. Fundamentalisme Islam dipupuk oleh berbagai pengelompokan sosial, yang masing-masing menggunakan arus mi untuk kepentingan kelas mereka sendiri. Eksploitasi habis-habisan yang kejam terhadap negaranegara koloni, dan krisis dari ekonomi dunia selama 30 tahun terakhir, telah memperburuk semua kontradiksi ini. Industri modern telah berkembang hingga satu titik dimana batas ekonomi yang sempit dari negara-bangsa, menjadi terlalu sempit baginya untuk beroperasi secara efisien. Akan tetapi ekonomi dunia telah menjadi terlalu kompetitif bagi mereka untuk bertahan tanpa adanya proteksi dari negara. Dan terbukanya negara kolonial bagi imperialisme telah memperdalam krisis tersebut. Mayoritas negara-negara ini telah menghabiskan lebih dari 30 persen pendapatan ekspor mereka guna membayar hutang dan berikut bunganya. Dampak dari privatisasi industri dan badan milik negara telah menciptakan kekecewaan yang semakin mendalam di antara para buruh dan pemuda kelas menengah karena pencabutan hak-hak atas pekerjaan dan prospek karir mereka.

Setelah terpuruknya Rusia- Stalinis dan kontrarevolusi di Afghanistan, ekonomi pasar gelap, khususnya sektor narkotika, merupakan sumber utama bagi pendanaan fundamentalis Islam. Para penghasil dan pedagang obat-obatan terlarang dengan demikian mendukung organisasi ini untuk melindungi diri mereka dari kebijakan-kebijakan pro-IMF. Kubu pemerintah Saudi memainkan peran menonjol dalara ekonomi pasar gelap ini. Sebuah contoh yang bagus adalah Osama Bin Laden. Imperialis AS dan Arab Saudi keduanya paling bertanggungjawab atas para reaksioner Taliban di Afganistan. Mereka mempersenjatai dan mendanai Taliban dalcm perjuangbul Mafia ini memperoleh $80 Stalinis sebelumnya di Kabul.mafia ini memperoleh $80 juta per tahun dari laba penjualan obat bius. Imperialisme dunia sekarang mengalarni keputusasaan dalara menghadapi perdagangan ilegal yang menyengsarakan umat manusia, tetapi imperialislah khususnya imperialis AS -yang membuat Afghanistan tersumbat dan terikat dengan kekuatan reaksioner dan merubahnya menjadi wilayah pembudidayaan opium terbesar di seluruh belahan dunia. Betapapun juga, fenomena fundamentalisme merupakan hal yang kompleks. Sebagai contoh, di Iran, reforma agraria atau land reform properti Shah tahun 1960-an menguntungkan minoritas kaum petani, dan pada saat yang bersamaan, membuat yang lainnya tidak menikmati perbaikan, bahkan kadangkala lebih terpuruk. Land reform ini memperkaya kebangsawanan dan para tuan tanah yang tidak tinggal di atas tanah yang dimilikinya tersebut, yang mendominasi Iran. Motif sebenarnya di balik land reform ini adalah untuk mengusir para petani dari tanah yang mereka miliki, sehingga bisa didapat buruh murah bagi pabrik-pabrik. Jadi dalara konteks ini kaum tani dirugikan, dan ditanggalkan dari akar masyarakat rural tradisional. Golongan kaum miskin desa yang dirugikan dari kebijakan reformasi Shah serta merta membanjiri perkotaan, dengan putus asa mencari kerja dan makanan, akan tetapi kota-kota di Iran belum ditata selayaknya untuk memenuhi situasi baru ini, dengan kelangkaan perumahan yang kronis, infrastruktur yang menyedihkan, fasilitas kesehatan yang langka, serta pengangguran yang meraja lela. Kondisi ini meningkatkan alienasi terhadap lapisan termiskin dalara masyarakat kota. Di Iran (dan fuga Afghanistan) mayoritas dari mereka, yang mengalami penderitaan oleh buruknya perumahan dan rendahnya gaji, memilih untuk tinggal di masjid-masjid yang menawarkan mereka remah roti yang cukup menghibur perut dan mengurangi kemalangan mereka.

Sejurnlah besar sukarelawan Muslim, terutama berasal dari sisi populasi yang paling miskin, yang miskin sejak masa kecil mereka, meninggalkan rumah mereka dan bergabung dengan jaringan mullah di masjid-masjid. Mereka bekerja sebagai tentara cadangan dan mereka memainkan peranan yang esensial dalam menggerakkan kekuatan untuk demonstrasi pro atau anti-rezim. Meskipun kekuatan utama bagi kaum mullah berasal dari kaum miskin, satu sektor pedagang tradisional juga turut mendanai mereka. Fundamentalis Islam mendapatkan dukungan politik vital dari kalangan kelas menengah baru yang telah muncul sebagai hasil kemajuan kapitalis yang terbatas. Anak-anak dari kelas menengah baru memperoleh akses ke universitas, dimana mereka bertemu dengan rasa frustasi baru dan akut yang muncul dari kelangkaan pekerjaan dan prospek karir. Hal ini mendorong satu lapisan pemuda terdidik dan setengah terdidik menuju ke aktivitas teroris. Organisasi sernacarn Hizbullah, Harnas, FIS (Front Pembela Islam), dan lain-lain, datang terutama dari lapisan ini. Keputusasaan para pemuda ini mencapai titik dimana mereka telah siap sedia untuk merelakan nyawa dalara serangan bom bunuh diri. Mereka mencari jalan menuju emansipasi dari penderitaan yang dalam atas hidup mereka, tetapi hanya satu jalan buntu yang mereka jumpai. Krisis keluarga dan sosial yang menyebarluas, alienasi dan, lebih dari itu semua, ketiadaan alternatif Marxis yang jelas telah mendorong mereka menuju lorong buntu fundamentalisme agarnis. Mengalami penderiataan dari keadaan sekarang yang tanpa harapan, dan tak berpengharapan di masa depan, mereka berpijak pada masa lampau untuk mendapatkan penghiburan, dan masa lalu bagi mereka menjadi penuh gemerlap. Kemiskinan masal, kesengsaraan, penindasan sernua terkombinasikan membuat fenomena fundamentalisme sernakin menjadi-jadi. Dan perpecahan terus-menerus di antara organisasi ini menciptakan sebuah lingkungan vang diinginkan bagi konflik penuh kekerasan, yang paling menyesakkan, mendekati sebuah situasi yang mirip dengan perang saudara.

Dengan demikian, dimanapun seseorang melihatnya, sulit ditemukan sebuah rezim borjuis Muslim tunggal yang stabil. Sebuah krisis yang mengerikan membayangi di negeri ini. Sebuah titik balik adalah pada bulan Februari 1979, tatkala rezim Shah jatuh. Bagaimanapun juga, sejak awal telah terdapat salah kaprah yang menyebarluas mengenai sifat dan kandungan revolusi Iran. Fundamentalis Islam memproklamirkan hal itu sebagai kemenangan ideologi dan intelektual Islam atas imperialisme. Mereka secara sistematis mendistorsi fakta sebenarnya dalam revolusi Iran. Dalam hal ini, mereka melakukan yang terbaik untuk menyembunyikan dan mengingkari peranan kelas pekerja dalam revolusi. Kebohongan ini terulang oleh kaum imperialis yang memiliki alasan tersendiri atas keterangan yang tidak benar tentang keadaan revolusi Iran, khususnya untuk membingungkan dan mengecewakan kaum buruh di Barat. Beberapa intelektual borjuis sampai séjauh ini memproklamirkan Syi'ah sebagai sebuah fenomena "revolusioner". Mereka semua menghadirkan satu gambaraas yang benar-benar salah tentang revolusi.

Sebagian merupakan akibat dari propaganda tahunan oleh pihak borjuis, fakta tentang revolusi Iran sekarang merupakan sebuah buku yang tersegel rapat bagi kebanyakan orang. Merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menelanjangi peran sesungguhnya yang dimainkan oleh kaum fundamentalis di Iran: bagaimana mereka telah membajak revolusi tersebut, menghancurkan kelas pekerja, mengembalikan relasi kapitalis dan negara borjuis. Para mullah Iran telah menikmati hubungan baiknya dengan Dinasti Qajar, mereka menguasai posisi jabatan-jabatan kunci di bawah Shah, khususnya dalara lembaga yudisier. Mereka juga menarik banyak uang dari para pedagang, serta pendapatan yang mereka dapat dari tanah-tanah wakaf (hibah).

Satu kubu mullah telah berpartisipasi dalam gerakan menentang Shah di tahun 1892 ketika Shah memberikan konsesi lebih besar kepada imperialis Inggris dalara penjualan dan ekspor tembakau. Konsesi tersebut memberikan dampak bagi kelas pedagang, dan tekanan dari para pedagang membikin para mullah riuh memprotes kebijakan Shah. Tapi sebelumnya, para mullah itu telah berintegrasi hangat dengan dinasti Qajar. Pada tahun 1927, beberapa mullah melancarkan protes terhadap kebijakan reformasi Shah,, yang termasuk di dalamnya reformasi terhadap institusi Iegal dan edukasional. Pada tahun 1936 Shah mensahkan undang-undang yang memperbolehkan wanita membuka cadarnya, dan menjadikan sistem hukum dan pendidikan berada di bawah kontrol negara.

Setelah kudeta tahun 1953 oleh CIA terhadap Mossadeq, yang mengembalikan kekuasaan kepada Shah, mereka beraliansi kembali dengan rezim tersebut. Pada periode itu, mereka secara terbuka berkubu dengan kediktatoran Reza Khan. Kekuatan-kekuatan oposisi yang tersisa bertahan dalam keadaan tercerai-berai. Setelah tahun 1953 Partai Tudeh melakukan kritik pribadi dengan merengkuh kebijakan sektarian kiri tanpa sepenuhnya mendukung pemerintahan Mossadeq. Akan tetapi sebagai hasilnya, mereka hanya semakin dalara tenggelam dalam rawa berlumpur. Pada tahun 1963 selama masa Revolusi Putih Shah, partai ini mengambil sikap diara dan tetap pasif sebagai penonton munculnya peristiwa demi peristiwa. Front Nasional, setelah kudeta tahun 1953, mengalami bertumpuk macam perpecahan. Walau demikian, seperti yang telah kita saksikan, kaum mullah hanya muncul sebagai kekuatan oposan pada tahun 1963, ketika mereka bangkit menentang land reforin. Land reform dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap properti hibah yang digunakan sebagai sumber pendapatan penting bagi kaum mullah. Mereka bergabung dengan kubu pemilik tanah feodal guna mengorganisasir sebuah kampanye menentang reformasi-yang bukan berasal dari aksi revolusioner, melainkan berasal dari satu pendirian yang murni reaksioner. Hanya pada titik ini Khomeini muncul sebagai seorang pemimpin anti-Shah. Mayoritas mullah sebenarnya memberikan dukungan terhadap rezim Shah. Kekritisan pertama Khomeini mengemuka tatkala dia menuduh bahwa Shah mengabaikan pedoman ajaran Islam demi mengadopsi imperialisme. Akan tetapi kekritisannya masih dalam batas-batas sang penguasa. Dia sekedar memprotes tindakan Shah yang melampaui batas.

Bagaimanapun juga, kepentingan yang berbenturan antara Shah dengan para penghuni masjid meningkat dan menghasilkan konflik-konflik baru. Ketika Shah mengumumkan sebuah referendum pada "Revolusi Putih"-nya, Khomeini dan para pemimpin keagamaan menentangnya, dan rezim itu menyerang para pemrotes. Khomeini ditahan. Setelah itu Khomeini diasingkan selama 15 tahun. Dalam pengasingannya beliau menulis buku Velayat-e-Faqih (Peraturan Para Ahli Hukum) dimana beliau memaparkan tentang bagaimana cara mencapai sebuah bentuk murni Islam, dan bagaimana hal itu diterapkan dalara lingkup kenegaraan. Dihabiskannya banyak waktu di Najaf untuk menyampaikan kuliah tentang Islam, dan menyerukan semua pemimpin agama untuk bergerak bahu membahu menentang Shah.

Pada bulan September 1978 serangkaian pemogokan masal mengoyak negeri itu. Bermula oleh satu unjuk rasa menentang pembunuhan, aksi itu dengan cepat berubah menjadi aksi boikot atas dasar tuntutan ekonomi dan politik. Sesungguhnya mayoritas demonstrasi, khususnya pada enam bulan pertama tahun 1978, terkait dengan penegakan hukum keagamaan. Pada bulan Desember 1977, Khomeini kembali menyerukan penggulingan Shah dan menegakkan kembali konstitusi tahun 1905. Melalui masjid-masjid, para mullah mengumpulkan kekuatan anti-Shah dan menarik para pedagang, proletar-kelas bawah, dan bahkan Partai Tudeh serta beberapa kubu Front Nasional untuk bergabung.

Meskipun demikian, seperti yang telah kita amati, peristiwa kunci yang menyebabkan Shah jatuh, bukanlah yang dilakukan oleh para borjuis kecil ataupun kelas miskin kota, tetapi pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja yang telah maju, khususnya para buruh minvak. Negara itu mengalami kolaps, pemberontakan merajalela dalam tubuh angkatan bersenjata. Hal ini merupakan hasil dari gerakan masal dari kelas pekerja. Sayangnya, mengacu terhadap ketiadaan faktor subyektif, yaitu partai revolusioner, sebagian besar gerakan yang muncul menjadi teridentifikasikan dengan Khomeini. Pada saat kembalinya Khomeini ke Teheran bulan januari 1979, dia menjelma menjadi "pemimpin oposisi" simbolik. Setelah penggulingan Shah, sebagaimana yang telah kita paparkan, shura (soviet) bangkit di pabrik-pabrik; universitas-universitas berada di bawah kendali mahasiswa-mahasiswa berhaluan kiri; di perkotaan, administrasi bergaya shura dibentuk.

Semula Khomeini bergerak dengan penuh kebijaksanaan. Dia menunjuk Bazargan (perwakilan dari Front Nasional) sebagai perdana menteri. Akan tetapi terdapat sentra otoritas yang lain-yang dikenal sebagai dewan revolusioner, yang diunggulkan oleh Khomeini. Melalui aliansi dengan Bazargan, mereka membuka satu kampanye menentang shura dan gerakan nasional suku Kurdi. Mereka membentuk Hizbullah, sebuah organisasi teroris yang dimanfaatkan untuk melawan kekuatan kiri dan aktivis wanita.

Khomeini mempergunakan taktik Bonapartis ini untuk mengkonsentrasikan kekuatan di tingkat atas dan mengisolasi Bazargan. Dia mengirim pendukungnya untuk menduduki Kedutaan Besar Amerika dan kemudian memanfaatkan sentimen populer anti-Amerika guna menggerakkan kekuatan massa di belakang Partai Islam Republik (PIR). Dalam kesemuanya ini, Partai Tudeh berdiri mendukung Khomeini. Ketika dia telah mengatasi aliran revolusioner pada tingkat tertentu, dia membentuk sebuah aliansi dengan Bani Sadir untuk menyerang universitas yang tidak berada dalam kontrol fundamentalis. Mereka mengirimkan pendukung genggeng militan Hizbullah untuk menginvasi universitas, dengan brutal membunuhi mahasiswa dan membakari literatur yang tersisa serta kemudian menutup seluruh akademi dan universitas selama tiga tahun. Dia juga mendayagunakan segala macam peristiwa-peristiwa eksternal untuk mengkonsolidasikan kekuatan lebih besar di tangannya. Invasi Irak, taktik penjelajah organisasi ultra-kiri, seperti pemboman markas besar PIR-kesemua faktor ini membantu Khomeini untuk merapatkan genggaman atas kekuasaan dan keseimbangan antara faksi yang berbeda dalam tubuh PIR. Citacita pertama Khomeini adalah membasmi gerakan independen kelas pekerja Iran yang telah melaksanakan revolusi. Setelah mengkonsolidasi kekuatan di tingkat atas, secara brutal diremukkannya shura, memakai gerakan Islami Hizbullah dengan dalih bahwa mereka "disangga oleh CIA".

Fundamentalisme merepresentasikan sebuah jalan buntu yang mengerikan bagi rakyat. Dengan mengambil langkah negatif, fenomena ini merepresentasikan sebuah konfirmasi yang menggempur teori revolusi permanen. Dalara basis kapitalis, tiada langkah maju bagi Iran. Kegagalan proletariat untuk mengambil alih kekuasaan ketika memungkinkan berakibat, bukan kemajuan, tetapi sebuah kemunduran yang mengerikan. Selarna dua puluh tahun Iran berada dalara cengkeraman reaksioner religius. Betapapun juga, dalara pandangan historis yang lebih luas, kebangkitan fundamentalisme lebih terlihat sebagai sebuah penyimpangan yang sementara. Merupakan sebuah paradoks, kemunculan tatanan sebuah "republik Islam" akan terbukti sebagai keruntuhan kaum fundamentalis. Fakta bahwa kaum fundamentalis telah mendapatkan kekuasaan, dan telah memiliki waktu dua dekade untuk mengungkapkan jati dirinya, memberikan rakyat kesempatan berlimpah untuk memahami sifat reaksioner dan korup dari fundamentalisme.

Pada saat ini, kediktatoran kaum mullah mulai mendekati ambang batas. Para ulama berpegang erat pada kekuasaan dan sejauh ini telah berhasil, utamanya melalui kelembaman (inersia) sementara dari massa. Hal' ini tidak akan berlangsung selamanya. Tentara dan polisi Shah yang perkasa tidak dapat menyelamatkan diri begitu para buruh mulai bergerak. Setelah 20 tahun pemerintahan vang dilakukan kaum mullah, rakyat dijejali dengan kemunafikan dan korupsi. Para pemuda sekarang dalam keadaan revolusi terbuka. Perpecahan dalara tubuh pihak mullah dan kekalahan mereka barubaru ini dalara pemilu mengindikasikan dimulainya sebuah proses yang baru. Pada tingkat tertentu, ada kemungkinan terjadinya sebuah ledakan revolusioner dari kaum proletar Iran yang akan mengejutkan dunia, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1979. Akan tetapi kali ini pesan tersebut mesti jelas: Alternatif terhadap imperialisme dan kapitalisme bukanlah fundamentalisme, tetapi revolusi sosialis.


Catatan

1.Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Law, Marx and Engels, On Religion, Progress Publishers, Moskow.

2.Alan Woods and Ted Grant, Reason in Revolt, hal. 35.

3.Bryan S. Turner, Weber and Islam, a critical study, hal. 29.

4.Asghar Ali, The Origin and Development of Islam, hal. 45.

5.R. Ashtor, A Social and Econonical History of Near East in the Middle Ages, hal. 11.

6.Maurice Lambard, The Golden Age of Islam, hal. 3, 113. 7. Shaul Bakhash, The Reign of the Ayatollah, hal. 23.

 

DAFTAR ISI

Pengantar oleh Alan Woods

Bab I. Latar Belakang Sejarah

Bab II. Catatan Atas Sejarah Iran

Bab III. Partai Komunis Iran

Bab IV. Revolusi Februari 1979

Bab V. Basis Fundamentalisme Iran

Bab VI. Ekonomi Kontra Revolusi

Bab VII. Perspektif Iran