facebooklogocolour

perempuan di parlemenTahun 2018 didominasi oleh gerakan #MeToo yang sungguh mengguncang semua sendi masyarakat. Kaum perempuan yang lama diam dan tunduk kini menemukan suaranya. Segala bentuk penghinaan, diskriminasi, pelecehan dan kekerasan yang mereka alami sejak mereka lahir, entah di tempat kerja, di sekolah, atau bahkan di rumah mereka sendiri dimana mereka seharusnya merasa aman, kini menjadi tak tertanggungkan. Mereka menuntut keadilan.

Bermula dari Amerika Serikat, gerakan #MeToo menyebar ke seantero dunia. Gaungnya pun  sampai ke Indonesia, walau tidak sekeras di AS. Misalnya kasus pemerkosaan Agni, seorang mahasiswi dari Universitas Gadjah Mada, yang tidak hanya menarik perhatian publik tetapi juga memercikkan kampanye anti kekerasan seksual di banyak kampus lainnya.

Namun yang terutama gerakan #MeToo mendorong banyak orang untuk bertanya mengenai akar penindasan terhadap kaum perempuan dan solusi terhadapnya. Kaum perempuan yang matanya mulai terbuka tidak bisa tidak bertanya mengenai posisinya dalam masyarakat. Partisipasi kaum perempuan dalam masyarakat, entah dalam ranah politik, ekonomi, kebudayaan, sains, dsb., sepanjang sejarah umumnya sangat rendah. Ini merupakan indikator posisi perempuan dalam masyarakat, yang terjebak dalam kungkungan persalinan dan dapur.

Khususnya menjelang pemilu 2019 masalah keterwakilan kaum perempuan dalam parlemen menjadi sorotan kembali. Pada pemilu 2009, dari 560 kursi tercatat hanya 101 anggota DPR adalah perempuan, atau setara dengan 18 persen. Hasil pemilu 2014 tidak jauh berbeda: hanya 97 perempuan yang terpilih. Angka keterwakilan perempuan yang serupa, dan bahkan lebih rendah, bisa kita temui di berbagai tingkatan pemerintah lainnya: DPRD, gubernur, bupati, walikota, sampai ke tingkatan RT/RW. Rendahnya angka keterwakilan kaum perempuan bukanlah monopoli Indonesia saja, atau negeri-negeri berkembang lainnya. Bahkan di Amerika Serikat, yang kerap dianggap sebagai model demokrasi yang paling maju, kaum perempuan hanya menduduki 23,6% kursi DPR dan Senat.

Melihat ketimpangan keterlibatan perempuan dalam politik Komite Pemilihan Umum (KPU) sejak 2003 menerapkan peraturan yang mendorong setiap partai politik untuk mencalonkan setidaknya 30 persen caleg perempuan di setiap daerah pemilihan. Kebijakan kuota ini juga berlaku untuk kepengurusan partai, baik tingkat nasional maupun daerah. Lima belas tahun telah berlalu sejak pemerintah memulai kebijakan afirmatif ini dan hasilnya masih mengecewakan. Belum ada perubahan fundamental dalam partisipasi politik kaum perempuan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kaum perempuan masih dilihat sebagai warga kelas dua.

Kebijakan afirmatif untuk kelompok masyarakat tertentu yang rendah keterwakilannya bukanlah sesuatu yang baru. Ini telah diterapkan dalam banyak kesempatan untuk mengoreksi ketimpangan sosial yang dialami oleh berbagai kelompok masyarakat yang tersisihkan.

Para pendukung kebijakan afirmatif berargumen bahwa kaum perempuan dalam banyak hal tertindas karena mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Badan-badan kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki oleh karenanya akan selalu timpang dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan kaum perempuan. Dari sini solusinya tampak mengalir secara logis: masukkan lebih banyak perempuan ke dalam pemerintah, libatkan lebih banyak perempuan dalam pendiskusian, pengambilan dan pelaksanaan keputusan. Kaum perempuan tentunya akan mengambil kebijakan yang lebih berpihak untuk kelompoknya sendiri.

Dengan kebijakan afirmatif kaum perempuan juga diharapkan mendapat ruang untuk dapat melatih diri mereka sebagai pemimpin, terutama ketika kesempatan ini tidak pernah diberikan kepada mereka. Sistem kuota mungkin awalnya tidak akan menyeleksi talenta-talenta terbaik, tetapi dalam jangka panjang ini akan memberi kesempatan pada perempuan untuk mengembangkan potensi mereka yang lama telah terkubur.

Tidak hanya itu, bahkan ada yang berargumen bahwa semua masalah yang ada dalam masyarakat hari ini: perang, kemiskinan, penindasan, kerusakan lingkungan hidup, bersumber dari watak alami laki-laki. Laki-laki cenderung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah atau mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka selalu ingin mendominasi dan menguasai yang lemah. Laki-laki cenderung egois dan tidak mampu bekerja dengan yang lain.   Maskulinitas laki-laki inilah yang katanya menjadi akar dari semua permasalahan di dunia. Sementara perempuan adalah kebalikan dari semua itu. Dunia yang dipimpin oleh perempuan – atau setidaknya melibatkan secara setara kaum perempuan dalam pemerintah – akan jauh lebih setara, adil, dan manusiawi.

Semua pembenaran kebijakan afirmatif ini kalau dibenturkan dengan realitas ternyata hanyalah angan-angan belaka yang tidak berpijak pada dunia riil. Kebijakan afirmatif – dan berbagai turunannya – sampai hari ini ternyata belum mampu membebaskan kaum perempuan dari belenggu masyarakat patriarki. Mengapa demikian? Kita akan paparkan ini satu demi satu.

Asal mula penindasan perempuan

Pertama, kebijakan afirmatif sama sekali tidak menjawab akar penindasan perempuan. Bila kita katakan bahwa penindasan perempuan berakar dari ketidakterwakilan mereka dalam institusi politik, maka kita harus meneruskan investigasi kita ke tingkatan selanjutnya: apa yang menyebabkan kaum perempuan tersisih dari institusi politik sejak awal? Kalau kita katakan ini karena penindasan perempuan, maka jelas kita hanya berputar-putar tanpa mencapai satu pun jawaban.

Rendahnya keterwakilan perempuan dalam menjalankan masyarakat disebabkan oleh penindasan kaum perempuan. Bukan sebaliknya. Sementara asal muasal penindasan perempuan dapat ditemui dari munculnya kepemilikan pribadi dan masyarakat kelas. Sebelum adanya kepemilikan pribadi, manusia hidup dalam masyarakat berburu dan meramu, atau yang juga disebut masyarakat “komunisme primitif”. Tidak ada kepemilikan pribadi. Tidak ada kelas penindas dan tertindas. Kaum laki-laki dan perempuan hidup setara. Ada pembagian kerja di antara mereka – laki-laki berburu sementara perempuan meramu – tetapi tidak ada hierarki di antara mereka. Bahkan kerja kaum perempuan dalam membesarkan anak sangatlah penting dan ini menjadi basis masyarakat matrilineal pada saat itu, dimana keturunan ditarik garisnya dari perempuan dan bukan laki-laki. Tetapi ini bukan berarti perempuan menindas laki-laki. Yang ada adalah hubungan yang harmonis dan saling menghargai antara kedua jenis kelamin ini.

Perkembangan tenaga produksi selanjutnya, yakni pertanian dan peternakan, membuka jalan bagi munculnya kepemilikan pribadi dan masyarakat kelas. Engels dalam karya maha besarnya, “Asal-usul keluarga, kepemilikan pribadi dan negara” menjelaskan proses ini dengan detail. Pertanian dan peternakan memungkinkan terakumulasinya properti dan kekayaan, dan dengan itu kepemilikan pribadi. Perlahan-lahan laki-laki menguasai semakin banyak properti karena pembagian kerja yang ada sebelumnya, dimana ia bertanggung jawab atas pertanian dan peternakan. Seperti yang ditulis Engels: “Ternak menjadi miliknya [laki-laki], dan juga barang-barang dan budak-budak yang ia dapati dengan menukar ternak. Semua surplus kebutuhan hidup yang dihasilkan kini jatuh ke tangan laki-laki; kaum perempuan menikmatinya, tetapi tidak punya bagian kepemilikan terhadapnya.” Dengan ini, hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan terkikis.

Posisi laki-laki dalam keluarga menjadi semakin dominan. Ini akhirnya menumbangkan sistem matrilineal sebelumnya dan memulai era sistem patriarki sampai hari ini. Anak sekarang ditarik garis keturunannya dari laki-laki dan perempuan tersisihkan dari proses produksi – dan dengan demikian tersingkirkan pula dari proses politik. Perempuan hanya berguna di dapur dan membesarkan anak untuk sang laki-laki, peran yang menjadi rantai yang mengekangnya selama ribuan tahun.

Basis material yang merintangi kaum perempuan

Mengalir dari sini maka, kedua, kebijakan afirmatif tidak menyentuh sama sekali basis material yang merintangi kaum perempuan untuk bisa terlibat dalam politik, yakni kerja rumah tangga dan membesarkan anak. Kerja-kerja domestik yang berat ini dibebankan ke pundak kaum perempuan sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk mengembangkan diri mereka, apalagi berlaga dalam arena politik.

Untuk sungguh-sungguh mendorong kaum perempuan terlibat dalam politik, maka langkah paling penting adalah membebaskan mereka dari rantai kerja rumah tangga yang mengikat mereka. Ini bisa dilakukan dengan mulai mensosialisasi kerja-kerja rumah tangga, dalam artian tugas-tugas ini tidak lagi jadi tanggung jawab kaum perempuan semata. Semisal, pemerintah dapat mendirikan jasa-jasa laundry (cuci baju) publik yang tersedia gratis, sehingga kaum perempuan bebas dari pekerjaan mencuci baju yang kita tahu sangatlah menguras energi. Tempat-tempat penitipan anak juga dapat disediakan untuk setiap keluarga, sehingga sang ibu bisa tetap aktif bekerja dan meniti karier mereka tanpa harus terbebani kerja menjaga anak 24 jam sehari. Setiap keluarga juga berhak atas cuti hamil dan melahirkan yang layak dan dibayar penuh. Banyak lagi kebijakan konkret lainnya yang perlu diambil untuk menghapus rintangan-rintangan riil yang mencegah kaum perempuan terlibat penuh dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya dalam ranah politik, tetapi juga ekonomi, seni, budaya, sains, dsb.

Selama mayoritas perempuan, yakni buruh, tani dan kaum miskin kota, masih terikat oleh kerja rumah tangga, maka kebijakan afirmatif hanya akan melayani perempuan dari kalangan atas. Kaum perempuan borjuis dapat dengan mudah menggaji pembantu dan pengasuh anak. Kekayaan mereka yang berlimpah dapat membebaskan mereka dari kerja domestik, atau lebih tepatnya memindahkan tugas ini ke kaum perempuan kelas bawah yang menjadi “babu” mereka. Mereka bisa naik ke atas dengan menginjak kaum perempuan miskin di bawah mereka.

Sesungguhnya kebijakan afirmatif sampai hari ini hanya mendorong maju lapisan perempuan kelas atas. Merekalah yang berhasil menjadi politisi, CEO, dan kapitalis yang sukses. Bagi mayoritas kaum perempuan yang datang dari kelas bawah kebijakan afirmatif tidak menyentuh kehidupan mereka secara fundamental, karena memang tidak dirancang untuk mereka.

Kaum perempuan kelas atas dan kelas bawah

Dengan ini kita tiba pada poin ketiga, yakni asumsi utama dari para pendukung kebijakan afirmatif kalau kaum perempuan akan selalu membela kepentingan kaum perempuan. Cara pandang demikian, yang juga disebut politik identitas, mengabaikan perbedaan kelas yang ada antara perempuan borjuasi dan perempuan kelas pekerja. Hakikat “keperempuanan” jadi tolak ukur politik alih-alih keberpihakan pada kelas pekerja, yang pada akhirnya hanya berujung pada pendukungan terhadap tatanan lama yang ada.

Pada beberapa kesempatan di Amerika Serikat kaum perempuan telah menduduki jabatan Menteri Luar Negeri, jabatan kementerian yang boleh dibilang paling penting di negeri adidaya ini karena ia bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri. Mereka adalah Madeleine Albright (1997-2001), Condoleezza Rice (2005-2009) dan Hillary Clinton (2009-2013). Banyak orang yang bersorak karena akhirnya kaum perempuan dapat menjebol langit-langit kaca dan menduduki jabatan yang penting. Namun hak kaum perempuan tidak menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan mereka. Sebaliknya serpihan-serpihan kaca dari langit-langit kaca yang mereka terjang dalam perjalanan mereka ke atas jatuh menghunjam perempuan kelas pekerja di bawah mereka.

Kebijakan-kebijakan imperialis AS di bawah arahan langsung “perempuan-perempuan hebat” ini  bertanggung jawab atas kemiskinan, kesengsaraan, kematian dan perang yang menimpa rakyat negeri-negeri yang berada di bawah jempol AS. Kaum perempuan dan anak-anak adalah lapisan yang biasanya paling menanggung penderitaan ini.

Selama kariernya sebagai Menlu, Albright mempertahankan sanksi ekonomi kejam terhadap Irak, yang menyebabkan kematian jutaan rakyat Irak. Ketika ditanya oleh reporter mengenai akibat dari sanksi ekonomi ini: “Kami dengar setengah juta anak telah mati. Ini lebih dari jumlah anak yang mati di Hiroshima. Apakah harga ini pantas?” Albright menjawab: “Saya pikir ini adalah pilihan yang sangat sulit, tetapi kami pikir harga ini pantas.” Ya, untuk kepentingan imperialis atas penguasaan sumber daya alam – dalam kasus Irak minyak bumi mereka yang berlimpah – harga kematian jutaan rakyat selalu pantas.

Kita juga harus ingat bahwa AS, lewat Menlu Albright, terus mendukung rejim Orde Baru Soeharto sampai titik akhir. Hanya beberapa jam sebelum Soeharto mengumumkan turun, ketika situasi sudah tidak memungkinkan lagi bagi sang jagal ini untuk terus berkuasa, baru Albright mengeluarkan pernyataan mendorong Soeharto untuk “mempercepat proses transisi demokrasi di Indonesia ... guna mempertahankan warisannya.” Sungguh terlalu terlambat. Ini bukan karena Albright ketinggalan berita, tetapi karena Soeharto tetap adalah orang andalan Amerika Serikat.

Amerika Serikat biasanya begitu getol ingin mengadili diktator untuk kejahatan hak asasi manusia, seperti yang mereka lakukan dengan memberi hukum mati gantung pada Saddam Hussein setelah invasi mereka ke Irak merobohkan rejim Saddam. Tidak demikian dengan Soeharto. Tidak ada dorongan sama sekali dari Menlu AS di bawah Albright agar Soeharto diadili. Soeharto mati dengan tenang tanpa pernah sekalipun menginjak pelataran pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan-kejahatannya selama 32 tahun.

Rekam jejak Rice dan Clinton juga tidak lebih baik. Rice adalah pendukung utama invasi AS ke Irak pada 2003, yang mengumbar bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal dan oleh karenanya harus ditumbangkan dengan cara apapun. Setelah pasukan AS berhasil menyingkirkan Saddam, mereka sama sekali tidak menemukan senjata pemusnah massal. Dicari kemanapun, tidak ada bukti bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Kebohongan yang keji ini tidak menghentikan okupasi militer AS di Irak dari 2003-2011, yang memorak-porandakan Irak, menyebabkan kematian sebanyak 461.000 orang menurut satu estimasi, dan melemparnya ke barbarisme dan kekerasan sektarian tanpa akhir. Dari kekacauan di Irak inilah muncul ISIS, sebagai refleksi kehancuran peradaban di Timur Tengah akibat intervensi imperialis AS.

Hillary Clinton selama menjabat sebagai senator ikut mengesahkan invasi militer ke Irak 2003. Lalu sebagai Menlu ia bertanggung jawab atas intervensi militer AS dan sekutu-sekutu Barat lainnya di Suriah dan Libya. Hari ini kedua negeri tersebut sudah hancur lebur tak terkenali lagi. Kekuatan-kekuatan fundamentalisme ekstrem tumbuh subur di sana. Ratusan ribu pengungsi dari Suriah dan Libya membanjiri Eropa untuk melarikan diri dari neraka yang diciptakan oleh intervensi imperialis, yang pada gilirannya menciptakan krisis sosial di Eropa dengan bangkitnya sentimen anti-imigran yang rasis. Para perempuan pengungsi biasanya jadi korban penyeludupan manusia dan dieksploitasi secara seksual dalam pelacuran. Masih bisakah kita berbicara mengenai Hillary Clinton sebagai pembela hak kaum perempuan? Kejahatan imperialis tidak berkurang sejumput pun di bawah kepemimpinan perempuan-perempuan hebat ini.

Kepemimpinan Christine Lagarde atas Dana Moneter Internasional (IMF) tidak mengubah sama sekali karakter lintah darat dari institusi finansial ini. IMF masih merupakan rentenir imperialis yang memeras keringat dan darah rakyat negeri-negeri Dunia Ketiga. Lewat program pinjaman mereka IMF memaksa negeri-negeri miskin untuk memotong program-program subsidi sosial dan meluncurkan privatisasi atas aset-aset negara, yang merantai Dunia Ketiga dalam siklus kemiskinan tanpa akhir.

Daftar “perempuan-perempuan hebat” macam ini sangatlah panjang. Singkat saja: Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris yang meremukkan pemogokan buruh tambang; Angela Merkel, kanselir Jerman hari ini yang memaksakan program penghematan kejam pada rakyat Yunani; Marine Le Pen, pemimpin partai kanan-reaksioner Front Nasional di Prancis yang anti-imigran.

Pada analisa terakhir ada dua macam perempuan: perempuan kelas atas (borjuasi dan borjuasi kecil) dan perempuan kelas bawah (buruh, tani, dan miskin kota). Kaum perempuan kelas atas, walaupun berbicara banyak mengenai hak kaum perempuan, akan selalu membela kepentingan kelas mereka terlebih dahulu. Sebagai konsekuensi tak terelakkan dari keberpihakan kelas mereka para perempuan borjuasi ini menjadi penjaga tatanan lama yang mempertahankan dan memamahbiakkan patriarki.

Untuk alasan inilah kaum revolusioner tidak boleh menemukan diri mereka mendukung kebijakan afirmatif karena kebijakan ini mengaburkan perbedaan kelas yang ada. Kaum revolusioner akan berjuang untuk hak kaum perempuan, tetapi bukan dengan tunduk pada kepemimpinan politik dan ideologis kaum perempuan borjuis dan borjuis kecil, yang sebenarnya hanya mengejar kepentingan mereka sendiri di balik kedok memperjuangkan hak “semua perempuan”. Ini berlaku tidak hanya untuk kaum perempuan, juga untuk lapisan minoritas tertindas lainnya.

Memecah belah rakyat pekerja

Tidak hanya itu, kebijakan afirmatif juga memiliki konsekuensi reaksioner memecah belah rakyat pekerja ke dalam garis identitas. Misalnya kebijakan kuota lapangan pekerjaan di dalam sebuah tempat kerja, yang mewajibkan perwakilan proporsional dalam angkatan kerja, dengan sekian persen untuk kelompok ini dan itu. Di permukaan kebijakan ini tampak progresif, karena dipromosikan sebagai sesuatu yang mendorong keberagaman dan membantu lapisan buruh yang terdiskriminasi. Namun pada kenyataannya ini menimbulkan konflik antara buruh, ketika misalnya buruh dari satu kelompok lamaran pekerjaannya ditolak karena kebijakan afirmatif mendikte bahwa perusahaan harus memperkerjakan buruh dari kelompok lain untuk memenuhi kuota perwakilan proporsional. Kapitalisme menciptakan kondisi serba kekurangan bagi kaum buruh – dan di sisi lain serba keberlimpahan tentunya bagi segelintir pemilik modal – yang pada gilirannya mendorong buruh untuk saling bersaing mencari sesuap nasi. Mereka kerap ada dalam keadaan waswas kalau esok hari mereka di-PHK atau digantikan oleh mesin. Kebijakan afirmatif hanya mempertajam persaingan ini. Kebijakan afirmatif, karena tidak menuntut perubahan fundamental dalam sistem, hanya berakhir dengan membagi-bagi remah-remah kecil yang diterima buruh “secara setara.”

Konsekuensi reaksioner yang serupa juga kita temui dalam kebijakan kuota pendidikan, tunjangan sosial, dsb. yang memberi keunggulan bagi satu kelompok identitas di atas kelompok yang lain. Yang seharusnya jadi tuntutan utama kita adalah memperjuangkan pekerjaan layak untuk semua orang, pendidikan untuk semua orang, layanan kesehatan gratis untuk semua orang. Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dan tidak ada alasan ekonomi untuk seseorang menganggur ketika ia mampu dan siap bekerja dan berkontribusi pada masyarakat. Semua orang yang ingin belajar berhak untuk mendapat pendidikan setinggi mungkin. Tugas kita bukan justru mencoba mengelola pembagian lapangan pekerjaan atau program-program sosial yang sudah sedikit ini dengan dalih kebijakan afirmatif yang katanya “progresif”. Masyarakat kita memiliki kekayaan berlimpah yang lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan layak bagi semua orang, tetapi kekayaan ini dimonopoli oleh para pemilik modal. Rakyat pekerja hanya diberi remah-remah kecil dan dipaksa bersaing satu sama lain seperti anjing liar untuk remah-remah ini sementara di atas meja sana ada kue besar yang dinikmati oleh tuan nyonya yang gemuk.

Kebijakan afirmatif yang diangan-angankan progresif berakhir menjadi sesuatu yang reaksioner karena ia memperkuat rasa curiga dan dengki antar rakyat pekerja. Ini lalu didayagunakan oleh para demagog reaksioner: “Lihat, akses ke pekerjaan, pendidikan, dan tunjangan sosial tidak mencukupi karena kuota yang diberikan ke kelompok minoritas, ke perempuan, dsb. Merekalah sumber dari semua kesulitan yang kalian alami!” Ini membantu menyebar racun rasisme, seksisme dan perpecahan di antara rakyat pekerja. Padahal yang memecat buruh adalah sang majikan, yang memotong anggaran sosial adalah para politisi elite.  

Jalan ke depan

Kalau bukan kebijakan afirmatif, lantas apa jalan ke depan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik dan memajukan perjuangan kaum perempuan?

Dalam pemilu kali ini, bahkan bila KPU mencapai target mereka untuk memasukkan 30 persen perempuan ke dalam parlemen, ini tidak akan memajukan perjuangan pembebasan perempuan satu jengkal pun. Apa bedanya bagi buruh, tani dan kaum miskin kota perempuan kalau yang masuk ke parlemen adalah politisi perempuan dari partai-partai yang korup? Tidak ada satu pun partai politik hari ini yang sungguh mewakili rakyat pekerja. Semua partai yang ada sekarang adalah partai borjuasi yang busuk. Kita sebut saja beberapa politisi perempuan yang terjerat KPK: Angelina Sondakh dari Partai Demokrat; wali kota Tegal Siti Masitha Soeparno dari Golkar; Miryam Haryani dari Partai Hanura; hakim Tipikor Bengkulu Dewi Surayana; Wa Ode Nurhayanti dari PAN; Damayanti dari PDI-P; Bupati Klaten Sri Hartini dari PDI-P, dan seterusnya ad infinitum. Begitu sibuknya mereka berkorupsi ria untuk mengisi pundi-pundi mereka tentunya perjuangan kaum perempuan tidak pernah terbersit dalam pikiran mereka.

Kaum perempuan kelas pekerja oleh karenanya tidak bisa mempercayakan perjuangan pembebasan perempuan pada politisi-politisi busuk ini. Keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak bisa diserahkan pada mereka. Kaum perempuan rakyat pekerja harus membangun kendaraan politik mereka sendiri, yakni partai kelas pekerja, bersama-sama dengan kaum laki-laki kelas pekerja. Kaum perempuan rakyat pekerja lebih memiliki kesamaan dengan saudara kelas mereka alih-alih dengan perempuan borjuasi. Justru lewat perjuangan bersama-sama melawan penindasan kelas penguasa kapitalis maka persatuan antara laki-laki dan perempuan – dan semua kelompok minoritas – dapat terbina.

Partai kelas pekerja juga tidak membutuhkan sistem kuota untuk memajukan partisipasi perempuan dalam organisasi perjuangan. Sistem kuota dalam gerakan kerap bersifat artifisial, tokenisme, dan sekedar jalan pintas. Perempuan diberi posisi hanya agar organisasi tampak progresif. Dan sesungguhnya, kaum perempuan yang sungguh-sungguh adalah pejuang akan merasa sangat terhina kalau mereka diberi posisi hanya untuk mengisi kuota dan bukan karena mereka memiliki talenta, dedikasi, integritas dan semangat pengorbanan yang diperlukan untuk memenuhi tugas organisasi.

Satu-satunya jalan sejati untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam organisasi perjuangan – dan dalam politik umumnya – adalah dengan sungguh-sungguh berjuang melawan segala bentuk penindasan dan opresi, bukan hanya dalam kata-kata tetapi dalam tindakan yang nyata,  dengan program pembebasan perempuan yang tegas (pekerjaan layak untuk semua, upah setara untuk kerja yang setara, sosialisasi kerja rumah tangga, melawan kekerasan seksual, dan sampai pada penumbangan sistem kapitalisme dan transformasi sosialis) dan sama pentingnya dengan metode perjuangan yang militan: yakni aksi massa yang luas dan demokratik. Hanya dengan cara ini maka kita dapat menarik elemen-elemen pejuang perempuan terbaik ke dalam barisan kita dan membina kader-kader perempuan pejuang yang paling berdedikasi untuk pembebasan tidak hanya kaumnya sendiri tetapi juga seluruh rakyat pekerja.

Pada akhirnya kita tidak menginginkan keterwakilan kaum perempuan dalam pemerintahan dan sistem yang secara inheren menindas. Kita ingin menjungkirbalikkan seluruh sistem yang ada, yakni masyarakat kelas yang selama ribuan tahun telah merantai kaum perempuan.