facebooklogocolour

BolshevikMythBolshevik Myth merupakan buku yang ditulis oleh Alexander Berkman pada tahun-tahun akhir Perang Sipil 1920-22 di Rusia, yang dalam Bahasa Indonesia diberi judul Hikayat Tirai Besi. Buku ini merupakan catatan perjalanan yang dikumpulkan Berkman saat mengelilingi Rusia dan menyaksikan secara langsung kehidupan rakyat Rusia pada tahun-tahun awal setelah Revolusi Oktober 1917.

Kaum Anarkis di Indonesia sering menganjurkan buku ini kepada pembaca muda mereka dengan harapan bahwa supaya mereka tidak menyentuh Bolshevisme sebagai doktrin karena gagasan inilah yang melahirkan Stalinisme dan kediktatoran. Kendati semua maksud buruk dari mereka yang ingin menggunakan buku ini untuk mengotori Bolshevisme, buku ini menyajikan pengamatan akan kondisi Rusia yang justru menguatkan gagasan Bolshevisme. Saya membaca buku ini dengan harapan yang sama bahwa buku ini mampu mengalihkan saya dari Bolshevisme. Tetapi setelah membaca buku ini kesimpulan saya justru sebaliknya. Buku ini semakin memperkuat doktrin Bolshevisme yang saya pertahankan.

Mungkin bagi pembaca yang belum memiliki pengetahuan awal mengenai Revolusi Rusia sebelumnya, mereka akan mudah terbawa perasaan melankolis buku ini. Sering kali gambaran seperti kelaparan akibat blokade imperialis, prostitusi yang masih belum hilang sepenuhnya, birokrasi yang mencekik, penyalahgunaan kekuasaan oleh selapisan pegawai negeri, serta penggunaan kekerasan untuk menekan musuh-musuh revolusi, menjadi semacam dalih untuk menyimpulkan bahwa Revolusi Rusia tidak mengubah apapun, serta jauh dari kesan bahwa sosialisme menciptakan surga di bumi. Tetapi kesan seperti ini tidak membawa kita ke mana-mana. Untuk mengetahui sebuah proses tidak cukup kita mengetahui hitam putih dari sebuah gambar. Demi kepentingan tersebut ranah penelitian lebih dalam diperlukan. Menggunakan akal sehat dan emosi saja tidak cukup. Ini seperti menggantikan sains dengan keberatan emosional. Inilah yang kita tuntut dari sebuah pemikiran. Siapapun dari mereka yang jujur dan berusaha mendapatkan penjelasan ilmiah mengenai mekanisme Revolusi Oktober tidak akan puas dengan pendekatan semacam ini.

Kendati semua nada ketidakpuasan dari Berkman, Revolusi Rusia 1917 merupakan usaha pertama kalinya ─ bila kita mengesampingkan Komune Paris ─ dari kelas pekerja dalam menggulingkan kelas penindas dan mempertahan kekuasaan mereka. Ini adalah revolusi yang menggulingkan pertuantanahan dan kapitalisme. Proletariat Rusia menunjukkan jalan bahwa kapitalisme bisa dihancurkan. Inilah satu-satunya dosa yang tidak pernah dimaafkan oleh para pembela tatanan yang ada.

Kehancuran ekonomi akibat Perang Sipil

Revolusi Oktober telah menjadi mercusuar bagi gerakan kelas tertindas di seluruh dunia, dan oleh karenanya Revolusi ini segera dilihat oleh kelas penindas di berbagai negeri sebagai ancaman besar. Bolshevik harus mengorganisir perang mati-matian melawan intervensi militer dari 21 negara imperialis. Dengan darah dan besi Bolshevik memenangkan pertarungan ini, tetapi bukan tanpa konsekuensi. Tahun-tahun invasi dan blokade ekonomi menghancurkan populasi dan ekonomi Rusia. 12 juta warga sipil meninggal karena kedinginan, kelaparan, dan penyakit. Infrastruktur nasional telah hancur: 7.000 jembatan, 1.700 kilometer jalur kereta api, dan 90.000 kilometer kabel telegraf telah hancur. Blokade internasional telah menurunkan impor Rusia dari 967 juta pound (unit pengukuran Rusia) pada tahun 1913 menjadi 0,5 juta pada tahun 1919, dan ekspor Rusia dari 1.472 juta menjadi 0,0001 juta. Produksi industri turun menjadi sekitar 15% dari tingkat sebelum 1914.

Berkman di sepanjang bukunya menggambarkan kondisi mengerikan yang dihadapi oleh rakyat Rusia dan rezim Soviet muda di bawah kepemimpinan Bolshevik:

“Jalan kereta antara dua ibukota (keduanya diakui sebagai ibukota) sangatlah buruk. Mesin keretanya sudah tua dan lemah, rel keretanya perlu diperbaiki.”

“Lunacharskaya mengatakan, ‘Kami juga sangat kekurangan kertas, pensil dan alat-alat belajar lainnya. Blokade menghalangi kami mendapatkan buku-buku dan material-material dari luar negeri.’”

“… mesin-mesin diabaikan, sebagian besar tidak mungkin lagi diperbaiki dan terjadi kekurangan ahli yang mampu memperbaikinya. Orang-orang berada di pos masing-masing, berpura-pura bekerja, tetapi sebenarnya mereka tidak berbuat apa-apa atau malah terlibat dalam produksi korek api, kunci, gerendel, dan benda-benda lain untuk kebutuhan pribadi atau untuk dijual sendiri.”

“Banyak pabrik yang sepenuhnya tutup; sebagian yang lain beroperasi dengan hasil minimal. Pengolahan-pengolahan gula, industri terpenting di tenggara, beroperasi dengan defisit yang hebat.”

Dan seterusnya, dan seterusnya. Demikianlah kondisi yang diwarisi oleh kaum Bolshevik. Kondisi kemiskinan dan keterbelakangan demikianlah yang di kemudian hari menyiapkan basis material untuk bangkitnya kasta birokrasi Stalinis yang gemuk makmur di atas penderitaan buruh dan tani.

Pupusnya vitalitas demokrasi Soviet

Tidak hanya kehancuran material yang diderita oleh Pemerintahan Soviet muda ini, tetapi juga kehancuran sumber daya manusia proletariat itu sendiri. Ini yang ditulis oleh Berkman dalam bukunya:

“Kota ini [Petrograd] tampak sepi. Populasinya hampir tiga juta orang pada 1917, sekarang hanya tersisa lima ratus ribu orang. Perang dan wabah nyaris membinasakan Petrograd. Dalam pertempuran melawan Kaledin, Denikin, Koltchak, dan Pasukan Putih lainnya, kaum buruh Kota Merah banyak berguguran. Proletarian terbaiknya gugur untuk revolusi.”

Ya! Elemen proletariat terbaik dan sadar kelas telah mengorbankan nyawa mereka untuk revolusi selama tahun-tahun Perang Sipil. Merekalah yang menjadi sukarelawan paling berani ke garis depan. Ini memiliki konsekuensi terburuk bagi keberlangsungan dan kesehatan demokrasi buruh dalam Soviet. Apalah artinya demokrasi Soviet bila buruh yang menjadi komponen penting di dalamnya sudah tidak ada lagi.

Berkman dalam bukunya mengeluh mengenai pertemuan Soviet yang dia hadiri, yang menurut pengamatannya tidak memiliki vitalitas:

“… para anggota Soviet tidak ikut aktif dalam rapat-rapat. Mereka hanya mendengarkan pidato dan memberikan suara secara mekanis terhadap resolusi-resolusi yang diajukan oleh Presidium. Tidak ada diskusi; rapat-rapat ini tidak memiliki gairah.”

Berkman tidak bisa menghubungkan fakta A dengan fakta B, bahwa hancurnya secara fisik elemen-elemen proletariat terbaik adalah faktor penting dalam pupusnya vitalitas demokrasi dalam Soviet. Ketika lapisan proletariat terbaik maju ke garis depan perang, yang tersisa di garis belakang (terutama di sentra-sentra industri penting seperti Petrograd) adalah lapisan proletariat yang lebih terbelakang, yang wawasan dan kesadaran kelasnya lebih mentah. Tidak hanya itu. Yang juga tersisa di garis belakang adalah birokrat-birokrat pemerintah peninggalan dari rezim Tsar sebelumnya, yaitu orang-orang oportunis yang terpaksa digunakan oleh Bolshevik untuk menjalankan roda pemerintahan Soviet karena kurangnya personil-personil terlatih. Ini adalah kutukan dari keterbelakangan ekonomi, pendidikan, dan budaya Rusia, dimana 90 persen rakyat pekerja buta huruf. Dengan demikian, pertemuan-pertemuan soviet, dari bawah hingga atas, secara efektif menjadi kosong dan hanya dihadiri oleh para birokrat. Soviet mulai kehilangan dinamika dan vitalitasnya, dan lapisan birokrasi ini mulai menegakkan dominasi mereka di dalam Soviet.

Partai Bolshevik, sebagai garda terdepan proletariat Rusia, mencoba menjaga demokrasi Soviet sebisa mungkin di tengah kondisi tersulit. Tetapi pada akhirnya, Partai Bolshevik hanyalah minoritas kecil dari keseluruhan kelas proletariat dan tidak akan bisa menggantikan kelas proletariat ataupun demokrasi Soviet. Degenerasi dalam demokrasi Soviet bukanlah berakar dari Bolshevisme itu sendiri, tetapi dari kondisi material dan kekuatan-kekuatan sosial yang riil. Trotsky menjelaskan: “Kekeliruan dalam penalaran ini [bahwa Bolshevisme-lah yang melahirkan Stalinisme] dimulai dengan premis bahwa Bolshevisme, Revolusi Oktober, dan Uni Soviet adalah satu dan sama. Proses historis dari pergulatan kekuatan-kekuatan yang berseteru digantikan dengan evolusi Bolshevisme dalam ruang hampa. Namun, Bolshevisme hanyalah sebuah tendensi politik yang terikat erat dengan kelas buruh, tetapi tidaklah identik dengannya. Dan, selain kelas buruh, di Uni Soviet ada ratusan juta kaum tani, beragam bangsa-bangsa, dan warisan penindasan, kesengsaraan, dan kebodohan. Negara yang dibangun oleh kaum Bolshevik tidak hanya mencerminkan pemikiran dan kehendak Bolshevisme, tetapi juga tingkat budaya negeri itu, komposisi sosial masyarakatnya, tekanan dari masa lalu yang barbar dan juga imperialisme dunia yang tidak kalah barbar. Untuk mengatakan bahwa proses degenerasi negara Soviet adalah murni cerminan evolusi Bolshevisme berarti mengabaikan realitas sosial. … Bolshevisme, bagaimanapun juga, tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan Revolusi Oktober atau dengan Negara Soviet yang lahir darinya.” (Leon Trotsky, Stalinisme dan Bolshevisme)

Ketidaksetaraan dan birokrasi

Kemiskinan dan keterbatasan sumber daya memaksa pemerintahan Soviet untuk menerapkan kebijakan pembagian ransum dengan prioritas tertentu. Buruh yang bekerja di industri-industri kunci, serdadu di garis depan, serta personil-personil penting dalam pemerintah, mereka umumnya mendapatkan ransum lebih besar dan fasilitas lebih baik. Tetapi, Berkman dengan sentimentalitasnya mengeluh dan tidak memahami ini:

“Aku mendiskusikan masalah ini dengan Komisar Perumahan kami, seorang anggota partai yang sangat setia. ‘Esensi komunisme adalah kesetaraan,’ kataku, ‘ seharusnya hanya ada satu jenis Pyock [ransum], sehingga semua orang akan berbagi dengan setara.’”

Keluhan Berkman ini adalah tipikal cara berpikir kaum Anarkis, yang membayangkan bahwa kesetaraan Komunis bisa tercapai dalam semalam, cukup dengan tekad dan itikad baik dari semua orang.

Distribusi yang tidak setara ini bukanlah masalah prinsip tetapi merupakan konsesi, yang dipahami dengan sangat baik oleh kaum Bolshevik sebagai kebijakan sementara yang dipaksakan oleh situasi. Pemerintahan Soviet bahkan terpaksa memberi upah yang lebih tinggi pada para teknisi, insinyur, spesialis dan para pegawai pemerintah -- yaitu anggota-anggota kelas atas rezim Tsar sebelumnya -- agar mereka bersedia bekerja untuk pemerintah yang baru ini. Kaum Marxis menyadari dengan penuh bahwa ketidaksetaraan ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi sosial yang akan terus meruncing kalau tidak dituntaskan dengan kemenangan revolusi di Eropa Barat. Ini dijelaskan dengan baik oleh seorang anggota Partai Bolshevik yang berdiskusi dengan Berkman:

“‘Apa yang dapat kita lakukan, kamerad! Jika bukan karena Sekutu dan blokade terkutuk ini, kita akan mendapatkan cukup makanan untuk semua,’ ucapnya, sedih. ‘Tetapi ini tidak akan berlangsung lama. Apakah kau sudah baca di Izvestia, tentang revolusi yang akan segera meletus di Jerman dan Italia? Proletariat Eropa akan datang membantu kita.’”

Distribusi yang tidak setara ini ─ yang dipaksakan oleh kemiskinan dan keterisolasian Uni Soviet ─ setahap demi setahap membentuk kasta birokrasi yang berprivilese, yang taraf hidupnya lebih baik dibandingkan rakyat jelata umumnya. Lenin telah mengakui secara publik bahwa yang mereka miliki adalah “negara buruh dengan distorsi birokratik.” Pada Kongres Partai Bolshevik terakhir yang dia hadiri pada 1922, Lenin mengungkapkan keresahannya: “Bila kita ambil contoh Moskow dengan 4.700 Komunis yang ada dalam posisi bertanggungjawab di satu sisi, dan mesin birokrasi yang besar di sisi lain, kita harus bertanya: siapa yang mengarahkan siapa? Saya sangat meragukan kalau kita bisa mengatakan dengan jujur bahwa kaum Komunis lah yang mengarahkan mesin birokrasi itu. Sejujurnya, bukan mereka yang mengarahkan tetapi mereka lah yang diarahkan.”

Trotsky menjelaskan bagaimana proses degenerasi birokratik ini berlangsung: “Basis bagi kekuasaan birokrasi adalah kemiskinan masyarakat dalam bahan-bahan konsumsi, yang menyebabkan persaingan antara satu dengan yang lainnya. Ketika pasokan barang di satu toko mencukupi, para pembeli dapat datang kapanpun mereka inginkan. Ketika pasokan barang sedikit, para pembeli terpaksa mengantri. Bila antrean terlalu panjang, perlulah ditunjuk seorang polisi untuk menjaga ketertiban. Demikianlah awal munculnya kekuasaan birokrasi Soviet. Mereka ‘tahu’ siapa yang akan mendapat jatah terlebih dahulu dan siapa yang harus menunggu.” (Leon Trotsky, Revolusi yang Dikhianati)

Berkman dalam catatan hariannya menuturkan banyak kisah mengenai antrian panjang yang harus dilalui orang untuk memperoleh segala sesuatu, dan penyalahgunaan kekuasaan yang bersumber darinya oleh petugas-petugas pemerintah yang berwenang.

“Antrean panjang di mana-mana, dengan banyak “surat-surat” dan dokumen-dokumen yang diurus oleh Sovietskt Barishni (sekretaris-sekretaris muda Soviet), yang mengenakan sepatu hak tinggi, dan memenuhi setiap kantor. Mereka mengembuskan asap rokok dan dengan bersemangat mendiskusikan privilese-privilese biro-biro tertentu yang diukur dari jumlah pyock [ransum] yang diberikan, simbol keberadaan Soviet.”

“Kami telah menunggu beberapa jam di koridor berbagai biro. … Penjaga memperhatikan dengan seksama agar tidak ada seorang pun yang memotong antrean. Tetapi sering kali ada orang yang melangkah langsung menuju pintu kantor dan mencoba masuk, mengabaikan antrean. ‘Antri, antri!’ terdengar teriakan-teriakan bersamaan. ‘Kurang ajar! Kami sudah berdiri berjam-jam di sini, dia baru datang dan ingin langsung masuk.’ ‘Aku vne otcheredi – Tidak perlu antre,’ orang itu akan menjawab dengan congkak. ... Satu demi satu orang-orang dengan vne otcheredi datang, dengan surat yang menjamin pelayanan segera, sementara ekor antrean terus memanjang.”

“Selama berhari-hari aku mengantre di Biro Perumahan, tapi mustahil mendapatkan surat untuk memperoleh kamar. … Akhirnya aku mengeluh ke Rabkrin, yang seharusnya melindungi kepentingan proletar. Salah satu agen mereka mengundangku berbagi kamar dengannya, jadi ku tampar wajah lelaki itu. Dia menahanku, dan aku dipenjara di sel Tcheka selama dua bulan atas tuduhan ‘sabotase’.” … ‘Aku belajar banyak saat ditahan Tcheka,’ ujarnya. ‘Ketika dibebaskan, aku mencari anggota Biro Perumahan. Untung aku masih memiliki sepasang sepatu Prancis yang bagus, dan kupersembahkan untuknya. ‘Hadiah kecil untuk istrimu,’ kataku, tak peduli istri mana yang akan mendapatkannya karena dia terkenal memiliki lebih dari satu istri. Dalam 24 jam aku mendapatkan kamar luas yang bagus, dengan perabotan bergaya borjuis sungguhan.’”

Distribusi barang yang sedikit untuk orang yang banyak memerlukan seperangkat birokrasi (dari pencatat, akuntan, mandor gudang sampai ke polisi) untuk mengelola distribusi ini. Pada awalnya ada soviet-soviet yang mengawasi kerja para birokrat ini. Tetapi keputusasaan, kemiskinan parah, kelaparan yang berkepanjangan tanpa akhir, akan mendorong bahkan orang yang paling jujur sekalipun untuk menyalahgunakan wewenang dan privilesenya cepat atau lambat. Bahkan privilese kecil untuk bisa memotong antrean pun dapat menciptakan jurang sosial yang semakin melebar. Satu-satunya jalan keluar bagi Uni Soviet adalah pecah dari keterisolasiannya, dengan bantuan ekonomi dari proletariat Eropa Barat yang menang.

Kasta birokrasi inilah yang nantinya menjadi basis sosial Stalinisme. Tetapi pada masa awal Revolusi, ada jurang besar yang memisahkan kasta birokrasi ini dengan generasi Bolshevik sejati yang memimpin Revolusi Oktober, dan ini diakui oleh pengamatan Berkman sendiri:

“Di ruang makan Smolny aku bertemu dengan sejumlah penjabat Partai Komunis dan Soviet. ... Semua tampak pucat, dengan mata sayu, dan tulang pipi yang tinggi, hasil dari kekurangan makanan, kerja yang berlebihan dan kecemasan.”

Pengorbanan kaum Bolshevik ini sungguh berbeda dengan kasta birokrasi yang nantinya menggantikan mereka, yang hidup mewah penuh privilese. Inilah mengapa kasta birokrasi di bawah kepemimpinan Stalin harus menyingkirkan generasi Bolshevik Tua. Hampir seluruh jajaran kepemimpinan Bolshevik yang terlibat dalam Revolusi Oktober, dan lapisan proletariat maju yang merupakan garda depan dalam Revolusi Oktober, ditumpas oleh birokrasi Stalinis lewat kampanye fitnah dan eksekusi yang berdarah-darah, yang memuncak pada Pengadilan Moskow 1936-37. Dari seluruh jajaran Komite Pusat Bolshevik yang memimpin Revolusi Oktober, hanya 3 orang termasuk Stalin yang masih hidup setelah 1937. Mayoritas lainnya dieksekusi oleh Stalin, dituduh sebagai pengkhianat, fasis, agen imperialis, mata-mata, sabotur, dan berbagai tuduhan tak masuk akal lainnya. Nasib serupa menimpa hampir seluruh kaum Bolshevik generasi Lenin. Jelas, ada sungai darah yang memisahkan Bolshevisme sejati dari Stalinisme.

Internasionalisme

Satu tema yang terus muncul dalam buku Berkman ini adalah perspektif internasionalis yang dimiliki oleh kaum Bolshevik. Dalam buku ini, berkali-kali kita baca kesaksian dari kaum Bolshevik dan proletariat Soviet yang memahami dengan baik bahwa keselamatan Revolusi Oktober akan tergantung pada kemenangan revolusi proletariat di negeri-negeri kapitalis maju seperti Jerman dan Inggris. Rusia tidak memiliki basis material untuk bisa mewujudkan sosialisme.

Proletariat Rusia yang digempur dari semua sisi, dan dibebani dengan kehancuran ekonomi yang dalam, memegang harapan besar akan bantuan dari saudara-saudari proletariat mereka di Eropa Barat dan Amerika. Sebuah debat antara Pashkevitch, seorang Bolshevik muda dari Soviet Petrograd, dengan Berkman memberi gambaran jelas mengenai ini:

“‘Kau pesimistis, kamerad,’ bantah Pashkevitch. ‘Perang dan Revolusi kami pasti memberikan pengaruh sangat besar pada proletariat luar negeri. Kami berharap revolusi akan segera terjadi di banyak tempat. Aku yakin itu, terutama di Amerika, dimana kapitalisme telah tumbuh pesat sampai hampir meledak. Bukankah begitu, Kamerad Novikov?’ Tanya dia ke asisten saya.”

“‘Aku tidak setuju denganmu, Kamerad,’ jawab Novikov, asistenku. ‘Aku khawatir harapanmu tidak akan cepat terwujud.’”

“‘Coba dengar omongan kalian!” bentak Pashkevitch. “Harapan! Ini sebuah kepastian. Kami menaruh kepercayaan kepada kaum buruh. Revolusi yang terjadi di berbagai negeri akan menjadi penyelamat bagi Rusia, dan kami sangat tergantung pada mereka.’”

“‘Rusia harus belajar berdikari,’ jawabku. ‘Dengan upaya sendiri, kita harus mengalahkan musuh dan membawa kesejahteraan kepada rakyat.’”

“‘Untuk itu, kami tengah melakukan segalanya yang mungkin,” jawab Pashkevitch. “Kami, kaum Komunis, punya tugas yang paling berat dan paling sulit yang pernah dibebankan kepada partai politik manapun, dan kami telah meraih pencapaian-pencapaian yang luar biasa. Tetapi Sekutu terkutuk itu tidak akan membiarkan kita hidup damai, dan blokade mereka membuat kita kelaparan. Saat berbicara dengan kaum buruh, aku selalu menekankan kepada mereka, bahwa saudara-saudara mereka di luar negeri akan datang untuk membantu Soviet Rusia dengan mengobarkan Revolusi Komunis di negeri-negeri mereka. Itu menumbuhkan keberanian baru dan menguatkan keyakinan mereka akan keberhasilan kami.’”

Sementara kaum Bolshevik dipenuhi dengan optimisme akan revolusi dunia, kita saksikan bagaimana Berkman sangatlah pesimis. Dia membayangkan bahwa Rusia dengan kekuatannya sendiri dapat mengalahkan musuh-musuhnya dan mewujudkan sosialisme. Ironisnya, ini persis adalah cara pandang lapisan birokrasi Stalinis dengan teori “Sosialisme di Satu Negeri” mereka. Setelah Lenin meninggal, Stalin mengajukan gagasan bahwa Uni Soviet dapat membangun sosialisme tanpa bantuan dari revolusi proletariat di negeri-negeri kapitalis maju. Tetapi Lenin dan Trotsky telah memberi peringatan keras, bahwa Revolusi Oktober tidak akan bisa bertahan tanpa kemenangan revolusi proletariat di Eropa Barat dan Amerika. Usaha untuk membangun sosialisme di sebuah negeri yang terbelakang akan menciptakan distorsi-distorsi mengerikan. Peringatan ini terbukti dengan bangkitnya rezim otoriter Stalinis yang mengerikan di atas puing-puing Revolusi Oktober.

Sentimentalisme borjuis-kecil Berkman

Karena tuntutan perang, kaum tani dipaksa mengirimkan hasil panen untuk memasok bahan makanan di garda perang. Semua ini menciptakan ketidakpuasan terutama di antara lapisan tani dan borjuis kecil. Mereka memandang Bolshevik dengan kecurigaan serta secara diam-diam melakukan sabotase dan pemberontakan. Dasar kondisi inilah yang diceritakan Berkman dalam buku ini.

Sebagai sebuah posisi sudut pandang, buku ini memiliki kekurangan utama yakni tidak menjelaskan situasi di belakang ketidakpuasan ini. Jelas ada kelaparan; ada penyitaan gandum untuk tentara merah; dan ada ketidakpuasan dari mereka-mereka yang dikalahkan. Tetapi analisa apa untuk menjelaskan situasi seperti ini. Revolusi Rusia dibangun dari keterbelakangan ekonomi. Industri-industri Rusia tertinggal dibanding negeri-negeri di Eropa lainnya. Intervensi imperialis dan blokade ekonomi telah menghancurkan Rusia. Revolusi ini masih berjuang di atas warisan kehancuran serta keterbelakangan teknik dan produksi masa lalu. Bila kita berharap dapat melihat Revolusi Rusia sebagai cerminan surga di bumi dalam tempo yang sekejap, maka kita tidak pernah bisa melihat pemandangan tersebut. Inilah yang secara tidak langsung dituntut Berkman ─ serta kaum Anarkis umumnya ─ dalam buku ini. Mereka menginginkan dengan segera surga sosialisme seturut idealisme mereka.

Revolusi yang menang tidak lantas menghapuskan keterbelakangan ini dalam semalam. Di tengah gempuran dari musuh-musuh revolusi mustahil menciptakan jalan bebas hambatan membangun sosialisme. Kelas penguasa yang telah dikalahkan tidak serta merta menyerahkan kekuasaan dengan sukarela. Mereka berusaha meruntuhkan revolusi ini dengan berbagai cara. Perlawanan balik dari penguasa harus dikalahkan. Bolshevik jauh memahami ini dengan baik. Mereka paham bila revolusi ini kalah, ada jutaan nyawa pekerja dan petani yang dipertaruhkan. Oleh karenanya mematahkan perlawanan musuh adalah diperlukan, meskipun ini sangat kita sesalkan menyebutnya sebagai sebuah kekerasan.

Namun, penguasa tidak pernah naif mengenai kekerasan. Tsarisme sebagai penguasa di Rusia telah melakukan praktik kekerasan ratusan tahun terhadap mayoritas kelas terhisap dan tertindas. Mereka membungkam, melakukan pogrom, menindas setiap sentimen kebangsaan, memenjarakan, mengasingkan musuh politik dan oposisi; serta membunuh rakyat melalui kelaparan, kemiskinan, pengangguran dan perang. Kekerasan yang dilakukan oleh Revolusi Oktober sangatlah kecil dan tidak signifikan bila dibanding kejahatan yang telah dilakukan kelas penguasa. Ini karena kekerasan pada saat revolusi ditujukan pada minoritas kecil kelas penindas. Sangat sempit bila kita mengalihkan penglihatan dari kejahatan yang lebih besar sementara membesar-besarkan ‘kejahatan’ episodik dan tidak signifikan dalam revolusi.

Benar bahwa Revolusi Rusia belum mengangkat dirinya ke ketinggian surga. Kehancuran, kelaparan dan kemiskinan belum dihilangkan. Ini karena revolusi menarik semua lapisan yang tertindas ke dalam pentas besar perjuangan. Semakin lama perjuangan ini, semakin ia menghancurkan semua hubungan ekonomi dan produksi. Berbeda dengan reformasi istana yang hanya menggantikan satu penindas dengan penindas lain, yang berlangsung singkat dan tidak menyakitkan. Setiap revolusi sosial besar selalu diiringi proses menyakitkan seperti ini. Marx suatu kali mengatakan bahwa kekerasan adalah bidan dari tiap masyarakat lama yang mengandung janin masyarakat baru. Ini secara tepat menggambarkan setiap revolusi yang ada. Menyalahkan kekerasan dalam setiap revolusi, sama saja seperti menyalahkan bayi yang baru lahir karena membuat sakit sang ibu. Ini sama sekali tidak menjelaskan esensi revolusi. Persoalannya kemudian adalah bagaimana membuat situasi menyakitkan ini berlangsung singkat. Inilah yang menjadi inti dari kebijakan Bolshevik.

Jauh dari gambaran yang menyeramkan, sebenarnya Revolusi Oktober berjalan sangat damai karena mayoritas kelas tertindas cukup mengangkat tangannya dan mengalihkan semua kekuasaan lama pada Pemerintahan Soviet. Kekerasan yang sering diidentifikasikan sebagai hasil langsung dari revolusi awalnya tidaklah terjadi di sini. Revolusi ini popular dalam artian menyeret semua lapisan tertindas di bawah panjinya. Tetapi satu yang tidak pernah bisa dipungkiri bahwa kelas penguasa yang sudah dikalahkan tidak pernah bisa menerima kekuasaannya dilucuti. Mereka mengorganisir perang berdarah melawan revolusi dan rezim soviet perlu melawan upaya ini.

Secara sadar maupun tidak sadar, sudut pandang Berkman berdiri di atas realitas kelas. Revolusi Oktober menghidupkan lalu menghancurkannya. Untuk alasan ini Berkman berbicara mengenai perang sipil dan revolusi. Satu-satunya kejahatan yang menyinggung ‘kemanusiaan’ Berkman adalah penggunaan kekerasan yang ditujukan terhadap musuh-musuh revolusi. Bila proletariat merebut kekuasaan, maka dengan segala cara diperlukan untuk mempertahankannya. Bila kekerasan ini dianggap kejahatan bagi mereka yang menggunakan, maka itu juga menjadi kejahatan pula bagi proletariat Rusia merebut kekuasaan. Inilah pesan yang secara tidak langsung diungkapkan dari buku Bolshevik Myth.

Sangat penting bagi siapapun pembaca buku ini untuk melengkapi pengetahuannya mengenai Revolusi Rusia dari sudut pandang perjuangan kelas. Karena dari sini kebijakan Bolshevik bisa dipahami. Bila tidak begitu, alih-alih memahami Revolusi Rusia, mereka yang baru membaca sejarah Revolusi Rusia akan terjebak ke dalam sentimentalisme yang dipegang oleh penulis buku ini. Kaum revolusioner bukanlah kaum sentimental. Kami tidak pernah naif memandang kekerasan; yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kepada siapa kekerasan ini ditujukan. Tetapi sepertinya Berkman dalam buku ini terlalu melankolis menangisi setiap ‘kekerasan’ yang ditujukan kepada musuh revolusi. Pada akhirnya sentimentalisme Berkman Sang Anarkis tidak memiliki tempat di dalam sejarah dan revolusi.