facebooklogocolour

spinoza

Zaman Pencerahan, yang juga dikenal sebagai zaman Nalar, adalah salah satu episode paling menginspirasi dalam sejarah manusia. Zaman ini menghasilkan banyak pemikir yang perjuangannya melawan ketidaktahuan, takhayul dan dogma agama memainkan peran kunci dalam perjuangan melawan sistem feodal dan kediktatoran Gereja. Filsafat radikal filsuf Belanda, Baruch Spinoza[1] (1632-1677), memainkan peran penting dalam perkembangan ini.

Dampak ide-idenya begitu besar, seperti yang dijelaskan Hegel, bahwa “Spinoza [telah] dijadikan titik uji dalam filsafat modern, sehingga dapat benar-benar dikatakan: Anda adalah seorang Spinozist atau bukan seorang filsuf sama sekali.”[2] Datang dari Hegel, kata-kata ini merupakan bukti tak terbantahkan dari pengaruh ide-ide Spinoza. Namun, bagi pemikir hebat ini, filsafat bukanlah latihan spekulatif yang jinak. Filsafatnya terkait langsung dengan tugas memahami alam dan masyarakat, guna mengubahnya demi kepentingan umat manusia.

Jangan tertawa, atau menangis, tapi pahamilah!

“Saya telah berusaha keras untuk tidak mencemooh, meratapi, atau mengutuk tindakan manusia, tetapi untuk memahaminya. Jadi saya telah menganggap emosi manusia seperti cinta, kebencian, kemarahan, iri hati, kesombongan, belas kasihan, dan gejolak-gejolak pikiran lainnya bukan sebagai keburukan sifat manusia tetapi sebagai ciri-ciri yang berkaitan dengannya seperti halnya panas, dingin, badai, guntur, dan yang lainnya berkaitan dengan sifat atmosfer. Emosi-emosi ini, meskipun menyusahkan, tidak dapat dihindari, dan memiliki sebab-sebab tertentu yang melaluinya kita mencoba memahami sifat mereka. Dan pikiran memperoleh banyak kesenangan dalam merenungkannya dengan benar seperti halnya dari pengetahuan tentang hal-hal yang menyenangkan indra.”[3]

Spinoza adalah perwakilan yang luar biasa dari zamannya. Bersama dengan pemikir Pencerahan awal lainnya seperti Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679) dan René Descartes (1596-1650), dia adalah salah satu tokoh sejarah yang menjulang tinggi dan mercusuar terang di masa ketika umat manusia sedang berjuang keluar dari kegelapan masyarakat feodal.

Dalam Historical and Critical Dictionary yang diterbitkan olehnya pada 1697, bahkan teolog Pierre Bayle (1647-1706), yang merupakan musuh besar monismenya Spinoza (yakni, filsafat yang menganggap dunia terdiri dari satu substansi, misalnya materi atau pikiran), harus mengakui bahwa “dia adalah seorang yang menolak dipasung hati nuraninya dan memusuhi kemunafikan. Inilah mengapa dia dengan bebas mengungkapkan keraguan dan keyakinannya.”[4] Dengan melakukan itu, kita dapat menambahkan, Spinoza mewakili semangat zamannya.

Di mana-mana di Eropa, Spinoza terkenal karena metode rasionalnya yang tak tergoyahkan, yang menolak tradisi, emosi, dan moralitas hampa dalam usahanya untuk memahami dunia pada tingkat yang paling mendasar. Dia dengan tegas mengecam orang-orang yang berusaha menjelaskan alam dengan argumen “kehendak Tuhan”. Orang-orang ini dianggapnya mencoba mencari “perlindungan di balik ketidaktahuan.”[5] Karena usahanya untuk menemukan pendekatan rasional untuk menjelaskan alam, dia tak ayal berbenturan dengan kelas penguasa

Revolusi dan kontra-revolusi

Zaman pencerahan adalah masa penuh gejolak besar dalam ranah budaya, sains, dan intelektual, yang terjadi bertepatan dengan kebangkitan kapitalisme di Eropa, yang berlangsung kira-kira dari pertengahan abad ke-17 hingga dekade-dekade pertama abad ke-19. Ini adalah periode pergolakan ekstrem, yang dipenuhi dengan perang, perang saudara, revolusi dan kontra-revolusi. Kontradiksi-kontradiksi internal di dalam rejim-rejim Eropa lama telah diperburuk oleh kebangkitan kelas borjuasi. Tatanan lama telah terguncang dan pada abad ke-17 monarki-monarki besar Eropa berubah menjadi rezim absolutis, dengan semua kekuasaan terkonsentrasi di tangan penguasa monarki, yang menyeimbangkan antara aristokrasi tua yang uzur dan kelas kapitalis yang tengah bangkit.

Absolutisme didukung oleh Gereja, baik Katolik maupun Protestan, yang mempertahankan kediktatoran atas semua aspek kehidupan pribadi, termasuk apa yang ada di benak warga. Prancis, Spanyol, dan Kekaisaran Romawi Suci dicengkeram oleh perang dan perang saudara – yang dikobarkan atas nama agama – yang menewaskan jutaan orang. Di Jerman, Perang Tiga Puluh Tahun – secara formal perang antara umat Katolik dan Lutheran – memakan korban 5-8 juta jiwa.

Kekuasaan Gereja meresapi setiap sendi masyarakat. Buku-buku yang dianggap bertentangan dengan dogma agama, atau bahkan menabur keraguan terhadapnya, disensor, dilarang, atau dibakar secara massal. Buku-buku yang mempertanyakan otoritas kitab suci sebagai kebenaran yang tak terbantahkan atau monopoli pendeta dalam menafsirkan kitab suci tidak diperbolehkan beredar. Di seluruh Eropa antara tahun 1560 dan 1630, 80.000 orang dituduh melakukan sihir dan setengah dari mereka dieksekusi. Ilmuwan seperti Galileo dipersekusi oleh inkuisisi Gereja. Beberapa, seperti Giordano Bruno, dibakar di tiang pancang karena gagasannya bertentangan dengan doktrin resmi.

Keluarga Spinoza juga menjadi korban persekusi Gereja. Mereka diusir dari Spanyol pada 1492 setelah diadopsinya Dekrit Alhambra, yang memerintahkan pengusiran orang Yahudi. Setelah pindah ke Portugal, mereka dipaksa masuk Katolik dan harus mempraktikkan iman Yahudi mereka secara rahasia selama hampir satu abad. Mereka kemudian pindah ke Prancis, akhirnya menetap di Belanda yang saat itu merupakan negara di Eropa yang paling toleran terhadap agama Yahudi.

Pada awal abad ke-17, revolusi borjuis pertama di dunia mengguncang Belanda. Revolusi ini mengambil bentuk perang pembebasan nasional dari Spanyol, yang berlangsung dari 1566 hingga 1609. The United Provinces, nama Republik borjuis di Belanda pada saat itu, adalah pusat komersial yang multikultural dan, pada saat itu, pusat industri dan manufaktur kapitalis yang paling maju. Perjuangannya melawan Katolik dan absolutisme menjadi titik fokus para pemikir radikal dan revolusioner di seluruh benua Eropa. Oleh karena itu, secara alami, ini menyediakan lahan subur bagi perkembangan gagasan-gagasan yang paling maju saat itu, termasuk Descartes, Spinoza, dan kemudian John Locke (1632-1704).

Lahir dari keluarga pedagang pada 1632, Spinoza dibesarkan dan dididik di bawah tradisi Yahudi. Meskipun dia adalah murid Taurat dan Talmud yang pintar, pandangan radikalnya membuatnya dikucilkan dari komunitas Yahudi pada usia 25 tahun.

Spinoza lebih tertarik pada hal-hal lain. Sebagai seorang pemuda, ia berkenalan dan kemudian bergabung dengan Collegiants – sebuah sekte Kristen radikal, yang berjuang melawan ortodoksi agama, otoritas dan kekuasaan gerejawi, serta berjuang demi toleransi agama dan intelektual. Sekte tersebut kemudian pecah menjadi dua di bawah pengaruh kemajuan dalam filsafat dan sains, yang dipelopori oleh orang-orang seperti Descartes dan Spinoza sendiri. Sayap Socinian mengambil pandangan yang semakin rasionalis, dan menyisakan sedikit ruang bagi tuhan dan otoritas keagamaan.

Sekte-sekte radikal seperti Anabaptis, Quaker, Ranter, Levellers dan Digger menjamur di seluruh Eropa. Ini mencerminkan krisis yang melanda rezim feodal dan mood revolusioner yang berkembang di antara massa. Banyak dari mereka yang menolak hierarki sosial dan beberapa, seperti sekte Diggers, bahkan menolak kepemilikan pribadi sama sekali. Pengelompokan semacam itu memainkan peran penting dalam Perang Saudara Inggris 1642–1649, yakni revolusi borjuis kedua di dunia, yang berakhir dengan kemenangan pasukan Cromwell dan jatuhnya serta dieksekusinya monarki absolut.

Revolusi ilmiah

Di seluruh Eropa, kelas borjuasi menjadi semakin kuat, dan kekuatan kelas feodal melemah. Kota-kota tumbuh dan seiring dengan itu perdagangan, manufaktur, dan industri. Perkembangan ini memberikan dorongan kuat bagi revolusi dalam ilmu pengetahuan.

Spinoza dengan penuh semangat mengikuti perkembangan sains. Dia sendiri adalah seorang tukang asah dan potong lensa yang cukup terkenal – sebuah seni pertukangan yang memainkan peran penting dalam perkembangan astronomi serta biologi dan kimia – dan dia bekerja keras, meskipun tidak berhasil, untuk mengembangkan penjelasan ilmiah mengenai fenomena pelangi.

Dia berkorespondensi secara reguler dengan Henry Oldenburg, seorang ilmuwan dan salah satu anggota terkemuka Royal Society (lembaga ilmiah tertua di Inggris), serta dengan Robert Boyle, salah satu bapak kimia modern dan bapak metode eksperimental ilmiah modern. Dia juga berkomunikasi dengan Nicolas Steno, ahli anatomi, geologi, dan paleontologi yang terkenal dari Denmark. Spinoza pernah menghadiri kelas bedah anatomi Steno setiap hari.

Sains melangkah maju dengan kecepatan tinggi. Kemajuan sains yang paling penting adalah perkembangan mekanika klasik Newton dan kemenangan sistem Copernicus dalam ilmu astronomi, yang untuk selama-lamanya menghancurkan gagasan bahwa bumi adalah pusat alam semesta.

Setiap langkah maju sains melemahkan dogma Gereja. Gagasan tentang kekuatan ilahi yang menguasai dunia secara bertahap digantikan oleh pandangan tentang dunia yang diatur oleh hukum-hukum alam, yang independen dari manusia.

Doktrin lama mengklaim bahwa realitas diatur secara kaku, dengan Tuhan di atas dan para raja serta pemuka agama sebagai wakilnya yang tak terbantahkan di bumi. Bumi pada gilirannya adalah pusat alam semesta, dengan matahari, bulan, dan bintang-bintang berputar mengelilinginya. Massa ditakdirkan untuk menanggung penderitaan apa pun yang dipaksakan kepada mereka oleh tatanan yang kekal ini. Kemenangan sistem Copernicus memberikan pukulan telak bagi pandangan dunia ini.

Semua kemajuan ini dicapai lewat kombinasi eksperimen ilmiah dan analisa, yakni, tanpa bantuan kitab suci agama dan interpretasi pemuka agama, yang pada saat itu dipercaya sebagai satu-satunya jalan resmi menuju kebenaran.

Kebangkitan Rasionalisme

Revolusi dalam sains ini diikuti pula oleh revolusi dalam filsafat. Di Inggris, materialisme awal berkembang dalam bentuk empirisme, yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf seperti Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679). Mazhab empirisme menekankan eksperimen dan observasi sebagai pilar fundamental dari semua pengetahuan.

Pada saat yang sama, Eropa kontinental menyaksikan kebangkitan Rasionalisme modern, yang bapaknya adalah filsuf Prancis René Descartes, yang terkenal dengan aforismenya “Saya berpikir maka saya ada”. Descartes mengidentifikasi nalar, yaitu pemikiran ilmiah yang sistematis, sebagai bentuk pengetahuan yang tertinggi. Semua kebenaran, Descartes percaya, harus dijustifikasi dengan nalar – bahkan keberadaan Tuhan, yang mana Descartes berusaha mengembangkan penjelasan rasional.

Ini sendiri merupakan dosa mematikan menurut Gereja, yang menyatakan bahwa iman dan kitab suci adalah satu-satunya fondasi kebenaran dan bahwa Tuhan sebagai makhluk mahakuasa tidak harus dibenarkan oleh apa pun, apalagi oleh gagasan orang awam.

Tetapi rasionalisme Descartes menyatu dengan kemajuan ilmu pengetahuan – di mana kalkulasi matematika yang diterapkan pada fakta-fakta pengamatan melengkapi bukti teori-teori baru – dan atas dasar ini, kemajuan ini diadopsi oleh para ilmuwan dan filsuf di seluruh Eropa. Pada kenyataannya, tujuan Descartes adalah mengembangkan metode untuk menemukan kepastian ilmiah. Dan meskipun masih ada ruang bagi Tuhan dalam sistem Descartes, ilmu fisika yang dikembangkannya mengadopsi sebagian besar pandangan para ilmuwan sezamannya, yang menjelaskan alam sebagai ranah yang diatur oleh hukum-hukum ilmiah, di mana Tuhan tidak berperan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika karya-karyanya dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang oleh Gereja Katolik pada 1663 karena bahaya yang ditimbulkannya terhadap otoritas Gereja. Bahkan di Belanda, ide Cartesian disensor dan nama Descartes dilarang disebutkan dalam kuliah dan debat di universitas.

“Tuhan atau alam”

Spinoza mempelajari dengan cermat karya-karya Descartes, dan mengadopsi pendekatan rasionalisnya. Semuanya harus dibenarkan dan dibuktikan secara rasional. Namun bagi Spinoza, ini juga berlaku bagi sistem Descartes.

Menurut Descartes, realitas memiliki karakter ganda (dualisme) yang terdiri dari dua substansi, pikiran dan materi, yang keduanya eksis secara independen satu sama lain. Kemajuan utama dalam pemikiran Descartes adalah melihat dunia fisik sebagai sesuatu yang sepenuhnya diatur oleh hukum alam, yang dapat diungkap oleh umat manusia melalui metode ilmiah.

Namun menurut Descartes, pikiran berdiri terpisah dari dunia yang diatur oleh hukum ini, dan pikiran ini sepenuhnya terpisah dan independen dari dunia fisik. Satu-satunya titik persimpangan antara pikiran dan materi adalah kelenjar pineal, tempat peristirahatan jiwa manusia dan asal mula semua gagasan. Tetapi bagaimana dan dengan mekanisme apa persimpangan ini terjadi, Descartes tidak dapat menjelaskannya.

Spinoza mengkritik ketidakkonsistenan dalam dualisme Descartes ini. Sebagai gantinya, Spinoza mengembangkan doktrin monis yang baru, yang menyatakan bahwa “di Alam hanya ada satu substansi”, yang menurutnya abadi dan “benar-benar tak-terhingga”.[6] Substansi yang tak-terhingga, abadi, dan mencakup segalanya ini disebut “Tuhan” oleh Spinoza, “atau alam”.[7] Menurut Spinoza, Tuhan atau pikiran bukanlah substansi khusus yang terpisah dari alam; semua makhluk termasuk pikiran dan jiwa manusia hanyalah modifikasi dari satu substansi yang sama. Jadi Tuhan-nya Spinoza bukanlah Tuhan sama sekali, dalam artian makhluk mahakuasa dan sadar yang mengamati dan memerintah dunia seturut kehendaknya. Tuhan ini hanyalah alam: tak-terhingga, disebabkan oleh diri sendiri dan terus-menerus bergerak, bertindak semata-mata menurut hukum imanen dan abadinya sendiri.

“Alam tidak bertindak dengan tujuan,” tulis Spinoza dalam bukunya Ethics. “Makhluk abadi dan tak-terhingga, yang kita sebut Tuhan, atau Alam, bertindak dengan keniscayaan yang sama di manapun ia eksis,” lanjutnya. Hukum alam ini pada gilirannya, menurutnya, dapat ditemukan dan dipahami oleh kita melalui sains dan pemikiran rasional.

Tetapi umat manusia tidak dapat memisahkan dirinya dari hukum alam, katanya: “Manusia percaya bahwa mereka bebas, persis karena mereka sadar akan kemauan dan keinginan mereka; namun mengenai sebab-sebab yang telah menentukan keinginan dan kehendak mereka, mereka tidak memikirkan ini, bahkan tidak bermimpi tentangnya, karena mereka tidak mengetahui [sebab-sebab itu].”[8]

Menurut Spinoza, kebebasan tidak datang dari upaya berdiri di atas hukum alam; tetapi dalam memahaminya agar bermanfaat bagi umat manusia. Ini adalah ide-ide yang sangat maju, yang telah dibuktikan berkali-kali oleh sains modern.

Doktrin Spinoza sering kali digambarkan sebagai bentuk panteisme, yaitu pandangan dunia yang memandang alam semesta sebagai manifestasi Tuhan. Tapi pandangan Spinoza tidak sesederhana itu. Walaupun Spinoza berbicara tentang Tuhan dan terkadang menggunakan jargon agama, Tuhan tampak sepenuhnya tak diperlukan dalam kerangka pemikirannya. Seperti para filsuf besar Yunani kuno, Spinoza berusaha menjelaskan dunia dengan mempelajarinya, tanpa bantuan apa pun dari hal-hal yang supernatural.

Pada saat itu, gagasan Spinoza mengguncang dunia filsafat dan dia menjadi pusat semua diskusi filsafat di Eropa. Menurut filsuf sezamannya Pierre Bayle, Spinoza sendiri secara terbuka menganjurkan ateisme di akhir hidupnya. Apakah ini benar atau tidak, kita tidak bisa tahu. Spinoza sangat kontroversial pada masanya, namun dia kerap kali berhati-hati dalam merumuskan gagasannya guna menghindari persekusi gereja. Terlepas dari itu, benih ateisme dan materialisme berada di pusat Spinozisme, dan ini sangatlah jelas bagi semua orang pada saat itu. Sebagai akibatnya, ini membuat murka pihak berwenang. Karya-karya Spinoza juga dimasukkan ke daftar buku terlarang Gereja Katolik.

Dalam Dictionary karya Pierre Bayle, artikel terpanjang didedikasikan untuk Spinoza dan Spinozisme. Ini menunjukkan kesan yang ditinggalkan oleh Spinoza pada orang-orang sezamannya. Bayle menulis, “dia adalah orang pertama yang mereduksi ateisme menjadi sebuah sistem, dan yang membuatnya menjadi sekumpulan doktrin yang berkait kelindan sesuai dengan hukum geometri”.[9]

Tetapi Spinoza tidak begitu tertarik membela dirinya dari tuduhan ateisme. Dia lebih tertarik mengekspos para penuduhnya. Dia menulis:

“Orang yang mencari penyebab sebenarnya dari keajaiban alam dan sangat ingin memahami Alam sebagai seorang terpelajar, dan tidak hanya melongo menatap alam seperti orang bodoh, semuanya dianggap sebagai pelaku bidah yang murtad dan dikecam oleh para ahli tafsir Alam dan agama yang disembah sujud oleh rakyat jelata. Karena orang-orang ini tahu, bahwa hilangnya ketidaktahuan akan berarti juga hilangnya perasaan takjub, yang merupakan satu-satunya pilar yang melindungi gagasan dan otoritas mereka.”[10]

Risalah Teologi-Politik

Bagi Spinoza, filsafat bukanlah bidang yang abstrak dan terpisah dari sains dan politik. Justru sebaliknya, dia menarik kesimpulan paling radikal berdasarkan sains dan politik. Ini dia lakukan dalam karyanya Theological-Political Treatise (Risalah Teologi-Politik). Tidak seperti magnum opusnya, Ethics, karya tersebut diterbitkan semasa hidupnya, meskipun tidak dengan nama aslinya.

Dalam risalah politik ini, Spinoza dengan tanpa ampun mengkritik takhayul dan khususnya agama yang terorganisir. Pada saat itu, Alkitab, Kitab Taurat, dan kitab-kitab suci agama lainnya ditetapkan oleh penguasa sebagai firman langsung dari Tuhan yang harus dipatuhi dengan buta, meskipun atas dasar penafsiran para pemuka agama.

Spinoza menyatakan perang terhadap pendekatan ini. Dia meyakini bahwa kitab suci sepenuhnya merupakan dokumen sejarah, yang hanya mencerminkan hukum dan nilai moral dari periode tertentu. “Metode penafsiran Kitab Suci”, katanya, “tidak berbeda dari metode [yang benar] dalam menafsirkan alam, melainkan sepenuhnya selaras dengannya.”[11] Dengan pernyataan ini, Spinoza pecah sepenuhnya dari semua tradisi masa lalu. Pada intinya, Spinoza menyerukan interpretasi materialis terhadap kitab suci.

Dalam karyanya itu, sedari awal Spinoza langsung meluncurkan serangan dengan terbuka. Dia menyatakan, akar dari semua takhayul adalah karena manusia tidak memiliki pengetahuan dan tidak memiliki kendali atas nasib mereka sendiri. Di lalu menjelaskan bagaimana takhayul ini digunakan oleh para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Tetapi untuk bisa melakukan ini, pertama-tama kelas penguasa harus mendandani takhayul ini dengan bangunan-bangunan megah, upacara ritual, kostum, dan tradisi. Dengan kata lain, Spinoza mengekspos penipuan yang dilakukan oleh agama terorganisir, yang merupakan kedok untuk membodohi massa.

Dia kemudian secara langsung menghubungkan operasi penipuan ini dengan pemerintahan monarki: “Ini [penipuan agama] mungkin adalah rahasia terbesar pemerintahan monarki dan sangatlah penting baginya, untuk terus membodohi rakyat, dan menyamarkan ketakutan yang mencengkeram massa dengan nama agama yang munafik, sehingga mereka membela ketertundukan mereka seakan-akan mereka berjuang demi pembebasan mereka sendiri, dan tidak akan menganggap ini memalukan tetapi justru sangat mulia untuk menumpahkan darah mereka dan mengorbankan nyawa mereka demi pemuliaan satu orang.”[12]

Pernyataannya yang berani dan jelas ini sungguh sangat kontras dengan celoteh angkuh yang hari ini disebut filsafat di kampus-kampus. Jauh melampaui orang-orang sezamannya, Spinoza mengungkapkan elemen utama masyarakat kelas: guna mempertahankan kekuasaannya, kelas penguasa tidak hanya membutuhkan negara dan badan khusus bersenjata, tetapi juga lembaga-lembaga yang kuat untuk menyebarluaskan ideologinya, seperti gereja, dan hari ini sekolah, media, dsb. Dan sebagai konsekuensinya, filsafatnya menjadi dakwaan terbuka terhadap kelas penguasa dan semua institusinya.

Tentang para nabi, nubuat dan mukjizat

Spinoza mempelajari Alkitab dan Taurat secara metodis, menyoroti semua kontradiksi mereka. Mendasarkan dirinya hanya pada teks kitab-kitab suci ini, dia memahami bahwa nabi-nabi Kristen dan Yahudi tidaklah lebih dari manusia biasa, “yang tidak diberkahi dengan akal yang lebih sempurna daripada orang lain, tetapi hanya kekuatan imajinasi yang lebih hidup”.[13] Satu-satunya pengecualian, menurutnya, adalah Yesus Kristus, yang dia gambarkan sebagai seorang filsuf etika, dan bukan makhluk ilahi.

Menurut Spinoza, para nabi pada dasarnya hanyalah politisi dan Yesus Kristus seorang filsuf, yang menggunakan bahasa-bahasa yang mengesankan dan mistis yang mereka sebut ‘nubuatan’ untuk meyakinkan para pengikutnya, dan dengan cara ini mereka menetapkan semacam nilai-nilai sosial dan moral. Tetapi mengingat bahwa nilai-nilai ini hanya berlaku selama masa sejarah tertentu dalam kitab suci, menurutnya tidak banyak yang bisa kita pelajari dari nilai-nilai tersebut, kecuali nilai-nilai moral yang paling umum.

Satu hal lainnya yang dikritik oleh Spinoza adalah apa yang disebut mukjizat atau bukti keberadaan Tuhan. Dia menolak anggapan apa pun bahwa mukjizat benar adanya dan mempertahankan bahwa apa yang disebut Alkitab sebagai mukjizat hanyalah fenomena alam yang tidak dapat dijelaskan oleh orang-orang pada saat itu.

“Dalam pengertian ini, segala sesuatu yang melampaui pemahaman orang Yahudi dan yang penyebab alamiahnya tidak diketahui pada waktu itu, cenderung dikaitkan dengan Tuhan. Jadi badai disebut, ‘teguran dari Tuhan’, dan guntur dan kilat adalah anak panah Tuhan; karena mereka mengira bahwa Tuhan menahan angin di gua-gua yang mereka sebut harta karun Tuhan, [...]. Untuk alasan yang sama mukjizat disebut karya Tuhan, yaitu karya yang menakjubkan. Karena semua yang ada di alam tidak diragukan lagi adalah karya Tuhan dan eksis serta bertindak di bawah kekuatan ilahi. Oleh karena itu, dalam pengertian ini para ahli mazmur menyebut mukjizat-mukjizat di Mesir [merujuk pada kisah Musa yang membebaskan orang Yahudi] sebagai wujud kekuatan Tuhan, karena mereka memberi keselamatan bagi bangsa Yahudi yang berada dalam bahaya besar justru ketika mereka tidak mengharapkan adanya jalan keluar, sehingga mereka benar-benar takjub.”[14]

Di bukunya, Spinoza menjelaskan kisah terbelahnya laut merah oleh Musa sebagai akibat dari “angin timur yang bertiup sangat kencang sepanjang malam” dan bukan semacam campur tangan ilahi.

Menelaah teks kitab-kitab suci secara metodis, Spinoza menyimpulkan bahwa tidak ada yang dapat dipelajari darinya kecuali nilai-nilai moral dan norma-norma masyarakat, dan bahkan norma-norma ini, menurut Spinoza, hanya dapat diterapkan pada kondisi sejarah tertentu pada saat itu. Pada akhirnya, dia menyimpulkan, satu-satunya hal yang tersisa untuk kita gunakan adalah pesan moral paling mendasar dari Alkitab, bahwa orang harus “mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri”[15]. Tetapi Spinoza menjelaskan, justru pelajaran inilah yang diabaikan oleh agama terorganisir:

“Saya sering kali heran menemukan bagaimana orang-orang yang dengan bangga menganut agama Kristen, yaitu [agama] kasih sayang, suka cita, perdamaian, moderasi dan kebajikan terhadap semua orang, justru bermusuhan dengan orang lain dengan rasa benci terdalam. Sedemikian rupa sehingga menjadi lebih mudah untuk mengenal keimanan seseorang lewat kebencian mereka daripada kebajikan mereka.”[16]

Kebebasan berpendapat dan berpikir, sekularisme dan demokrasi

Kritik Spinoza menohok ke jantung kediktatoran monarki dan Gereja. Menurut Gereja, Alkitab adalah kebenaran mutlak dan otoritas tertinggi. Namun menurut Spinoza, kebenaran tidak dapat ditemukan di mana pun dalam kitab suci atau Gereja, tetapi dari studi tentang alam.

Dari sini, dia menentang peran dan privilese pendeta. Menurutnya, semua kekuasaan resmi Gereja harus dilucuti. Dia dengan teguh membela pemisahan total antara gereja dan negara dan “kebebasan berfilsafat”:[17]

“Karena itu setiap orang harus hidup dengan keputusannya sendiri dan bukan keputusan orang lain, dan mereka tidak terikat untuk mengakui siapa pun sebagai hakim atau sebagai pembela agama yang sah.”[18]

Dia juga berpendapat bahwa republik demokratik adalah bentuk negara terbaik, dan dia bahkan berpendapat bahwa rakyat bersenjata lebih baik daripada tentara reguler bayaran, yang akan lebih mudah digunakan oleh para penguasa untuk menindas aspirasi massa.

Risalah Teologi-Politik adalah sebuah ledakan bom, yang mengirim gelombang kejut ke seluruh Eropa. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa meskipun dilarang secara luas, bahkan di Belanda, banyak salinannya yang selamat hingga hari ini.

Spinoza menjadi terkenal karena ide-idenya yang ateis dan revolusioner, yang bertentangan langsung dengan agama Kristen, Yudaisme, dan filsafat abad pertengahan secara keseluruhan. Bahkan hingga abad ke-18, gagasannya merupakan kritik yang paling terkemuka terhadap agama dan kekuasaan Gereja.

Sekte-sekte radikal di seluruh Eropa dengan bersemangat mengadopsi ide dan argumennya, dan di Amsterdam dia menjadi salah satu pemimpin paling terkemuka, jika bukan pemimpin paling terkemuka dari lingkaran-lingkaran ateis. Menurut ahli sejarah Spinoza Jonathan Israel, ide-ide Spinoza tidak hanya dikenal di kalangan intelektual, tetapi juga di masyarakat Eropa umumnya. Ini membuatnya menjadi sasaran utama serangan oleh semua pembela tatanan yang ada meskipun sampai akhir hayatnya Spinoza tetap teguh dan setia pada idenya.

Melampaui jamannya

Gagasan filsafat Spinoza jauh melampaui jamannya dan banyak di antaranya hanya akan dibuktikan oleh sains berabad-abad kemudian. Memang benar, ada ambiguitas dalam konsepnya tentang “Tuhan atau alam”, dan bahwa tulisan-tulisannya mengandung unsur-unsur tradisi skolastik pada saat itu. Beberapa akademisi modern telah menggunakan ini untuk menyerangnya sebagai seorang idealis dan tradisionalis, tetapi mereka gagal memahami guncangan yang dihantarkan Spinozisme dalam sejarah pemikiran. Bukan untuk pertama kalinya dalam sejarah ide-ide baru disajikan dalam kerangka retorika lama, terutama ketika penyimpangan dari retorika semacam itu dapat berakibat fatal. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua karyanya dijiwai oleh semangat ateisme dan materialisme yang kuat.

Tulisan-tulisan politik Spinoza tidak kalah revolusionernya. Selama hampir seabad, argumennya dianggap sebagai argumen terbaik dan paling sistematis untuk sekularisme dan kebebasan berpikir. Dalam hal ini, dia mengantisipasi dan sampai taraf tertentu juga mengilhami para filsuf Prancis abad ke-18 yang memainkan peran penting dalam mempersiapkan Revolusi Prancis 1789.

Berani tahu!

Filsuf Jerman Immanuel Kant menyimpulkan semangat Zaman Pencerahan dalam semboyan ‘berani tahu!’. Dia mengatakan: “Perwira berkata: ‘Jangan membantah – berlatih!’ Pemungut pajak: ‘Jangan membantah – bayar!’ Pendeta: ‘Jangan membantah – percayalah!’”[19]

Akan tetapi, para filsuf Pencerahan menolak untuk patuh begitu saja. Seperti yang dikatakan Descartes, mereka menganggapnya sebagai tugas mereka untuk “meragukan segala sesuatu”. Ini adalah metode yang sepenuhnya berbeda dari skeptisisme sinis yang telah menjangkiti akademisi modern hari ini, di mana semua kebenaran menghilang dan yang tersisa hanyalah keraguan yang hampa. Sebaliknya, metode para pemikir Pencerahan menuntut penjelasan rasional dan ilmiah dari semua kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Dan dengan melakukan itu, mereka meletakkan fondasi bagi sains, budaya, dan kemajuan umat manusia ke tingkat yang lebih tinggi secara kualitatif. Ini merupakan revolusi.

Revolusi pemikiran adalah bagian penting dari revolusi sosial melawan feodalisme di mana para pemikir yang berani dan hebat ini memainkan peran penting dengan menghancurkan ideologi resmi dan menginspirasi tren revolusioner di seluruh Eropa.

Terhadap perkembangan-perkembangan yang monumental ini, para filsuf modern kita mencibir dan membencinya. Michel Foucault, salah satu tokoh besar pemikiran akademis kontemporer, pernah menulis bahwa “kita harus membebaskan diri kita dari pemerasan intelektual yang memaksa kita untuk ‘mendukung atau melawan Pencerahan.’”[20] Yang lainnya melangkah lebih jauh dalam serangan mereka. Di menara gading universitas dan lingkungan penerbitan akademik yang jauh dari kehidupan nyata, Pencerahan digambarkan sebagai dosa tertinggi. Kecewa karena mereka tidak menemukan kebenaran hakiki dalam ‘Nalar’ Pencerahan, kaum postmodernis menyerang seluruh gagasan sains dan pemikiran rasional, seperti halnya mereka mengutuk semua revolusi yang tidak menyelesaikan semua masalah kemanusiaan sekaligus.

Bagi orang-orang ini, setiap pembicaraan tentang progres adalah reaksioner dalam dirinya sendiri. Mereka menunjuk pada kekurangan ini atau itu dari pemikiran Pencerahan, atau fakta bahwa penindasan tidak diberantas di “Epos Nalar”, dan lalu menyatakan bahwa oleh karena itu revolusi borjuis, terlepas dari pencapaiannya yang luar biasa, bukanlah progres sama sekali dan bahkan mungkin langkah mundur dari masyarakat feodal dengan keterbelakangannya yang biadab, takhayul, dan ketidaktahuan massal. Tetapi tidak ada jalan tengah dalam revolusi mana pun, dan mereka yang mencoba menemukan jalan tengah akan segera menemukan diri mereka berada di kubu tatanan yang ada. Kaum Postmodernis kita tidak terkecuali: dalam semua ‘penalaran’ mereka, mereka menempatkan diri mereka dalam oposisi terhadap Pencerahan dan revolusi borjuis – yaitu, di sisi reaksi. Friedrich Engels menjawab tuduhan ini sejak lama:

“Setiap bentuk masyarakat dan pemerintahan yang ada, setiap paham tradisional yang tua, dihempaskan ke dalam gudang rongsokan sebagai sesuatu yang irasional; dunia hingga kini telah membiarkan dirinya dipimpin oleh prasangka-prasangka; segala sesuatu yang ada di masa silam hanya layak dikasihani dan dibenci. Kini, untuk pertama kalinya, muncul cahaya terang, yakni kerajaan nalar; dan sejak itu takhayul, ketidakadilan, privilese, penindasan, akan diganti dengan kebenaran abadi, Hak abadi, kesetaraan yang berdasarkan Alam dan hak asasi manusia.

“Hari ini kita tahu bahwa kerajaan nalar ini tidak lain adalah kerajaan borjuasi yang diidealkan; bahwa Hak abadi ini menemukan realisasinya dalam keadilan borjuis; bahwa kesetaraan ini mereduksi dirinya menjadi kesetaraan borjuis di mata hukum; bahwa hak milik borjuis diproklamirkan sebagai salah satu hak asasi manusia; dan bahwa pemerintahan nalar, Kontrak Sosialnya Rousseau , lahir, dan hanya dapat lahir, sebagai republik borjuis demokratik. Para pemikir besar abad ke-18, seperti halnya para pendahulu mereka, tidak dapat melampaui batas-batas yang dipaksakan oleh epos mereka.”[21]

Pencerahan menandakan fajar masyarakat kapitalis baru, yang merupakan bentuk masyarakat paling maju saat itu. Ini adalah langkah maju yang besar bagi umat manusia. Di bawah kapitalisme, budaya, sains, dan teknologi berkembang pesat dan mencapai ketinggian yang belum pernah terlihat sebelumnya. Ini menghasilkan kekuatan produktif yang memiliki potensi untuk mengubah masyarakat dan membebaskan seluruh umat manusia dari kemiskinan dan kesengsaraan. Tentu saja, tidak perlu dikatakan lagi bahwa dalam batas-batas sistem kapitalisme semua ini mustahil tercapai.

Hari ini kapitalisme telah menemui jalan buntu. Ia telah menjadi hambatan besar bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Sementara minoritas kecil hidup dalam kemewahan yang luar biasa, mayoritas besar dikutuk membanting tulang setiap harinya hanya untuk bisa bertahan hidup. Kelas borjuasi pada masa awalnya mendasarkan diri pada rasionalisme, empirisme, dan materialisme. Mereka menyokong sains, filsafat, budaya; dengan kata lain, mereka menyokong Pencerahan. Hari ini, kelas borjuasi semakin hari semakin meluncur ke ketidaktahuan; dogma-dogma irasional seperti postmodernisme dan positivisme telah menjadi gagasan utama yang digunakannya untuk membenarkan keberadaannya sendiri.

Tugas revolusi kini telah jatuh ke pundak kelas buruh, yang tugasnya tidak hanya menggulingkan kapitalisme, tetapi juga masyarakat kelas secara keseluruhan. Seperti dalam semua revolusi, bagian integral dari revolusi proletar adalah perjuangan ideologi: perjuangan untuk menegakkan materialisme dan pendekatan yang rasional dan ilmiah, melawan propaganda idealis reaksioner dari kelas penguasa dan para pendeta tingginya di aula akademisi. Kebenaran, dengan kata lain, sekali lagi telah menjadi senjata revolusioner, kali ini melawan kelas borjuasi.

Dalam perjuangan ini, kami kaum Marxis dengan bangga mengklaim tradisi revolusioner Pencerahan yang terbaik dan menolak fitnah kaum postmodernis terhadap para pemikir Zaman Pencerahan. Marxisme dibangun di atas semua ide revolusi borjuis yang paling maju, diperkaya dan dikembangkan oleh kemajuan besar dalam sains sejak saat itu serta pengalaman kelas buruh.

Perjuangan kami bukanlah untuk menegakkan bentuk masyarakat kelas yang baru, tetapi membebaskan umat manusia dari belenggu masyarakat kelas secara keseluruhan. Kami berjuang demi fajar baru bagi umat manusia: di mana tabir ketidaktahuan, yang mutlak diperlukan oleh masyarakat kelas mana pun, dapat disingkirkan, dan umat manusia secara keseluruhan, mendasarkan dirinya pada pencerahan yang universal, sains dan teknologi, dapat membangun surga di muka bumi untuk dirinya.


[1] Baruch adalah nama Yahudi Spinoza. Setelah diasingkan dari komunitas Yahudi di Amsterdam, dia mengubah namanya menjadi Benedictus, nama Latin dengan makna yang sama: “Yang diberkati”.

[2] GWF Hegel. “Lectures on the history of philosophy vol. 3.” Routledge and Kegan Paul, 1874, hal. 283.

[3] B. Spinoza. “Political Treatise.” Spinoza Complete Works, Hackett Publishing Company, 2002, hal. 681.

[4] P Bayle, Historical and Critical Dictionary, The Bobbs-Merrill Company, 1965, hal. 290.

[5] B Spinoza, “Ethics”, Spinoza Complete Works, Hackett Publishing Company, 2002, hal. 241.

[6] B Spinoza, “Ethics”, Spinoza Complete Works, Hackett Publishing Company, 2002, hal 221.

[7] ibid., pg 321.

[8] ibid., hal. 239.

[9] Pierre Bayle, Dictionnaire Dictionnaire historique et critique de Pierre Bayle. Nouvelle Édition ,Tome Treizième, 1820  p. 421. “Je crois qu'il est le premier qui ait réduit en système l'athéisme, et qui en ait fait un corps de doctrine lié et tissu selon les manières des géomètres”.

[10] B Spinoza, “Ethics”, Spinoza Complete Works, Hackett Publishing Company, 2002, hal. 221.

[11] B Spinoza, Theological-Political Treatise, Cambridge University Press 2007, hal. 98.

[12] ibid., hal. 6.

[13] ibid., hal. 27.

[14] ibid., hal 24-25.

[15] ibid., hal 102.

[16] ibid., hal. 7.

[17] ibid., hal. 195.

[18] ibid., hal. 206.

[19] I Kant, “An answer to the question: What is enlightenment?”, Practical Philosophy, Cambridge University Press, 1999, pg 18

[20] M Foucault, “What is Enlightenment?”, The Foucault Reader,

Pantheon Books, 1984, pg 45

[21] Engels, Friedrich. “Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah”.