facebooklogocolour

rosa luxemburg Artikel ini aslinya diterbitkan sebagai kata pengantar untuk buku biografi Rosa Luxemburg, “Sosialisme dan Demokrasi”, oleh Dede Mulyanto, terbitan Marjin Kiri.

“Sang Elang”. Demikian julukan yang diberikan oleh Lenin kepada Rosa Luxemburg ketika ia mengenang hidupnya. Tidak ada kolega seangkatan Lenin yang disanjung begitu tinggi olehnya seperti halnya Rosa. Seluruh kehidupan Rosa didedikasikan untuk membersihkan dunia dari penindasan manusia atas manusia. Generasi muda hari ini, yang ingin berjuang demi masa depan umat manusia yang lebih cerah, akan dapat menimba banyak dari kisah kehidupan Rosa. Oleh karenanya penerbitan biografi Rosa Luxemburg ini adalah sungguh angin segar di tengah sesaknya perpolitikan hari ini yang penuh dengan keculasan, kepalsuan dan pragmatisme vulgar.

Salah satu sumbangsih terbesar Rosa yang patut dipelajari oleh semua insan adalah perjuangan gigihnya dalam melawan tendensi reformisme yang berkembang dalam Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD). Bila Sosialisme mengandung tesis utama bahwa kapitalisme memiliki kontradiksi-kontradiksi yang tak dapat diselesaikan, yang terus menyeret masyarakat ke dalam krisis, dan oleh karenanya harus disudahi keberadaannya secara revolusioner, maka reformisme percaya bahwa kapitalisme bisa diperbaiki menjadi kapitalisme yang baik, yang humanis, yang bebas dari krisis dan penindasan, lewat perubahan-perubahan kecil secara perlahan. Yang satu menuntut revolusi untuk mengakhiri status quo, yang satu lagi menyangkal revolusi dan mempertahankan status quo.

SPD, dimana Rosa aktif sebagai pengajar, penulis dan teoretikus, adalah partai proletariat terbesar dan termaju di Eropa. Bila ada partai yang diharapkan akan memimpin Revolusi Sosialis di seluruh Eropa Barat, SPD adalah partai tersebut. Namun ada kekeroposan yang mulai menggerogoti partai ini. Walau di permukaan para pemimpinnya berbicara mengenai revolusi untuk menumbangkan kapitalisme, di belakang mereka mulai tidak percaya pada visi revolusi tersebut. Ada kecenderungan reformisme, oportunisme dan birokratisme yang menguat dalam tubuh SPD dan Rosa adalah yang pertama mengendus bahaya ini dan meluncurkan kampanye ideologis melawannya. Reforma Sosial atau Revolusi yang terbit pada 1900 adalah magnus opus Rosa dalam kampanye tersebut.

Ketika Revolusi Jerman tiba pada 1918-19, masalah Sosialisme versus Reformisme sudah bukan lagi dipertarungkan di atas kertas tetapi di jalan-jalan, di barikade-barikade, dengan senapan di tangan, dan dengan konsekuensi-konsekuensi yang terlalu nyata. Kepemimpinan SPD yang reformis melakukan segalanya untuk memadamkan api revolusi yang tengah berkobar dan menyelamatkan kapitalisme, termasuk sampai menumpahkan darah saudara-saudarinya sendiri. Rosa Luxemburg adalah salah satu korbannya, dieksekusi oleh pasukan paramiliter Freikorps pada 15 Januari, 1919. Dengan kematian Rosa, tidak hanya gerakan buruh Jerman tetapi juga gerakan buruh sedunia kehilangan pemimpin terhebatnya.

Hari ini kapitalisme tengah dilanda krisis yang berkepanjangan sejak krisis finansial 2008. Pertanyaan yang sama “Apakah sistem kapitalisme dapat diperbaiki atau perlu dilampaui?” bersemayam di benak semakin banyak orang. Dalam konteks ini maka gagasan Rosa menjadi sangat relevan. Dalam karya yang disebut di atas, Rosa memberikan penjelasan ekonomi dan politik yang menyeluruh mengapa kapitalisme tidak akan mampu menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalamnya, bahwa krisis -- yang semakin mendalam setiap kali ia terjadi -- adalah keniscayaan bagi sistem ini.

Lebih dari 100 tahun telah berselang dan kaum reformis hari ini tidak mampu menelurkan gagasan yang baru. Semua argumen mereka -- dalam satu bentuk atau lainnya -- telah dijawab oleh Rosa.

Semisal, kita sering mendengar kalau sosialisme sudah usang karena hari ini kelas buruh sudah tidak ada, atau setidaknya sudah tidak lagi signifikan. Yang ada hari ini adalah kelas menengah. Namun ini bukan gagasan baru, yang telah dijawab oleh Rosa dalam karyanya. Selama kapitalisme masih meraup profit dengan metode kerja-upahan, selama mayoritas rakyat sumber utama nafkahnya adalah upah yang diterimanya sebagai imbalan kerjanya, maka selama itu pula kelas buruh masih akan ada, terlepas apakah sang buruh itu sendiri menyadari bahwa dirinya adalah buruh karena status kelas bukanlah apa yang seorang bayangkan dalam benaknya mengenai dirinya tetapi adalah berdasarkan hubungan seorang dengan relasi produksi yang ada. Pada masa boom kapitalisme, yakni pasca Perang Dunia II (1950-70an) terutama di negeri-negeri kapitalis utama, ada remah-remah besar (atau reforma) yang didapati oleh kaum buruh, yang lantas menumpulkan kesadaran kelas mereka. Mereka tidak lagi melihat diri mereka sebagai buruh, tetapi sesuatu yang lain, yakni kelas menengah. Tetapi masa boom kapitalisme ini -- yang unik dalam sejarah kapitalisme -- telah berakhir. Reforma telah digantikan dengan pemotongan dan penghematan, yang sesungguhnya merupakan kondisi normal berfungsinya kapitalisme. Dengan ini pula maka kita akan saksikan -- dan tengah kita saksikan -- pergeseran yang cepat dan penuh ledakan dalam kesadaran kelas buruh, dari “kelas dalam dirinya sendiri” menjadi “kelas untuk dirinya sendiri”. Di Amerika Serikat, di tanah “kelas menengah”, ini ditandai dengan berakhirnya apa yang disebut sebagai “American Dream”.

Argumen lainnya yang sering dipanjatkan oleh para pakar ekonomi layaknya doa adalah bagaimana perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (yang sekarang disebut Industri 4.0, ekonomi pengetahuan, data besar, “internet of things”, kecerdasan buatan, dan banyak jargon lainnya) adalah alat adaptasi kapitalisme yang ampuh yang dapat menghilangkan krisis. Ini juga argumen yang sama yang ditemui oleh Rosa lebih dari 100 tahun yang lalu dan telah disanggahnya: “Apa yang paling membuktikan kekeliruan teori Bernstein [sang Bapa Reformise] adalah bahwa justru di negeri-negeri dimana ada perkembangan terbesar dalam ‘sarana-sarana adaptasi’ yang terkenal itu -- kredit, alat komunikasi yang disempurnakan, dan trusts -- krisis yang terakhir (1907-1908) adalah krisis yang paling parah.” Kita bisa tambahkan sekarang bahwa krisis 2007-2008 adalah krisis yang paling parah, dan ini menghantam negeri-negeri kapitalis termaju dimana alat komunikasi telah berkembang begitu pesatnya.

Kehidupan sungguh adalah guru terbaik. Semua inovasi dari Silicon Valley tidak mampu menyelamatkan perekonomian Amerika Serikat dan dunia dari krisis finansial 2008 yang sampai hari ini pengaruhnya masih terasa. Mereka-mereka yang hanya bisa berpikir secara empiris dan mekanis membayangkan kalau krisis kapitalisme itu disebabkan oleh kurangnya perencanaan dalam produksi dan distribusi, yang lalu menciptakan ketidaksesuaian antara suplai dan permintaan, antara tingkat produksi dan kapasitas pasar untuk menyerapnya. Oleh karenanya inovasi dalam sarana komunikasi dan komputerisasi diharapkan akan dapat membawa harmoni dalam kekacauan ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang dijelaskan Rosa, penyempurnaan alat komunikasi -- hari ini dalam bentuk komputer, internet, satelit, dsb. -- justru menyiapkan “krisis yang paling parah”.

Lewat satelit, dan komunikasi kilat yang dimungkinkan olehnya, perekonomian semua negeri terikat satu sama lain. Ini berarti krisis di satu negeri dapat menyebar ke negeri lain, ke benua lain, ke belahan bumi lainnya, dalam hitungan detik. Inilah yang kita saksikan pada krisis finansial 2008 kemarin. Apa yang awalnya dipicu oleh meletusnya gelembung industri real-estate di AS segera memporakporandakan perekonomian seluruh dunia.

Tidak ada satupun komputer atau kecerdasan buatan yang akan pernah mampu menyelesaikan kontradiksi kapitalisme. Ini karena kontradiksi ini bersumber bukan dari ketidaktahuan atau kebodohan manusia, tetapi dari relasi produksi kapitalis itu sendiri: kerja-upahan oleh mayoritas populasi yang tidak punya apapun selain kemampuan kerja mereka, yang menjual kemampuan kerja mereka ke segelintir pemilik alat-alat produksi untuk upah. Kerja upahan akan selalu menciptakan krisis over produksi karena pada akhirnya upah yang dibayarkan kepada buruh tidak akan pernah mencukupi bagi buruh untuk membeli produk-produk yang dihasilkannya. Produk-produk yang tertimbun tak terjual ini lalu menyumbat perdagangan. Industri ditutup karena tidak ada lagi pasar yang mampu menyerap produk-produk hasilnya, yang pada gilirannya berarti memecat buruh, yang semakin tidak punya kemampuan membeli di pasar, dan ad infinitum sampai akhirnya seluruh rumah kartu ini runtuh.

Inilah yang terjadi pada krisis kredit perumahan subprime 2007-2008 di AS yang memicu krisis finansial dunia. Begitu banyak rumah yang dibangun tetapi rakyat pekerja tidak punya kapasitas untuk membelinya, sehingga mereka harus mengutang dengan kredit perumahan subprime yang bunganya tinggi dan beresiko tinggi. Perluasan kredit ini lalu mendorong spekulasi yang lebih besar dalam real estate. Hutang pada akhirnya harus dibayar, dan dengan bunga tinggi pula. Ketika akhirnya rakyat pekerja tidak mampu membayarnya, seluruh gelembung ini pecah dengan konsekuensi yang menyebar ke seluruh sendi perekonomian AS dan dunia. Rosa Luxemburg telah memperingatkan bahaya sistem kredit: “Tetapi kredit memukul dari dua sisi. Setelah (sebagai sebuah faktor dalam proses produksi) mendorong overproduksi, kredit (sebagai sebuah faktor pertukaran) menghancurkan, selama krisis, kekuatan-kekuatan produksi yang telah diciptakan olehnya sendiri. Seketika gejala pertama krisis muncul, kredit meluruh.”

Komputerisasi dan otomatisasi sesungguhnya memperparah over produksi karena mereka meningkatkan produktivitas buruh sementara kenaikan upah tidak sebanding dengan peningkatan level produktivitas ini. Di Amerika Serikat, menurut lembaga Economic Policy Institute, produktivitas buruh AS meningkat 77% selama periode 1973-2017, tetapi upah harian hanya meningkat 12,4%. Ini berarti produktivitas telah meningkat 6,2 kali lipat dibandingkan upah. Pasar semakin hari semakin menjadi terlalu sempit untuk bisa meruangi kapasitas produksi yang tumbuh besar. Statistik yang serupa akan kita temui di seluruh dunia.

Ini adalah keniscayaan dalam kapitalisme. Seorang pemilik modal yang baik adalah ia yang dapat meningkatkan produktivitas pabriknya tanpa harus menaikkan upah buruhnya. Tiap-tiap kapitalis bersaing untuk melakukan ini lebih baik dari yang lainnya agar pangsa profitnya lebih besar. Namun ketika semua kapitalis melakukan ini, pasar - yang terdiri dari buruh - pada akhirnya tidak akan bisa menyerap barang-barang yang diproduksi. Krisis adalah keniscayaan dalam kapitalisme.

Kaum reformis selama periode krisis selalu mencoba melunakkan krisis kapitalisme, setidaknya ini yang ada dalam bayangan mereka. Tetapi hanya ada dua jalan keluar dari krisis kapitalisme: kelas buruh yang membayarnya atau kelas kapitalis yang membayarnya. Tiap-tiap partai reformis (atau sosial demokrasi) yang memerintah selama krisis pada akhirnya dihadapkan pada dua pilihan tersebut, dan hampir selalu mereka akhirnya menerapkan kebijakan-kebijakan pemotongan terhadap rakyat pekerja guna menyelamatkan kapitalisme. Pemerintahan SYRIZA di Yunani dipilih oleh rakyat pada 2015 untuk menentang program penghematan yang dipaksakan oleh Uni Eropa. Tetapi karena para pemimpinnya adalah kaum reformis maka mereka menjadi mandor program penghematan yang sungguh menghancurkan taraf hidup rakyat pekerja Yunani. Semua ini agar bank-bank Uni Eropa dapat terus memetik bunga tinggi dari pinjaman mereka. Untuk pengkhianatan tersebut SYRIZA ditendang keluar dari pemerintahan pada pemilu 2019 belum lama ini.

Dari sini kita dapat melihat bahwa perseteruan ideologis melawan reformisme yang diluncurkan oleh Rosa bukan hanya debat kusir semata, tetapi memiliki konsekuensi riil bagi rakyat pekerja bahkan sampai hari ini. Ketika hari ini kita dihadapkan oleh krisis kapitalisme yang paling dalam, pertanyaan “Reformisme atau Revolusi?” menjadi sangat signifikan untuk dipelajari dan tulisan Rosa mengenai masalah ini tetap menjadi panduan utama.

Ada banyak hal lainnya yang dapat diajarkan oleh kehidupan Rosa. Salah satunya yang lain adalah mengenai masalah kebangsaan. Tetapi kali ini kita akan memetik pelajaran ini justru dari kesalahan Rosa. Kita akan saksikan bagaimana kesalahan posisi Rosa dalam masalah kebangsaan adalah kesalahan yang jujur dari seorang revolusioner, bukan kesalahan seorang sauvinis dengan nasionalisme sempit.

Lenin dan Rosa berpolemik tajam mengenai masalah kebangsaan di Rusia. Pada masa Rusia Tsar, bangsa Polandia -- dan banyak bangsa-bangsa lainnya seperti Ukraina, Georgia, Latvia, dsb. -- ada di bawah penindasan Rusia Raya. Untuk menyelesaikan masalah penindasan nasional ini Lenin mengajukan program yang mengandung pengakuan hak penentuan nasib sendiri untuk semua bangsa-bangsa tertindas di bawah Rusia Raya, sampai pemisahan bila memang ini yang dikehendaki oleh rakyat bangsa tertindas. Rosa Luxemburg menentang keras tuntutan ini. Menurutnya sebagai seorang internasionalis yang memperjuangkan persatuan kelas buruh, hak penentuan nasib sendiri justru akan memecah belah rakyat ke dalam sentimen nasionalisme. Namun Rosa tiba ke posisi ini bukan dari sudut pandang sauvinisme atau nasionalisme sempitnya Rusia Raya, tetapi sebagai seorang Sosialis dari Polandia yang berjuang melawan kaum borjuasi dan borjuasi kecil Polandia yang kerap menggunakan nasionalisme Polandia untuk mengaburkan pertentangan kelas antara buruh Polandia dan kapitalis Polandia.

Lenin menjawab argumen Rosa ini kira-kira seperti demikian: “Kami paham posisi kalian. Kalian adalah kaum Marxis Polandia. Tugas utama kalian adalah memerangi kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil Polandia yang gemar meracuni rakyat dengan nasionalisme sempit mereka. Tentu saja kalian harus melakukan ini. Tetapi kami, sebagai kaum revolusioner dari Rusia Raya, memiliki tugas lain, yakni memerangi Tsarisme dan kaum borjuasi kami sendiri yang memenjara bangsa-bangsa tertindas seperti kalian. Untuk itu kami harus menunjukkan kepada rakyat Polandia kalau kaum revolusioner, kaum buruh dan tani Rusia, tidak punya niat untuk menindas rakyat Polandia, dan ini hanya bisa kami lakukan dengan mengakui hak penentuan nasib sendiri bagi Polandia. Hanya dengan mengakui hak ini maka kita bisa membangun basis untuk persatuan rakyat pekerja dalam perjuangan revolusioner.”

Rosa berdiri untuk internasionalisme, untuk persatuan rakyat pekerja dari semua bangsa. Tetapi sayangnya internasionalismenya terlalu abstrak dan berat sebelah, dalam artian datang dari sudut pandangnya sebagai seorang revolusioner dari bangsa tertindas. Tuntutan pengakuan hak penentuan nasib sendiri adalah seperti pedang bermata dua. Dalam memerangi imperialisme dan penjajahan, tuntutan ini mengandung benih revolusi yang dapat mengobarkan semangat juang rakyat. Tetapi pada saat yang sama, kalau tuntutan ini tidak disertai dengan perspektif sosialis, tidak disertai dengan perspektif kemandirian dan persatuan kelas buruh, maka ia dapat dengan mudah dikooptasi oleh kaum borjuasi nasional untuk kepentingan kelas mereka. Inilah yang dikhawatirkan oleh Rosa, dan kekhawatirannya bisa dimaklumi. Tetapi kekhawatiran ini mendorongnya ke posisi politik yang keliru.

Kendati kekeliruan Rosa ini, dan sejumlah lainnya yang dapat kita baca dalam buku biografi ini, ia tetap adalah seekor Elang megah yang terus terbang tinggi bahkan 100 tahun setelah kematiannya. Kisah kehidupan Rosa hanya bisa dipahami sepenuhnya kalau kita memaknainya dari dedikasinya untuk pembebasan umat manusia dari penindasan kapitalisme dan imperialisme. Hari ini dunia sedang berubah dengan cepat. Tatanan hari ini sedang goyah dari atas hingga bawah dan ada generasi muda baru yang mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan ini. Penerbitan buku biografi Rosa Luxemburg ini semoga dapat menjadi langkah pertama bagi insan-insan muda hari ini untuk menggeluti gagasan-gagasan revolusi yang Rosa perjuangkan sampai akhir hayatnya. [ ]