facebooklogocolour

Hingga 1965, semua lapisan masyarakat Indonesia termobilisasi secara politik. Politik merasuki semua aspek kehidupan. Ada sebuah situasi perjuanga kelas yang tajam pada saat itu. Insiden G30S menjungkirbalikan semua ini dan Indonesia tidak pernah sama lagi. Apa yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia? Disadur dari dokumen perspektif politik, Perspektif Revolusi Indonesia: Estimasi Pertama.

Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang penuh dengan Massa Aksi. Semenjak bangkitnya nasionalisme, mobilisasi massa telah menjadi karakter utama. Berkebalikan dengan apa yang coba digambarkan oleh rejim Soeharto, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak diperjuangkan hanya di medan militer. Ia diperjuangkan di medan politik dengan mobilisasi massa. Bahkan ketika ia diperjuangkan di medan militer, pasukan bersenjata mengambil bentuk milisi rakyat yang kendalinya jatuh di tangan organisasi-organisasi massa.

Hingga tahun 1965, semua lapisan masyarakat Indonesia termobilisasi secara politik. Politik merasuki semua aspek kehidupan. Ada sebuah situasi perjuanga kelas yang tajam pada saat itu. 1960an adalah sebuah periode revolusi (dan konter revolusi) di seluruh dunia. Insiden G30S menjungkirbalikan semua ini dan Indonesia tidak pernah sama lagi.

Apa yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia? Ini adalah pertanyaan membara yang masih menjangkiti pikiran kaum revolusioner Indonesia. Oleh karena kita harus mengunjungi permasalahan ini sebelum kita bisa berbicara mengenai Reformasi 1998 dan kemudian prospek untuk revolusi mendatang.

Sebelum kehancurannya, PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota. PKI juga memiliki banyak organisasi-organisasi massa afiliasi dan simpatisas. Pemuda Rakyat dengan 1,5 juta anggota, SOBSI dengan 3,8 juta anggota (dari total 7 juta buruh terorganisir), Barisan Tani Indonesia dengan 5 juta anggota, dan Gerwani dengan 750 ribu anggota.[1] Ini membuat PKI sebagai partai komunis ketiga terbesar setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Dengan satu pukulan, dan tanpa perlawanan yang berarti, PKI – dan dengannya seluruh gerakan buruh dan tani – dibabat habis oleh jendral-jendral reaksioner di bawah panduan kekuatan-kekuatan imperialis “demokratis”. 32 tahun reaksi menyusul. Tidak ada kekalahan yang lebih mendemoralisasi daripada kekalahan tanpa perlawanan.

Keganasan kelas penguasa bukanlah sesuatu yang perlu membuat kita terkejut. Semenjak usaha pertama revolusi proletar, yakni Komune Paris pada tahun 1871, kelas penguasa sudah brutal dalam serangan balik mereka. Untuk membandingkannya, kekalahan Komune Paris mengakibatkan dibantainya 80 ribu orang di sebuah kota dengan populasi 1,8 juta orang. Populasi Indonesia pada saat pembantaian 1965-66 adalah 90 juta. Penyebab kekalahan revolusi Indonesia adalah lebih dalam daripada keganasan atau trik-trik kelas penguasa. Faktor tersebut adalah sesuatu yang niscaya. Faktor yang penting bagi kita adalah kebijakan politik PKI yang keliru.

PKI adalah partai massa buruh Indonesia. Namun ia mempunyai kemalangan tumbuh di bawah panduan kaum Stalinis Rusia dan Tiongkok setelah kegagalan pemberontakan 1926-27. Ketika partai ini dibentuk kembali secara resmi pada tahun 1945, seperti kebanyakan partai-partai komunis lainnya, ia telah menjadi alat kebijakan luar negeri Moskow dan mengambil kebijakan yang keliru yang membawa kehancuran gerakan kelas pekerja. Adalah penting untuk memisahkan niat luhur para pemimpin ini (Aidit, Njoto, Lukman, Sudisman) dari kekeliruan politik mereka. Kalau tidak kita tidak akan bisa maju kemana-mana.

Hingga tahun 1930an, Partai Komunis Uni Soviet sudah bukan lagi partai yang sama yang memimpin Revolusi Oktober. Ia telah menjadi alat birokrasi Soviet untuk mempertahankan privilesenya. Sudah bukan lagi kepentingan mereka untuk berjuang demi sosialisme sedunia kendati retorika-retorika mereka. Kaum birokrasi ingin hidup damai dengan kapitalisme dan oleh karenanya menjadi sebuah rem aktif dalam perjuangan sosialis di seluruh dunia. Partai Komunis Tiongkok dibangun berdasarkan gambaran PKUS, dan negara Tiongkok mulai darimana Revolusi Rusia berakhir: sebagai sebuah negara buruh yang cacat. Kedua negara ini memiliki pengaruh politik yang besar di dalam gerakan kelas pekerja untuk seluruh periode.

Fakta sejarah ini menentukan nasib banyak partai-partai komunis seluruh dunia. Kepemimpinan PKI dididik di dalam “teori dua-tahap” Stalinis (yang sebenarnya adalah pengulangan kebijakan Menshevik), yang di dalam esensinya mengatakan bahwa di negara terbelakang seperti Indonesia tahapan pertama revolusi memiliki karakter borjuis-demokratik guna menghapus feodalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, tugas kaum komunis di negeri seperti itu adalah untuk beraliansi dengan kaum borjuis progresif, untuk mengsubordinasi perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional melawan feodalisme dan imperialisme. Hanya setelah ini sebuah pintu akan terbuka untuk perjuangan kelas menuju sosialisme.

Dari “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (Masalah-Masalah Mendasar Revolusi Indonesia)”[2], yang merupakan perspektif politik PKI yang ditulis oleh D.N. Aidit, yakni “sebuah manual untuk digunakan dalam sekolah partai di pusat dan di propinsi-propinsi dan disetujui oleh Plenum Komite Pusat, Juli 1957”, kita akan melihat dengan dekat “teori dua-tahap”nya PKI dan kontradiksi-kontradiksi di dalam teori dan kebijakan ini.

Dokumen ini dimulai dengan sebuah analisa masyarakat Indonesia, yang diklaim adalah semi-feodal dan semi-kolonial. Dari ini mengalir bahwa “musuh utama dari revolusi Indonesia pada saat ini adalah ... imperialisme dan feodalisme.”[3] Ini adalah kesalahan yang pertama. Secara fundamental, masyarakat Indonesia selalu merupakan masyarakat kapitalis. Mode produksinya didominasi oleh mode produksi kapitalis, yakni kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Ekonomi Indonesia telah terikat dengan kapitalisme semenjak kontak pertamanya dengan kekuatan kolonial Belanda lebih dari 400 tahun yang lalu. Indonesia adalah semi-feodal hanya dalam pengertian bahwa kaum borjuis nasional – seperti kaum borjuis nasional di negera-negara belum berkembang lainnya – tidak pernah mampu melaksanakan tugas historisnya dalam reforma agraria, tidak pada saat itu dan tidak sekarang. Indonesia adalah semi-kolonial hanya dalam pengertian bahwa di dalam konteks kapitalisme global dan perkembangan tidak-berimbang dari kapitalisme, seperti negara-negara kapitalis kecil lainnya, Indonesia menjadi mangsa dari negara-negara kapitalis yang lebih besar.

Dari kesalahan utama ini maka mengalir perspektif bahwa tugas revolusi Indonesia adalah untuk menciptakan “pemerintahan rakyat” dan bahwa “pemerintahan ini (Pemerintahan Rakyat Demokratis) bukanlah sebuah pemerintahan kediktaturan proletariat tetapi sebuah pemerintah kediktaturan rakyat.”[4]

Marx dan Engels, dan kemudian Lenin, telah berjuang dengan keras melawan konsep “negara atau pemerintahan rakyat”. Lenin di dalam Negara dan Revolusi menjelaskan ini dengan jelas:

“ ‘Negara Rakyat bebas’ adalah suatu program tuntutan dan suatu semboyan umum yang tersebar luas di kalangan kaum Sosial-Demokrat Jerman dalam tahun 1870-an. Semboyan ini tidak mempunyai isi politik sama sekali kecuali ia melukiskan pengertian tentang demokrasi dengan gaya filistin yang muluk-muluk. Sejauh ia digunakan untuk, dengan jalan yang sah menurut undang-undang, menunjukkan suatu republik demokratis, Engels bersedia untuk ‘membenarkan’ penggunaannya itu ‘untuk suatu waktu saja’ dipandang dari sudut agitasional.Tetapi itu adalah semboyan oportunis, karena ia tidak saja menyatakan pembagusan demokrasi borjuis, tetapi juga gagal untuk memahami kritisisme sosialis terhadap Negara pada umumnya. ... Lebih jauh lagi, setiap Negara adalah suatu ‘kekuatan penindas khusus’ terhadap kelas tertindas. Maka dari itu, setiap Negara tidak ‘bebas’ dan bukan ‘negara Rakyat’. Marx dan Engels menjelaskan hal ini berkali-kali kepada kawan-kawan separtainya selama tahun-tahun 70-an.” (Lenin, Negara dan Revolusi) [Penekanan ditambahkan]

Pemerintahan Soekarno bukanlah sebuah kediktaturan militer. Di bawah pemerintahannya, kaum komunis diberikan kebebasan; mereka menduduki posisi-posisi kabinet dan parlemen. Engels siap memberikan semacam pembenaran sementara untuk penggunaan slogan “pemerintahan rakyat” di Jerman pada tahun 1870an karena mereka pada saat itu hidup di bawah Kekaisaran Jerman, sebuah otokrasi. Tetapi ini bukanlah kasusnya di Indonesia jaman Soekarno. Slogan “pemerintahan rakyat”nya PKI hanyalah sebuah kapitulasi program kelas pekerja terhadap borjuis nasional.

Guna membenarkan kebijakan dua-tahap, sebuah kelas borjuis nasional yang progresif harus diciptakan. Maka dari itu, PKI memelintir karakter kelas borjuasi di Indonesia: “Kelas borjuasi terdiri dari para komprador dan kaum borjuis nasional. Kaum borjuis besar yang karakternya komprador melayani secara langsung kepentingan kapitalis asing besar dan oleh karenanya digemukkan oleh mereka ... Akan tetapi, kaum borjuis nasional mempunyai dua fitur. Sebagai sebuah kelas yang juga tertindas oleh imperialisme dan seluruh perkembangannya tercekik oleh feodalisme, kelas ini adalah anti-imperialis dan anti-feodal, dan dalam hal ini ia adalah salah satu kekuatan revolusioner ... Kaum borjuis nasional Indonesia, karena ia juga ditindas oleh imperialisme asing, dapat, di situasi tertentu dan dalam batasan tertentu, mengambil bagian dalam perjuangan melawan imperialisme. Dalam situasi seperti itu, kaum proletariat Indonesiaharus membangun persatuan dengan kaum borjuis nasional dan mempertahankan persatuan ini dengan seluruh kekuatannya.”[5] [Penekanan ditambahkan]

Ada kaum borjuis yang baik dan ada kaum borjuis yang jahat. Tesis ini berlawanan dengan analisa kelas Marxis. Benar bahwa pada satu saat tertentu bisa ada perpecahan di dalam kelas penguasa karena satu seksi mungkin punya kepentingan ekonomi atau politik sekunder yang berbeda dengan seksi-seksi lain. Akan tetapi, kepentingan primer dari seluruh borjuasi tetap sama: penindasan kelas pekerja. Seluruh eksistensi dari kelas ini adalah kekuasaannya di atas kelas proletariat.

Borjuasi nasional Indonesia lahir terlambat di dalam sejarah. Sejak awal, keberadaannya terikat oleh imperialisme. Bahkan lebih parah, tidak seperti kaum borjuasi nasional di negara-negara berkembang lainnya (India dan Tiongkok misalnya) yang memainkan peran aktif dan dominan dalam gerakan nasionalis, kelas borjuasi Indonesia tidak pernah memimpin gerakan nasionalis.

Dengan penilaian mereka yang keliru mengenai kelas borjuasi nasional, PKI lalu secara aktif mencari aliansi dengan borjuasi progresif dengan cara mengsubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, mengsubordinasikan kelas pekerja di bawah kelas borjuis nasional, kendati layanan bibir mereka bahwa “revolusi Indonesia tidak akan berhasil kalau ia tidak berada di bawah kepemimpinan kelas proletar Indonesia.”[6] Sejarah tidaklah baik hati kepada mereka yang telah mencoba mencari borjuasi nasional progresif karena sampai sekarang mereka belum ditemukan. Dimanakah kelas borjuasi progresif ini ketika PKI dihancurkan dan jutaan pendukungnya dibantai? Dimanakah kelas borjuasi progresif selama kediktaturan militer Soeharto?

Ketidakkonsistenan teori PKI mengenai watak kelas borjuasi nasional menjadi semakin vulgar:

“Dalam menghadapi karakter kebimbangan dari kelas borjuasi nasional Indonesia, perhatian harus diberikan ke kenyataan bahwa justru karena mereka lemah secara politik dan ekonomi maka tidaklah sulit untuk menarik kelas ini ke kiri guna membuatnya berdiri teguh di sisi revolusi selama kekuatan progresif besar dan taktik Partai Komunis tepat. Ini berarti bahwa elemen kebimbangan dari kelas ini tidaklah fatal, ini dapat diatasi. Tetapi di pihak lain, bila kekuatan progresif tidak besar dan taktik Partai Komunis tidak tepat, maka borjuasi nasional yang lemah secara ekonomi dan politik ini akan mudah lari ke kanan dan menjadi musuh revolusi.”[7] [Penekanan Ditambahkan]

Bila kaum borjuasi nasional sudah “lemah secara politik dan ekonomi”, maka semakin banyak alasan untuk menyingkirkan mereka ke samping. Justru karena mereka lemah maka mereka tidak boleh dijadikan sekutu. Di sebuah peperangan, beraliansi dengan sekutu yang lemah tidak pernah dianjurkan karena daripada menguatkan justru kekuatan kita akan menjadi lemah.

Sayangnya, sekarang kita melihat argumen serupa digunakan oleh PRD/PAPERNAS untuk membenarkan aliansi mereka dengan kaum borjuasi nasional. Sejarah mengulangi dirinya, pertama kali sebagai sebuah tragedi, dan kedua kali sebagai sesuatu yang konyol.

Mari kita lihat bagaimana Lenin mendekati permasalahan aliansi dengan kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial lainnya. Selama era Tsar, salah satu tugas mendesak dari kelas proletar Rusia adalah untuk melawan otokrasi Tsar. Di Tugas-tugas Kaum Sosial Demokrat Rusia (catatan: sebelum 1914, Sosial Demokrat adalah nama lain untuk kaum Marxis revolusioner) yang ditulis oleh Lenin pada tahun 1897 ketika di Siberia, dia menulis:

“Namun dalam perjuangan demokratik dan politik, kelas buruh Rusia tidak berdiri sendirian; di sisinya adalah semua elemen-elemen, strata-strata, dan kelas-kelas oposisi, karena mereka memusuhi absolutisme dan sedang berjuang melawannya dalam satu atau lain bentuk. Disini di samping proletariat berdiri elemen oposisi borjuasi, atau kelas yang terdidik, atau kelas borjuasi kecil, atau kelompok-kelompok nasional, agama, sekte, dsb., dsb., yang ditindas oleh pemerintahan otokrasi. Pertanyaan yang secara wajar timbul adalah apa sikap yang harus diambil oleh kelas buruh terhadap elemen-elemen ini. Terlebih lagi, haruskah kelas buruh bergabung dengan mereka dalam perjuangan bersama melawan otokrasi? ... Bukankah mereka harus bergabung dengan semua elemen oposisi politik untuk berjuang melawan otokrasi, dan mengesampingkan sosialisme untuk sementara? Bukankah ini penting untuk menguatkan perjuangan melawan otokrasi?”

“Mari kita selidiki dua pertanyaan ini.”

“Sikap kelas buruh, sebagai seorang pejuang melawan otokrasi, terhadap semua kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial dalam oposisi politik ditentukan dengan jitu oleh prinsip-prinsip dasar yang tertulis di Manifesto Komunis. Kaum Sosial Demokrat mendukung kelas sosial yang progresif melawan kelas reaksioner ...Dukungan ini tidak mensyaratkan, dan juga tidak membutuhkan, kompromi dengan program-program dan prinsip-prinsip non-Sosial Demokrat – dukungan ini adalah sebuah dukungan yang diberikan kepada seorang sekutu untuk melawan seorang musuh tertentu. Terlebih lagi, kaum Sosial Demokrat memberikan dukungan ini guna mempercepat jatuhnya musuh bersama, tetapi tidak mengharapkan apa-apa untuk dirinya sendiri dari sekutu-sekutu sementaranya, dan tidak berkompromi apapun kepada mereka.

“ ... Ini membawa kita pada pertanyaan yang kedua. Sementara menunjukkan solidaritas antara berbagai kelompok oposisi dengan kaum buruh, kaum Sosial Demokrat selalu memisahkan kaum buruh dari yang lainnya, mereka selalu menunjukkan bahwa solidaritas ini adalah sementara dan kondisional, mereka selalu menekankan kemandirian identitas kelas proletariat, yang esok hari dapat menemukan dirinya bermusuhan dengan sekutunya hari ini. Kita dibilangi bahwa “aksi semacam ini akan melemahkan semua pejuang kebebasan politik sekarang ini.” Kita akan membalasnya bahwa aksi ini akan memperkuat semua perjuang kebebasan politik. Hanya para pejuang yang kuat yang bergantung pada kepentingan riil kelas-kelas, dan setiap usaha untuk mengaburkan kepentingan-kepentingan kelas, yang telah memainkan peran utama dalam masyarakat sekarang ini, hanya akan melemahkan para pejuang. Ini adalah poin yang pertama. Poin yang kedua adalah bahwa dalam berjuang melawan otokrasi, kelas buruh harus memisahkan dirinya sendiri, karena dialah satu-satunya musuh otokrasi yang konsisten sepenuhnya dan tidak berbelas kasihan, hanya di antara kelas buruh dan otokrasi mustahil bisa ada kompromi, hanya di dalam kelas buruh demokrasi dapat menemukan seorang jawara yang tidak ragu-ragu, yang tidak bimbang dan tidak melihat ke belakang. Permusuhan kelas-kelas, kelompok-kelompok, dan strata-strata populasi yang lain terhadap otokrasi adalah terbatas, demokrasi mereka selalu menengok ke belakang.”

“Proletariat sendiri dapat menjadi – dan karena posisi kelasnya harus menjadi – musuh absolutisme yang teguh dan demokratis secara konsisten, yang tidak membuat konsesi dan kompromi apapun. Kaum proletar sendiri dapat menjadi pejuang pelopor untuk kebebasan politik dan institusi demokrasi. Pertama, ini karena tirani politik paling membebani proletariat yang posisinya tidak memungkinkannya untuk memodifikasi tirani itu – ia tidak punya akses ke otoritas tinggi, bahkan tidak ke para pejabat, dan ia tidak punya pengaruh atas opini publik. Kedua, proletariat sendirian dapat membawa demokratisasi penuh atas sistem politik dan sosial, karena ini akan menaruh sistem tersebut di tangan kaum buruh.Inilah mengapa merger aktivitas-aktivitas politik kelas buruh dengan aspirasi demokrasi dari kelas dan kelompok lain akan melemahkan gerakan demokrasi, akan melemahkan perjuangan politik, akan membuatnya lebih kurang teguh, konsisten, dan lebih rentan pada kompromi. Di pihak lain, bila kelas buruh berdiri sebagai pejuang pelopor untuk institusi demokrasi, ini akan memperkuat gerakan demokrasi, akan memperkuat perjuangan pembebasan politik, karena kelas buruh akan mendorong semua elemen demokratis dan oposisi politik lainnya, akan mendorong kaum liberal ke politik radikal, akan mendorong kaum radikal menuju perpecahan penuh dari seluruh struktur politik dan sosial masyarakat kini.” [Penekanan Ditambahkan]

Kami minta maaf bila kami harus mengkutip secara panjang dari Lenin, karena kami mencoba untuk menghindari kebiasaan mengutip secara selektif dan secara fragmen yang sering dilakukan oleh para kaum “Leninis”.

Jadi jelas bagaimana Bolshevik mendekati kelas-kelas sosial lainnya di dalam perjuangan melawan absolutisme: mengenali bahwa proletariat dan kaum borjuasi nasional dapat memiliki kepentingan yang sama untuk tujuan tertentu yang spesifik, tetapi pada saat yang sama mengkritik secara terbuka keterbatasan kaum borjuasi dalam perjuangan mereka dan memperingatkan untuk tidak merger dalam aktivitas demokratis dengan mereka. Dalam esensinya, kelas proletariat harus menjunjung kemandirian kelasnya dan tidak mengesampingkan tujuan sosialisnya.

Ini ditulis pada tahun 1897, sebelum Revolusi 1905 yang menghantarkan pukulan pertama terhadap otokrasi dan mengungkapkan lebih besar kebangkrutan kaum borjuasi nasional. Ini yang ditulis oleh Lenin pada tahun 1906 di “Tugas-Tugas Demokratik Kaum Proletariat Revolusioner” setelah pengkhianatan dan kepengecutan kaum borjuis nasional dalam perjuangan mereka melawan otokrasi:

“ ... kaum borjuasi secara keseluruhan tidak mampu melakukan perjuangan yang teguh melawan otokrasi; dalam perjuangannya ia takut kehilangan properti yang mengikatnya pada orde yang eksis sekarang; ia takut terhadap aksi buruh yang sepenuhnya revolusioner, yang tidak akan berhenti pada revolusi demokratik tetapi berhasrat bergerak ke revolusi sosialis; ia takut pecah sepenuhnya dengan para birokrat negara, dengan kaum birokrasi, yang kepentingannya terikat oleh seribu benang dengan kepentingan kelas berpunya. Untuk alasan ini, perjuangan kaum borjuasi untuk kebebasan penuh dengan keraguan, tidak konsisten, dan setengah-hati.”

PKI, kendali klaim mereka sebagai kaum Leninis, tampaknya tidak membaca dengan seksama tulisan-tulisan Lenin. Kaum buruh dan tani Indonesia harus membayar sangat mahal karena kebijakan keliru PKI: tiga puluh dua tahun kediktaturan militer yang merampok seluruh generasi dari pejuang-pejuang kelasnya dan tradisi perjuangan kelas.

 

Catatan:

[1] Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia: Its History, Program, and Tactics (Vancouver: University of British Columbia, 1965) 166-223.

[2] D.N. Aidit, Indonesian Society and the Indonesian Revolution (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1958).

[3] Aidit 49.

[4] Aidit 64.

[5] Aidit 57-58.

[6] Aidit 62.

[7] Aidit 58-59