facebooklogocolour

Masalah Kebangsaan

Black Hundreds rally

Sikap kaum Bolshevik terhadap tuntutan demokratik ditunjukkan oleh posisi mereka mengenai masalah kebangsaan. Tanpa posisi yang jelas dan prinsipil mengenai masalah kebangsaan, kaum Bolshevik tidak akan pernah bisa memimpin kelas buruh ke perebutan kekuasaan. Masalah kebangsaan memiliki signifikansi yang menentukan bagi Rusia, dimana 57% populasi terdiri dari bangsa-bangsa minoritas non-Rusia yang menderita penindasan dan diskriminasi di tangan 43% populasi Rusia. Periode reaksi pada 1907-10 mempertajam antagonisme nasional ke tingkatan yang tak tertanggungkan. Reaksi yang brutal ini segera menginjak-injak semua pencapaian yang telah dimenangkan oleh bangsa-bangsa tertindas di periode sebelumnya. Otonomi Finlandia dihapus. Jutaan rakyat hak suaranya dihapus karena “kewarganegaraan” mereka.

Anti-Semitisme memunculkan wajah buruknya lagi di Kiev dengan kasus Beilis[1] pada 1913, dimana elemen-elemen Black Hundreds memfitnah kaum Yahudi melakukan pembunuhan ritual terhadap seorang anak Kristen. Prasangka rasial yang paling menjijikkan dengan sengaja digunakan oleh rejim untuk memecah belah dan memperbudak rakyat. Pers sayap-kanan menerbitkan artikel-artikel sensasional yang mengklaim bahwa pembunuhan ritual terhadap anak-anak Kristen oleh kaum Yahudi adalah bagian dari agama Yahudi. Kasus ini begitu mengejutkan dan gelombang kemarahan menyapu seluruh masyarakat Rusia. Opini publik liberal mengekspresikan kegeraman mereka secara moral. Tetapi pada kenyataannya akar racun rasisme ini adalah rejim itu sendiri dan sistem sosial yang mendasarinya. Bukanlah kebetulan kalau anti-Semitisme tumbuh subur di lingkaran Tsar Nicholas, yang dengan sengaja mendorongnya.

Satu-satunya cara melawan rasisme adalah dengan mempersatukan buruh dalam perjuangan melawan semua bentuk penindasan dan diskriminasi, sebagai bagian dari perjuangan revolusioner bersama untuk mengubah masyarakat. Ini mensyaratkan gerakan buruh untuk melawan kaum fasis dan rasis yang menyerang kaum minoritas tertindas. Tetapi perjuangan membela kaum minoritas tertindas harus dilakukan oleh kelas buruh yang tersatukan secara keseluruhan, tanpa membeda-bedakan ras, bahasa, atau warna kulit. Selama pengadilan kasus Beilis, kaum Sosial Demokrat mengorganisir kampanye protes menentang kaum anti-Yahudi. Pada September dan Oktober 1913, kaum Bolshevik menerbitkan serangkaian selebaran. Salah satunya menyatakan:

“Kamerad sekalian, kita kaum buruh tidak membutuhkan perbudakan satu bangsa oleh bangsa lainnya. Orang Finlandia, Polandia, Yahudi, Jerman, Armenia adalah saudara-saudari kita semua. Kita tidak boleh berjuang melawan mereka, tetapi berjuang melawan autokrasi dan kapitalisme.”[2]

Selebaran ini menyerukan pemogokan sebagai bentuk protes, yang diluncurkan di Petersburg, Kiev, Revel, Gomel, Bielostok, Brest-Litovsk, dan daerah-daerah lainnya. Dalam kata lain, Partai merespons racun rasisme dengan seruan kelas.

Kaum buruh Rusia dan Ukraina merespons dengan pemogokan untuk membela hak-hak rakyat Yahudi yang tertindas. Akhirnya, di bawah tekanan gerakan protes massa, Beilis dinyatakan tak bersalah. Cara melawan rasisme adalah dengan memperkuat persatuan semua rakyat pekerja dalam perjuangan, yang akan memotong semua perbedaan nasional, ras, agama, warna kulit atau bahasa. Sebaliknya, nasionalisme borjuis-kecil menekankan perbedaan nasional, yang lalu jadi senjatanya kaum rasis. Oleh karenanya, dalam konteks Rusia Tsar, garis separatisme yang diusung kelompok Bund sangatlah berbahaya. Kaum Bund mendorong sebuah kebijakan yang pada akhirnya akan memecah buruh dalam garis nasional, dengan menuntut hak mereka sebagai satu-satunya perwakilan kaum buruh Yahudi, menuntut hak istirahat pada hari Sabtu bagi buruh Yahudi, hak bahasa Yahudi, dan tuntutan-tuntutan lainnya yang sejalan dengan “otonomi kultural-nasional.”

Rakyat bangsa-bangsa tertindas (buruh Estonia, kaum tani Ukraina, dsb.) sering menyurati fraksi Sosial Demokrat di Duma untuk meminta dukungan mereka. Partai Bolshevik sendiri adalah sebuah model bagaimana menyatukan buruh dari berbagai bangsa dalam sebuah organisasi kelas bersama, bahkan dimana ada sejarah konflik rasial antar berbagai bangsa dalam Rusia, dimana rejim Tsar tidak hanya membenturkan rakyat Rusia dan Ukraina dengan rakyat Yahudi, tetapi juga membenturkan rakyat Azeri dan Georgia melawan rakyat Armenia. Pogrom terhadap orang Armenia di Baku tidak diketahui banyak orang, dibandingkan dengan pogrom anti-Yahudi, tetapi mereka sama kejamnya. Kendati demikian, dalam organisasi-organisasi Bolshevik, buruh Rusia, Ukraina, Yahudi, Latvia, Armenia semua bekerja bersama. Lenin selalu menentang keras usaha memisah-misahkan buruh dari berbagai bangsa ke dalam organisasi-organisasi terpisah:

“Dalam partai kami di gerakan Sosial Demokrasi Kaukasus, orang Georgia, Armenia, Tartar, Rusia, telah bekerja sama dalam organisasi-organisasi sosial demokratik yang tersatukan selama lebih dari 10 tahun. Ini bukan umbaran kosong, tetapi sebuah solusi proletarian terhadap masalah kebangsaan. Satu-satunya solusi. Hal yang sama di Riga: ada orang Rusia, Latvia, dan Lituania; satu-satunya orang yang mengorganisir secara terpisah adalah kaum separatis, kaum Bund. Demikian juga di Vilnius [ibukota Lituania hari ini].”[3]

Ini adalah jawaban telak terhadap semua upaya untuk memecah belah organisasi-organisasi buruh ke dalam garis nasional.

Sauvinisme Rusia selalu merupakan salah satu senjata kuat reaksi. Mengenai masalah kebangsaan, Lenin tidak hanya mengecam reaksi terbuka Black Hundred, tetapi juga kaum borjuasi liberal:

“Kaum borjuasi liberal dari semua bangsa – dan terutama borjuasi Rusia Raya – berjuang untuk privilese bangsanya ‘masing-masing’ … untuk partikularitas nasional, untuk eksklusifitas nasional, dan dengan ini, mereka menyokong kebijakan kementerian dalam negeri.”[4]

Dan lagi:

“Nasionalisme borjuis dan internasionalisme proletarian adalah dua slogan yang bertentangan satu sama lain, yang mewakili dua kubu kelas dalam dunia kapitalis dan mengekspresikan dua kebijakan (atau, dua cara pandang dunia) dalam masalah kebangsaan.”[5]

Kebingungan dalam menentukan sikap mengenai masalah kebangsaan akan menjadi bencana bagi Revolusi Rusia. Inilah mengapa masalah kebangsaan menempati posisi sentral dalam semua debat sejak 1903. Ada masalah serius dengan kaum nasionalis Yahudi dalam kelompok Bund, dan juga dengan kaum Sosial Demokrat Polandia dan Lituania yang dipengaruhi oleh Rosa Luxemburg, yang menyangkal hak penentuan nasib sendiri. Rosa Luxemburg jelas adalah seorang pembela internasionalisme yang gigih. Dalam melawan kaum nasionalis borjuis-kecil Polandia dalam Partai Sosialis Polandia (PSP), posisinya benar. Tetapi pemahamannya mengenai internasionalisme agak abstrak dan berat sebelah. Secara efektif dia menolak hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Polandia. Bila Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia mengambil posisi ini, seperti yang Rosa inginkan, ini akan menjadi bencana besar bagi PBSDR, dan akan menjadi kado bagi kaum nasionalis Polandia. Perbedaan ini begitu serius sehingga terjadi perpecahan dalam Sosial Demokrasi Polandia, dimana kelompok oposisi yang bersimpati dengan posisinya Lenin, dan dipimpin oleh J.S. Hanyecki dan A.M. Malecki, pecah. Posisi Lenin jauh lebih dalam dan dialektis. Selama tahun-tahun menjelang dan selama Perang Dunia Pertama, dia menulis sejumlah besar artikel dan dokumen mengenai masalah kebangsaan yang sampai hari ini masih mempertahankan vitalitasnya dan relevansinya. Lenin mendiskusikan gagasannya dengan kader-kader yang lebih muda dan mendorong mereka untuk menulis. Hasilnya antara lain adalah pamfletnya Shaumyan “Mengenai Otonomi Kultural-Nasional” dan artikel Stalin di Prosveshcheniye, “Masalah Kebangsaan dan Sosial Demokrasi,” yang secara efektif didikte oleh Lenin.

Lenin dan Masalah Kebangsaan

Apa sikap Lenin terhadap masalah kebangsaan?

Kaum Marxis akan berjuang melawan ketidaksetaraan dan diskriminasi, sekecil apapun mereka. Misalnya, kita menentang status istimewa untuk bahasa tertentu. Tidak ada alasan khusus mengapa harus ada bahasa “resmi” dengan monopoli atas bahasa-bahasa lain. Demikian posisi Lenin. Tetapi ini tidak berarti dia beraliansi dengan eksklusifitas reaksionernya kaum borjuasi dan borjuasi kecil yang menuntut “otonomi kultural-nasional” dan mengagung-agungkan bahasa dan kebudayaan “mereka sendiri”, guna menyembunyikan keinginan mereka untuk menindas bangsa lain. “Slogan demokrasi buruh bukanlah ‘kebudayaan nasional’ tetapi kebudayaan demokrasi internasional dan gerakan buruh internasional.”

Di balik seruan “kebudayaan nasional’ bersembunyi kepentingan kelas kaum penindas dari tiap-tiap bangsa, yakni kaum tuan tanah dan kapitalis. Gagasan yang berkuasa di setiap bangsa adalah gagasannya kelas penguasa. Ini adalah proposisi dasar kaum Marxis. Di sini Lenin mempertahankan posisi kelas:

Unsur-unsur kebudayaan demokratik dan sosialis hadir, bila hanya dalam bentuk elementer, di setiap kebudayaan nasional, karena di setiap bangsa ada massa rakyat pekerja yang tertindas, yang kondisi kehidupannya niscaya melahirkan ideologi demokrasi dan sosialisme. Tetapi setiap bangsa juga memiliki kebudayaan borjuis (dan kebanyakan bangsa juga memiliki kebudayaan reaksioner dan klerus) dalam bentuk kebudayaan yang dominan, bukan hanya “unsur” saja. Oleh karenanya secara umum “kebudayaan nasional” adalah kebudayaannya kaum tuan tanah, klerus dan borjuasi. Kebenaran yang fundamental dan, bagi kaum Marxis, elementer ini dikaburkan oleh Bund, yang “menenggelamkan” kebenaran ini dengan celoteh yang membingungkan, alih-alih mengungkapkan dan memperjelas jurang kelas yang ada, kaum Bund justru mengaburkannya. Pada kenyataannya, kaum Bund bertingkah seperti seorang borjuasi, yang setiap kepentingannya membutuhkan penyebaran kepercayaan mengenai kebudayaan nasional yang non-kelas.”

Dia menjelaskan:

“Kebudayaan nasional kaum borjuasi adalah sebuah fakta (dan saya ulangi, kaum borjuasi di seluruh dunia menjalin kesepakatan dengan kaum tuan tanah dan klerus). Nasionalisme borjuis yang agresif, yang membodohi dan memecahbelah kaum buruh supaya kaum borjuasi dapat mencocok hidung mereka – inilah fakta fundamental hari ini. Mereka-mereka yang ingin melayani kelas proletariat harus menyatukan buruh dari semua bangsa, dan dengan tegas memerangi nasionalisme borjuis, entah itu dalam negeri sendiri atau di luar negeri.[6]

Lenin menentang dibangunnya sekolah-sekolah yang dipisahkan seturut garis nasional, yang akan memecah belah populasi dan memperkuat prasangka nasional dan rasial. Lenin mengekspos watak reaksioner dari tuntutan-tuntutan kebijakan “Otonomi Kultural” yang diusung oleh Sosial Demokrasi Austria:

“‘Otonomi Kultural-Nasional’ adalah persis nasionalisme yang paling murni dan oleh karenanya paling berbahaya. ‘Otonomi Kultural-Nasional’ mencederai gerakan buruh dengan slogan dan propaganda nasionalis yang sangatlah berbahaya dan bahkan secara anti-demokratik memisah-misahkan sekolah berdasarkan kebangsaan. Pendeknya, program ini jelas bertentangan dengan internasionalismenya kaum proletariat dan hanya bersesuaian dengan gagasan kaum nasionalis borjuis kecil.”

Alih-alih tuntutan “otonomi kultural-nasional,” Lenin mengajukan tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Ini adalah sebuah tuntutan demokratik yang mengalir dari asumsi bahwa tidak ada satu pun bangsa yang boleh dipaksa untuk berada dalam perbatasan bangsa lain. Hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas dari paksaan dari bangsa yang lebih kuat, adalah hak dasar yang harus dibela. Tetapi ini tidak berari bahwa kaum Marxis harus selalu mendukung separatisme. Pada kenyataannya Lenin menjelaskan bahwa: “Bagi kaum Marxis, tentu saja, bila semua kondisi sama, bangsa yang lebih besar selalu lebih baik dibandingkan yang kecil.”[7] Negara-bangsa, seperti halnya kepemilikan pribadi, adalah sebuah institusi yang usang dan reaksioner, yang merintangi perkembangan kekuatan produksi. Dominasi pasar dunia, yang diprediksi sejak dulu kala oleh Marx dan Engels, telah menjadi kenyataan hari ini. Tidak ada satu pun negeri, tidak peduli berapa besar dan kuat, yang dapat menghindari pengaruh kuat pasar dunia. Inilah mengapa kemerdekaan dari bangsa-bangsa yang berhasil mematahkan penjajahan asing sejak 1945 telah menjadi fiksi semata. Bangsa-bangsa ini lebih tereksploitasi dan tertindas dibandingkan sebelumnya – kecuali hari ini eksploitasi berlangsung secara tidak langsung, melalui mekanisme perdagangan dunia.

Lenin menulis pada Oktober-Desember 1913:

“Kaum proletariat, alih-alih mendukung perkembangan nasional dari tiap-tiap bangsa, sebaliknya justru memperingatkan massa akan bahaya ilusi tersebut, berdiri mendukung kebebasan perhubungan kapitalis yang sepenuh-sepenuhnya, dan menyambut semua bentuk asimilasi bangsa, kecuali yang berdasarkan kekerasan atau privilese.”[8]

Kaum Marxis tidak mendukung terbentuknya perbatasan baru, tetapi menginginkan dihapusnya semua perbatasan, dalam persekutuan sosialis sedunia. Tetapi pernyataan ini tidak menjawab semua masalah. Ya, dengan semua kondisi sama, kami memilih bangsa yang lebih besar, alih-alih terpecah-pecah menjadi bangsa-bangsa yang lebih kecil. Tetapi tidak semua kondisi sama. Marx pernah mengatakan bahwa tidak ada malapetaka yang lebih besar daripada penindasan satu bangsa oleh bangsa yang lain. Bila ini terjadi, tugas kaum Marxis adalah membela minoritas yang tertindas. Kita menentang segala bentuk diskriminasi, opresi, dan penyangkalan hak-hak nasional, dan akan berjuang melawannya. Tetapi ini saja tidak memadai. Kelas buruh harus memiliki program masalah kebangsaan yang mandiri, seperti halnya dengan masalah-masalah lainnya. Program ini harus melayani perjuangan umum untuk transformasi sosialis. Kita tidak boleh mengesampingkan perjuangan untuk sosialisme atau perjuangan antara buruh dan kapital untuk melayani kepentingan “persatuan nasional.” Dalam perjuangan melawan penindasan nasional, perjuangan kelas revolusioner harus dikedepankan.

Lenin menjelaskan ribuan kali bahwa kaum Marxis Rusia, sebagai anggota dari bangsa penindas (Rusia Raya), harus berjuang melawan kebijakan dan tindakan opresif yang dilakukan oleh kaum borjuasinya sendiri, dan membela hak-hak bangsa yang tertindas oleh Rusia Raya. Ini harus dilakukan guna menunjukkan kepada kaum buruh dan tani dari bangsa-bangsa non-Rusia yang tertindas bahwa kaum buruh Rusia tidak punya kepentingan sama sekali untuk menindas mereka. Sebaliknya, kaum buruh Rusia adalah pembela hak-hak mereka yang paling konsisten. Sebagai buktinya, Lenin menuntut agar partai Rusia menuliskan di atas panji mereka hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa tertindas. Secara efektif, kaum buruh Rusia mengatakan kepada rakyat Polandia, Finlandia, Georgia, Ukraina, dan yang lainnya:

“Kami tidak punya kepentingan sama sekali untuk merantai kalian. Mari kita bersatu untuk menumbangkan kaum penindas, dan kami akan beri kalian kebebasan untuk menentukan bentuk relasi kalian dengan kami. Harapan kami adalah menunjukkan kepada kalian bahwa kalian akan diperlakukan dengan sepenuhnya setara, dan kalian akan memilih tetap bersama dengan kami. Tetapi bila kalian memutuskan untuk mengambil jalan lain, ini adalah hak kalian, dan kami akan berjuang membela hak kalian, bahkan bila ini berarti membangun negara bangsa kalian sendiri.”

Lenin tidak pernah membuat konsesi sekecilpun pada nasionalisme, termasuk nasionalismenya bangsa tertindas. Seluruh garis kebijakannya dimotivasi oleh kepercayaan pada internasionalisme dan misi revolusioner kaum proletariat.

“Bila seorang Marxis Ukraina membiarkan dirinya terhanyut oleh kebenciannya terhadap kaum penindas Rusia-Raya – perasaan benci yang tentunya cukup wajar dan sepantasnya – sampai dia juga memancarkan kebencian ini, bahkan bila hanya secuil saja, ke kebudayaan dan perjuangan proletariat Rusia Raya, maka Marxis seperti ini akan terseret ke nasionalisme borjuis. Dengan cara yang sama, seorang Marxis Rusia-Raya akan terseret tidak hanya ke nasionalisme borjuis tetapi juga nasionalisme reaksioner bila dia melupakan, barang sekejap, tuntutan kesetaraan bagi rakyat Ukraina, atau hak mereka untuk membentuk negara yang merdeka.”[9]

Tujuan utama dari slogan hak menentukan nasib sendiri adalah menjamin persatuan kelas buruh. Di sisi lainnya adalah kaum Marxis dari bangsa tertindas harus berkonsentrasi melawan kelas borjuasi mereka sendiri, melawan racun nasionalisme yang disebarkan oleh kaum borjuasi dan borjuis-kecil dari bangsa tertindas, dan meluncurkan perjuangan tanpa belas kasihan melawan pengaruh nasionalisme dalam gerakan kelas buruh. Terlebih lagi, Lenin selalu menentang dibentuknya organisasi-organisasi terpisah untuk buruh-buruh dari bangsa-bangsa tertindas. Kaum Marxis Rusia berjuang untuk persatuan kelas buruh dan organisasi-organisasinya, tidak hanya partai tetapi juga serikat buruh:

“Bertentangan dengan segala bentuk nasionalisme borjuis, demokrasi kelas-buruh mengedepankan tuntutan persatuan tanpa-syarat dan amalgamasi penuh buruh dari semua kebangsaan dalam semua organisasi kelas buruh – serikat buruh, koperasi, asosiasi konsumen, badan pendidikan, dan yang lainnya – sebagai tandingan atas percekcokan nasionalis antara berbagai partai borjuis mengenai masalah bahasa dsb. Hanya persatuan dan amalgamasi macam ini yang dapat menjaga demokrasi dan membela kepentingan buruh dalam melawan kapital – yang sudah internasional dan semakin hari semakin internasional – dan mendorong perkembangan umat manusia ke sebuah cara hidup baru yang asing dari semua privilese dan semua eksploitasi.”[10]

Hak penentuan nasib sendiri oleh karenanya adalah satu bagian dari program yang bertujuan menjaga persatuan buruh bangsa tertindas dan bangsa penindas. Ini tidak berarti dukungan terhadap nasionalisme atau separatisme, seperti yang Lenin jelaskan:

“Pengakuan terhadap hak [penentuan nasib sendiri] tidak mengecualikan propaganda dan agitasi menentang separasi atau nasionalisme borjuis.”[11]

Perang Balkan

Masalah kebangsaan selalu merupakan ladang ranjau yang menyeramkan, karena tuntutan pembebasan nasional dan “hak penentuan nasib sendiri” bukan sesuatu yang sederhana. Di balik apa yang sekilas tampak seperti tuntutan progresif dapat bersembunyi kekuatan dan kepentingan yang paling reaksioner. Inilah mengapa Lenin menekankan dengan keras bahwa tuntutan hak penentuan nasib sendiri bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi harus tunduk pada kepentingan proletariat dan revolusi dunia. Kaum Marxis sama sekali tidak berkewajiban mendukungnya di setiap kasus. Marx sejak dulu telah menunjukkan peran reaksioner yang dimainkan oleh “bangsa-bangsa kecil” yang menjadi pion tuan imperialisnya. Dia terutama sangat kritis terhadap Pan-Slavisme, doktrinnya Tsarisme Rusia yang mengedepankan diri mereka sebagai “Pembebas” kaum Slavik, dan menggunakan posisi ini untuk menanamkan pengaruhnya di Balkan. Mengikuti jejak langkah Marx, Lenin selalu menekankan garis kelas dalam masalah kebangsaan. Dia terus memperingatkan bahaya racun nasionalisme dan menulis secara ironis mengenai slogan “kebebasan”, slogan yang biasanya digunakan kaum borjuasi untuk menyembunyikan intrik reaksionernya dan menipu rakyat.

Dalam tulisan-tulisannya mengenai masalah kebangsaan sebelum 1914, Lenin sering menggunakan contoh bagaimana Norwegia memisahkan diri dari Swedia pada 1905. Ini adalah sebuah contoh yang sangat sederhana, dan kemungkinan adalah alasan mengapa Lenin memilih menggunakan contoh ini. Sayangnya, masalah kebangsaan tidak selalu sesederhana itu. Apakah kaum Marxis akan mendukung atau tidak hak penentuan nasib sendiri tergantung pada situasi konkret dalam tiap-tiap kasus.

Persyaratan kategorikal teori Marxis dalam memeriksa setiap masalah sosial adalah mereka harus diperiksa dalam batasan historis yang definit, dan bila ini adalah mengenai sebuah bangsa tertentu (program nasional untuk sebuah bangsa tertentu), maka kita harus mempertimbangkan fitur-fitur khusus yang membedakan bangsa ini dari yang lainnya dalam epos historis yang sama.

Dan lagi:

“Kaum Marxis dari bangsa manapun sama sekali tidak boleh merumuskan program nasional mereka tanpa mempertimbangkan semua kondisi historis yang umum dan semua kondisi bangsa yang konkret.”[12]

Kami kira ini sudah cukup jelas. Tetapi sayangnya, “sedikit pengetahuan adalah hal yang berbahaya.” Setelah membaca sepintas tulisan Lenin dan menemukan kalimat “hak penentuan nasib sendiri,” sejumlah orang yang jelas-jelas menganggap diri mereka pengikut Lenin menyimpulkan bahwa, entah mau hujan, badai, atau cerah, kita harus selalu mendukung setiap tuntutan kemerdekaan. Apa yang Lenin jelaskan secara hati-hati berubah menjadi semacam penyakit gagap, yang mendorong mereka-mereka yang terjangkiti penyakit ini untuk segera melompat setiap kali kelompok nasionalis tertentu membunyikan trompet mereka. Kita hanya bisa terheran-heran mengapa Lenin susah-susah menulis banyak karya, ketika tampaknya mereka-mereka yang berbicara dan bertindak atas namanya jelas tidak paham satu barispun!

Mengingat sejarah Balkan baru-baru ini, setelah pecahnya Yugoslavia, alangkah baiknya kita membaca ulang posisi yang Lenin ambil mengenai peperangan Balkan. Apakah dia segera berbaris mendukung salah satu negeri yang berperang? Sama sekali tidak. Dia mengutuk semua pihak yang terlibat dalam peperangan Balkan sebagai reaksioner. Kelas buruh sama sekali tidak dapat mendukung satupun dari mereka yang berperang, walaupun mereka semua (tentu saja) dengan keras menyatakan bahwa mereka adalah korban agresi dan bahwa “hak penentuan nasib sendiri” mereka sedang dilanggar.

Lenin menulis ini mengenai konflik Balkan: “Rakyat tertindas tidak pernah, kapan pun dan di mana pun, memenangkan ‘kebebasan’ dengan cara perang antara satu rakyat dengan yang lainnya ... Kebebasan sejati kaum tani Slav di Balkan, dan juga kaum tani Turki hanya dapat dimenangkan dengan kebebasan penuh di dalam tiap-tiap bangsa ...”[13]

Inilah Lenin yang sesungguhnya. Inilah suara internasionalisme revolusionernya yang kepala batu. Sungguh berbeda dengan demagogi sauvinis dari para pemimpin partai-partai Komunis seperti Zyuganov hari ini, yang telah mencampakkan Lenin dan mengulang sampah usang Slavofilia [nasionalisme Slavik] yang sungguh dibenci oleh Marx dan Lenin.

Di periode menyusul Revolusi Rusia 1905, awan badai berkumpul di atas Eropa, yang segera menerima pelajaran keras akan pentingnya masalah kebangsaan. Sementara peristiwa di Rusia sedang bergerak ke arah perpecahan final antara kekuatan Marxisme revolusioner dan reformisme, kekuatan-kekuatan lain sedang diluncurkan. Kontradiksi antar kekuatan-kekuatan imperialis yang bermusuhan – Jerman, Austria-Hungaria, Inggris, Perancis dan Rusia – mulai menciptakan momok peperangan, dalam skala yang jauh lebih luas dibandingkan sebelumnya. Di Kongres Kopenhagen Internasionale Kedua, yang berlangsung dari 15-25 Agustus, 1910, partai Rusia diwakili oleh Lenin dan Plekhanov. Debat utama selama Kongres ini adalah perjuangan melawan militerisme dan masalah peperangan. Di Kongres Stuttgart (Agustus 1907) Lenin telah mengajukan sejumlah amandemen untuk resolusi mengenai peperangan, yakni bila perang pecah maka Internasionale Kedua harus mengambil peluang dari krisis ekonomi dan politik yang ada untuk menumbangkan kapitalisme.

Kontradiksi yang eksplosif antar kekuatan-kekuatan imperialis besar mencapai titik kritisnya di Balkan pada Agustus 1914. Bahkan sebelum itu, keretakan ini sudah terekspos oleh Peperangan Balkan. Keruntuhan Kekaisaran Ottoman – yang berlangsung secara perlahan dan memalukan – memercikkan serangkaian peperangan dari rakyat Balkan untuk membebaskan diri mereka dari penjajahan Turki.  Dalam serangkaian perang, Yunani, Serbia dan Bulgaria meraih kemerdekaan mereka, tetapi dengan segera mereka menjadi boneka dari berbagai kekuatan Eropa (Inggris, Rusia, Austria, Prusia) dan dijadikan recehan dalam diplomasi imperialis. Perancis menekan Rusia untuk mengambil kebijakan yang lebih tegas di Balkan, guna melawan pengaruh Austria-Hungaria di sana yang pada musim gugur 1908 tiba-tiba mencaplok Bosnia-Herzegovina. Ini jelas memprovokasi Rusia. Tetapi dalam permainan politik yang keji ini, Tsar Rusia memainkan peran predatoris yang sama. Tujuan utama Rusia tidak berubah banyak selama puluhan tahun – memberi dukungan sinis pada Bulgaria dan Serbia dalam melawan Turki, di bawah panji Pan-Slavisme yang munafik guna mendominasi Balkan dan juga Turki. Target utama Tsar Rusia adalah menduduki Konstantinopel [Istanbul] untuk meraih akses ke pelabuhan Mediterania. Ini adalah tujuan sesungguhnya di balik pembentukan “Perhimpunan Empat Monarki” (Montenegro, Serbia, Bulgaria dan Yunani).

Hingar bingar yang menyusul setelah aneksasi yang dilakukan Austria terhadap Bosnia juga mengekspos ambisi imperialis kaum liberal borjuis Rusia, yang menuntut agar Rusia bertindak di Balkan. Pemimpin Kadet sayap-kanan Guchkov mengecam keputusan pemerintah Tsar untuk tidak meluncurkan perang di Bosnia sebagai pengkhianatan terhadap kaum Slav. Pemerintahan Rusia, katanya, “tidak cekatan” sementara rakyat Rusia siap “berperang melawan ras Jerman.” Di balik keagresifan ini adalah kebijakan dingin dan penuh perhitungan kelas borjuasi Rusia yang menantikan profit komersial besar bila Rusia menduduki Konstantinopel dan mengendalikan Laut Hitam dan rute-rute kapal di selat Turki. Struve, sang liberal Rusia, mengecam insiden Bosnia [pencaplokan Bosnia oleh Austria] sebagai “memalukan bangsa” dan menekankan kalau takdir Rusia adalah memperluas peradabannya “ke seluruh Laut Hitam.” “Selat-selat [Turki] ini harus menjadi milik kita,” Mikhail Rodzianko, Presiden Duma, mengatakan ini pada Tsar pada Maret 1913. “Perang akan disambut dengan gembira dan ini akan meningkatkan prestise pemerintah.”[14] Juga masih ada urusan yang belum selesai di Balkan, karena sebagian besar wilayah Balkan (Makedonia) masih berada di bawah kuasa Turki. Pada 26 September, 1912, Perang Balkan yang pertama pecah. Montenegro, Serbia, Bulgaria dan Yunani (Perhimpunan Empat Monarki) bersatu melawan Turki. Secara formal, ini adalah perang pembebasan nasional rakyat Balkan dari penjajahan Turki. Tetapi di balik slogan-slogan demagogis yang memproklamirkan kemerdekaan dan hak penentuan nasib sendiri bersembunyi ambisi predatoris kaum borjuasi nasional dari tiap-tiap bangsa ini, dan berdiri di belakang tiap-tiap bangsa ini adalah kekuatan imperialis besar, yang menggunakan mereka sebagai pion dalam perang proksi mereka. Perancis, Jerman, Inggris dan Austria-Hungaria semua memperhatikan situasi Balkan dengan nafsu rakus, dan juga rasa curiga dan cemas.

Kekaisaran Ottoman yang keropos dikalahkan di Perang Balkan Pertama. Kuk penindasan oleh Turki tersingkirkan, tetapi dengan cepat digantikan oleh kuk penindasan oleh kaum tuan tanah dan kapitalis “nasional” Serbia, Yunani dan Bulgaria. Terlebih lagi, yang belakangan ini segera berseteru satu sama lain untuk rampasan perang, seperti anjing-anjing gila yang berebutan tulang. Konferensi London pada musim semi 1913 akhirnya menetapkan “perdamaian” di Balkan setelah Perang Balkan Pertama, tetapi perdamaian yang ditetapkan ini hanya mempersiapkan perang baru yang bahkan lebih mengerikan, perang yang akan menyapu tidak hanya wilayah Balkan tetapi juga seluruh dunia. Konferensi London menjamin keterlibatan kekuatan-kekuatan imperialis besar dalam konflik Balkan. Lagipula ini sudah menjadi fakta yang terbantahkan. Di belakang klik penguasa dari tiap-tiap rejim Balkan yang “merdeka” berdiri satu atau kekuatan Eropa lainnya. Dan setiap kekuatan Eropa ini tergabung dalam satu dari dua blok besar – “Triple Alliance”[15] yang dipimpin Jerman, dan “Triple Entente”[16] yang dipimpin Inggris. Seperti Rusia, Austria-Hungaria dan Jerman juga punya ambisi di Balkan, yang dapat diringkas seperti ini: Siapa yang akan mewarisi wilayah Kekaisaran Ottoman? Dulu kala, seperti halnya sekarang, rejim-rejim di Balkan hanyalah pion dari negeri-negeri imperialis utama.

Peran reaksioner kaum borjuasi nasional di Balkan segera terungkap oleh kebijakan ekspansionisme mereka yang ganas. Ini terekspresikan dalam kebijakan “Bulgaria Raya,” “Serbia Raya” dan “Yunani Raya”, yang mencerminkan keserakahan kaum tuan tanah dan kapitalis yang berkuasa, yang berkonspirasi dengan kekuatan imperialis besar untuk menindas seluruh rakyat pekerja Balkan. Perang yang baru pecah pada 6 Juni, 1913, ketika Bulgaria menyerang Yunani dan Serbia. Melihat adanya kemungkinan meraup keuntungan, Rumania bergabung dalam perang ini dan menyerang Bulgaria. Turki juga menyerang Bulgaria, yang menderita kekalahan telak dan kehilangan banyak wilayah. Ini menunjukkan bagaimana hampanya konsep penindasan “kolonial” bila dilihat dari posisi yang formalistik dan anti-dialektik. Perang melawan Turki bisa dibilang memiliki aspek yang relatif progresif, dimana (setidaknya secara teoretis) perang ini dikobarkan untuk membebaskan orang Makedonia dari penjajahan Turki, walaupun dalam praktiknya tiap-tiap negeri Balkan sudah mencoba memperluas wilayahnya dengan mencaplok wilayah tetangganya. Tetapi Perang Balkan Kedua memiliki karakter yang sepenuhnya reaksioner dan imperialis, dimana kelas penguasa Yunani, Bulgaria, Serbia dan Rumania saling baku hantam untuk pembagian rampasan perang.

Tidak ada yang progresif sama sekali dengan ini. Hak penentuan nasib sendiri juga tidak bisa diterapkan secara berarti untuk menyelesaikan kebuntuan berdarah yang melanda Balkan saat itu dan terus melandanya sejak itu. Satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan berdarah di Balkan adalah revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh dengan tujuan pembentukan Federasi demokratik Balkan. Inilah posisi Lenin dan juga posisinya kaum sosialis Balkan, terutama yang paling besar di antara mereka, Christian Rakovsky. Perang-perang “nasional” ini, yang dipimpin oleh borjuasi nasional, seperti yang Lenin jelaskan, jauh lebih memakan korban jiwa dibandingkan revolusi. Tanpa revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh yang beraliansi dengan tani miskin, tidak ada satu pun solusi yang memungkinkan bagi rakyat Balkan. Program Marxis yang sejati adalah satu-satunya solusi, seperti yang dijelaskan oleh Trotsky dalam artikelnya “The Balkan Question and Social Democracy,” yang tampil di Pravda pada 1 Agustus, 1910:

“Satu-satunya jalan keluar dari kekacauan nasional dan pertumpahan darah di Balkan adalah persatuan seluruh rakyat semenanjung Balkan dalam satu entitas ekonomi dan politik tunggal, di atas basis otonomi nasional untuk tiap-tiap bangsa di dalamnya. Hanya dalam kerangka satu negara Balkan maka rakyat Serbia dari Makedonia, Sanjak, Serbia dan Montenegro dapat bersatu menjadi satu komunitas nasional-kultural yang tunggal, yang menikmati keuntungan pasar bersama. Hanya persatuan rakyat Balkan yang dapat sungguh-sungguh menghantam kemunafikan memalukan imperialisme Tsar dan Eropa.”[17]

Lenin juga membuat poin yang sama dalam artikelnya “The Balkan War and Bourgeois Chauvinism”:

“Rakyat Balkan dapat memenuhi tugas ini sepuluh kali lebih mudah daripada yang mereka lakukan sekarang dan dengan 100 kali lebih sedikit pengorbanan dengan membentuk Federasi Republik Balkan. Penindasan nasional, percekcokan dan provokasi nasional di atas basis perbedaan agama akan menjadi hal yang mustahil di bawah demokrasi yang penuh dan konsisten. Perkembangan yang sungguh pesat, luas dan bebas akan terjamin bagi rakyat Balkan.”[18]

Seperti Lenin, Trotsky melihat solusi untuk masalah Balkan bukan dalam garis nasional tetapi dalam garis kelas:

“Jaminan historis bagi kemerdekaan Balkan dan kebebasan Rusia terletak dalam kolaborasi revolusioner antara buruh Petersburg dan Warsawa dan buruh Belgrade dan Sofia.”[19]

Baris-baris di atas masih mempertahankan kebenarannya sampai hari ini, kecuali slogan Federasi Demokratik sekarang harus diganti dengan Federasi Sosialis Demokratik Rakyat Balkan, sebagai satu-satunya cara untuk menanggulangi warisan Balkanisasi yang penuh horor. Kapitalisme dan Stalinisme tidak punya jawaban untuk ini.

Awan Badai Berkumpul

Perang Balkan jelas mengungkapkan kecenderungan yang mengarah ke perang dunia. Ketegangan antar kekuatan-kekuatan imperialis besar telah menumpuk sampai pada titik kritis dimana insiden apapun dapat memercikkan perang besar. Satu-satunya harapan untuk menghindari perang bukanlah deklarasi pasifis tetapi gerakan revolusioner kelas buruh. Ini posisi yang diambil oleh Lenin dan Rosa Luxemburg di Kongres Internasionale Kedua sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama. Di permukaan, kekuatan yang ada di tangan gerakan sosialis internasional lebih dari cukup untuk menghentikan perang. Pada 1914, Internasionale Kedua adalah sebuah organisasi massa dengan 41 partai di 27 negara, dengan keanggotaan 12 juta buruh. Resolusi-resolusi yang ditelurkan di Kongres Stuttgart dan Basel mengikrarkan Internasionale Kedua untuk menentang perang dengan cara apapun.

Lenin mengambil posisi revolusioner mengenai perang. Ia bukan pendukung perang dan juga pada saat yang sama bukan pasifis. Di antara banyak fitnah yang dilemparkan ke Lenin, salah satu yang paling konyol adalah ia “menginginkan perang.” Fitnah ini mengalir dari kesalahpahaman akan gagasan “revolutionary defeatism” (kekalahan revolusioner) yang diusungnya. Ketika seorang jurnalis Polandia, Majkosen, bertanya pada Lenin sebelum Perang Dunia Pertama, bila perang akan mempercepat revolusi apakah dia lantas menginginkan pecahnya perang, Lenin menjawab:

“Tidak, saya tidak menginginkan itu ... Sekuat tenaga saya akan terus berjuang sampai akhir untuk menghentikan mobilisasi perang. Saya tidak ingin jutaan proletariat dipaksa untuk saling bantai demi kegilaan kapitalisme. Tidak boleh ada sedikitpun kesalahpahaman mengenai ini. Untuk secara objektif memprediksi perang, dan bila peristiwa yang malang ini terjadi lalu mengambil peluang darinya sebisa mungkin – ini satu hal. Untuk mendambakan perang dan lalu bekerja untuk mengobarkannya, ini sungguh berbeda.”[20]

Pada November 1912, Konferensi Darurat Internasionale Kedua di Basel diselenggarakan. Jumlah delegasi yang hadir menunjukkan kekuatan besar organisasi buruh sedunia – total ada 555 delegasi yang mewakili 23 negeri mendiskusikan isu terpenting hari ini. Di konferensi ini tendensi yang mendominasi adalah pasifisme. Jean Jaures, sosialis terkemuka dari Perancis, membacakan resolusi anti-perang: “Kaum proletariat menuntut perdamaian dengan sangat energetik.” Tetapi pernyataan umum “untuk perdamaian” seperti ini hanya secarik kertas tak berharga ketika perang pecah. Guna mengubah sentimen umum ini menjadi program anti-perang yang militan, dibutuhkan hal yang lain. Inilah mengapa Lenin mengajukan amandemen di Kongres Stuttgart pada 1907 yang menyatakan bahwa bila perang pecah maka kelas buruh akan mengambil peluang dari situasi ini untuk menumbangkan kapitalisme. Pada kenyataannya, ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan perang. Resolusi Lenin diterima secara bulat. Tetapi di kemudian hari, menjadi jelas kalau para pemimpin Internasionale Kedua hanya mendukung resolusi macam ini karena mereka tidak punya niat sama sekali untuk memenuhinya.

Demikianlah kebiasaan di hampir semua partai Internasionale Kedua. Program revolusioner disimpan rapat-rapat di dalam laci meja, disisipkan dalam-dalam di Konstitusi Partai, dan hanya dikeluarkan dan dibersihkan dari debu pada perayaan May Day untuk dibacakan, dan lalu disimpan kembali sampai tahun depan. Antara teori dan praktik, ada jurang yang tak terjembatani. Massa percaya pada tujuan sosialis partai, tetapi bagi kebanyakan pemimpin, yang sudah terjerat dalam dunia politik parlementer, sosialisme adalah sesuatu yang tidak relevan dan bahkan memalukan. Cara pandang mereka terangkum dengan sangat baik dalam frase yang diucapkan oleh sang Bapak Revisionisme, Eduard Bernstein: “Gerakan adalah segalanya, tujuan akhir bukanlah apa-apa.”

Tetapi sementara para pemimpin Internasionale Kedua meninabobokan buruh dengan visi perubahan dan reforma gradual yang damai, sistem kapitalisme sedang mempersiapkan guncangan besar bagi semua kelas dalam masyarakat. Perang Balkan tidak menyelesaikan satu hal pun, tetapi justru menaikkan suhu hubungan internasional dengan sangat tinggi. Makedonia dipecah antara Yunani dan Serbia. Rumania menganeksasi wilayah Bulgaria di Dobrudja selatan. Di Balkan barat, kekuatan imperialisme membentuk negara Albania. Tetapi Serbia, yang didukung Rusia, walaupun memang, dihalangi dari akses ke Laut Adriatic. Kalah dan dipermalukan di Perang Balkan Kedua, Bulgaria menunggu peluang untuk membalas dendam dan bergabung ke kamp Jerman dan Austria. Turki yang juga menderita kekalahan, karena khawatir akan pengaruh Rusia, juga merapat ke Jerman dan membangun aliansi pada Agustus 1914. Di sisi lain, Serbia dan Montenegro semakin merapat ke Rusia sebagai perlindungan dari Austria-Hungaria. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sazonov: “Tugas utama kita adalah menjamin emansipasi politik dan ekonomi Serbia.”[21] Dunia sedang meluncur tak terkendalikan ke peperangan.

Di Rusia, pers legal Bolshevik meluncurkan agitasi anti-perang secara konsisten, yang fokus mengekspos tujuan perang Tsarisme yang sesungguhnya di Balkan. Slogan Lenin adalah: “Menentang intervensi asing dalam Perang Balkan ... Perang melawan perang! Tolak intervensi! Untuk Perdamaian! Demikiannya slogan-slogannya kaum buruh.” Tidak seperti rengekan kaum pasifis, Lenin selalu mendekati masalah perang dari sudut pandang kelas, dengan mengekspos kepentingan kelas kapitalis yang bersembunyi di balik slogan-slogan patriotik. Artikel-artikelnya Lenin terus mengutuk kaum kapitalis dan manufaktur senjata dan membuka kedok Tsarisme Rusia, dengan menunjukkan basis material dan kelas mereka. Dia selalu bertanya layaknya pengacara: “cui prodest?” – siapa yang memperoleh keuntungan dari perlombaan senjata ini? Kita tidak boleh sama sekali berpihak pada satu sisi pun dalam konflik Balkan ini. Kepentingan rakyat Balkan tidak akan terlayani oleh perang. Dan gagasan kalau hak penentuan nasib sendiri untuk satu atau bangsa Balkan lainnya dapat menjadi justifikasi untuk menyeret seluruh Eropa ke peperangan adalah gagasan yang keji. Pada 1915, Lenin menjelaskan bila saja perang ini hanyalah masalah konflik militer antara Serbia dan Austria saja, maka kita harus mendukung Serbia, dari sudut pandang hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Akan tetapi, hak ini tidak pernah dianggap Lenin sebagai sesuatu yang absolut di semua waktu dan kondisi. Perjuangan untuk hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Serbia atau rakyat lainnya sama sekali tidak membenarkan perang yang menyeret seluruh dunia ke dalamnya. Dalam hal ini, hak penentuan nasib sendiri adalah subordinat pada kepentingan kelas buruh dan revolusi dunia.

Pengaruh Bolshevik Tumbuh

Para perwakilan Bolshevik di Duma juga memenuhi tugas mereka dalam masalah Perang Balkan. Pada 12 Juni, 1913, Badayev mengumumkan penolakan Bolshevik untuk mendukung anggaran perang di Duma, dengan slogan yang berani: “Tidak sepeser pun untuk anggaran senjata.” Agitasi massa diorganisir untuk menentang perang, dengan resolusi-resolusi dari pabrik yang mengecam Perang Balkan dan ancaman perang dunia. Pada saat yang sama ada demonstrasi-demonstrasi anti-perang di Jerman, Perancis dan Inggris. Dengan semakin dekatnya tahun 1914, ada pemogokan-pemogokan dan demo-demo besar untuk memperingati Hari Minggu Berdarah pada 9 Januari. Di St. Petersburg, Riga, Moskow, Nikolaev, Warsawa, Tyer, Kiev, Kheso, Drinsk, dan sentra-sentra buruh lainnya, 260 ribu orang berpartisipasi dalam demo-demo. Dan ini hanya permulaan saja. Dari 17 sampai 20 Maret di St. Petersburg ada 156 ribu buruh yang mogok, di Riga 60 ribu, di Moskow 10 ribu. Atmosfernya sangat panas. Rusia dengan cepat bergerak ke situasi revolusioner yang baru. Pada 22 April, para perwakilan Bolshevik, Menshevik dan Trudovik dikeluarkan dari Duma dengan alasan mereka “menghalang-halangi” Duma. Lebih dari 100 ribu buruh berpartisipasi dalam pemogokan politik di Moskow dan St. Petersburg.

Satu gelombang pemogokan menyusul yang lain. Pada 1 Mei lebih dari setengah juta buruh mogok dan berdemonstrasi: di St. Petersburg 250 ribu, di Riga 44 ribu, di Moskow 32 ribu, di Kaukasus sekitar 20 ribu. Dalam hal ukuran dan sapuannya, gerakan ini bahkan melebihi Revolusi 1905. Lenin, dalam artikelnya “May Days of Revolution,” menunjukkan bahwa ada dua prasyarat dalam sebuah situasi pra-revolusioner: massa rakyat tidak bisa hidup seperti sebelumnya dan kelas penguasa tidak dapat berkuasa seperti sebelumnya. Ini jelas sedang terjadi di Rusia. Menjelang Perang Dunia, Rusia sekali lagi sedang bergerak dengan cepat ke arah revolusi yang baru. Gerakan buruh terus mendidih. Badayev, yang mengurusi kerja komite St. Petersburg, menulis ini mengenai pertumbuhan pengaruh partai:

“Semua aktivitas di Distrik St. Petersburg sekarang dikendalikan oleh Komite St. Petersburg, yang telah berfungsi sejak musim gugur tahun lalu. Komite punya kontak di semua pabrik dan menerima informasi mengenai semua perkembangan di sana. Bentuk organisasi di distrik adalah seperti demikian: di tingkatan pabrik, anggota-anggota partai membentuk nukleus di berbagai bengkel dan delegasi-delegasi dari nukleus membentuk sebuah komite pabrik (di pabrik-pabrik yang kecil, anggota-anggota bisa langsung membentuk komite). Setiap komite pabrik, atau nukleus bengkel di pabrik-pabrik besar, menunjuk seorang bendahara yang pada hari gajian memungut iuran dan dana-dana lainnya untuk buku, langganan koran, dsb. Seorang pengendali juga ditunjuk untuk mengunjungi lokasi-lokasi dimana dana digalang, untuk memeriksa supaya jumlah uang yang diterima akurat dan mengumpulkan uang tersebut. Dengan sistem ini korupsi dapat dihindari.”

“Setiap komite distrik memilih secara rahasia sebuah komisi eksekutif dengan tiga anggota. Komite secara keseluruhan tidak boleh tahu siapa saja yang menjadi anggota komisi eksekutif.”

“Komisi-komisi eksekutif distrik mengirim delegasi ke Komite St. Petersburg, dan nama-nama delegasi ini tidak boleh diketahui oleh seluruh komite distrik. Komite St. Petersburg juga memilih sebuah komisi eksekutif yang beranggotakan tiga orang. Kadang-kadang, untuk alasan keamanan, tidak dianjurkan untuk memilih perwakilan dari komisi distrik dan mereka ditunjuk oleh Komite St. Petersburg.”

“Berkat sistem ini, sulit bagi polisi rahasia untuk mengetahui siapa anggota Komite St. Petersburg, yang memungkinkannya melanjutkan kerjanya, memandu aktivitas dari berbagai organisasi, menyerukan pemogokan politik, dsb.”

“Komite sangatlah dihormati oleh buruh, yang, di semua isu penting, menunggu panduan Komite dan mengikuti instruksi-instruksinya. Perhatian khusus diberikan ke selebaran-selebaran yang diterbitkan Komite dari waktu ke waktu.”

“Organisasi-organisasi serikat buruh St. Petersburg telah memutuskan untuk tidak menyerukan pemogokan politik atas inisiasi mereka sendiri. Mereka memutuskan untuk hanya bertindak atas instruksi dari Komite St. Petersburg. Komitelah yang mengeluarkan seruan mogok pada 9 Januari, 4 April dan 1 Mei. Kaum buruh sungguh menentang dibredelnya Pravda dan ingin mogok, tetapi Komite memutuskan agar aksi mogok ini dipersiapkan dengan baik terlebih dahulu dan selebaran penjelasan diterbitkan untuk menjangkau massa. Dalam beberapa hari koran yang lain muncul dan karena koran ini mengikuti kebijakan yang sama buruh merasa yakin. Walaupun tidak ada seruan mogok, sekitar 30 ribu buruh mogok.”

“Selebaran sangatlah penting dan Komite membaktikan banyak energi untuk menyempurnakan mesin cetak dan distribusi mereka. Komite terdiri sepenuhnya dari buruh, dan kami menulis selebaran kami sendiri dan kesulitan menemukan kaum intelektual untuk membantu menyunting selebaran kami.”

“Pemogokan-pemogokan politik St. Petersburg, jauh dari menghancurkan organisasi, justru menguatkannya. Kita dapat katakan kalau organisasi St. Petersburg bangkit kembali, menjadi kuat, dan tumbuh karena gerakan pemogokan politik. Sahutan-sahutan dari kaum Likuidator mengenai “demam mogok” menunjukkan kalau mereka sungguh terpisah dari organisasi buruh dan kehidupan massa; mereka sama sekali gagal memahami apa yang sedang terjadi di antara buruh. Dari posisi saya di pusat gerakan kelas buruh St. Petersburg, saya melihat di mana-mana meningkatnya kekuatan buruh, bagaimana kekuatan ini menunjukkan dirinya dan akan menghancurkan semua rintangan di depannya.”

“Resolusi-resolusi Konferensi Krakow dibaca dan dipelajari oleh buruh di pabrik-pabrik dan seluruh kerja organisasi kami dilakukan sesuai dengan semangat resolusi-resolusi tersebut. Kebenaran mereka terbukti sepenuhnya dalam praktik. Saya, yang terlibat aktif, merasa pada saat itu bahwa garis kebijakan partai tepat. Jarang sekali saya bertemu atau mendengar mengenai seorang Likuidator. Awalnya ini mengejutkan saya, tetapi kemudian, di sebuah pertemuan buruh metal, saya baru tahu kalau mereka hampir-hampir tidak eksis di St. Petersburg.”[22]

Pengaruh Bolshevik terus menyebar ke lapisan-lapisan baru kelas buruh, ke kaum muda dan kaum perempuan. Pravda adalah senjata utama kerja ini. Sirkulasinya tumbuh sampai 40.000 per hari, dimana korannya Menshevik, Luch, maksimum terjual 16.000. Kaum Bolshevik selalu memperhatikan dengan sangat serius masalah kerja revolusioner di antara buruh perempuan. Lenin, terutama, menekankan pentingnya masalah ini, terutama selama periode kebangkitan revolusioner 1912-14, dan selama Perang Dunia Pertama. Pada periode inilah Hari Perempuan Internasional, 23 Februari (8 Maret), mulai dirayakan dengan demonstrasi. Bukanlah kebetulan kalau Revolusi Februari dimulai oleh demonstrasi di seputar Hari Perempuan, ketika kaum perempuan turun ke jalan mendemo perang dan biaya hidup yang semakin tinggi.

Kaum Sosial Demokrat telah memulai kerja yang konsisten di antara buruh perempuan selama periode kebangkitan 1912-14. Kaum Bolshevik mengorganisir pertemuan Hari Perempuan Internasional yang pertama di Rusia pada 1913. Pada tahun yang sama, Pravda mulai secara reguler menerbitkan satu halaman yang ditujukan khusus untuk masalah-masalah yang dihadapi kaum perempuan. Kaum Bolshevik meluncurkan koran kaum perempuan, Rabotnitsa (Buruh Perempuan), pada 1914. Edisi pertama terbit pada Hari Perempuan Internasional, dengan demonstrasi yang diorganisir oleh partai. Koran ini dibredel pada bulan Juli bersamaan dengan koran-koran buruh lainnya. Koran Bolshevik didukung secara finansial oleh kaum buruh perempuan dan didistribusikan oleh mereka di tempat-tempat kerja. Koran ini melaporkan kondisi dan perjuangan buruh perempuan di Rusia dan luar negeri, dan mendorong kaum perempuan untuk bergabung dalam perjuangan bersama dengan buruh laki-laki. Koran ini mendorong mereka untuk menolak gerakan perempuan yang diinisiasi oleh kaum perempuan borjuis menyusul Revolusi 1905.

Satu masalah kunci adalah perjuangan untuk memenangkan kepemimpinan dalam serikat-serikat buruh, dimana kaum Menshevik umumnya kuat. Sebelum Perang Dunia Pertama, di kebanyakan negeri serikat buruh mewakili minoritas kelas buruh dan didominasi oleh buruh-buruh terampil yang menikmati gaji yang lebih tinggi dan kondisi yang lebih baik dibandingkan buruh-buruh lainnya. Lapisan ini, yang Marx sebut sebagai “aristokrasi buruh,” sering kali ada di bawah pengaruh kaum liberal dan bukanlah kebetulan kalau serikat-serikat buruh, terutama lapisan kepemimpinannya, punya kecenderungan alami ke konservatisme dan oportunisme. Rusia bukanlah pengecualian, yang menjelaskan mengapa kaum Menshevik umumnya lebih kuat dibandingkan kaum Bolshevik dalam serikat-serikat buruh.

Serikat-serikat buruh St. Petersburg adalah termasuk yang terkuat dan paling terorganisir, dan pada 1914 memiliki 30.000 anggota. Di seluruh Rusia, tidak lebih dari 100.000 buruh terorganisir dalam serikat buruh, dan ini persentase kecil dari seluruh tenaga kerja. Walaupun demikian, sebagai unit dasar kelas buruh, serikat buruh memiliki signifikasi fundamental bagi tendensi politik manapun yang ingin memenangkan kepemimpinan massa. Kendati semua kesulitan, kaum Bolshevik melakukan kerja revolusioner yang sabar bahkan di serikat yang paling birokratik dan reaksioner guna memenangkan mayoritas buruh. Dan akhirnya kerja yang sulit dan sabar ini dimahkotai dengan kesuksesan.

Pada 1913-14, kaum Bolshevik mampu mengorganisir intervensi di semua kongres serikat buruh dan meluncurkan oposisi terhadap sayap kanan. Pada musim panas 1914, kaum Bolshevik telah memenangkan mayoritas serikat buruh di Moskow dan St. Petersburg. Di St. Petersburg, dari 19 serikat buruh, 16 mendukung Bolshevik dan hanya tiga (serikat juru gambar, juru tulis dan ahli kimia) yang mendukung Menshevik. Di Moskow, semua 13 serikat buruh ada dengan Bolshevik. Mengingat pengaruh Menshevik umumnya di serikat buruh, pencapaian ini sangatlah spektakuler, dan menunjukkan gejala perubahan besar dalam mood kelas buruh.

Di bawah dorongan gerakan massa revolusioner kaum sayap kanan mulai kehilangan basis dukungan tradisional mereka di antara lapisan buruh terampil dan serikat buruh. Pernyataan-pernyataan para pemimpin Menshevik selama periode ini menyediakan pengakuan blak-blakan bahwa mereka semakin terisolasi dari kelas buruh. A.L. Chkhenkeli, anggota Duma untuk wilayah Kars dan Batum, mengeluh di sebuah pertemuan fraksi Duma Menshevik pada Januari 1914 bahwa “kita telah kehilangan semua ikatan kita dengan kelas buruh.” Evaluasi ini dikonfirmasi secara resmi di pertemuan Komite Organisasi Menshevik pada Februari yang mengakui bahwa “fraksi Duma [Menshevik] sangat terpisah dari rakyat.” Tidaklah sulit untuk menemukan alasan mengapa Menshevik kehilangan dukungan. Seluruh kebijakan mereka didasarkan pada koneksi mereka dengan kaum borjuis liberal. Mereka mencari solusi dari kelas atas dan bukan dari kelas bawah. Sebagai konsekuensi, kebangkitan gerakan massa dalam bentuk gelombang pemogokan besar mengejutkan mereka. Pada kenyataannya mereka menganggap gelombang pemogokan ini sebagai sesuatu yang mengganggu, karena mereka takut kehilangan sahabat-sahabat liberal mereka. Sikap tidak percaya pada gerakan massa terikat erat dengan keseluruhan konsepsi mereka mengenai Revolusi Rusia, yang mereka lihat sebagai Revolusinya kaum borjuasi. Massa rakyat diminta untuk bersikap bertanggung jawab, menerima peran mereka sebagai kacung borjuasi, dan tidak menuntut “terlalu banyak.”

Robert McKean menulis:

“Kaum Menshevik juga tetap sangat ambivalen dalam sikap mereka terhadap gerakan pemogokan. Pada tingkatan tertentu keraguan mereka datang dari interpretasi mereka yang berbeda mengenai bentuk revolusi borjuis dalam kondisi-kondisi Rusia dan watak dari krisis yang sekarang berkecamuk ... [Akan tetapi] yang ditakuti oleh kaum intelektual Marxis adalah bahwa gejolak buruh yang tampaknya terus berlanjut dan di luar kendali ini akan mengasingkan para sekutu “borjuis” yang potensial.”

Dalam sebuah artikel di Nasha Zarya Dan memperingatkan bahwa “dalam perjuangan politik pemogokan tidak selalu merupakan metode yang bijaksana.”[23] Bagi para pemimpin reformis, pemogokan, atau inisiatif massa apapun dari bawah, tentu saja tidak pernah “bijaksana.” Tetapi massa melihatnya secara berbeda, dan segera belajar bagaimana membedakan antara pemimpin dan organisasi yang mendukung mereka dalam perjuangan dan mereka-mereka yang jadi pemadam api bagi para kapitalis.

Kaum Bolshevik tidak memiliki keraguan semacam itu, dan sebagai konsekuensinya pengaruh mereka dengan cepat meluas di serikat-serikat buruh, terutama di serikat-serikat industri kunci, seperti buruh metal. Bahkan serikat-serikat yang secara tradisional adalah basisnya Menshevik, seperti buruh percetakan, bergerak menjauhi kaum Likuidator, yang semakin terisolasi dan terdiskreditkan. Pada musim panas 1913, kaum Menshevik kalah dalam pemilihan serikat percetakan Moskow. Hal yang sama terjadi di kawasan Baltik pada musim gugur. Pada April 1914 kaum Bolshevik memenangkan separuh posisi-posisi kepemimpinan serikat-serikat buruh cetak Petersburg. Kerja memenetrasi serikat buruh yang energetik dan berhasil ini adalah geladi resik untuk Revolusi 1916. Kombinasi pintar dari kerja bawah tanah yang ilegal dan penetrasi ke dalam organisasi-organisasi buruh legal – serikat buruh, koperasi, badan asuransi, pers legal, dan Duma – terbukti sebagai satu-satunya jalan yang tepat.

Statistik serikat buruh – yang hanya mencakup minoritas kecil buruh, walaupun minoritas kecil yang penting – sama sekali tidak memberi gambaran penuh akan kekuatan Partai pada saat itu. Di kebanyakan kota, kaum Bolshevik telah memenangkan pengaruh besar di hampir semua klub dan asosiasi buruh, yang di bawah pengaruh partai mulai mengambil karakter politik. Di banyak wilayah (terutama di provinsi-provinsi) klub-klub ini menjadi pusat aktivitas revolusioner. Begitu juga dengan koperasi-koperasi di Ukraina dan tempat-tempat lain, dan di lembaga-lembaga asuransi dan swadaya buruh (kassy). Dengan berpartisipasi dalam kerja macam ini, yang memperhatikan masalah-masalah sehari-hari buruh dan keluarga mereka, kaum Bolshevik dapat membina kontak dengan lapisan-lapisan lain: pedagang kecil, akuntan, buruh rel kereta api, pegawai negeri, artisan, dan seksi-seksi non-proletariat lainnya. Di St. Petersburg, Moskow, Riga, Baku, dsb., kerja legal dilakukan oleh kaum Bolshevik bahkan di klub-klub olahraga, musik, dan drama. Kerja sabar dan lambat ini, di lingkungan yang tampaknya tidak menjanjikan, pada akhirnya membuahkan hasil. Bagaimanapun juga, kerja revolusioner yang sesungguhnya sama sekali bukan kerja yang glamor, tetapi 90 persen adalah kerja yang justru membosankan dan tidak spektakuler untuk menancapkan akar di massa di manapun mereka berada.

Guna membangun hubungan dengan kaum tani dan proletariat desa – sebuah tugas yang vital bagi sebuah partai massa di Rusia – kaum Bolshevik meluncurkan slogan: “Sebar kabar revolusioner ke desa-desa.” Pravda menerbitkan surat-surat dari kaum tani di samping surat-surat dari buruh. Kaum Bolshevik juga tidak mengabaikan kerja di antara kaum mahasiswa dan intelektual. Grup pendidikan tinggi Petersburg (yang melibatkan semua faksi Sosial Demokratik) di bawah kepemimpinan Bolshevik memiliki sekitar 100 anggota, yang relatif masih lemah. Ini mencerminkan melemahnya pengaruh revolusioner di antara kaum intelektual di periode sebelumnya, tetapi sekarang Grup ini mulai tumbuh kembali. Partai Bolshevik, dengan ini, mempraktikkan slogan lama kaum Narodnik, “Turun ke bawah!” Tetapi mereka melakukannya di atas basis yang lebih tinggi, dengan senjata program yang ilmiah dan kebijakan proletariat yang revolusioner. Keseluruhan kebijakan Partai Bolshevik dapat diringkas seperti demikian: kaum proletariat harus berjuang untuk menempatkan dirinya sebagai pemimpin dari setiap lapisan yang tertindas dalam masyarakat, dan Partai harus berjuang untuk memenangkan kepemimpinan proletariat.

Kaum Bolshevik Menjelang Perang

Merasakan gempa di bawah kaki mereka, kaum liberal borjuis mulai menjauhkan diri mereka dari pemerintah dan menuntut reforma. Mereka sendiri merasa takut dan mencoba menekan pemerintah untuk memberikan konsesi. “Reforma sebelum terlalu terlambat!” Inilah pekik perjuangan mereka. Mereka terdorong oleh konflik yang semakin tajam antara “sayap reformis” dan “sayap reaksioner” dalam rejim, yang berlangsung bersamaan dengan konflik antara Partai Kadet dan autokrasi. Bahkan para menteri melakukan mogok pada 1913. Seperti biasa, perpecahan di atas adalah peringatan pertama akan datangnya krisis revolusioner. Menteri Interior, Maklakov, menulis kepada Tsar dengan nada khawatir: “Ada keresahan di antara para buruh pabrik,” dan menganjurkan represi. Seperti biasa anjuran ini disetujui oleh Tsar tetapi ditolak oleh Perdana Menteri Kokovstov, yang merupakan indikasi lebih lanjut dari kebimbangan dan perpecahan di atas. Pemerintah jadi ragu-ragu dan berseteru di antara diri mereka sendiri mengenai mana cara terbaik untuk mengatasi keresahan rakyat: menggunakan tangan besi atau sarung tangan sutra.

Elemen-elemen yang paling reaksioner sekarang telah mendominasi pemerintah. Dengan semakin dekatnya perang, semua menjadi lebih jelas dan tajam. Semua elemen kebingungan dan ambigu lenyap. Kaum liberal “jalan-tengah”, pembuat kompromi, dan semua figur dan kelompok aksidental dengan tanpa belas kasihan tersapu ke samping. Dan pada akhirnya hanya tersisa dua tendensi yang mengajukan pada masyarakat dua pilihan yang keras: Revolusi atau reaksi. Kaum liberal, dengan putus asa, mencoba bersandar pada kelas buruh dan mencapai semacam kesepakatan. Pada Maret 1914, kaum Kadet membentuk semacam “komite oposisi” dan bahkan melibatkan seorang Bolshevik di dalamnya (I.I. Skvortsov-Stepanov). Walaupun kaum liberal dikenal dengan sangat baik tidak punya tulang punggung, Dan dan kaum Menshevik lainnya menaruh harapan mereka pada komite oposisi ini.

Setelah mendengar kabar ini, Lenin melihat ini sebagai sebuah gejala yang penting. Lenin menganjurkan Skvortsov-Stepanov untuk ikut serta guna mendapatkan informasi akurat sejauh mana kaum liberal berani bertindak, yakni sejauh mana orang-orang berduit ini siap memberi sumbangan dana untuk membantu mengembangkan pers ilegal, dsb. Jawabannya, seperti yang telah diprediksi, tidak jelas! Kaum kadet (dan terutama sekutu mereka kaum Oktobris) tidak punya niat serius untuk melawan rejim atau membantu revolusi. Mereka memohon pada birokrasi untuk “mengubah diri mereka” guna menyelamatkan keseluruhan sistem yang ada, bukan untuk menumbangkannya. Kaum Menshevik melakukan kesalahan “kecil” membingungkan revolusi dengan kontra-revolusi yang berkedok demokrasi. Menghadapi kelas buruh, kaum liberal dan kaum reaksioner niscaya merapat dalam satu blok reaksioner. Perbedaan sesungguhnya antara kaum liberal dan pemerintah adalah bagaimana cara terbaik mematahkan kelas buruh. Walaupun demikian, seperti yang Lenin katakan, kita harus bisa menggunakan perpecahan ini dengan mahir, tetapi tidak menyebar ilusi terhadap kaum liberal seperti yang dilakukan oleh Menshevik.

Secara objektif situasinya sudah matang untuk revolusi, tetapi faktor yang menentukan adalah faktor subjektif, yakni kemampuan kelas buruh dan kepemimpinannya untuk mengambil peluang dari situasi yang ada guna menumbangkan autokrasi dan merebut kekuasaan. Partai sudah menjadi lebih kuat dibandingkan sebelumnya, terutama setelah berpisah dengan kaum oportunis. Tetapi perang menghentikan semua proses ini. Pada musim semi 1914 koran Pravda memiliki oplah harian hampir 40.000, tetapi bahkan lebih banyak yang sesungguhnya tersebar dan dibaca di pabrik-pabrik. Pravda pada April 1914 memiliki 8.858 pelanggan di 740 daerah di Rusia. Pada Juni jumlah ini meningkat menjadi 11.534 di 944 daerah. Kaum Likuidator mengajukan permohonan “persatuan” hanya ketika Bolshevik sudah, dalam praktik, memenangkan mayoritas kelas buruh. Pada musim semi 1914, pada hari jadi kedua Pravda (22 April) – ada kampanye penggalangan dana. Semua kelompok partai, sel-sel serikat buruh, kelompok-kelompok pabrik, lembaga kebudayaan, dsb. terlibat. Kampanye ini menerima sambutan dan donasi dari 1.107 kelompok buruh. Selain Pravda, juga ada jurnal teori Prosveshcheniye (Pencerahan), dan juga koran-koran regional dan lokal lainnya.

Kendati progres yang luar biasa ini, menjelang periode kebangkitan revolusioner yang baru ini, Lenin agak resah. Walaupun dia mengakui kerja baik yang sudah dilakukan di lapangan, dia menilai Komite Pusat cenderung terlambat di belakang:

“Walaupun ada kemajuan besar dalam wilayah agitasi dan propaganda partai selama dua atau tiga tahun terakhir periode kebangkitan baru ini, dalam wilayah konsolidasi organisasi, sampai saat ini, relatif tidak banyak yang telah diraih.”[24]

Lenin tidak hanya kritis pada KP tetapi juga pada dewan redaksi Pravda. Dia melihat perlunya darah baru, perlunya memperbaharui badan-badan kepemimpinan dengan lapisan buruh yang baru. Ini berarti semacam taruhan, tetapi lebih baik daripada stagnasi dan ketergantungan berlebihan pada “orang-orang lama,” yang sebagian telah jatuh ke rutinisme dan konservatisme. Harus ada keseimbangan. Lenin, yang selalu sabar, bijak dan loyal, selalu siap mempertahankan kamerad-kamerad lama, tetapi juga selalu mencari talenta baru. Ini adalah bagian paling penting dari seni kepemimpinan. Lenin terus menuntut dimasukkannya buruh-buruh segar ke badan-badan kepemimpinan. Kongres partai yang baru sekarang sedang dipersiapkan. Sekali lagi kaum Likuidator menentangnya. Mereka menuduh kongres ini sebagai “pertemuan pribadi kliknya Lenin.” Tetapi protes mereka tidak menemukan gaungnya.

Kaum Likuidator terus mengeluh dan mengumumkan berbagai macam rencana – untuk membentuk sebuah komite federal yang akan menyerukan kongres bersama atau semacamnya, dan semua rencana mereka ditolak. Kaum Bolshevik sekarang yang punya kendali. Mereka punya pasukan di lapangan. Kaum Likuidator tidak. Situasinya sudah begitu jelas sehingga tidak ada lagi alasan untuk konsiliasi. Kaum Bolshevik sekarang menolak proposal persatuan, tetapi membuat jelas kalau setiap kelompok buruh di Rusia yang bonafide akan diundang untuk mengirim delegasi mereka ke kongres, terlepas tendensi politik mereka. Masalah “persatuan” telah diselesaikan dalam praktik. “Blok Agustus,” yang sarat dengan kontradiksi internal sejak kelahirannya, akhirnya pecah pada awal 1914. Kaum Sosial Demokrat Latvia – satu-satunya organisasi massa yang diwakili di “Blok Agustus” – pecah darinya dan seluruh blok ini luluh lantak. Trotsky sudah mundur dari jurnal-jurnal kaum Likuidator dan pada Februari 1914 mencoba menerbitkan sebuah jurnal “non-faksional” baru, Bor’ba. Tetapi waktu untuk usaha macam ini sudah lama berlalu. Dengan humornya yang kering, Lenin berkomentar bagaimana para pemersatu bahkan tidak bisa bersatu di antara diri mereka sendiri. Dengan putus asa kaum Menshevik mencoba meminta bantuan Internasional Kedua. Tetapi setelah sikap Internasional Kedua pada perseteruan sebelumnya, Lenin merasa waspada. Dia menganggap usaha untuk mencari seorang mediator yang jujur sebagai sebuah lelucon. Tetapi karena otoritas Internasional Kedua, menolak tawaran mediasi dari mereka tidak akan bisa dipahami. Maka dari itu kaum Bolshevik memutuskan untuk berpartisipasi dalam “pertemuan unifikasi” yang diserukan oleh Biro Internasional, dengan tujuan “mengekspos fiksi Blok Agustus.”[25]

Pada pertemuan ini, yang berlangsung di Brussel pada Juli 1914, kaum Bolshevik diwakili oleh para pemimpin lapisan keduanya. Yang juga hadir adalah kaum Menshevik Likuidator, kelompok Bor’ba-nya Trotsky, kelompok Yedinstvo (Persatuan)-nya Plekhanov, para perwakilan Duma Menshevik, Vperyod, Bund, Latvia, Lituania dan tiga kelompok Polandia. Internasional Kedua mengirim sejumlah tokoh besarnya untuk memaksa pernikahan instan antara dua kecenderungan politik yang tak terdamaikan dengan cara-cara birokratik. Ini cukup logis bagi orang-orang yang sejak lama telah menanggalkan prinsip demi apa yang disebut Realpolitik. Ketua pertemuan ini adalah pemimpin Sosial Demokrasi Belgia Vandervelde[26], bersama dengan Huysmans[27] dan Kautsky. Selama pertemuan ini, Kautsky mengutarakan kata-kata profetik bahwa, “Di Jerman tidak ada perpecahan, kendati perbedaan antara Rosa Luxemburg dan Bernstein,” sebuah kalimat yang dalam waktu dekat terbukti kopong dan palsu. Pertemuan ini lalu menerima resolusi Kautsky bahwa tidak ada perbedaan dalam Sosial Demokrasi Rusia yang seharusnya menghalangi persatuan. Tetapi kaum Bolshevik tetap teguh pada pendirian mereka, kendati tekanan dari semua sisi. Di pertemuan ini, yang berlangsung selama 3 hari, para perwakilan Bolshevik menolak pretensi Internasional Kedua untuk bertindak sebagai pengadilan arbitrase. Mereka tidak melihat adanya alasan untuk membuat konsesi pada saat ini. Vandervelde mengancam akan mengecam Bolshevik pada Kongres Internasional mendatang. Pada kenyataannya, Kongres selanjutnya tidak akan pernah diselenggarakan. Peristiwa-peristiwa besar akan menghancurleburkan Internasional Kedua yang tua ini, dan dengan kejam mengekspos semua kebohongan, setengah-kebenaran, dan kepalsuan yang jadi pijakannya.

 Kelemahan kaum borjuasi Rusia, dan ketergantungannya pada kapital asing, pada gilirannya menentukan kebijakan luar negeri rejim Tsar, yang menemukan dirinya sebagai partner junior dalam aliansi dengan imperialisme Anglo-Perancis. Pada 1912, dalam praktik semua hal sudah tersubordinasi pada masalah perang. Kebijakan Tsarisme didikte oleh keperluan perang kelas penguasa autokrasi dan tuan tanah, yang sama dengan para bankir dan kapitalis Rusia. Kebijakan ini terdiri dari penaklukan wilayah, pasar dan sumber-sumber bahan mentah, yakni kebijakan klasik imperialisme dan ekspansionisme. Kelas borjuasi Rusia, termasuk sayap “liberalnya”, puas menjadi kacung autokrasi dengan harapan meraup laba besar dari perang. Tetapi menjelang perang, autokrasi sekali lagi berhadap-hadapan dengan revolusi.

Menjelang Perang Dunia Pertama, gerakan revolusioner bahkan lebih kuat dan lebih luas dibandingkan dengan Revolusi 1905. Lebih penting lagi, kesadaran kelas buruh ada di tingkatan yang lebih tinggi, yang dicerminkan oleh mayoritas Bolshevik. Trotsky di kemudian hari berkomentar:

“Untuk memahami dua tendensi utama dalam kelas buruh Rusia, kita harus memahami bahwa Menshevisme akhirnya mengambil bentuk pada tahun-tahun kemunduran dan reaksi. Mereka bersandar terutama pada lapisan kecil buruh yang telah pecah dengan revolusi. Sementara Bolshevisme, yang remuk selama periode reaksi, mulai bangkit kembali dengan pesat di atas gelombang revolusioner pada tahun-tahun sebelum pecahnya perang. ‘Elemen yang paling energetik dan berani, yang siap berjuang tanpa merasa letih, yang siap melawan dan terus membangun organisasi, inilah elemen, organisasi-organisasi dan orang-orang yang berhimpun di sekitar Lenin.’ Dengan kalimat ini Departemen Kepolisian menilai kerja kaum Bolshevik selama tahun-tahun menjelang perang.”[28]

Keunggulan Bolshevik terungkap oleh sejumlah fakta. Pada pemilu Duma Keempat, kaum Bolshevik memenangkan enam dari sembilan kursi buruh. Di kampanye politik seputar pembentukan fraksi Duma yang independen, para perwakilan Bolshevik menerima lebih dari 69% tandatangan buruh. Setelah terbentuknya fraksi Duma Bolshevik yang independen pada Oktober 1913, kaum Likuidator hanya menerima dukungan dari 215 kelompok buruh, sementara para perwakilan Bolshevik mendapat dukungan dari 1.295 kelompok buruh, atau 85,7 persen! Statistik-statistik lainnya memberikan indikasi dominannya pengaruh Bolshevik. Pada 1913, korannya kaum Likuidator mendapat dukungan dari 661 kelompok buruh, sementara Pravda menerima dukungan 2.181 kelompok buruh (77 persen). Pada 1914, perbandingannya adalah 671 banding 2.873 (81 persen). Oleh karenanya, walaupun sulit mendapat angka yang akurat karena kondisi kerja ilegal dan semi-legal, kita dapat mengatakan dengan cukup pasti bahwa kaum Bolshevik didukung setidaknya oleh tiga perempat buruh yang terorganisir.

Gerakan buruh tumbuh dari hari ke hari. Perjuangan terus meluas dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Pemogokan 50 ribu buruh minyak di Baku dimulai pada Mei 1914. Pemogokan solidaritas dengan Baku berlangsung di St. Petersburg, Moskow, Kharkov, Kiev, Rostov dan Nikolaev. Pada 1 Juli, komite partai di St. Petersburg menyerukan slogan: “Kamerad-kamerad Baku, kami bersama dengan kalian! Kemenangan buruh Baku adalah kemenangan kita semua!” Suhu politik naik dengan cepat. Pada hari itu, sebuah rapat akbar yang dihadiri 12 ribu buruh di pabrik Putilov dibubarkan oleh polisi, dengan 50 luka-luka dan 2 mati. Berita dari Petersburg ini mengejutkan seluruh Rusia. Pada 4 Juli ada 90.000 buruh yang mogok. Komite Pusat Bolshevik menyerukan pemogokan umum tiga hari sebagai uji kekuatan. Pada 7 Juli, pemogokan ini melibatkan hampir 130.000 buruh.

Selama pemogokan ini, Presiden Perancis Poincare sedang berada di Petersburg untuk mendiskusikan hal-hal sensitif mengenai situasi internasional dengan Tsar. Sementara dua orang ini dengan tenang mendiskusikan perang dunia yang akan datang, sebuah perang lainnya sedang meledak di jalan-jalan St. Petersburg. Pusat ibukota dipenuhi polisi dan tentara yang berbenturan dengan buruh. Walaupun pemogokan ini hanya diserukan untuk tiga hari, tetapi gelombang pemogokan ini pada kenyataannya terus bergulir tak terhentikan.

Statistik pemogokan di bawah menunjukkan situasi yang sesungguhnya sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama: pada 8 Juli 150.000 buruh mogok, pada 9 Juli, 117.000; 10 Juli, 111.000; 11 dan 12 Juli, lebih dari 130.000.[29]

Pemerintah memukul balik. Pravda dibredel pada 8 Juli dan kaum Bolshevik ditangkapi di mana-mana. Markas-markas serikat dan klub-klub buruh ditutupi. Ini sama saja secara resmi mengakui bahwa pada Juli 1914 Rusia sekali lagi ada dalam situasi revolusioner. Fakta ini tidak bisa ditutupi dengan sejumlah penangkapan. Pada musim panas, gerakan pemogokan sudah melebihi pemogokan pada 1905. Satu setengah juta buruh berpartisipasi dalam pemogokan, dan kebanyakan bersifat politik. Tetapi ada juga kelemahan: gerakan ini umumnya terkonsentrasikan di St. Petersburg, Moskow dan sentra-sentra industri lainnya. Pada 1905, gerakan jauh lebih luas. Pada 1905, Petersburg mencakup 20 persen dari total statistik pemogokan. Pada 1912-13, 40 persen dan pada 1914 lebih dari 50 persen.

Statistik ini menunjukkan adanya jurang yang lebar antara lapisan pelopor proletariat, yang terkonsentrasikan di St. Petersburg dan sentra-sentra industri lainnya, dengan massa yang lebih terbelakang, terutama di provinsi-provinsi, dan kaum tani. Dibutuhkan sejumlah waktu dan pengalaman sebelum wilayah-wilayah lain dapat mengejar ketertinggalan mereka. Masih terlalu dini untuk pertempuran akhir, walaupun ada cukup banyak ketidaksabaran dan kecenderungan ultra-kiri di antara kaum Bolshevik muda. Selapisan kaum muda di Petersburg tidak sabar ingin menyerang. Sebuah kelompok ultra-kiri, yang dipimpin oleh selapisan serikat pekerja roti, membentuk “komite Bolshevik kiri” dan mendorong diluncurkannya pertempuran barikade. Anak-anak muda yang kepalanya panas ini bertanggung jawab atas kemunduran besar gerakan. Mereka memanggil 123 delegasi dari komite-komite pabrik yang semuanya lalu diciduk oleh polisi. Pada 14 Juli pemogokan berakhir. Situasi sungguh sudah memanas, walaupun Lenin ingin menunda pertempuran akhir agak lebih lama. Dia paham kalau sikap kaum tani akan menentukan sikap tentara. Mereka-mereka yang mendorong diteruskannya aksi pemogokan dan pertempuran barikade menginginkan pemberontakan sebelum situasi matang. Peristiwa-peristiwa Juli dapat saja, dalam kondisi normal, berubah menjadi situasi revolusioner. Tetapi peristiwa besar internasional menghentikan ini.

Seluruh Eropa berdiri di tepi jurang. Tsarisme Rusia lebih takut pada revolusi sosial dibandingkan perang. Pada 28 Juni, pangeran Austria, Franz Ferdinand, dibunuh di Sarajevo. Mobilisasi angkatan bersenjata segera diumumkan di Rusia. Ketika pada 10 Juli pemerintah Austria memberikan ultimatum yang memalukan pada Serbia, Rusia segera menekan “saudara-saudara” Serbianya untuk memenuhi semua tuntutan, selain yang melanggar hak-hak kedaulatannya. Ini yang dilakukan Serbia pada 10 Juli. Tetapi ini tidak mengubah apapun. Pemerintah Austria menilai jawaban Serbia “tidak memadai.” Pada titik ini, jawaban apapun dari Serbia tidak akan pernah memadai. Pada 15 Juli, Austria mulai membom kota Belgrade. Pada malam 18 Juli, Count Pourtales memanggil menteri luar negeri Rusia Sazonov dan memberitahunya “dengan air mata di matanya” bahwa sejak tengah malan, Jerman telah menyatakan perang dengan Rusia. Pembantaian besar akan dimulai.

 ____________

Catatan Kaki:

[1] Pada 1911, Menahem Mendel Beilis, seorang Yahudi dari kota Kiev, dituduh membunuh seorang bocah Kristen berumur 13 tahun dalam sebuah ritual Yahudi. Kasus ini menjadi sorotan nasional – dan bahkan dunia – karena digunakan oleh elemen-elemen anti-Yahudi dalam masyarakat Rusia sebagai kampanye rasial antisemit, untuk membenturkan umat Kristen dengan umat Yahudi.. Aparatus pemerintah Tsar yang anti-Yahudi berusaha sekeras mungkin menjebloskan Beilis ke penjara. Di bawah tekanan gerakan massa, Beilis akhirnya dinyatakan tak bersalah dan bebas pada 1913.

[2] Dikutip di Istoriya KPSS, vol. 2, 431.

[3] Lenin, Collected Works, in Russian, vol. 48, hal.162.

[4] Ibid., vol. 25, 71.

[5] Ibid., vol. 24, 123.

[6] LCW, Critical Remarks on the National Question, vol. 20, 22, 24, dan 25 (penekanan saya).

[7] LCW, The National Program of the RSDLP, vol. 19, 541 dan 545.

[8] LCW, Critical Remarks on the National Question, vol. 20, 35.

[9] Ibid., 33.

[10] Ibid., 22.

[11] LCW, The National Program of the RSDLP, vol. 19, 544.

[12] LCW, The Right of Nations to Self-Determination, vol. 20, 400–401.

[13] Lenin, Collected Works, in Russian, vol. 22, 151–52.

[14] O. Figes, A People’s Tragedy, 247 dan 248.

[15] Triple Alliance adalah kesepakatan rahasia antara Jerman, Austria-Hungaria dan Italia yang dibentuk sejak 1882, dan diperbarui secara berkala hingga 1915 selama Perang Dunia Pertama. Italia pada Perang Dunia Pertama tidak berpihak pada Jerman dan Austria dan bergabung dengan Triple Entente.

[16] Triple Entente adalah aliansi antara Rusia, Prancis dan Inggris yang dibentuk pada 1907, yang pada Perang Dunia Pertama lalu bergabung dengan Kekuatan Sekutu, dalam melawan Blok Sentral.

[17] Trotsky, The Balkan Wars 1912–13, 39–40.

[18] LCW, The Balkan War and Bourgeois Chauvinism, vol. 19, 39.

[19] Trotsky, The Balkan Wars 1912–13, 41–42.

[20] V.I. Lenin. Biography, Moscow. 1963, hal. 213.

[21] B.H. Sumner, A Survey of Russian History, 380.

[22] Dikutip di A.Ye. Badayev, Bolsheviks in the Tsarist Duma, 117–18.

[23] R. McKean, St. Petersburg Between the Revolutions, hal. 120 dan 122.

[24] Voprosy Istoriya KPSS, 1957, no. 4, 117.

[25] Lenin, Collected Works, in Russian, vol. 24, 289.

[26] Emile Vandervelde (1866-1938) adalah seorang politisi Belgia dan presiden Partai Buruh Belgia dari 1928-1938. Dia juga mengetuai Internasional Kedua dari 1900-1918, dimana dia mendukung Perang Dunia Pertama.

[27] Jean Joseph Camille Huysmans (1871-1968) adalah seorang politisi sosialis Belgia. Dari 1905-1922, ia adalah sekretaris Internasional Kedua. Setelah Perang Dunia Kedua, dia terpilih sebagai Perdana Menteri Belgia dari 1946-47 dan memimpin pemerintahan koalisi liberal, sosialis dan komunis.

[28] Trotsky, The History of the Russian Revolution, hal. 58.

[29] Istoriya KPSS, vol.2, hal. 463.