Sebuah partai hanya patut menyandang nama “Partai Revolusioner” kalau ia bisa melalui badai reaksi dan keluar darinya lebih kuat dan lebih dewasa.

Seorang jendral yang baik dinilai tidak hanya dari kemampuannya untuk memimpin serangan ofensif. Kesigapannya untuk tahu kapan dan bagaimana harus mundur secara teratur saat mengalami kekalahan juga sama pentingnya. Menghimpun kembali pasukan yang kalah agar tidak berserakan, guna mempersiapkan kembali pasukan ini untuk pertempuran selanjutnya, inilah kualitas penting dari seorang pemimpin entah dalam ranah militer ataupun politik.

Setelah kekalahan Revolusi 1905, rejim Tsar meluncurkan gelombang represi yang kejam untuk memadamkan api-api perlawanan rakyat. Ribuan aktivis ditangkapi. Mereka entah dimasukkan ke bui sampai mereka membusuk, atau digantung di alun-alun publik untuk dijadikan peringatan bagi rakyat. Yang beruntung dibuang ke pengasingan Siberia yang beku. Organisasi-organisasi revolusioner yang sebelumnya tumbuh pesat selama Revolusi kini menghilang hampir tanpa bekas.

Di tengah atmosfer seperti ini, kekalahan yang diderita gerakan tidak hanya dalam ranah fisik saja tetapi juga moral dan ideologi. Demoralisasi merajalela. Banyak orang mulai mempertanyakan keabsahan gagasan revolusioner dan bahkan perjuangan revolusioner itu sendiri. Mistisisme menggantikan nalar; individualisme menggantikan solidaritas; falsafah idealisme menggantikan materialisme. Pada masa tersulit seperti inilah gagasan dan partai teruji.

Partai Bolshevik mampu melalui periode reaksi ini karena mereka memiliki senjata ideologi yang tepat, yakni Marxisme. Sementara yang lain terombang-ambing, Marxisme menjadi jangkar di tengah badai yang berkecamuk. Dengan karyanya Materialisme dan Empirio-kritisme, Lenin meluncurkan perjuangan ideologi untuk mengklarifikasi kembali Marxisme dan menyelamatkan apa yang tersisa dari Partai Bolshevik setelah dihantam reaksi. Perjuangan ideologi sangatlah krusial, terutama pada masa kemunduran gerakan.

Buku Bolshevisme, misalnya, ditulis oleh Alan Woods pada 1999 sebagai respons terhadap runtuhnya Uni Soviet dan demoralisasi hebat yang menyusul, dimana banyak orang beramai-ramai dan tergesa-gesa mencampakkan Marxisme. Para ideolog kapitalis melonjak kegirangan dan memproklamirkan “Akhir Sejarah”. Mereka luncurkan ofensif ideologi untuk mengubur dalam-dalam gagasan Marx, Engels dan Lenin, agar hantu Komunisme tidak lagi bergentayangan. Selama masa reaksi ini, dimana kebingungan merajalela dalam gerakan, buku sejarah Bolshevisme -- dan Nalar yang Memberontak karangan penulis yang sama pada 1995 -- diterbitkan untuk mempertahankan warisan Revolusi Oktober dari kampanye fitnah yang memekakkan telinga. Kini situasi telah berubah. Sejarah ternyata belum berakhir, seperti yang terpaksa diakui sendiri oleh sang proklamator “Akhir Sejarah”, Francis Fukuyama, walau dia harus banyak berkelit dan menggeliat.

Karakter pribadi Lenin memainkan peran penting selama periode reaksi ini: keras kepala, percaya diri, tegas dan berani. Ketika Lenin harus menarik garis demarkasi ideologi yang jelas, dia tidak takut harus berpisah jalan dengan kolega-kolega lamanya. Dia bahkan harus pecah dengan sejumlah kolaborator terdekatnya, seperti Bogdanov dan Maxim Gorky. Prinsip ideologi dan kepentingan kaum tertindas jauh lebih penting baginya dibandingkan pertemanan semata. Tentunya karakter Lenin ini juga adalah refleksi tidak langsung dari Marxisme itu sendiri, yang mampu memberikan jalan terang di tengah kegelapan sehingga memberikan kepercayaan diri bagi yang menguasainya. Masa reaksi memang tidak pernah ramah bagi mereka yang lemah.

Pada akhirnya Partai adalah layaknya manusia. Ia tidak akan bisa tumbuh dewasa dan menjadi sosok yang utuh tanpa melalui krisis dan menarik pelajaran darinya. Dengan belajar dari kekalahan Revolusi 1905, Partai Bolshevik dapat membangun kembali kekuatannya ketika situasi politik membaik dan rakyat pekerja mulai bergerak lagi. 

 Setelah berhasil memancung Revolusi 1905 rejim Tsar merasa sangat lega. Tidur sang Kaisar, para tuan tanah dan pemilik modal nyenyak kembali. Tetapi ini tidak berlangsung lama. Selama kontradiksi-kontradiksi masyarakat Rusia tidak terselesaikan – yaitu eksploitasi buruh di pabrik, masalah tanah bagi kaum tani, penindasan atas bangsa-bangsa minoritas, tidak adanya demokrasi, sesaknya kehidupan kaum perempuan yang dibelenggu oleh kungkungan rumah tangga – maka tikus-tikus revolusi akan terus menggerogoti fondasi rejim Tsar.

Pada 1910 gerakan buruh mulai bangkit kembali. Pendorongnya adalah kondisi ekonomi yang membaik. Pabrik-pabrik baru, yang bahkan lebih besar dan modern, bermunculan dengan pesat. Ratusan ribu buruh yang sebelumnya di-PHK, karena krisis ekonomi di satu sisi dan aktivitas revolusioner mereka pada periode sebelumnya di sisi lain, bekerja kembali. Sementara lapisan buruh baru mengalir deras ke sentra-sentra industri. Semua ini memberi kepercayaan diri kembali pada buruh untuk berorganisasi dan menuntut porsi yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi yang ada.

Sering kali kita mendengar kalau rakyat hanya akan bergerak kalau mereka tercekik kesulitan ekonomi. Tetapi proposisi ini tidak selalu benar, dan bahkan terlalu mekanistik. Krisis ekonomi dapat menciptakan kebingungan dan demoralisasi. Krisis ekonomi terbesar dalam sejarah kapitalisme pada 2007-2008 misalnya tidak lantas memercikkan gelombang pemogokan dan revolusi. Rakyat pekerja terkejutkan oleh guncangan ekonomi ini, dilanda kebingungan dan menundukkan kepalanya dengan harapan bahwa badai ini akan berlalu. Mereka kencangkan tali pinggang mereka dan perkeras panjatan doa mereka. Tetapi badai tidak kunjung pergi, sementara pemilik modal semakin memperkaya diri mereka di tengah program penghematan yang meremukkan rakyat. Butuh waktu beberapa tahun sebelum rakyat pekerja keluar dari kebingungan mereka dan mulai merangsek masuk ke arena politik, yang dibuka dengan Arab Spring pada 2010, gerakan Okupasi AS dan gerakan Indignados Spanyol pada 2011.

Di Indonesia sendiri pertumbuhan pesat ekonomi pada awal 2010an menjadi pendorong majunya gerakan buruh, yang mencapai ketinggiannya pada 2012 dengan Getok Monas (Mogok Nasional 3 Oktober). Arus investasi asing yang besar, terutama ke dalam sektor mesin, suku cadang otomotif dan kimia, menciptakan batalion proletariat yang besar dan kuat. Ini tercerminkan dalam kepemimpinan buruh metal dalam gerakan buruh 2012.

Radikalisasi dan militansi massa tidaklah memiliki korelasi langsung dengan tingkat kesengsaraan yang mereka rasakan. Bila demikian maka rakyat Ethiopia akan selalu dalam kondisi revolusioner. Pada kenyataannya tidak demikian. Yang harus kita perhatikan dengan seksama adalah perubahan kondisi, yang menghasilkan pula perubahan kesadaran.

Namun satu faktor lagi yang sama pentingnya adalah kualitas kepemimpinan. Dengan kepemimpinan yang memiliki perspektif revolusioner, yang jeli melihat perubahan situasi dan bisa mengantisipasi pengaruhnya pada kesadaran kelas, yang lalu berani mengambil langkah maju untuk melawan modal, maka kondisi objektif yang telah matang bisa diolah menjadi kekuatan besar. Sebaliknya, kepemimpinan yang sudah tidak lagi percaya pada revolusi, yang mengekor pada peristiwa dan oleh karenanya selalu terkejut oleh perubahan situasi yang ada, yang selalu dihantui rasa waswas, maka kondisi objektif sematang apapun akan selalu terlewatkan dan tersia-siakan. Bahkan dalam banyak kasus mereka jadi penghalang majunya gerakan.

Kelas buruh Rusia diberkati oleh kepemimpinan revolusionernya kaum Bolshevik. Inilah mengapa mereka dapat pulih dengan cepat setelah kondisi objektif membaik. Bahkan kekacauan Perang Dunia I yang meletus pada 1914 hanya jadi penghalang sementara. Dalam waktu 3 tahun, kita akan saksikan bagaimana mereka memenangkan Revolusi Sosialis pertama di dunia.

Sejarah Bolshevisme tidaklah bergerak dalam garis lurus yang terus naik. Ada pasang surut. Langkah maju yang disusul langkah mundur, revolusi yang disusul reaksi, dan terus silih berganti. Di sinilah letak keunggulan Bolshevisme, yang mampu melalui semua fase yang beragam ini dan tumbuh dewasa darinya, sampai akhirnya ia mengubah secara radikal tidak hanya sejarah Rusia tetapi juga sejarah Dunia abad ke-20.