facebooklogocolour

Pagi-pagi, sekitar jam tujuh, entah tanggal berapa dan hari apa – saya lupa, saat saya minum kopi di sebuah warung di samping Seminari Abdiel, Ungaran, dengan tanpa sadar, mata saya tertuju pada seseorang berseragam biru tua; ia makan dengan tergesa-gesa, minum dengan tergesa-gesa pula, bahkan beberapa helai nasi (upo/bahasa Jawa) menempel di pipinya. Tetapi, tanpa kesimpulan apapun, pengamatanku tiba-tiba berhenti karena serombongan orang berseragam biru tua juga langsung menyerbu seluruh tempat duduk untuk sarapan, termasuk tempat duduk saya, hingga saya hampir terjungkal sia-sia.

“Jangan kaget, Mas!” ucap pemilik warung. “Mereka itu buruh di pabrik garmen samping seminari itu. Mereka memang terbiasa begitu, grusa-grusu (tergesa-tergesa yang tidak terkontrol). Karena jam delapan pas mereka harus sudah berada di dalam pabrik. Jika tidak, bisa dipecat. Masih untung sampean hanya terdesak. Malah pernah, seorang bapak-bapak, kesodok mulutnya hingga memar.”

Saya merespon ucapan pemilik warung dengan kerutan kening dan lototan mata.

Besoknya, di suatu pagi juga, hal yang sama terulang lagi, dan saya hampir terjungkal lagi. Tetapi, kali ini, pikiran saya langsung memberikan kesimpulan dalam gugusan deskripsi yang tegas: “Buruh! Tergesa-gesa! Murung! Penat! Sunyi! Kurang makan! Bergaji murah! Terasing!”

Kata terakhir, “terasing”, seketika langsung mengajak saya untuk mengingat kembali tulisan Karl Marx mengenai alienasi. Seketika pula, ingatanku mengenai alienasi kusampaikan kepada seorang kawan yang saat itu menemani saya – dengan mengulang kata-kata Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (atau biasa disebut Manuscripts): “Buruh merasa dirinya di rumah hanya selama waktu senggang, sedangkan di tempat kerja ia merasa tunawisma!”

“Maksudnya apa, Bung?” tanya seorang kawan tersebut.

“Buruh terasing dari hasil kerjanya,” jawab saya, “dari proses produksi di mana mereka bekerja, terasing sebagai makhluk-spesies, dan terasing dari manusia lain. Mereka lebih sering merasa menderita ketimbang sejahtera; fisik dan mentalnya direndahkan. Inilah yang disebut Marx sebagai ‘alienasi’.”

“Hmm, saya belum paham, Bung. Coba jelaskan tentang alienasi menurut Marx dengan bahasa yang lebih sederhana!”

Wah, pikir saya, ini bukan karena kamu tidak bisa memahami omongan saya yang sudah serigkali berbicara tentang kehidupan buruh, tetapi karena kamu selalu tidak bisa konsentrasi. Itulah penyakitmu dari dulu!

“Ok, taruhlah buruh-buruh tadi, yang bekerja di pabrik garmen yang berada di samping seminari itu, setiap hari, kerja tangannya, menghasilkan produk-produk seperti baju, celana, jaket, dll., tetapi samasekali mereka tidak berhak atas hasil karyanya tersebut. Hasil kerjanya berdiri sebagai sesuatu yang asing. Asing bukan berarti tampak seperti benda aneh atau apalah, tetapi karena produk tersebut bukanlah miliknya, tetapi milik orang yang mempekerjakannya, yakni milik si kapitalis.”

“Aku masih sedikit agak bingung. Maklumlah, aku bukan buruh, hanya saja, kellihatannya, usai kuliah nanti, aku juga akan jadi buruh. Ok, untuk poin yang kedua, ‘terasing dari proses produksi’, coba terangkan lebih singkat lagi!”

“Memang pembahasan seperti ini buruhlah yang cepat bisa memahami. Baiklah, untuk poin kedua, ‘terasing dari proses produksi’, berarti bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh buruh seringkali karena terpaksa, bukan hasil dari keinginannya. Pekerjaan tersebut seperti berada di luar dirinya (eksternal dengan dirinya). Karena terasing dengan hasil kerjanya, maka buruh dalam kondisi tidak nyaman dan terasing pula di dalam proses kerjanya; merasa sedih, suntuk dan tak bahagia.”

“Sebelum dilanjutkan ke poin berikutnya, pertanyaanku, apakah filsafat Marxis mampu menjelaskan bentuk keterasingan kaum buruh yang terjadi hari ini?”

“Ya, meskipun Marx menulis naskah-naskahnya ini sudah lebih dari seratus tahun yang lalu, kita tetap menemukan bahwa hampir sebagian besar teorinya masih relevan untuk menjelaskan kondisi kemanusiaan dari dulu hingga sekarang, bahkan hari ini semakin jelas relevansinya, terkait dengan kondisi kehidupan buruh.”

“Bisa dijelaskan dengan lebih detail?”

“Filsafat Marxis berhasil mengidentifikasi dua kelas utama di jaman sekarang ini, yakni kelas yang memiliki alat-alat produksi (borjuis) dan kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi (buruh) – yang, dalam membiayai hidupnya sehari-hari, menjual tenaga-kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi. Menurut Marx, yang mana ini bertentangan dengan teori-teori ekonomi lainnya seperti teori ekonominya David Ricardo, supaya kaum borjuis bisa mengakumulasikan modalnya, atau memperbesar nilai ekonomiknya – mau tak mau – mereka harus mengambilnya dari nilai surplus (nilai lebih) tenaga kerja. Ini berarti bahwa si kapitalis akan terus mencoba meningkatkan waktu kerja guna mendapatkan lebih banyak uang atau modal. Akibatnya, buruh akan semakin menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruang produksi. Karena, dalam pandangan Marx, waktu adalah ‘modal lebih’ bagi para pemilik alat-alat produksi, dan yang membuat kaum buruh kehilangan nyawa mereka; menghabiskan banyak waktu di dalam pekerjaan mereka; kehilangan jati dirinya; dan, terkait dengan bahasan kita mengenai keterasingan, buruh akan terasing dari hasil kerjanya, dari proses produksi di mana mereka bekerja, terasing sebagai makhluk-spesies, dan terasing dari manusia lain.”

“Jadi kesimpulannya, hari ini, di bawah kapitalisme, dengan terang-terangan kaum buruh berada dalam kondisi teralienasi? Dan apakah ini yang kau maksud dengan ‘bahkan hari ini semakin jelas relevansinya’, di mana fenomena yang kita lihat baru saja, merupakan konfirmasi terhadap pemikiran Marx yang ia tulis lebih dari seratus tahun lalu?”

“Fenomena yang kita lihat baru saja?” tanya saya. “Fenomena yang mana, Kawan?”

“Ya fenomena yang tadi, serombongan buruh berseragam biru tua yang bergerak tergesa-tergesa, yang hampir membuatmu terjungkal!”

“Ya,” jawab saya. “Hidup mereka telah dikontrol oleh majikannya, oleh kapital. Tak ada kebebasan dalam hidupnya. Mereka harus tepat waktu; harus berada di ruang produksi sebelum mesin-mesin pemintal bergerak dengan suara garang. Jika tak ada lemburan, mereka pulang sekitar jam lima sore. Jika harus lembur, mereka pulang ke rumah masing-masing sekitar jam tujuh malam. Rasa capek dan penatnya tidak memberinya waktu untuk bercengkerama dengan anggota keluarga. Mereka harus tidur cepat, agar pagi-pagi tenaganya pulih kembali; agar bisa bekerja lagi; agar tetap menghasilkan uang yang hanya cukup untuk membayar beberapa poin kebutuhan saja.”

“Tentu,” sahut seorang kawan tadi, “kondisi ini sangat berbeda dengan yang dialami oleh majikan mereka, bukan?  Majikan mereka bisa tidur nyenyak; bisa memburu makanan paling enak hingga ke seluruh penjuru kota; memiliki keluarga yang harmonis dan penuh senyum; memiliki anak-anak yang sehat dan cerdas; bisa bercerita tentang bunga-bunga dan panorama alam; bisa berbelanja parfum ke luar negeri; dll.; dll.?”

“Betul, Kawan! Dehumanisasi yang mengerikan – sebagaimana pernah digambarkan oleh Marx – bisa kita saksikan secara terang-terangan hari ini!”

“Ok, Bung, tinggal dua hal lagi mengenai keterasingan, semoga dengan singkat bisa kau lanjutkan. Ya, sebelum pemilik warung mengusir kita karena, hanya minum kopi saja, duduk terlalu lama.”

“Baiklah, saya lanjutkan mengenai ‘terasing sebagai makhluk-spesies, dan terasing dari manusia lain’.“

“Lebih singkat lebih baik,” ucapnya pelan, sambil melihat pemilik warung yang dari tadi mondar-mandir dengan muka kecut.

“Marx mendefinisikan makhluk-spesies sebagai berikut: ‘Manusia adalah makhluk-spesies bukan hanya karena ia secara praktis maupun teoritis membuat spesiesnya dan benda-benda lain menjadi obyeknya, tapi juga...karena sebagai spesies yang hidup dan ada, ia menganggap dirinya sebagai makhluk universal dan dengan demikian bebas’. Jadi, di sini, menurut Marx, kerja manusia bukan hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhannya saja, tetapi juga sebagai sarana untuk merealisasikan dirinya. Di sini kita ambil contoh kakekmu, yang katanya, dulu, seorang empu. Dan, katanya pula, dulu, ia sangat terkenal karena keahliaannya membuat keris. Ia menyadari bahwa dirinya hebat ketika melihat secara obyektif keris buatannya, yang tak lain adalah hasil dari realisasi dirinya. Karena keris itu merupakan sarana untuk merealisasikan diri, maka kakekmu dalam melakukan pekerjaannya penuh dengan rasa gembira dan bahagia. Tetapi coba lihat para buruh garmen itu, apakah mereka bangga dengan hasil kerjanya, senang dengan pekerjaannya? Tentu tidak, karena hasil kerjanya bukan menjadi miliknya, dan tidak tahu ke mana perginya. Ini maksud dari ‘terasing sebagai makhluk-spesies!”

Hmm, panjang tapi membuatku gamblang. Kau kok tahu kalau kakekku seorang empu, Bung?’

“Emakmu, dulu, yang bilang...!”

“Ok, Bung, lanjut ke bahasan terakhir. Lihat itu, pemilik warung terlihat cemberut karena lihat sampean banyak ngomong dan gak ada tanda-tanda untuk segera beranjak dari sini!”

“Ha ha ha...ok deh, poin terakhir, ‘terasing dari manusia lain’, artinya, selain buruh terasing dari tiga hal di atas, buruh juga terasing dari sesamanya manusia – terasing dari sesama buruh dan dari majikannya. Seorang buruh melihat buruh yang lain bukan lagi sebagai sesama manusia yang saling berhubungan secara sosial, melainkan sebagai saingan dalam memperoleh pekerjaan di pabrik-pabrik. Selain itu, majikan juga tidak melihat buruh sebagai sesama manusia, tetapi sebagai komoditas yang diperjual-belikan di bursa kerja. Untuk mendapatkan pekerjaan dan bisa makan, buruh menjual tenaganya kepada majikan. Artinya, buruh, di sini, tidak dipandang sebagai sesama manusia di hadapan majikan, tetapi sebagai komoditas – sama seperti bahan baku – yang akan diperas untuk bisa menghasilkan laba.”

“Wah wah, Bung, mendengar penjelasanmu, terutama di bagian terakhir ini, aku jadi ngeri. Tapi ini  membuatku semakin bersemangat untuk berjuang bersama-sama dengan buruh.”

“Tapi lebih ngeri lagi kalau si pemilik warung mengusir kita,” sahutku sedikit bercanda. “Karena kita dari tadi gak pulang-pulang. Kayak politisi aja, mungkin begitu pikirnya, senengnya diskusi.”

“Ha ha ha, baiklah, mari kita cabut!”

“Berapa, Bu, kopi dua gorengan empat?” tanyaku sedikit agak malu.

“Kopi dua empat ribu,” sahut pemilik warung dengan nada tinggi. “Gorengan empat dua ribu. Sewa tempat, berdua, tiga ribu!”

“Ampun!” ucap seorang kawan tadi lirih. “Kapitalisme telah mengajari orang-orang untuk pelit!”