facebooklogocolour

 

Di awal gerakan menentang Orde Baru dan kapitalisme, hampir semua aktivis Kiri alergi dengan Pancasila dan akan sulit sekali kita temui orang Kiri yang menggunakan Pancasila sebagai atribut ataupun slogan agitasi propaganda mereka. Ini sebagian besar karena rejim Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai pembenaran kediktaturan mereka, dan kaum muda yang revolusioner tidak menemukan sama sekali daya pikat di dalam Pancasila. Pancasila dilihat sebagai lambang kediktaturan yang berlumuran darah, dan sama sekali tidak ada nilai inspirasi perjuangannya. Kaum muda Indonesia menemukan inspirasi mereka dari luar Pancasila, sebagian dari nilai-nilai demokratis liberal, sebagian lagi yang lebih radikal dari sejarah perjuangan komunis (PKI) di Indonesia. PRD dan simpatisan-simpatisan mereka masuk ke kategori yang kedua ini. Oleh karenanya ketika PRD akhirnya memutuskan menggunakan Pancasila sebagai atribut agitasi dan propaganda mereka, ada reaksi dari dalam gerakan yang menuding mereka telah meninggalkan cita-cita sosialisme sejati. Ini terutama diperparah dengan manuver mereka sebelumnya: beraliansi dengan PBR pada pemilu 2009.

Perubahan orientasi PRD – dan juga sejumlah elemen lain di dalam gerakan – ke Pancasila dan Bung Karno-isme (Marhaenisme) membawa pergulatan-pergulatan ideologi, strategi, taktik, dan organisasi yang penting di dalam gerakan. Apakah perubahan orientasi ini bentuk dari oportunisme? Atau justru mereka yang tidak melakukan ini justru jatuh ke dalam ultrakiri-isme dan tidak memahami karakter bangsa Indonesia? Sampai mana kita kaum revolusioner bisa menggunakan Pancasila dan Bung Karno-isme untuk mencapai sosialisme? Apa memang kita bisa menggunakan Pancasila sebagai jembatan untuk mencapai sosialisme?

Dalam risalah yang singkat ini, saya akan berargumen bahwa Pancasila tidak bisa digunakan sebagai jembatan untuk menuju sosialisme, bahwa Bung Karno-isme atau Marhaenisme bukanlah Sosialisme atau Marxisme ala Indonesia.

Pancasila lahir dari revolusi nasional Indonesia, yakni perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lebih tepatnya revolusi itu adalah revolusi borjuis demokratik. Revolusi borjuis demokratik adalah suatu revo-lusi yang tujuan utamanya adalah pembentukan negara bangsa yang mandiri dan demokratis. Di Eropa, Revolusi Prancis 1789 adalah satu contoh revolusi borjuis demokratik pa-ling megah di muka bumi. Revolusi ini menghancurkan feodalisme dan menegakkan Republik Prancis yang demokratik. Gagasan-gagasan dari Revolusi Prancis sejak itu telah menjadi ilham bagi semua pejuang demokrasi.

Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai revolusi borjuis demokratik, yang dari sejarah Revolusi Prancis bisa disarikan menjadi Liberté, égalité, et fraternité (Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan). Kebebasan, yakni merdeka dari penjajahan dan segala bentuk penindasan manusia atas manusia. Kesetaraan, yakni keadilan sosial, kesetaraan di mata hukum, dan kesetaraan hak. Persaudaraan, yakni persatuan di antara semua rakyat. Semua sila dalam Pancasila, kecuali sila pertama, mengandung nilai-nilai ini.

Namun sejarah telah membuktikan, bahwa pada akhirnya, Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan yang dielu-elukan oleh revolusi borjuis ini hanyalah untuk kaum borjuis penguasa saja. Untuk kaum buruh dan tani, Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan ini tidak berlaku sama sekali. Di sinilah letak ke-terbatasan Pancasila. Ini bukan karena tidak ada penghayatan dan pelaksanaan Pancasila yang sejati, dan kalau saja semua orang mengamalkan Pancasila (atau nilai-nilai Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan) maka semuanya akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Tetapi ini karena karakter dasar dari Pancasila itu sendiri, yakni yang lahir dari revolusi borjuis demokratik. Ia tidak bisa menjadi jembatan menuju sosialis-me, menuju masyarakat tanpa kelas, karena Pancasila sendiri tidak mengandung perspektif kelas.

Sementara, Bung Karno-isme atau Marhaenisme – yang sering dianggap oleh sejumlah kaum Kiri sebagai Marxismenya Indonesia – pada dasarnya hanyalah sebuah gagasan populisme yang mengambil irisan-irisan dari Marxisme. Tidak sedikit pemimpin-pemimpin radikal pada jamannya Soekarno yang menggunakan retorika-retorika Marxisme dan Sosialisme karena gagasan-gagasan tersebut sangat kuat pengaruhnya di antara massa rakyat tertindas yang sedang bergerak melawan. Pemikiran-pemikiran radikal Bung Karno mene-mukan gaungnya di antara massa rakyat yang luas pada tahun 1950an dan 1960an karena saat itu masyarakat Indonesia sedang memasuki tahapan revolusioner. Pemikiran Bung Karno adalah gagasan yang ada di antara reformisme dan Marxisme revolusioner, dan ini sesuai dengan mood massa yang sedang meletup-letup. PKI saat itu justru mengekor Soekano dan tidak memberikan kepemimpinan yang mandiri untuk massa yang sedang bergerak cepat ke arah gagasan Marxisme. Kegagalan PKI ini adalah topik tersendiri yang membutuhkan artikel berbeda.

Kalau kita cermati Marhaenisme, jelas bahwa ia tidak mengandung tiga program pokok untuk mewujudkan sosialisme: penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, perencanaan ekonomi yang terpusat dan demokratis, dan penghancuran negara borjuis – beserta aparatus-aparatusnya, termasuk kesatuan angkatan bersenjata – yang digantikan dengan sistem pemerintahan buruh yang baru dan yang berdasarkan kediktaturan proletar. Dan tentunya, aktor utama dari perwujudan sosialisme ini adalah kelas buruh dengan partai pelopornya. Kendati pidato-pidato dan tulisan-tulisan radikal dari Bung Karno, yang kalau dibaca dan didengar tampak 99% benar, namun dalam hal 1% yang di atas tersebut -- satu persen yang menentukan ini -- ia mengalami kekurangan. Inilah mengapa dengan begitu mudah gagasan Bung Karno-isme hancur berkeping-keping ketika dihantam kekuatan konter-revolusi.

Kendati Bung Karno berbicara mengenai sosialisme, kepemilikan kolektif, dan berbagai hal yang radikal, ia menunda sosialisme ini dengan dalih bahwa Indonesia harus terlebih dahulu menyelesaikan revolusi nasional demokratik. Dalam kata lain, Indonesia harus terlebih dahulu menjadi sebuah negara kapitalis yang mandiri, bebas sepenuhnya dari feodalisme dan imperialisme, seperti negara-negara kapitalis Eropa lainnya. Oleh karenanya perjuangan kelas dile-takkan di bawah perjuangan nasional. Kaum kapitalis nasional yang katanya “progresif” harus menjadi kawan dalam melawan feodalisme dan imperialisme, yang lalu mereka bisa menjadi kapitalis mandiri dan jaya seperti kapitalis-kapitalis Eropa dan memakmurkan negara. Setelah Indonesia menjadi negara kapitalis yang makmur dan maju, barulah tahapan revolusi sosialis bisa dilaksanakan. Patut dipertanyakan, ketika Soekar-no dilengserkan, dimana para kawan kapitalis nasional “progresif” ini? Mereka berbaris rapi di belakang Letnan Jendral Soeharto.

Yang gagal dipahami oleh Bung Karno adalah bahwa tugas-tugas revo-lusi nasional demokratik -- penghancuran feodalisme dan imperialisme -- tidak bisa lagi menjadi tugas tersendiri yang terpisahkan dari revolusi sosialis, bahwa hanya perjuangan kelas yang bisa menuntaskan revolusi nasional demokratik. Juga bahwa tidak ada lagi yang namanya kelas kapitalis nasional yang “progresif”, dan oleh karenanya peran kepemimpinan revolusi jatuh di tangan kaum buruh yang beraliansi dengan tani. Ketika kaum buruh melangkah untuk menyelesaikan revolusi demokratik, ia terdorong juga untuk melangkah ke revolusi sosialis. Ini karena bahkan tugas revolusi demokratik yang paling dasarpun -- menyediakan sandang, pangan, papan yang layak untuk rakyat luas -- sudah tidak mungkin lagi terpenuhi di bawah kapitalisme. Hanya nasionalisasi perekonomian dan sistem ekonomi terencana terpusat dan demokratis yang bisa memakmurkan rakyat. Dan untuk melakukan ini, hanya kekuasaan buruh yang mutlak yang bisa melaksanakan ini dengan konsisten dan tegas.

Dari tahun 50an sampai 1965, Indonesia terombang-ambing di dalam pusaran revolusi tanpa bisa menuntaskannya karena gagasan Bung Karno menolak sosialisme sebagai tujuan yang segera. Revolusi bukanlah sesuatu yang bisa diperpanjang sesuka hati. Pada akhirnya harus ada satu pemenang. Kekuatan-kekuatan konter-revolusioner akhirnya menghantarkan pukulan maut mereka, dan mereka tahu siapa lawan utama mereka: kelas buruh dan partai mereka, Partai Komunis Indonesia. Gerakan buruh dibabat sampai ke akar-akarnya. Kekuatan-kekuatan konter-revolusioner mengenali perjuangan kelas, sementara Bung Karno dan PKI justru berusaha setengah mati menyangkal perjuangan kelas dan menolak melikuidasi kapitalisme.

Inilah mengapa Pancasila dan Bung Karno-isme tidak bisa digunakan sebagai jembatan menuju sosialisme. Masa depan sosialisme di Indonesia tidak bisa dibangun di atas gagasan yang keliru. Sosialisme membutuhkan gagasan yang dalam totalitasnya konsisten dan tepat.

Gagasan Marxisme memang harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Kita gunakan metode materialisme dialektika untuk melahirkan perspektif revolusi Indonesia. Untuk bisa melahirkan Marxisme “ala Indonesia”, maka tugas kaum muda adalah kembali lagi ke gagasan-gagasan dasar Marxisme: yakni membaca karya-karya Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky. Kaum muda revolusioner hari ini harus memahami filsafat Marxisme dengan mendalam dan mendasar agar mereka lantas bisa memahami tugas revolusi Indonesia hari ini. Sejarah pemikiran para pejuang kemerdekaan seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan yang lainnya harus kita pelajari dengan tekun juga, tetapi bukan dengan mengulang apa yang telah menjadi kekeliruan. Hari ini kita telah dilengkapi dengan banyak hal yang tidak dimiliki oleh gene-rasi sebelumnya: yakni sejarah. Bukan hanya sejarah perjuangan proletar Indonesia yang hampir berumur 100 tahun, tetapi juga sejarah perjuangan proletar dunia. Dengan ini kita semakin yakin akan kemenangan kita dan semakin teguh dalam perjuangan kita  untuk menuju kemerdekaan kaum buruh dari belenggu kapitalisme.